Part 27 - Ketahuan?
Pertemuan di minggu siang berjalan lancar walau terjadi insiden pingsannya Putri. Kesepakatan telah terucap. Kami akan saling menghormati kehidupan masing-masing tanpa menyangkut pautkan masa lalu.
Arman benar, kekhawatiran tidak hilang begitu saja meski sudah bendera putih dikibarkan. Jarak yang membatasi aku dan Axel semakin menipis dengan resminya hubungannya bersama Putri. Terlepas dari apakah keluarga perempuan itu merestui atau tidak, setidaknya aku harus membiasakan diri menemukan sosok Axel di kampus.
Meski ia berjanji akan menghindari kemungkinan kami bertemu, takdir bisa saja mempertemukan kami lebih dari satu atau dua kali dalam seminggu. Fakultas Putri dan jurusan tempatku menimba ilmu letaknya berdekatan. Kemungkinan itu selalu ada.
Seharusnya aku tidak perlu memikirkan hal yang belum terjadi terlalu jauh. Kata maaf yang terucap melepaskan berjuta dendam berbalut trauma menjadi abu. Tapi semua butuh proses. Aku butuh beradaptasi, menerima kenyataan bahwa lelaki yang dulu menyakiti secara fisik dan verbal menjalin hubungan dengan teman satu kampus.
Hal ini bukan karena aku masih menyukainya. Ketampanan Axel memang tidak berkurang. Penampilannya justru terlihat lebih matang dibanding saat SMA. Peristiwa mengerikan itu berkelebat setiap kali melihat sorot matanya. Sekuat tenaga aku berusaha mengabaikan ingatan buruk dan sejauh ini progresnya berjalan cukup baik namun bukan berarti bayangan itu terhapus secepat kilat. Demi kebaikan bersama, rasa canggung atau enggan terpaksa kutelan sendiri.
Ferdi mengajak pulang setelah pertemuan kami selesai. Putri memilih pergi bersama Axel dan Arman. Tekadnya bulat membawa lelaki itu menemui keluarga besarnya, meminta dukungan sebelum menghadap orang tuanya. Cinta yang ia miliki telah membangkitkan keberanian.
Wisnu tidak banyak komentar. Ia terlihat kurang menyukai keputusan Putri tapi memilih diam. Kesan baik Axel dirasanya belum meyakinkan. Aku sempat mendengar pembicaraannya dan Ferdi ketika menemui keduanya setelah selesai dari toilet.
Putri berhak mengambil keputusan yang ia anggap tepat. Ia harus belajar bertanggung jawab dengan pilihannya. Posisi kami pun hanya teman. Sepengetahuanku memberi saran pada pasangan di mabuk asmara tidak mudah. Mereka lebih mementingkan perasaan hingga tidak menyadari masalah di depan mata. Aku tahu karena pernah berada di posisi Putri.
"Ada tempat yang mau kamu datangi, Sya. Mumpung masih ada waktu?" Tawaran Ferdi menggiurkan. Aku ingin berkeliling mal, masuk ke beberapa toko pakaian dan melihat apakah ada barang yang menarik. Kebetulan Ibu memberi uang lebih tadi pagi.
"Kita pulang saja. Sekarang sudah jam dua sore. Pulang ke Bandung masti makin malam kalau dari sini terlalu sore. Kang Ferdi sama Wisnu ada yang mau dibeli?" Niat itu kuurungkan. Kekhawatiran kalau perjalanan pulang akan terhambat kemacetan membuatku mengambil pilihan paling aman.
Keduanya menggeleng.
Kami melanjutkan langkah menuju basement. Aku berjalan di belakang keduanya. Tangan sibuk mengecek isi pesan dan panggilan masuk. Erga sama sekali tidak menelepon seperti perkiraan. Begitu juga orang tuaku.
"Akang lihat kamu tadi pelukan sama Axel. Kamu benar-benar sudah lega, Sya atau terpaksa karena Putri?" Wisnu melontarkan pertanyaan setelah kami berada di mobil.
Senyumanku berubah kecut. Pelukanku dan Axel jadi simbol perdamaian. Momen di mana kami bisa bertemu tanpa kebencian. Walau hati belum seratus persen yakin, aku tidak ingin dendam menyeret orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalu.
"Sedikit lega dan aku harus melakukannya. Memupuk benci hanya akan menganggu mentalku. Tolong bagian itu jangan dibilang sampai Erga tahu. Walau cuma pelukan sebagai tanda kami berdamai, Erga bisa salah paham."
Ferdi mengangguk pelan. Pandangannya tertuju pada jalanan yang tidak terlalu macet. Langit Jakarta mulai dipenuhi awan kelabu. "Tenang saja. Kami juga malas menghadapi pacarmu kalau cemburunya sudah muncul."
"Benar. Erga memang nggak bisa ditebak. Hari ini semanis putri salju, besok bisa sepahit paria mentah." Wisnu menimpali.
"Tapi Erga kelihatannya cukup dewasa. Tindakannya memang kadang nekat tapi seharusnya ia bisa memilih kapan harus cemburu atau nggak. Benar kan?"
Wisnu meraih botol minuman cola yang dibelinya saat mampir di mini market ketika mengisi bensin di rest area dalam perjalanan menuju Jakarta tadi. "Seharusnya begitu. Ia memang konyol, nekat bahkan terlalu berani tapi biasanya kalau urusan hati ia menyikapinya sebijak mungkin. Kami belum pernah melihatnya cemburu berlebihan, reaksinya masih dalam batas wajar bahkan waktu pacaran sama Bianca saja sikapnya masih santai. Baru pas sama kamu saja Erga berlagak bak pengawal dua puluh empat jam."
Aku terkekeh geli membayangkan Erga berpakaian serba hitam lengkap dengan kacamata. Ada banyak hal yang belum kuketahui tentang Erga. "Aku kira cuma mini market sama restoran fast food saja yang buka dua puluh empat jam."
Kedua lelaki yang duduk di bangku depan ikut tertawa.
"Tapi Kang, tumben Erga nggak telepon atau kirim pesan ya. Aku sudah khawatir karena tadi sempat lupa cek handphone."
Wisnu mendesah pelan sambil menggeleng. "Erga memang nggak telepon kamu, Sya. Dari kita mulai jalan ke Jakarta, Erga kirim pesan sama Akang dan Ferdi kayak minum obat, lebih malah."
"Anak itu nggak pernah begini sebelumnya. Misalnya pun khawatir, Erga biasanya bereaksi wajar. Dijelaskan inti ceritanya sudah cukup tanpa perlu mengirim pertanyaan yang sama berulang kali." Ferdi melirikku sekilas dari spion tengah. "Erga senang membuat orang-orang di sekelilingnya tertawa tapi tertutup soal perasaan sendiri. Makanya banyak yang heran dengan perubahannya saat kalian pacaran. Erga jadi lebih ekspresif. Ia memang kadang bertindak gila saat sedang senang tapi jarang sekali membiarkan orang-orang tahu suasana hatinya kalau ada masalah."
"Masa sih?"
"Ya begitulah. Akang yang kenal sejak SMA saja kadang masih heran. Ia paling nggak suka basa-basi soal pasangan. Suka ya bilang suka, nggak ya nggak. Kalau pasangannya sudah ngasih tanda bosan atau ingin putus, ia nggak akan mengulur waktu walau perasaannya masih suka. Tapi kalau udah putus ya artinya benar-benar selesai. Kemungkinan balik lagi tipis."
"Bukannya dulu sama Bianca mereka sempat putus sambung?"
"Itu ada alasan sendiri." Wisnu menyuap makanan ringan dalam pangkuannya. "Waktu ospek Bianca dan Erga masuk dalam satu kelompok. Bianca sudah mengirim tanda suka cuma Erga biasa saja. Singkat cerita pas acara jurit malam di perkemahan, Erga yang jadi ketua kelompok ribut sama Bianca, adu pendapat soal arah jalan. Kelompok mereka tersesat di hutan karena salah baca peta. Bianca nggak sengaja terdorong dan jatuh ke jurang walau nggak begitu dalam. Kakinya keseleo dan demam sampai terpaksa harus pulang lebih dulu. Erga merasa bersalah. Setelah ospek keduanya jadi dekat dan nggak lama pacaran. Hubungan mereka sering bertengkar lalu putus. Setiap mau balikan Bianca sering mengungkit kejadian itu supaya Erga mau menerima dirinya lagi."
"Tapi Erga katanya cinta banget sama Bianca tanpa harus diingatkan, ia pasti mau kembali sama Bianca."
"Awalnya sih begitu cuma makin lama Erga jengah menghadapi sifat Bianca. Kadang Bianca kalau sudah minta diantar jemput nggak lihat kondisi. Kalau ada maunya ya harus detik itu juga. Ia mungkin merasa bisa mengendalikan hubungan mereka hingga nggak sadar bersikap seenaknya."
Kesan manja dan kekanakan yang Bianca perlihatkan dulu tidak kulihat. Perempuan itu mungkin sudah banyak berubah.
"Terus mereka serius putus?"
"Puncaknya pas Egia meninggal. Selain rasa bersalah karena kurang perhatian sama adiknya, Erga juga capek mengikuti ritme keinginan Bianca. Kesabarannya mencapai batas yang bisa ditoleransi. Sejak itu Erga jadi lebih suka perempuan dewasa. Bukan hanya fisik tetapi lebih ke pemikiran. Semua teman di kampus tahu itu. Jadi waktu kalian baru dekat, mereka pikir itu cuma bercanda."
Bila aku ingat kembali masa kami baru dekat atau mulai pacaran, orang-orang yang mengenal Erga tidak terlalu memperhatikan. Mereka mungkin mengira kedekatan kami sebatas senior dan junior. Apalagi Erga dikenal supel di kalangan kaum hawa. Dugaan aku mempunyai nilai lebih di hatinya tentu terdengar aneh mengingat mereka tahu bahwa tipe perempuan yang disukai lelaki itu bukan mahasiwi baru sepertiku.
Dan sebenarnya dugaan itu tidak sepenuhnya salah. Kedekatan kami dimulai oleh niatan buruk. Perasaan Erga tidak seratus persen tulus. Kebencian menguasai setengah dari logikanya. Cinta baru disadari seiring jalannya waktu.
"Wajar saja kalau orang-orang nggak percaya. Niat Erga mendekatiku kan awalnya memang ingin balas dendam."
Kedua lelaki di bangku depan terdiam. Mereka saling melempar pandangan. Saling mendelik, seolah menyalahkan satu sama lain.
Aku sendiri tidak terpengaruh oleh topik yang kami bahas. Dengan menerima Erga kembali itu artinya harus berdamai dengan masa lalu. Tidak ada seorangpun ingin terjebak dalam kebohongan terutama menyangkut soal hati. Kesalahan melingkari hubungan kami bagai buah simalakama. Dan ketika kenyaaan terkuak, kepercayaan pun sirna.
Aku mencoba realitis, mengenyampingkan perasaan pada kegiatan lain. Tapi bukannya berjalan di arah yang benar, langkahku justru terseok-seok menuju kegelapan.
Erga telah mengakui kesalahannya. Ia menyadari tindakannya menyakitiku. Segala cara dilakukannya demi mendapatkan kesempatan kedua. Walau ragu belum sepenuhnya terhapus, aku ingin memperbaiki hubungan kami.
"Tenang saja, Kang. Aku nggak tersinggung kok."
Wisnu menghela napas lega. Kepalanya menoleh ke belakang. "Syukur kalau begitu. Jangan bilang Erga kalau kita tadi bahas masalah kalian dulu ya. Akang takut dipelet sama si borokokok."
"Dipelet? Diguna-guna maksud lo?" sela Ferdi.
"Nah itu dia maksud gue. Beda-beda tipis artinya. Kayak gue sama Lee Min Ho lah. Sama-sama manusia cuma beda cetakan doang." Wisnu nyengir.
"Ngapain Erga melet lo?"
"Ya elah pakai dibahas lagi. Otak gue terlalu banyak dipakai mikir makanya sering kepeleset lidah. Lo sengaja bikin reputasi gue turun ya di depan Marsya. Dasar tali jemuran bh."
"Eh bantal apek bau ompol om-om, apanya yang capek mikir? Otak lo isinya cuma menu makanan. Si Erga udah nggak waras kalau sampe punya niat melet lo. Makanya kalau mau ngomong tuh dipikir dulu."
Keduanya saling melempar ledekan sepanjang perjalanan. Kemacetan yang mengantar kami keluar Jakarta tidak terlalu terasa. Interaksi Wisnu dan Ferdi memberi hiburan tersendiri. Perasaan sedikit lega. Permasalahan dengan Axel menemukan titik temu.
*****
Adisti kuberitahu saat kami bertemu di kampus. Ia ikut senang masalahku selesai meski kurang menyukai kabar Putri dan Axel telah menjadi pasangan kekasih. Sepengetahuannya keduanya masih tahap pendekatan. Ia tidak terlalu peduli Putri akan pacaran dengan lelaki manapun tapi ketika Axel yang terpilih, ia merasa aku perlu menjaga jarak.
Hubunganku dan Axel tidak seperti remaja lain yang dilabeli cinta pertama. Kenangan manis kami hanya menempati sepuluh persen dari keseluruhan ingatan. Selebihnya hanya cubitan hingga perkataan kasar yang tidak pantas diucapkan.
"Kenapa Axel nggak menjauh saja. Putri juga terlalu egois. Ia masih saja nekat walau tahu kamu pernah mengalami kekerasan waktu masih pacaran. Cinta memang buta tapi harusnya logika tetap jalan." Adisti mengaduk-aduk teh manisnya yang mulai dingin. Tangannya menopang dagu, memperhatikan lalu lalang mahasiswa di luar kantin.
"Cinta koneksinya sama perasaan sementara logika erat kaitannya sama otak. Jelas nggak mudah disatukan apalagi kita belum bisa di katogerikan dewasa. Cara berpikir dan lingkungan juga mempengaruhi." Kedua tanganku melipat di meja. Kami menghabiskan waktu di kantin setelah mendapat info bahwa kuliah pagi dibatalkan karena dosen berhalangan hadir.
"Jadi kamu terima begitu saja keputusan mereka? Aku tahu Axel janji nggak akan sering menampakan diri tapi Putri dan kamu satu kampus. Erga juga kenal bahkan menganggap Putri adeknya. Mau menghindar sampai lubang tikus pun kalau sudah takdir ya pasti ketemu."
"Aku ngerti. Ini bukan soal mau nerima atau nggak. Axel adalah orang lain sekarang. Hidupnya bukan lagi urusanku. Begitu juga dengan Putri. Dan aku capek sembunyi terus. Menghadapi kenyataan merupakan pilihan terbaik, seenggaknya aku bakal terbiasa dengan hubungan mereka."
"Terus reaksi Erga gimana?"
"Kami cuma bicara sebentar di telepon. Ia bilang ingin dengar ceritanya hari ini. Wisnu atau Ferdi mungkin sudah cerita semuanya. Anggap saja masalahnya sudah selesai."
Adisti menyikut lenganku. Dagunya terangkat ke arah lelaki yang baru keluar dari tempat parkir motor.
Erga berjalan sambil menenteng ransel. Hari ini ia memakai kaus hitam, jaket flanel bergaris hitam merah dan jeans biru tua. Rambutnya agak berantakan. Sesekali ia tersenyum saat tangannya melambai ke arah teman-temannya di sepanjang jalan menuju bangunan utama.
Ia beranjak menaiki tangga menuju lobi bangunan utama. Wisnu duduk bersama teman-temannya tidak jauh dari lobi. Aku masih bisa melihat mereka. Jarak kantin dan bangunan utama tidak terlalu jauh.
Lelaki itu dengan mudah berbaur bersama teman-temannya. Awalnya ia duduk di samping Wisnu namun tidak lama bangkit, memberikan tempatnya pada seorang teman perempuannya yang baru bergabung.
Erga berdiri membelakangi kami. Ia tampaknya tidak menyadari kehadiranku. Lelaki itu asyik mengobrol.
Wisnu bangkit dari kursi. Ia mendekati Erga lalu menepuk bahunya. Keduanya bicara beberapa saat hingga kepala Erga tiba-tiba menoleh ke arah kantin.
"Sumringah banget."
Adisti bukan sedang bercanda. Senyum Erga sangat lebar. Dari gerakan bibir, ia seperti pamit pada teman-temannya. Tidak lama tubuhnya berbalik, keluar dari lobi dan berjalan cepat menuju kantin.
"Kalian nggak kuliah?" sapa Erga begitu langkahnya hanya menyisakan beberapa jarak.
"Dosennya sakit."
Kursi di sampingku diseretnya sebelum menghempaskan tubuhnya. Ia meletakan ransel di meja. Perlahan kursinya sengaja ia dekatkan denganku hingga menempel.
"Pantas. Biasanya jam segini kalian masih di kelas. Sudah pada makan?" tanyanya lagi.
"Saya sih sudah nggak tahu kalau yang di sebelah. Lagi kangen katanya jadi malas makan." Adisti mencibir padaku.
"Nggak, bohong."
Erga mengulum senyum. Lengannya bersandar di belakang kursiku. "Jadi kamu nggak kangen?"
"Apa sih." Kucubit lengannya yang berada di meja.
Kepala menggeleng. Senyumnya masam. Ia mendorong kursinya lalu bangkit. "Aku ke perpustakaan dulu, Sya."
"Kenapa?"
"Biar kamu nggak canggung kalau mau mesra-mesraan," balasnya sambil terkekeh. "Hati-hati, Kang. Masya kalau lagi kangen suka nyebelin."
"Dasar."
Erga kembali menatapku. Sorot teduh matanya berhasil membuat perutku diserang rasa geli. "Mau makan nggak? Aku nggak sempat sarapan tadi."
"Kamu mau makan apa?"
Kepalanya berpaling menuju deretan kios di sekeliling kantin. "Mm nasi goreng kayaknya. Kamu?"
"Nggak usah. Aku nanti minta sedikit aja nasi goreng kamu."
"Aku pesan dua saja kalau gitu."
Aku menggeleng. "Kamu pesan buat sendiri aja. Nanti aku minta, biar romantis sepiring berdua. Boleh?" Sengaja kubuat suara semanis mungkin.
Tangan Erga terangkat dari meja. Ia mengusap dadanya seolah menahan sakit. Matanya terpejam beberapa detik lalu terbuka. "Dada aku kok sesak ya lihat kamu."
"Sejak kapan lo punya penyakit asma, Ga?" Suara lelaki menyela obrolan kami. Wisnu berdiri di belakangku. Raut polosnya memandangi kami tanpa dosa.
Erga berdecak sebal. "Pestanya bubar saudara-saudara."
Wisnu duduk di kursi tempat Adisti tadi. Keningnya berkerut bingung saat menaruh tas di meja. "Pesta apa? Kok kalian nggak bilang-bilang."
"Bilang-bilang dari Hongkong. Lo tuh paling bisa bikin momen gue jadi momen kampret. Bukannya lo tadi bilang mau ke ruang himpunan."
"Nggak jadi. Lihat lo berdua di kantin, gue jadi ikut lapar. Tadi lo bilang mau traktir. Ongkos jasa jadi bodyguard Marsya waktu ke Jakarta."
"Makanan terus yang lo pikirin." Erga bangkit. "Ikut gue. Pilih makanan lo sendiri."
Wisnu tersenyum senang. Lipatan lemak di dagunya ikut bergocang. Tubuh besarnya ikut berdiri. "Nah gitu dong. Itu baru namanya peka."
Kepala Erga menunduk. Jemarinya menyentuh kepalaku. "Kamu yakin nggak mau makan?"
"Jus alpukat saja deh." Ia mengusap rambutku sebelum beranjak bersama Wisnu.
Keduanya mengelilingi kios demi kios sebelum berhenti di penjual nasi goreng. Erga bicara sebentar dengan Wisnu sebelum pergi ke kios lain yang lebih kecil. Jaraknya terpisah dua kios dengan tempat membeli nasi goreng.
Keadaannya cukup ramai, selain menjual jus, kios itu menyediakan minuman dingin. Erga mengantre di belakang tiga orang perempuan. Orang paling belakang hampir terjatuh karena tidak sengaja terdorong oleh temannya. Erga reflek menahan perempuan itu dengan dadanya.
Reaksi Erga sebenarnya biasa saja. Semua orang bisa berada di posisinya. Hanya kadang ada rasa sebal bila kebaikan lelaki itu ditanggapi berbeda oleh orang yang ia tolong. Ini terjadi bukan sekali atau dua kali. Cuma bermodal mulut manis, banyak yang terjerat salah paham.
"Tadi kenalan kamu? Anak mana?" Erga menaruh jus pesananku dan minuman soda di meja.
"Yang mana?" Ia kembali duduk di sampingku. Keningnya berkerut.
"Yang tadi ngobrol di kios jus."
Erga mengusap lembut rambutku. "Baru kenalan. Anak industri, satu tingkat di bawahku. Tenang saja. Aku bilang sudah punya pacar biar nggak dikira lagi tebar pesona. Kamu cemburu ya?" ledeknya.
"Biasa saja, cuma tanya memangnya nggak boleh." Kuminum jus pelan-pelan.
Wajah Erga mendekat. Ia menopang dagunya. Senyumnya menyungging, memperlihatkan deretan giginya yang rapih. "Tanya-tanya boleh. Cemburu lebih boleh. Cemburu dong, please." Nada bicaranya merendah dan berat ketika mengucapkan kalimat terakhir.
Mataku mendelik. Sekuat tenaga tidak terpengaruh raut wajahnya yang berusaha menggoda. Ia pura-pura mengaduh pelan ketika hidung mancungnya kucubit.
Pipinya disodorkan padaku. "Ini belum atau yang ini." Ia mengusap bibir bawahnya.
"Astaga, Erga." Wisnu yang ternyata sudah berada di belakang kami menggeleng sambil berdecak. Suara kursi berderak ketika ia duduk. " Butuh jasa vidio, Kisanak? Siapa tahu mau buat kenang-kenangan supaya anak cucu bisa lihat modal dusta kakeknya." Cengirannya berbalas pelototan sahabatnya.
"Ih lucu juga idenya, Kang," timpalku.
Pembicaraan kami terpotong saat pesanan datang. Tangan kiri Erga beralih ke belakang kursiku lagi. Ia menyeret piring berisi nasi goreng di antara kami sementara Wisnu sudah lahap menyantap makanannya.
"Oh ya, nenek kamu gimana keadaannya?"
"Sudah lebih baik, malah nggak kelihatan kayak orang sakit waktu keluarga besar kumpul semua. Kasihan juga sih, mungkin kangen sama anak-anaknya. Tapi hampir semua tinggal di luar kota. Nenek sendiri suka nggak betah tiap diajak tinggal di rumah anak-anaknya."
"Namanya juga sudah tua. Pasti senang lihat keluarganya datang. Terus apa lagi?"
"Gitu aja. Makan-makan, jalan-jalan. Senang sih udah lama nggak ketemu saudara lain. Biasanya kami baru kumpul pas lebaran atau libur panjang. Hari libur biasa agak susah karena kesibukan masing-masing."
"Ada foto-fotonya nggak? Aku mau lihat."
Erga menaruh sendok di piring. Ia membuka resleting tas miliknya lalu mengeluarkan ponsel.
"Paswordnya apa?" tanyaku.
"Tanggal lahir kamu."
"Serius?"
"Coba saja."
Ternyata benar. Layar utama terbuka setelah memasukan tanggal lahirku sebagai pasword.
Perasaanku berbunga-bunga. Erga mengingatku dengan caranya sendiri. Ia mungkin menganggap tindakannya sepele, bukan sesuatu yang harus diapresiasi tapi bagiku terasa lebih manis dari cokelat.
Wisnu tiba-tiba berhenti menyuap. Ia mulai berhitung saat mengangkat jemari. Mulutnya bergumam pelan menyebut nama-nama perempuan.
"Ah pas sepuluh. Berarti lo udah ganti pasword sepuluh kali dong, Ga. Pantas gue susah masuk tiap pinjam handphone lo, diganti-ganti terus ternyata pasword-nya."
Aku terkikik menahan geli. Wisnu selalu berhasil merusak momen romantis yang susah payah sahabatnya bangun.
"Wis, kebetulan gue pakai sepatu boots. Lo mau ngerasain gue lempar pakai sepatu, sekali aja?" Wisnu bersiul-siul, melanjutkan suapannya dan sibuk memperhatikan orang-orang di luar kantin.
Pandangan Erga beralih padaku yang secepat kilat pura-pura sibuk melihat koleksi fotonya.
Sebagian besar galeri foto dipenuhi gambar pemandangan. Beberapa folder diberi nama termasuk kumpulan foto dengan namaku sebagai penandanya. Tapi aku lebih tertarik foto-foto Erga, baik ketika ia sedang sendiri atau bersama keluarga maupun orang lain. Lelaki itu jarang tampak diam atau senyum biasa di setiap foto. Ada saja ekspresi anehnya yang bisa buat ilfil.
"Kamu sendiri gimana, pertemuan sama Axel lancar?" Erga meneruskan suapannya walau sudut mataku diam-diam memperhatikannya yang tidak mengalihkan tatapan dariku.
"Aku kan sudah cerita. Intinya masalahku dan Axel selesai. Aku sepakat berdamai."
"Tapi aku ingin tahu detailnya," tuntut Erga. Raut wajahnya berubah serius.
"Ngga ada yang istimewa. Aku dijemput Kang Wisnu sama Ferdi pergi ke Jakarta. Putri udah nunggu di tempat janjian lebih dulu. Terus nggak lama Axel sama Arman datang. Kita ngobrol, bahas inti masalah dan menyelesaikan semua kemarahan tanpa emosi. Case closed."
"Arman teman sekolah kamu itu."
"Iya. Teman dekat Axel. Aku juga kenal. Kami dulu satu SMA dan sering main bareng."
"Oh gitu." Ia manggut-manggut. "Jadi sekalian reuni dong."
Aura gelap sontak berpedar walau senyum Erga masih mengembang. Sudut bibirnya sedikit naik, kebiasaan ketika mulai naik darah.
"Marsya cuma ketemuan biasa, Ga. Lagian kita ketemunya di tempat umum. Selesai urusan terus langsung pulang. Gue kan udah kasih tahu lo semuanya." Wisnu berusaha membela jawabanku.
"Tapi kok kayaknya ada aroma-aroma konspirasi ya. Sepertinya ada indikasi kebohongan yang sengaja ditutup-tutupi."
"Biasa aja ngomongnya, Ga." Wisnu kembali menutup mulut. Ngeri melihat delikan tajam Erga.
Selang beberapa menit Ferdi muncul dari arah taman. Ia mendekati kami tanpa tahu ada bahaya. "Wah lagi pada makan nih. Jadi lapar."
"Fer, lo bilang nggak satu meja waktu Marsya bicara sama Axel. Marsya bilang Axel datang sama temannya. Terus lo cuma dengar dari cerita dia saja kalau masalahnya udah selesai atau dengar sendiri?"
"Gue lihat sendiri, Ga. Axel memang nggak bilang langsung tapi kan dia mungkin udah resmi pacaran sama Putri. Lagian gue sama Wisnu sempat lihat... "Ferdi mendadak diam. Bulu romaku berdiri. Ferdi dan Wisnu melihat adegan pelukanku dengan Axel. "Kalau mereka nggak lagi lihat masa lalu." Ferdi terdengar agak gugup.
"Lihat kalau mereka nggak lihat masa lalu itu kayak gimana? Mereka salaman maksudnya?"
"Semacam tanda perdamaian, Ga. Marsya nggak macam-macam. Gue sama Wisnu saksinya."
Erga menarik kursi di sebelahnya. "Lo duduk dulu. Mau makan apa? Nanti gue yang bayar. Jadwal kuliah juga masih lama, nggak perlu buru-buru. Santai saja. Kalau sudah kenyang, jangan lupa tolong ceritakan semuanya yang lo lihat ya, Bro. S.E.M.U.A.N.Y.A."
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro