Part#1 - Jumpa Pertama
Langit masih tampak gelap, menunggu sang matahari muncul. Sepanjang mata memandang, jalanan belum terlalu banyak dilalui kendaraan. Kesibukan terlihat dari beberapa orang terutama para perempuan yang bersiap ke pasar. Aku termasuk salah satu diantaranya tapi tujuanku pergi ke kampus bukan pasar.
Dua hari belakangan ini kegiatanku cukup padat. Berangkat di pagi buta dan baru pulang menjelang malam. Perkuliah memang belum di mulai tapi aku pergi untuk mengikuti acara orientasi mahasiswa baru. Keadaan sedikit lebih sulit mengingat diriku belum terlalu lama pindah ke kota berjuluk Paris Van Java ini.
Beberapa kali aku salah naik kendaraan umum bahkan sampai tersesat. Beruntung keramahan warga sekitar cukup membantu di saat kecangihan dunia modern tidak bisa diandalkan. Aku juga terpaksa harus mengalah dan berangkat sendiri mengingat Kak Haikal, Kakak paling besar, sementara waktu tinggal di rumah karena baru saja mengalami musibah bersama keluarga kecilnya. Keberadaan keponakanku, Amie, berhasil membuat keberadaanku sebagai anak bungsu menjadi prioritas akhir.
Beberapa hari ini Amie pergi sekolah diantar Ayah. Kak Haikal sedang ada tugas di luar kota sementara Kak Adji, kakak kedua paling malas bangun pagi kalau bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Ibu meminta pengertianku kalau Ayah hanya bisa mengantar sampai depan komplek. Kak Hani, istri Kak Haikal kebetulan sedang hamil. Dia tidak bisa mengantar putrinya dengan kondisinya saat ini.
Awalnya semua berjalan biasa. Aku naik kendaraan umum untuk tiba di kampus tepat waktu. Terlambat menjadi hal paling menakutkan apalagi membayangkan deretan para senior yang menjadi seksi keamanan. Tapi sial tidak dapat dihindari. Di tengah perjalanan, kendaraan yang kutumpangi tiba-tiba mogok. Dengan terpaksa aku harus berganti kendaraan namun hampir lima belas menit menunggu, belum ada satupun kendaraan umum yang menuju kampus lewat.
Aku melirik jam tangan untuk kesekian kali. Setiap detik begitu berharga hingga ingin menangis rasanya. Kepalaku kembali mendongkak, memperhatikan jalanan seraya berdoa dalam hati, berharap ada keajaiban.
"Hei, Nyai." Sapaan seseorang terdengar dari samping. Nyai merupakan panggilan untuk mahasiswi baru perempuan dan Ujang untuk laki-laki.
Sebuah motor berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Dari perawakannya pengendara motor itu seperti seorang lelaki. Jas almamater warna hijau yang ia kenakan berasal dari kampusku.
"Eh i... iya, Kang," balasku gugup. Setiap calon mahasiswa baru diwajibkan memanggil Akang dan Teteh pada para senior.
"Cepat naik kalau tidak mau telat." Perintahnya sambil menyodorkan helm.
Aku berjalan cepat meskipun ada sedikit kekhawatiran. Laki-laki itu tidak membuka kaca helmnya. Bisa saja dia berniat jahat tapi tidak banyak pilihan dengan kondisiku sekarang. Aku bisa jadi bulan-bulanan senior lain, dianggap tidak menghargai senior jika memang laki-laki ini panitia ospek.
"Kenapa diam saja?" Lelaki itu akhirnya membuka kaca helmnya seolah bisa membaca pikiranku. Dia memakai masker. Hanya bola matanya yang terlihat.
"Tapi kalau nanti ada senior lain lihat kita bagaimana, Kang?" tanyaku sebelum akhirnya menuruti permintaannya. Pandangan mataku tertuju ke bawah, tidak berani mendongkakkan kepala.
"Saya jelek ya sampai kamu melihat ke bawah terus."
Irama jantung sontak berdegub kencang semakin tidak beraturan. Takut dan khawatir akan ditandai karena dianggap bersikap tak sopan. "Bu... bukan begitu, Kang. Saya... "
Lelaki di depanku terkekeh geli. "Saya bercanda kok. Cepat naik, saya bisa ikut terlambat kalau kamu diam saja." Dia melepas jas almamaternya lalu memasukan ke dalam tas ransel.
Aku bergegas naik ke motor. Menggeser pinggang sampai batas paling belakang. Perasaan sedikit terenyuh menyadari salah satu seniorku berbaik hati menembus dinginnya angin agar tidak ada yang curiga. Hampir saja diriku menempel di punggungnya saat mencium aroma parfum si pemilik motor. Wanginya sangat maskulin.
Sepanjang jalan kami terdiam. Ia memperlambat kecepatan, menepikan motornya di sisi jalan yang sepi. Jarak dari tempat kami berada sampai kampus sekitar tiga ratus meter. "Kamu turun di sini ya. Masih ada waktu setengah jam lagi. Jangan lari nanti jatuh." Senyumku kecut mendengar balasannya. Entah sudah berapa kali diriku melakukan kesalahan karena ceroboh sampai dapat panggilan neng sologoto*.
"Makasih tumpangannya, Kang."
Si pemilik motor tersenyum lalu kembali menyalakan mesin menuju kampus. Syukurlah masih ada orang baik sepertinya. Andai tidak ditawari dan mendapat tumpangan mungkin aku sekarang masih menunggu kendaraan. Tapi ngomong-ngomong siapa senior tadi ya?
Setibanya di kampus, aku bergegas berkumpul dengan mahasiswa baru lainnya di aula. Keadaan sudah cukup ramai mengingat jumlah mahasiswa jurusan yang kuikuti tahun ini lumayan banyak. Sebagian besar didominasi kaum hawa meski jumlah lelaki tidak bisa di bilang sedikit.
"Kamu diantar siapa tadi, Marsya?" tanya salah satu teman.
"Oh, tadi kakak," jawabku singkat. Aku pura-pura membuka ransel agar tidak ditanyai macam-macam.
Keingintahuan tiba-tiba menggelitik mendengar bisik-bisik di sekeliling. Beberapa mahasiswa baru tengah asik membahas salah satu senior laki-laki. Awalnya aku tidak terlalu peduli. Hal yang paling kuinginkan saat ini hanya bisa melewati masa orientasi tanpa membuat masalah. Permasalahan lawan jenis jadi nomor sekian terlebih Ayah masih saja selalu sensitif jika aku menyinggung kata lelaki.
Pandangan mata perlahan terkunci pada salah seorang senior yang berkumpul di dekat pintu masuk. Salah satu senior lelaki sedang asyik mengobrol dengan beberapa senior perempuan. Aku yakin lelaki itu sosok yang sedang mereka bicarakan. Bila diperhatikan orang yang dibahas terlihat biasa saja dibanding senior lainnya atau teman-teman baru yang secara fisik bisa dikategorikan tampan. Hanya saja ada sesuatu yang menarik pada dirinya, entah apa itu. Bola mataku berputar, berusaha mengingat-ingat tetapi sepertinya baru hari ini aku melihatnya.
"Ti, senior cowok yang lagi ngobrol di dekat pintu masuk siapa sih? Panitia juga ya? Kayaknya aku belum pernah lihat dia sejak ospek dimulai." Aku tidak bisa menyembunyikan keingintahuan.
Adisti, sahabat pertama yang kukenal di kampus mengangguk pelan. Dia menoleh sekilas ke arah lelaki itu lalu kembali merapikan kunciran rambutnya. "Iya, anak-anak yang lain bilangnya begitu. Namanya Erga , dia bagian seksi keamanan. Dari yang kudengar, dua hari kemarin berhalangan hadir karena ada keperluan keluarga jadi baru hari ini bisa datang."
"Oh gitu."
Pembicaraan kami terpotong karena acara segera di mulai. Para mahasiswa baru dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap hari kami mendapat tema dan kegiatan yang berbeda-beda tanpa melibatkan kegiatan yang mengandung unsur kekerasan. Benda atau barang yang harus dibawa juga tidak terlalu sulit dicari. Tapi tetap saja ketegangan tidak pernah hilang karena ada hukuman bagi yang melanggar.
Salah satu anggota kelompokku tidak membawa laporan yang diminta untuk dikumpulkan hari ini. Dia beralasan tertinggal di rumah tapi para senior tidak begitu saja percaya. Imbasnya kelompokku mendapat hukum membersihkan taman kampus yang cukup luas. Kami tidak diperbolehkan mengobrol dan diawasi beberapa senior. Belum lagi tambahan tag nama dengan tulisan si pemalas sedang di hukum harus kami pakai sepanjang hari.
"Istirahat lima belas menit, setelah itu kalian kembali ke aula." Perintah salah satu senior setelah satu jam kami berkutat mencabuti rumput dan dedaunan.
Aku bersandar di punggung Adisti, meregangkan kaki yang capek berjongkok. Adisti melakukan hal yang sama, pipinya bahkan memerah karena kepanasan. "Sial banget sih, belum apa-apa sudah keringatan. Gio lagi pakai acara ketinggalan."
"Sabar deh, mau bagaimana lagi. Peraturannya memang kayak gitu. Masih untung kita cuma dihukum membersihkan taman. Kemarin kelompok yang lain di suruh membersihkan sampah di sekeliling kampus tengah hari. Di tambah yang jadi pengawasnya Kang Eqi sama Teh Ajeng.xKamu tahu sendiri dua senior itu tegasnya kayak apa."
"Iya sih. Kang Erga paling ramah di antara senior lain. Gue heran kenapa dia jadi bagian keamanan. Padahal orangnya murah senyum, tadi aja gue sempat dengar dia diomeli Kang Eqi karena terlalu lembek sama kita."
Kepalaku tanpa sadar berputar ke arah Erga. Memperhatikan dia dan kedua senior lainnya yang menjadi pengawas kami mengobrol cukup serius. Seolah terhipnotis dan melupakan rasa lelah, mataku tidak berhenti mengikuti gerak geriknya. Ada sesuatu yang menarik, menggoda untuk tetap menatap lekat laki-laki berkacamata itu.
"Kang Erga baik sama semua orang tanpa pandang bulu. Entah memang tulus atau sengaja tebar pesona tapi sebaiknya lo pikir seribu kali kalau mau suka sama dia. Cakep sih tapi rumor yang beredar tentang dia kurang enak didengar. Kabarnya deretan mantan pacarnya banyak, cantik-cantik lagi." celetuk Adisti. Rupanya dia mengikuti arah pandanganku. Aku tersenyum masam, tidak menyalahkan sepenuhnya perkataan Adisti. Erga tampak menikmati dikelilingi oleh kaum hawa. Dia bahkan tidak canggung ketika salah satu senior wanita merangkul mesra pinggangnya.
"Jadi aku nggak cantik ya?"
Adisti tertawa kecil sambil memeluk tubuhku. "Sorry. Aku cuma nggak mau kamu terpesona orang seperti Kang Erga. Masih banyak lelaki yang lebih cocok buat jadi pacar , Satria misalnya." Aku mencebik mendengar nama itu. Satria merupakan salah satu mahasiswa baru yang keberadaannya cukup mendapat perhatian. Dia cukup vokal dan paling berani mengutarakan pendapat diantara mahasiswa lain. Di tunjang penampilan fisik yang tampan, namanya semakin di kenal dengan di jadikan ketua angkatan. Dia menyadari kelebihannya hingga terkadang sering bersikap terlalu percaya diri.
Kami melanjutkan acara dan kembali berkumpul dengan teman-teman yang lebih dulu mendapatkan pengenalan salah satu mata kuliah yang akan kami ikuti nanti. Perhatian sepenuhnya tertuju pada senior yang sedang memberi penjelasan. Sebisa aku berusaha untuk tidak mengecewakan keluarga dengan bersungguh-sungguh mengingat uang yang mereka keluarkan untuk biaya kuliah tidak sedikit. Selain itu aku tidak ingin mengulang luka dan kepedihan pada keluargaku seperti tahun lalu.
"Neng sologoto! Siapa yang menyuruh kamu melamun. Cepat maju," bentak Ferdi, ketua seksi keamanan. Semua pandangan tiba-tiba tertuju padaku yang kebingungan. Mengabaikan rasa malu, aku perlahan bangkit mengikuti perintah.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah dijadikan salah satu contoh buruk. Hal seperti ini bukan sesuatu yang baru mengingat reputasiku sering keluar masuk ruang BK saat SMA. Dan sudah bisa di tebak, Satria mengajukan diri ketika semua peserta ospek harus mendapat hukuman karena ulahku. Sikapnya membuat posisiku terpojok.
Erga berjalan menghampiri Ferdi, berbisik sambil menunjuk ke arah jam tangannya. Ferdi memalingkan wajahnya kearahku, terlihat agak kesal. "Kembali ke barisanmu . Hukuman untuk kali ini di tiadakan tapi tidak ada toleransi jika ada yang melamun saat ada yang bicara di depan. Sekarang persiapkan catatan kalian. Kita akan masuk ke materi selanjutnya."
Adisti nyengir saat aku menghempaskan tubuh di sampingnya. Satria yang berada di barisan depan sempat melirik, seolah memintaku tidak melakukan kesalahan lagi. Bukan hanya dia sih, beberapa teman memberi tatapan yang sama.
Sepanjang sisa acara semua berjalan lancar. Melelahkan tetapi setidaknya tidak ada satupun dari peserta ospek yang mendapat hukuman. Selain Adisti, aku mendapat teman-teman baru. Ternyata cukup banyak mahasiswa baru yang berasal dari luar kota. Membayangkan kerepotan mereka selama terpisah dari orang tua menyadarkan diriku yang sering mengeluh. Dibanding mereka, aku jauh lebih beruntung karena sedikit banyak di bantu keluarga untuk mempersiapkan kebutuhan ospek.
"Kamu ada yang jemput nggak?"
Kepalaku menggeleng teringat pesan Ibu kalau Ayah tidak bisa menjemput. "Nggak, Ti."
"Ya sudah, bareng aku saja. Rumah kita kan searah. Sore begini pasti angkot penuh sama yang pulang kerja. Kamu bisa pulang di atas jam tujuh malam, itu juga kalau nggak macet di Cihampelas."
"Nggak ngerepotin, Ti?"
"Dasar, kayak sama siapa aja."
"Tunggu sebentar kalau gitu. Aku mau ambil tas dulu."
Tanpa membuang waktu aku berjalan cepat menuju aula. Setengah terburu-buru mengejar waktu karena tidak ingin membuat Adisti menunggu lama. Sudah bagus ada yang menawari tumpangan, setidaknya bisa mempercepat waktu pulang.
Aula mulai sepi bahkan hampir kosong, hanya ada beberapa senior yang tengah mengobrol di dekat papan tulis. Aku memperlambat langkah, berjalan pelan ketika mengambil tas. Salah seorang dari mereka sempat menoleh lalu kembali memalingkan wajah seolah tidak peduli.
Tas tiba-tiba terjatuh ketika menuruni anak tangga terakhir saat ingin mengambil ponsel. Beberapa alat tulis tercecer dilantai. Beruntung tidak ada seorangpun yang melihat. Sudah cukup panggilan ceroboh ditujukan padaku hari ini.
"Lain kali kalau jalan hati-hati apalagi pakai rok," tegur seseorang tanpa nada menggurui. Sesosok laki-laki tiba-tiba berjongkok di hadapanku.
Aku mendongkak dan menemukan Erga tengah sibuk memasukan barang-barang ke dalam tas. Ucapan Adisti ternyata benar, Erga memang baik terlepas tulus atau tidak. Bisa dibilang dia senior favorite para mahasiswa padahal sosoknya baru muncul hari ini.
"I... iya Kang. Terima kasih," ucapku mengikutinya yang lebih dulu berdiri.
Erga tersenyum lalu melirik jam tangannya. "Sudah hampir malam, sebaiknya kamu cepat pulang. Besok berangkat lebih pagi, jangan sampai hampir telat seperti tadi."
Aku mengangguk lalu menyampirkan tas di bahu. Tunggu sebentar, bagaimana Erga tau kalau tadi pagi aku hampir telat? Jangan-jangan yang menawari tumpangan itu dia.
"Kang Erga... " panggilku susah payah.
"Ya?" Erga urung melangkahkan kaki. Kerutan di keningnya membuatku semakin tidak enak.
"Itu... yang tadi pagi. Mm... terima kasih sudah ditawari saya tumpangan," sahutku gugup.
Senyuman menyungging di wajah laki-laki yang lebih cocok di sebut menarik dibanding tampan. Jemarinya menepuk-nepuk kepalaku tanpa ragu. "Sama-sama. Sekarang pulanglah. Saya pergi duluan ya," ucapnya lalu meninggalkanku menuju perpustakaan.
Aku mencubit pipi, mengigat ucapan Adisti tadi siang. Tidak seharusnya perasaan melambung hanya karena kebaikan orang yang baru di kenal. Toh Erga bersikap baik bukan hanya padaku. Panggilan masuk dari Adisti mengembalikan kesadaranku. Payah.
Tbc
*sologoto : ceroboh
Ini cerita pengganti FTR, project santai jadi kemungkinan slow update ya kecuali ada cerita lain yang sudah tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro