Part#2 Hujan
Langit sudah gelap setibanya di rumah. Selain diantarkan pulang, kami sempat berhenti di beberapa toko buku dan mini market untuk membeli peralatan yang harus di bawa besok. Tawaran Adisti sedikit banyak meringankan bebanku karena tubuh juga pikiran ingin segera berada di balik selimut. Aku tidak perlu susah payah membujuk Kak Aji atau merengek pada Ayah untuk diantar membeli keperluan ospek.
"Terima kasih, Om, Adisti. Maaf jadi merepotkan," ucapku sesaat setelah turun dari mobil.
Adisti mencebik lalu tersenyum. "Biasa aja, Sya. Namanya juga teman, cuma antar ke rumah sih bukan hal besar tapi kalau tiap hari kena bayaran. Iya nggak Yah?" Candanya.Bola mata wanita berambut pendek itu berputar ke bangku kemudi. Om Tanu mengangguk pelan sambil terkekeh.
Mobil yang di tumpangi sahabatku menghilang di tikungan jalan. Dia sempat mengingatkanku agar besok tidak terlambat. Para senior tidak akan berbaik hati lagi menoleransi kesalahan kami, terutama soal tepat waktu.
Suasana rumah tampak ramai ketika kaki mulai memasuki rumah. Keberadaan Amie yang sering bertingkah lucu menjadi hiburan tersendiri untuk keluargaku. Sayangnya dia paling sering berulah denganku, ada saja tingkah lakunya yang membuatku jengkel. Kemarin malam Amie hampir menjadikan laporan tugas ospek menjadi sarana corat-coretnya.
Emosi sering muncul karena lelah hingga tanpa sengaja membentaknya. Semua keluarga tanpa kecuali menyalahkanku yang di anggap tidak dewasa. Kak Aji bahkan sempat memarahiku sambil menunjuk ke wajah. Andai tidak dilerai, kami mungkin sudah saling adu pukul. Aku sebenarnya sayang pada keponakan pertama di keluarga kami tapi dia selalu saja menganggu.
"Dek, kalau pulang itu salam dulu. Ganti pakaianmu terus makan." Tegur Ibu. Keluargaku terbiasa memanggilku dengan panggilan Adek, tidak peduli sekeras apapun usaha untuk meminta mereka hanya memanggil nama depanku.
"Marsya sudah bilang salam daritadi.Bu tapi nggak ada yang jawab. Makannya nanti saja deh, Marsya mau istirahat dulu. Capek," gerutuku bergegas masuk ke kamar paling belakang.
Rumah yang kami tinggali tidak terlalu besar dengan tiga kamar, dua kamar mandi dan satu kamar pembantu di dekat dapur. Kehadiran Kak Haikal dan keluarganya memaksaku mengalah dan menempati ruangan kecil yang awalnya untuk gudang. Ayah sengaja memasang AC agar diriku tidak protes karena ventilasi hanya jendela kecil di atas pintu.
Aku menghempaskan tubuh di ranjang setelah mengganti pakaian. Alarm di set untuk membangunkanku dua jam kedepan. Ketukan dan suara Ibu memanggil sengaja kuabaikan.
Dua jam berlalu, bunyi alarm memaksa mata kembali terjaga. Sekalipun tubuh masih terasa lelah, aku harus bangun dan bersiap mengerjakan tugas untuk ospek besok. Kebetulan tugas yang diminta bukan hal-hal aneh tapi tetap saja butuh waktu lama mengerjakannya.
Belum sempat mengerjakan, perut mulai bernyanyi, protes karena sejak pulang belum terisi. Setelah sepenuhnya terjaga, aku bergegas keluar dari kamar. Suara televisi masih terdengar dari ruang tengah. Tubuhku mengendap-endap menuju dapur, berusaha tidak menimbulkan suara.
Aku menghela nafas panjang melihat tidak ada satupun makanan di meja makan. Isi kulkas juga mulai menipis, hanya tersisa sayuran dan sisa susu punya Amie. Lemari tempat Ibu biasa menyimpan makanan juga kosong, sekedar mie instan juga tidak ada.
"Kamu lapar, Dek?" Tepukan lembut terasa dibahu.
"Iya, Yah." Aku tersenyum malu dipergoki oleh Ayah.
Ayah melirik jam tangannya. "Kita cari makan di luar ya, mumpung masih belum terlalu malam."
"Bukannya Ayah tadi sudah makan?"
"Ya tapi apa daya, perut masih minta diisi."
Kami akhirnya menyelinap pergi tanpa memberitau yang lain. Ibu selalu protes kalau aku dan Ayah ketahuan pergi makan di luar, boros katanya. Selain itu Kak Aji selalu memaksa ingin ikut. Kakak keduaku mempunyai banyak alasan dan yang paling sering terdengar apalagi kalau bukan untuk menjaga kami.
"Ayah sama Adek mau kemana?" Terguran Kak Aji mengejutkan kami. Dia rupanya tengah merokok di teras. Ibu memang melarang keras siapapun merokok di dalam rumah.
"Mau pergi makan sama Ayah."
"Aku ikut dong, Yah. Masa cuma Adek aja yang di ajak," gerutu Kak Aji.
"Duh Kak Aji diam di rumah aja kenapa sih. Biasanya jam segini udah masuk kamar."
Ayah menggelengkan kepala melihat perdebatan kedua buah hatinya. Sejak kecil aku dan Kak Aji memang tidak akur. Ada saja hal yang diributkan meskipun masalahnya sepele. Usia kami hanya berbeda dua tahun. Menurut Kak Haikal, kelahiranku tidak direncanakan alias kebobolan. Kak Aji yang tadinya terbiasa mendapat perhatian harus berbagi begitu statusnya bukan lagi anak bungsu. Terlebih yang lahir anak perempuan yang sudah lama di nantikan orang tuaku.
"Berhenti bertengkar. Suara kalian akan membangunkan seisi rumah. Nanti repot kalau Amie mau ikut. Aji kamu yang bawa mobil." Ayah menyodorkan kunci mobil pada putra keduanya.
"Siap, Yah." Kak Aji tersenyum puas. Aku merengut tanpa bisa protes. Dibalik sikap lembut Ayah, ketegasannya tidak bisa dibantah.
Kami berkendara dijalanan yang masih tampak ramai. Aku lebih suka berseluncur di dunia maya daripada mendengar obrolan Ayah dan Kak Aji. Sebuah restoran seafood jadi pilihan kami setelah berputar-putar tanpa tujuan.
Suasana restoran dipenuhi pengunjung hingga menyisakan satu meja. Udaranya cukup panas bercampur aroma menggoda masakan. Segelas es jeruk menyegarkan tenggorokan sambil menunggu pesanan yang belum datang.
"Bagaimana tadi ospeknya?" Ayah mengusap wajahnya yang berkeringat dengan sapu tangan.
"Tadi Marsya hampir terlambat, untung ada senior yang baik menawari tumpangan."
"Kamu seharusnya menolak, pakai alasan apa kek. Bagaimana kalau dia ternyata punya niat jahat."
"Kak Aji pikirannya negatif terus sama orang lain. Nggak usah nasehatin deh, Kakak sendiri juga nggak mau nolongin adiknya."
"Kalian ini tidak di rumah, di Mall sampai restoran juga masih saja ribut. Dek, Kakak mu ada benarnya. Lain kali lebih hati-hati, jangan mudah percaya sama orang yang baru dikenal apalagi laki-laki. Dan kamu Aji, mulai besok antar adikmu ospek. Katanya khawatir tapi giliran di mintai tolong ada saja alasannya."
Aku mencibir, senang melihat reaksi Kak Aji yang tidak puas. "Benar tuh, Yah. Coba kalau yang minta antar jemput pacar atau cewek yang disukainya, pasti langsung bilang on the way."
Pembicaraan kami terhenti ketika pesanan datang. Lapar membuatku melupakan kekesalan pada Kak Aji. Aku bahkan tidak peduli saat dia protes karena masakan yang dipesannya kucomot tanpa izin.
Selesai makan dan membayar, kami bergegas pulang tapi sebelumnya mampir di mini market dekat rumah. Rupanya Ibu mengetahui kepergian kami dan meminta dibelikan beberapa barang. Kesempatan ini tidak kusia-siakan dan membeli snack tanpa menggunakan uang saku. Kak Aji hanya membeli satu kaleng cola, dia paling malas mendengar nasehat Ayah kalau berniat membeli rokok.
Ibu menyambut kedatangan kami tanpa senyuman. Aku dan Kak Aji bergegas menuju kamar masing-masing sebelum Ibu mulai mengomel. "Kak, jangan lupa besok antar Marsya. Bisa gawat kalau sampai telat," ucapku sebelum berjalan menuju kamar.
"Iya, bawel," balasnya sebelum menutup pintu.
Konsentrasi kembali tertuju pada tugas untuk besok. Menjelang tengah malam semua persiapan sudah selesai. Aku segera naik ke ranjang untuk menjemput mimpi.
Keesokan paginya, suasana rumah diwarnai drama seperti biasa. Aku lupa menyetel ulang alarm hingga hampir saja telat kalau Ibu tidak membangunkan. Kak Aji yang dipaksa mengantarku ikut mengomel. Dia meledekku yang disuapi Ibu karena sibuk memakai sepatu.
"Sudah mahasiswa tapi masih disuapi," ledeknya sambil terus makan.
"Aji berhenti mencandai adikmu dan selesaikan sarapan. Marsya nanti telat." Perintah Ibu. Selang lima belas menit, aku mengajak Kak Aji pergi.
Langit masih gelap ketika Kak Aji melewati jalanan yang masih sepi. Tubuhku mengigil merasakan dinginnya angin. Ingin rasanya masih berada dibelik hangatnya selimut dan bebas bangun siang. Apa daya kenyataan menghempaskan semua impian semu.
"Kak, nanti jemput aku ya?"
"Ngga bisa, Dek. Hari ini Kakak mau mengerjakan tugas di tempat kos teman, mungkin nggak akan pulang."
"Ayolah Kak. Daerah ini selalu macet kalau sudah sore. Angkot suka penuh dan rebutan sama anak SMA juga yang pulang kantor."
"Loh kamu kemarin pulangnya nggak terlalu malam kan."
"Iya, kemarin kebetulan di antar teman pulang. Nggak enak kalau numpang terus sama dia. Uang saku minggu depan setengahnya buat Kakak deh, please," bujukku.
Kak Aji terdiam sebentar, dia paling sulit menolak permintaan dengan iming-iming uang. Aku tau dia sedang pendekatan dengan salah satu teman kampusnya. Untuk itu tentu saja butuh pemasukan demi lancarnya usahanya.
"Nanti Kakak kabari lagi tapi kamu jangan bilang sama Ibu ya."
"Ok." Perasaan masih ragu kalau Kak Aji akan datang menjemput. Dia terkadang tidak bisa ditebak, sering berubah didetik terakhir.
Konsentrasi fokus pada acara ospek. Hari ini semua peserta lebih berhati-hati dalam bersikap. Mengikuti sederet acara sudah cukup melelahkan tanpa perlu ditambah teriakan atau omelan yang membuat tegang. Kami juga dikenalkan pada budaya setempat, mengingat kampus yang kupilih kental dengan unsur sunda.
Semua berjalan biasa saja tapi tetap saja aku berharap bisa segera menyeleseikan masa ospek. Salah satu yang masih memberiku semangat adalah keberadaan Erga. Bukan karena suka tapi lebih pada kagum. Dia memiliki daya tarik tersendiri, tidak membosankan untuk dilihat meskipun secara fisik masih banyak senior yang lebih tampan.
"Sya, susah selesai?" Adisti melirik kertas di tanganku. Selesai istirahat kami di minta mengisi pooling pemilihan senior.
"Belum semua, Ti. Kamu sudah?"
Dia mengangguk. "Nggak hafal nama semua panitia sih, ya yang kira-kira diingat aja. Eh kamu milih Kang Erga jadi senior teramah juga. Kayaknya yang lain pilihannya sama deh."
"Terlepas dari rumor buruk yang beredar, dia memang baik kok. Soal kehidupan pribadi sih aku nggak mau ikut campur."
"Kamu sama sekali nggak tertarik sama dia? Sudah punya pacar ya."
"Pacar ada tapi sayang belum jodoh," balasku sambil tertawa.
Sebelum pindah, aku pernah menjalin hubungan saat SMA. Layaknya remaja yang tengah jatuh cinta, semua terasa indah. Larangan bahkan nasehat orang tua sering dianggap angin lalu.
Hubungan kami pun di warnai bukan hanya bahagia. Perbedaan karakter hingga godaan untuk berpaling datang menguji. Aku harus menerima dan belajar menghadapi patah hati saat harapan tidak menjadi kenyataan. Kami bersitegang, saling menyalahkan karena munculnya orang ketiga.
Merasa dikhianati aku memilih menyudahi hubungan yang terjalin sejak masih kelas sepuluh. Di tambah Ibu memintanya agar kami berpisah karena selain nilai mata pelajaran turun drastis, pacarku saat itu dinilai cukup temperamen dan kasar. Kami berpisah dengan tidak baik-baik, sumpah serapah yang dia ucapkan pun masih menempel dikepala hingga sekarang.
Sore hari selesai ospek, kami diperbolehkan pulang. Tawaran Adisti untuk ikut bersamanya kutokak halus. Saat menyalakan ponsel, ada pesan masuk dari Kak Aji kalau dia akan menjemput.
Beberapa kali kulirik jam tangan dengan tidak sabar. Sudah setengah jam lebih Kak Aji belum datang dari jam yang ditentukan. Kupandangi angkot yang lewat, hampir semua terisi penuh. Untuk dapat angkot yang kosong harus berjalan menuju terminal, tidak jauh dari kampus.
Gelegar petir terdengar bersahutan di langit yang mulai gelap. Aku tidak lagi bisa menahan kesabaran dan menelepon Kak Aji, berharap kali ini panggilanku di angkat. "Hallo, Kak Aji dimana? Kok belum datang, kaki Marsya sudah pegal daritadi berdiri terus."
"Maaf Dek, Kakak ada perlu penting jadi nggak bisa jemput kamu."
"Perlu penting apa?" tanyaku kesal. Lamat-lamat terdengar suara panggilan masuk ke theater. "Kak Aji lagi di bioskop ya?"
"Nggak, kamu salah dengar. Kakak lagi di kampus," suaranya berubah kikuk.
"Percuma saja bohong. Kak Aji nyebelin!"
Benar saja, dalam hitungan menit hujan mulai turun. Aku terpaksa mencari tempat berteduh di depan mini market. Ingin menangis tapi malu. Andai tau akan begini, aku terima saka tawaran Adisti tadi.
Tubuhku mulai mengigil, tetesan air membasahi bagian tangan. Aku tidak mungkin meminta Ayah menjemput karena belum tentu sampai dalam waktu sejam. Untuk naik taksi harus dicoret dari daftar pilihan mengingat uang didompet tinggal selembar duapuluh ribuan. Kalaupun memaksa menggunakan taksi, menemukan yang masih kosong juga tidak mudah.
"Nunggu dijemput?" Suara berat seorang laki-laki mengejutkanku.
Erga berdiri disamping dengan membawa plastik dari mini market. Melamun membuatku tidak sadar kalau dia ternyata berada di tempat yang sama.
"I... iya, Kang," balasku berbohong.
"Oh. Ini minum dulu, lumayan biar badannya nggak kedinginan."
Dengan ragu bercampur malu, aku meraih secangkir coffe hangat pemberiannya. "Terima kasih Kang." Dia hanya tersenyum lalu pamit.
Sepeninggal Erga, aku kembali melamun sambil menyeruput coffe. Harapan agar hujan berhenti tidak terjadi justru malah semakin lebat. Hampir satu jam berlalu belum ada tanda akan mereda. Ayah tidak bisa menjemput saat kuhubungi karena mengantar Amie ke dokter. Dia demam dan muntah sejak pulang sekolah.
Lapar dan perih diperut terpaksa kutahan mengingat uang yang tersisa hanya cukup untuk naik kendaraan umum. Hangatnya coffe pemberian Erga sedikit ampuh menghangatkan tenggorokan meski tidak bisa mengusir lapar. Aku menelan ludah melihat beberapa orang yang tengah makan roti.
Erga kembali datang tanpa diduga. Dia setengah berlari menghampiriku. "Kamu masih disini? Yang menjemputmu belum datang juga."
Kepalaku menggeleng pelan. "Be... belum, Kang." Suaraku serak dan bergetar. Kekesalan yang tertahan pada keadaan membuatku mulai berkaca-kaca.
"Kamu tunggu sebentar ya." Dia pergi masuk kedalam mini market. Tidak berapa lama Erga menghampiriku yang masih menunggunya.
"Tadi ada yang ketinggalan di kampus terus nggak sengaja liat kamu. Pakai ini dulu."
Aku menatap sebuah plastik berisi jas hujan berwarna biru. "Ini untuk apa Kang?"
"Buat kamu biar nggak kehujanan. Maaf ya, cuma ini yang tersisa dan bahannya tipis tapi setidaknya bajumu tidak basah. Akang antar kamu pulang, kebetulan jalannya searah."
Aku terdiam, masih bingung dengan yang terjadi. "Memangnya Kang Erga tau alamat rumah saya?"
Dia terkekeh, memamerkan giginya yang rapih. "Pernah lihat didata peserta ospek." Suara perut yang minta diisi sontak membuat kepalaku menunduk malu.
"Kamu kenapa, ada yang sakit? Gantinya mengantar kamu, temani Akang makan ya. Nggak jauh dari sini ada kios bakso." Tawar Erga. Aku yakin perutku berbunyi cukup keras tapi dari sikap Erga menunjukan seolah dia tidak mendengarnya.
Aku mengangguk pelan, terpaksa membuang gengsi demi daripada menahan lapar. "Iya, Kang."
Kami pergi tanpa membuang waktu menuju kios bakso yang dimaksud. Keramahan Erga sedikit melegakan tapi tidak berlebihan atau terkesan dibuat-buat. Aku tetap menjaga sikap karena bagaimanapun posisiku masih sebagai peserta ospek.
"Kang Erga nggak pakai jas hujan?" Kusadari dia hanya memakai jaket untuk melindungi tubuhnya. Celana jeans dan sepatunya tidak luput terkena hujan.
"Nggak apa-apa. Eh cepat masuk, diluar dingin." Kuikuti langkahnya dengan perasaan bersalah. Melihat keadaannya saja kasihan apalagi dia. Erga pasti tidak nyaman dengan keadaannya yang setengah basah kuyup.
Sepanjang makan, Erga menikmati bakso pesanannya seperti belum makan seharian. "Jangan malu-malu, kasihan abang yang jualan nanti dikira baksonya tidak enak." Aku tersenyum mendengar celetukannya lalu kembali menyuap sampai habis.
Saat membayar pesanan kami, samar-samar terdengar salah satu pelayan heran melihat Erga kembali padahal satu jam lalu dia datang bahkan pesan dua porsi bakso. Erga hanya tersenyum mendengar pertanyaan pelayan tadi dan mengatakan masih ada ruang diperutnya yang masih kosong. Apa jangan-jangan alasan dia mengajakku makan disini karena tau aku belum makan?
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro