Part#5 -Cemburu?
"Ada yang lagi jatuh cinta nih? Cinta monyet, heh?"
"Dih, apaan sih, Kak Aji. Datang-datang ngomongnya sinis gitu." Mataku mendelik kesal pada kakak keduaku yang baru saja menyeret kursi makan di hadapanku. Padahal hubungan kami sempat membaik setelah ia menawarkan diri mengerjakan tugasku kemarin walau keadaan tidak berjalan sesuai harapan. Untuk kebaikan bersama, sengaja aku menutupi kejadian seusai ospek kemarin.
Ibu menggeleng pelan, lalu menyibukan kembali dengan kegiatan memasaknya. Ia sudah terbiasa dengan perdebatan kami."Jangan ganggu adikmu terus, Ji. Kamu sendiri tidak kuliah? Sudah jam berapa sekarang."
Tatapan tajam Kak Aji membuatku tak nyaman. Jenis pandangan yang terkesan menuduh sekaligus meremehkan."Nanti siang, Bu."
Aku mengalihkan perhatian pada sepiring nasi goreng di piring. Menyuap sambil menatap layar ponsel. Browsing atau sekedar memeriksa sosial media tanpa memedulikan kehadiran Kak Aji.
Bila harus menebak, penyebab sikap menyebalkan kakakku itu mungkin berkaitan dengan Erga. Kemarin malam, aku tidak sengaja melihat bayangan Kak Aji yang mengintip dari balik tirai ruang tamu saat Erga mengantarku pulang. Ia bahkan tidak keluar untuk sekadar berbasa-basi bersama Ibu.
"Laki-laki kemarin, dia seniormu?" tanya Kak Aji memecah kediaman diantara kami.
"He em," balasku tak acuh.
"Orang yang waktu itu juga mengantar kamu pulang saat hari pertama ospek?"
Aku menghembuskan napas pendek. Mengangkat kepala dan meletakan sendok kembali ke piring. "To the point aja deh, Kak. Maksud pertanyaan Kakak itu apa?"
"Jaman sekarang nggak ada yang namanya gratis. Ke toilet umum aja bayar. Seniormu itu, siapapun namanya nggak mungkin berbaik hati mengantar perempuan yang baru dikenalnya tanpa memiliki niat tersembunyi, dua kali lagi mengantarnya."
"Kak Aji selalu saja berburuk sangka. Toh kami memang tidak ada hubungan apa-apa. Dan, aku nggak akan di antar sama dia kalau saja Kak Aji perhatian sama adeknya, bukan adek ketemu gede aja yang di perhatiin," balasku sambil mencibir.
Kak Aji terdiam sesaat, senyumannya berubah kecut seolah membenarkan perkataanku. Ia meraih selembar roti tawar dari tray, lalu bangkit. Ekpresi wajahnya sama sekali tidak enak dilihat.
Aku mengerti arah pembicaraan Kak Aji mengarah kemana. Tapi kesan yang kutangkap, ia tengah menyindir caraku menilai seorang laki-laki. "Bu, aku sudah selesai sarapannya. Mau ke kampus nih," seruku seraya bangkit. Setengah memaksa diri menyisakan masakan yang sudah Ibu buat dengan kasih sayang. Mau bagaimana lagi, semakin lama berada satu tempat dengan Kak Aji bisa membuat emosiku meledak.
"Ji, antar adekmu sampai depan komplek." Perintah Ibu, tegas dan mengabaikan kilatan tajam kedua buah hatinya yang masih saling pandang.
Kami berdua sontak terdiam, tak berani membantah. Ibu merupakan sosok paling penyayang di rumah ini tapi jangan pernah main-main dengan perintahnya. Ayah bahkan lebih memilih mengiyakan permintaan Ibu dibanding harus berdebat panjang lebar karena akhirnya pasti Ibu yang menang.
Kami akhirnya meninggalkan rumah diiringi pandangan tajam Ibu yang ikut mengantar. Sepanjang jalan Kak Aji memilih diam begitupun dengan diriku. Sedikit salah kata bisa berakibat fatal. Kami berdua memang keras kepala.
Ibu pernah bercerita kalau Kak Aji sempat belum bisa menerima kehadiranku. Dia kesal karena posisinya sebagai anak bungsu berpindah tangan. Terlebih orang tuaku pada saat itu memang menginginkan anak perempuan agar keluarga kami semakin lengkap. Jadi tidak mengherankan kalau kami berdua jarang sekali rukun.
"Kak Aji, aku bisa telat kalau Kakak bawa motornya kayak siput. Masa sama sepeda saja kalah," decakku gusar setelah berpapasan dengan salah seorang tetangga yang menggunakan sepeda.
"Kamu nggak lihat papan dengan tulisan hati-hati banyak anak kecil tadi?"
Aku mendengus meski membenarkan perkataan Kak Aji. Di sekitar komplek memang kadang sering terlihat anak-anak bermain. Tapi itu biasanya saat sore atau hari libur. Kalaupun ada biasanya hanya asisten rumah tangga atau ibu-ibu yang sedang membawa anak balita di trotoar.
"Tapi kalau begini terus, kapan sampainya. Ini hari pertama aku kuliah, Kak."
"Udah jangan bawel. Kakak antar sampai kampus."
"Serius?" Lirikan Kak Aji menutup mulutku.
Perjalanan kami masih cukup lama. Jalanan mulai di penuhi kendaraan. Kesibukan yang menjadi pemandangan lazim di kota-kota besar. Mengantar anak sekolah, pergi ke kantor, berangkat kuliah atau sekedar untuk berjalan-jalan.
Memasuki jalan Setiabudhi, hawa dingin masih menempel di kulit. Aku masih belum terbisa dengan perbedaan cuaca meski kadang bila sedang panas, Bandung tidak terlalu berbeda dengan Jakarta.
"Hei, ingat. Fokus." Kak Aji menempelkan telunjuk ke arah kepalanya sesampainya kami di depan gerbang kampus.
Keningku berkerut sambil merapikan posisi ransel. "Fokus apaan?"
"Fokus kuliah. Jangan pacaran dulu." Nada bicaranya agak meninggi. Tidak mengesankan sedang bercanda. "Kakak hanya mengingatkan supaya kamu tidak mengulang kesalahan yang sama. Mengerti?"
"Iya."
"Ya sudah. Sini salam dulu." Dengan terpaksa aku meraih tangan yang Kak Aji sodorkan. Dan, tanpa aba-aba, Kak Aji menarik kepalaku tepat ke bagian ketiaknya. Semerbak bau badan membuat perutku mual. Sial.
Aku hanya bisa berdiri kaku. Menahan kesal karena Kak Aji bergegas pergi setelah melepas pelukannya. Tawanya yang mengejek masih bisa terdengar. Andai bukan di lingkungan kampus, mungkin dia sudah kumaki.
Suasana kampus masih sepi meski beberapa mahasiswa dari fakultas yang berbeda tampak duduk di depan ruang kelas mereka. Fakultas tempatku kuliah ada di bangunan lain.
"Pagi." Sapa seorang laki-laki. Kaki panjangnya menjajari langkahku yang lambat.
"Pagi, Kang," balasku sambil menenangkan degub jantung.
"Kamu tadi di antar siapa?" tanya Erga datar.
"Kakak." Ingatan tentang Kak Aji membuatku canggung berhadapan dengan Erga. Dan, sekaligus bingung dengan perasaan sendiri.
Erga menarik pelan tanganku. "Kalau jalan jangan melamun, bahaya." Aku tersenyum kecut, menyembunyikan malu karena hampir saja menabrak pohon.
"Itu temanmu, bukan." Pandangan mataku berputar ke arah yang di tunjuk Erga. Tidak jauh dari tangga yang menuju lobbi, Adisti tampak berdiri di dekat papan pengumuman bersama mahasiswa baru lainnya.
"Iya, Kang."
"Ya sudah, saya duluan." Erga melambaikan tangan, lalu bergerak menjauh. Sempat kulihat, ia menyapa dua orang laki-laki di koridor. Senyum dan tawanya begitu lepas termasuk ketika dihampiri beberapa perempuan. Dadaku berdesir, merasakan perih yang tiba-tiba muncul. Erga merangkul leher salah satu perempuan itu, mengacak-acak rambutnya dengan senyum lebar.
Aku berjalan cepat, berusaha keras mengenyahkan pikiran buruk. Kembali memfokuskan diri pada niat kuliah hari ini. Adisti tampak sibuk menyalin jadwal kuliah dan ruang kelas sesampainya aku disana. Kebetulan kami masuk ke kelas yang sama. Sebagian mahasiswa baru dari jurusan yang berbeda melakukan hal yang sama. Antusias masih terasa, semangat menggebu-gebu setelah resmi meninggalkan bangku SMA.
Aku masih ingat kata-kata Kak Aji. "Semoga semangatmu tidak kendur saat berhadapan dengan tugas dan dosen ya, Dek." Ia mengakhiri ucapannya dengan tawa mengejek.
"Sya, kamu nggak nulis?" tegur Adisti begitu menyadari kehadiranku.
"Penuh banget papan pengumumannya. Aku lihat punya kamu aja ya?"
"Huh, dasar. Ya sudah kita cari tempat dulu. Aku lihat tadi hari ini cuma ada satu mata kuliah jam satu."
Kami berjalan menuju kantin. Tempat yang selalu ramai oleh mahasiswa. Suasana masih sepi hingga kami lebih leluasa memilih tempat duduk. Menunggu Adisti memesan minuman, tanpa membuang waktu, aku menyalin catatan milik temanku itu.
"Masih belum terbiasa ya." Adisti meletakan dua botol minuman teh dingin sebelum menyeret kursi kayu disebelahku.
"Terbiasa apa? Kuliah?"
"Iya. Rasanya belum lama masih pakai seragam putih abu. Dulu guru bisa ngomel panjang lebar kalau jam segini masih berkeliaran di kantin."
"Memang tapi tanggung jawab kuliah lebih besar di banding saat SMA. Kata kakakku, kita di tuntut lebih mandiri termasuk kalau ada tugas."
Kami berdua terdiam. Membayangkan sesuatu yang berkaitan dengan tugas rupanya menggulir kecemasan. Berbagai pengalaman baru saat menginjak bangku kuliah siap menyambut dan memulainya dengan bayangan buruk ternyata mempengaruhi mood.
"Sudahlah, tidak perlu memusingkan hal yang belum terjadi. Selesaikan catatanmu."
"Sudah kok, thanks ya."
Adisti meraih dan memasukan catatan ke dalam tas miliknya. Ia memperhatikan gerak-gerikku. "Kenapa, Sya? Ngga semangat kelihatannya."
Aku menyeruput hampir setengah isi botol minuman. Tenggorokan mendadak terasa kering. "Ngga apa-apa. Kita kemana sekarang?"
Adisti mengajakku berkeliling kampus. Mengenal setiap sudut dan ruangan. Bukan ide yang buruk, masih ada beberapa jam sebelum kuliah di mulai. Tapi ada rasa enggan karena kemungkinan pertemuan dengan Erga bisa terjadi kapan saja. Pemikiran yang bodoh, tentu saja karena kami kuliah di tempat yang sama.
Perasaan tak menentu kala memaksa langkah menyusuri koridor. Setiap mendengar suara laki-laki selalu berhasil membuat irama jantung berpacu lebih kencang dari biasanya. Aku merasa malu dengan diri sendiri, terlalu sibuk dengan sesuatu yang belum jelas.
Bola mataku berputar pada Adisti. Perempuan itu masih saja asyik bercerita tanpa mengetahui aku tidak menyimak perkataannya. Ia bahkan masih menyungging senyuman dengan bola matanya yang bulat.
"Eh itu Kang Erga." Tunjuk Adisti begitu kami berbelok ke arah koridor yang menuju perpustakaan.
Kepalaku reflek menoleh ke arah yang di tunjuknya. Benar saja, Erga tengah mengobrol bersama seorang perempuan, perempuan yang sama dengan yang kulihat tadi. Keduanya berdiri di depan jendela. Saling bertatapan dan sesekali tertawa.
Suaraku mendadak hilang ketika Adisti meneruskan langkah. Kegelisahan menggelitik seperti gigitan semut merah, rasanya gatal dan menyisakan perih. Berputar arah pun sudah terlambat.
"Permisi, Kang." Aku berusaha keras menutupi keterkejutan ketika tanpa di duga Adisti berhenti di samping Erga.
"Loh kalian sedang apa di sini?" tanya Erga bingung. Perempuan di hadapannya memperhatikan aku dan Adisti.
"Keliling kampus, Kang sambil nunggu waktu kuliah. Saya mau tanya tentang acara terakhir ospek, acaranya sabtu nanti ya, Kang?"
"Iya, nanti informasinya di tempel di papan pengumuman." Erga menatap kami berdua bergantian. Aku tersenyum, memaksa setiap otot bibir agar bereaksi seperti yang kumau.
Perempuan itu tiba-tiba maju selangkah, berdiri di hadapan kami dengan kening berkerut. Matanya menyipit dengan wajah agak menunduk. "Ini tahun kedua acara terakhir ospek diadakan di kampus. Tahun kemarin sudah memakan korban beberapa mahasiswa baru yang melihat penampakan saat acara jurit malam. Sepertinya tahun ini keadaannya akan sama."
Erga menarik lengan perempuan itu. Mendelik tajam sambil menggeleng. "Berhenti, Bie. Kamu malah nakut-nakutin mereka." Pandangan matanya kembali beralih pada kami. "Kalian jangan hiraukan kata-katanya. Setiap kelompok nanti di dampingi senior jadi tidak perlu khawatir."
Aku dan Adisti segera pamit tanpa berbasa-basi lebih lama. Tapi perkataan perempuan itu masih jelas terngiang. Bulu roma berdiri ketika pandangan menyapu setiap koridor dan ruangan yang kami lewati. Malam hari suasana pasti jauh lebih sunyi dibanding saat ini.
Kekhawatiran kami sedikit terlupakan begitu mata kuliah pertama berlangsung. Beradaptasi dengan lingkungan baru termasuk teman-teman lumayan menyita perhatian. Semua berjalan seperti seharusnya.
"Hai, Sya." Sapa Satria ketika kelasku berakhir. Ia berdiri di depan pintu, menunggu ruangan kosong.
"Hai juga. Mau kuliah?" balasku berbasa-basi.
"Iya, sebentar lagi, tuh di kelas sebelah."
Aku mangut-manggut, melirik Adisti yang sudah lebih dulu keluar. Ia pura-pura tak mengerti arti lirikanku yang meminta tolong. "Kalau begitu aku duluan ya," ucapku sambil bangkit.
"Mau pulang?"
"Iya, hari ini cuma ada satu mata kuliah."
Senyumku semakin kikuk ketika Satria mengutarakan maksudnya untuk menemani hingga tempat parkir. Ia beralasan kalau ada barang yang tertinggal di mobilnya. Aku tidak bisa menghindar karena jalan menuju gerbang dan tempat parkir satu arah.
Kami bertiga akhirnya berjalan beriringan. Aku tidak buta untuk mampu membaca ketertarikan yang Satria tunjukan. Dan, Adisti seolah memberi kami ruang dengan berjalan agak jauh.
Satria memang tampan. Penampilannya mudah menarik perhatian terutama lawan jenis. Tapi aku merasa agak terganggu mendengarnya bercerita tentang siapa dirinya. Prestasi apa saja yang pernah diraihnya. Bagaimana latar belakang keluarganya hingga negara mana saja yang pernah di singgahinya. Ia mungkin berpikir aku akan silau dengan semua itu.
"Mesra sekali kalian berdua." Aku terhenyak ketika seseorang laki-laki menepuk bahukuu dan Satria.
"Kang Wisnu bikin kaget saja." Satria berdecak kesal.
Wisnu, senior dengan perawakan paling subur diantara senior yang kukenal tertawa pelan. "Salah kalian sendiri, dari tadi di panggil tidak dengar."
"Ada ya bicara soal apa, Kang?" tanya Satria agak enggan.
"Sudah, nanti saja penjelasannya. Sekarang kalian ikut saja dulu." Kami bertiga berjalan ke arah kerumunan para senior di depan salah satu ruang kelas. Aku dan Adisti saling pandang, kebingungan melihat ekspresi tak sahabat mereka. Kami salah apalagi?
"Jangan dimarahi. Tadi anak seni sedang latihan perkusi jadi wajar saja kalau suara kita tidak kedengaran oleh mereka," ucap Wisnu membela kami tanpa mengarang alasan. Kami memang sempat melewati ruangan kelas jurusan seni musik. Pintu kelasnya sengaja dibuka hingga alunan musik perkusi yang mereka mainkan terdengar keluar.
Wangsa berdecak tanda tidak menyukai sikap salah satu rekannya. Laki-laki itu sepertinya memang paling senang melihat juniornya susah. Aku masih mengingat kejadian kemarin malam. Ia mendelik padaku saat pandangan kami bertemu lalu mengalihkan perhatian ke arah lain.
"Wis, duduk sama yang lain." Perintah Ferdi. Pembawaannya cukup tenang dibanding yang lain. "Informasi untuk acara sabtu nanti akan di tempel besok pahi. Beritahu teman kalian, jangan sampai ada yang salah bawa tugas dengan alasan tidak ada kabar sebelumnya. Dan, kamu Satria, sebelum pulang, jangan lupa datang ke himpunan dulu." Nada tegas Ferdi memaksa Satria mengangguk.
Sebagai ketua angkatan, Satria memang menjadi jembatan penghubung antara senior dan teman satu angkatan. Aku mengagumi kepiawaiannya untuk yang satu ini. Ia bisa di andalkan meski kadang sikap nasisnya terlihat berlebihan di mataku.
Aku tersentak melihat sosok Erga bangkit. Ia rupanya sejak tadi duduk bersandar di balik tiang. Keberadaannya tertutupi beberapa temannya yang berdiri didepannya. Auranya tampak lebih dingin, tak acuh dan memasang raut datar.
"Mau kemana buru-buru? Pacaran?" sahut Erga yang tiba-tiba menyusup diantara aku dan Satria.
"Pulang, Kang," balasku cepat. Tubuhku seolah membeku menyadari lengannya merangkul bahuku.
Satria tersenyum kecut. "Ada kuliah, Kang." Pandangannya beralih pada rangkulan Erga. "Tapi mau antar Marsya sampai gerbang dulu," lanjutnya pelan.
Erga menoleh padaku. Sikapnya yang tidak biasa membuatku lebih gugup. Terlebih wajah kami cukup dekat. Tambahan jadi tontonan senior yang lain semakin meresahkan. "Benar kamu mau di antar sama dia?" Senyumannya tampak wajar, kecuali caranya memandang yang tanpa sadar membuatku bergidik.
Satria agak menundukan kepala. Entah kenapa aku merasa tidak enak hati meski yang dia katakan tadi tidak sepenuhnya benar. "Eh... Satria mau mengambil barang yang ketinggalan di mobilnya. Kebetulan saya dan Adisti mau pulang. Jadi dia sekalian mengantar kami sampai gerbang."
"Jadi saya sudah boleh pergi, Kang."
Erga menggeleng. "Belum. Mereka berdua bisa jalan sendiri. Kamu ikut dengan saya ke himpunan sebentar."
"Tapi Kang.... " Kalimat protes Satria mengambang ketika menatap raut Erga. Keberaniannya laki-laki itu mengurai seolah sedang berhadapan dengan sesuatu yang menakutkan. Aku merasakan hal yang sama. Senyuman Erga tak setulus biasanya.
Adisti segera menarik tanganku setelah pamit. Sementara itu Erga membawa Satria ke arah bangunan tempat himpunan berada. Aku enggan membahas kejadian tadi. Baik Erga maupun senior lain hanya menjalankan kewajiban sebagai panitia ospek begitupun dengan Satria. Seharusnya memang tidak ada yang aneh kecuali perubahan sikap Erga. Rasanya lucu bila berasumsi laki-laki itu cemburu padaku disaat ia akrab dengan perempuan lain, terlalu akrab malah.
Seorang perempuan berjalan ke sisiku saat kami akan keluar dari gerbang dan bersiap menyeberang jalan. Ia, perempuan yang Erga panggil Bie. Aku tak kuasa untuk tidak menoleh karena penasaran hingga kami saling bertatapan.
"Jauhi Erga atau kamu akan menyesal pernah mengenalnya," ucapnya sambil lalu. Ia berjalan cepat meninggalkan kami yang masih kebingungan.
tbc
Selamat bermalam minggu readers. Malam ini hanya cerita ini yang author update ya dan agak telat dari jam yang biasanya. Bukan mencari alasan tapi memang author seharian di luar jadi cerita lain belum sempat ke edit.
Have a nice saturday ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro