Chap#9 - Salah paham
Aku tertegun, kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Jejak hangat di bibir masih membekas. Bola mata bergerak cepat, berputar kesekeliling koridor, memastikan tidak ada saksi mata yang melihat adegan tadi. Ya, adegan saat Erga mencium bibirku.
Pandangan kembali berputar, mendongkak menatap laki-laki tinggi yang tengah bersidekap. Ia masih di berdiri di tempatnya, tak bergerak sedikitpun. Sorot mata itu semakin meredup, tampak frustasi dengan kediamanku.
"La... lalu apa selanjutnya?" Suaraku tergagap bercampur serak.
Erga bergerak. Langkahnya memperpendek jarak di antara kami. "Kamu ingin hubungan kita seperti apa? Jangan gunakan alasan kasihan. Kamu tidak perlu takut. Aku bukan tipe orang yang lantas pura-pura tak kenal hanya karena penolakan."
Jauh di dasar hati paling dalam, masih ada sedikit keraguan. Bukan hanya tentang keseriusan tetapi juga jalan yang mengiringi. Perkenalan kami relatif singkat, untuk lebih mendalami karakter masing-masing hampir tidak ada. Setiap pertemuan berlangsung dalam hitungan jam.
Ah tapi bukankah cinta tidak selalu bisa terukur oleh banyaknya waktu bersama. Kesalahpahaman yang datang selama beberapa hari kebelakang sudah cukup menyiksa. Dan suka tak suka, kenyataan bahwa rasa untuk Erga tumbuh subur setiap detik ada di pelupuk mata.
"Oh, baiklah. Aku mengerti. Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menganggu waktumu lagi. Sampai jumpa." Laki-laki itu melambaikan tangan lalu berbalik.
Tubuhku sontak menegang. Kata hati menyerukan keberanian. Sudah terlalu banyak waktu terbuang untuk salah paham.
"Tunggu. Kamu salah paham." Dengan cepat langkah kaki mengejar Erga dan meraih ujung kausnya.
"Salah paham? Lalu penjelasan seperti apa yang ingin kamu katakan?" tuntutnya masih dengan sikap tenang.
Ketegangan menjalar di sekujur tubuh. Pertanyaan mudah namun entah kenapa mulutku hanya bisa mengeluarkan kata eu. "Mm... aku, sebenarnya aku... itu... "
Erga menghela napas. "Ikuti aku," perintahnya sambil berjalan kembali ke arah perpustakaan.
Sekalipun bingung, aku mengikuti langkahnya. Kami melewati deretan rak hingga tiba di meja tempat aku duduk tadi. Erga mengangkat wajahnya, memberi isyarat agar aku duduk di sebelahnya. "Tunggu di sini sebentar." Laki-laki itu tiba-tiba bergegas pergi menuju ruangan tempat fotocopy. Letaknya tepat di sebelah perpustakaan.
Lima menit kemudian dia kembali dengan membawa selembar kertas HVS dan bolpoin. " Sekarang, tulis surat pernyataan perasaanmu. Isinya harus panjang tapi jujur. Tenang saja, tidak perlu malu, aku akan menunggu di tempat lain."
Aku memandanginya dengan wajah bodoh. Erga tidak terlalu peduli. Dia berjalan menjauh. Kelegaan tak lama memudar. Bayanganku meleset dengan berpikir ia akan pergi di kantin atau lobi kampus. Tempat lain yang di maksudnya tidak lain deretan meja di depanku.
Rasanya sungguh sulit untuk memusatkan konsentrasi. Beragam perasaan malu sekaligus bingung bercampur jadi satu. Belum lagi denyutan di kepala semakin berat. Bagaimana caranya aku harus menulis tentang perasaan bila orang yang bersangkutan tengah menatap tajam tanpa kedip. Ini lebih menakutkan daripada diawasi pengawas saat ujian.
Dering ponsel mengalihkan perhatian. Adisti mengirim pesan bahwa ia akan pulang bersama Gio. Rona merah bersemu di pipi mengetahui dia rupanya sempat melihat adegan ciuman tadi saat sedang mencariku.
Setelah beberapa menit termenung, jemari akhirnya mulai bergerak lincah. Merangkai kata demi kata pada kertas putih. Dalam waktu lima menit saja tulisanku akhirnya selesai.
Erga menghampiri setelah melihatku meletakan bolpoin. Keningnya berkerut saat mulai membaca. Suratku di mulai dengan dear Erga. Selanjutnya, tiga paragraf dengan lima baris setiap paragraf berisi tulisan aku juga sayang kamu mengisi bagian tengah. Dan, tidak lupa mengakhiri surat dengan nama lengkap.
Dia tersenyum masam sambil mengacak-acak rambutnya. " Ya, lumayan. Apa boleh buat, kamu sedang sakit," ucapnya setengah menggerutu. Kertas tadi ia lipat hingga berukuran kecil lalu dimasukan dalam dompet.
"Kenapa dimasukan ke dompet?"
Ia melirik sekilas. "Buat jimat."
"Memangnya bisa?"
"Bisa. Ini obat paling ampuh kalau lagi kangen tapi nggak kesampaian." Aku tertawa pelan mendengar celetukan Erga. Baru pertama kali aku bertemu laki-laki seperti dia.
"Dengar Marsya. Aku tidak akan melarangmu ini dan itu. Kamu juga tak perlu harus merasa selalu memberitahu bila berniat pergi dengan teman-temanmu. Jangan menjadikan keberadaanku sebagai pembatas duniamu. Cukup berhati-hati dan jaga hatimu."
"Apa hal itu berlaku juga untukmu?" Aku menyeret kursi lalu bangkit. Bayangan kedekatannya dengan putri dan Tiara melintas.
"Tentu saja. Aku ingin kita berdua nyaman." Erga memandangiku yang melewatinya tanpa permisi. "Tunggu, apa ada yang salah dengan kata-kataku? Hei, kenapa kamu jadi cemberut."
Dia menjajari langkahku. Kepalanya di miringkan dengan tatapan bingung. "Aku sedang berpikir. Putri dan Tiara, apa kamu juga memberi keduanya harapan yang sama?"
"Putri? Aku tidak mungkin memiliki rasa padanya. Dia, adik mantan pacarku. Kedekatan kami murni hanya sebatas kakak dan adik. Tiara, dia sepupuku dan sudah mempunyai tunangan. Aku akan mengenalkanya padamu bila dia belum pulang."
"Oh, adik mantan pacar dan sepupu. Yakin hubungan kalian sebatas itu? Aku rasa orang-orang tidak berpendapat sama, " ulangku seraya mempercepat langkah. Cemburu perlahan membutakan akal sehat.
Erga menahan tanganku. Tenaganya jauh lebih kuat hingga percuma saja berontak. Aku tak punya pilihan selain mengikutinya menuju kantin. Suara musik dari panggung masih terdengar. Telingaku semakin berdegung. Erga mengamit lenganku menjauhi tempat acara.
Semua tampak normal ketika memasuki kantin. Adegan kami saling menggengam tangan seolah sesuatu yang biasa. Bahkan ketika Erga membawaku ke salah satu meja yang di penuhi teman-temannya, tidak ada satu pun yang bereaksi kaget. Tiara tidak lagi terlihat, dia pulang karena ada keperluan lain.
"Belum pulang, Sya?" tegur Ferdi saat Erga pergi membeli minuman untuk kami.
"Eh sebentar lagi, Kang."
"Mau pulang bareng nggak? Gratis loh." Goda seniorku yang lain.
Erga kembali dengan sikap tenang. Dia menyeret kursi kosong di sampingku. "Kalian dilarang tebar pesona. Mulai hari ini, Marsya gue yang antar."
"Cih. Gaya lo, Ga. Memangnya Marsya mau sama playboy kayak lo." Derai tawa menggema. Mahasiswa lain tidak terlalu peduli. Sibuk dengan urusan masing-masing. Pemandangan seperti ini sudah biasa bagi mereka.
Aku melirik Erga sambil meneguk minuman yang dibawanya tadi. Kesalahpahaman beberapa waktu lalu membuat orang-orang berpikir kedekatan di antara kami hanya sebatas senior dan junior. Erga memang terkenal mudah bergaul jadi wajar saja bila keberadaanku dianggap hanya teman. Atau apa karena selama ini ia dikenal menyukai perempuan lebih tua?
"Sudah minumnya, Sya. Kita pulang, kamu harus istirahat. " Erga bangkit lebih dulu. Dia meraih ransel milikku lalu disandarkan di pundaknya.
Semua teman-temannya menatap bingung. Mereka saling pandang saat Erga meraih tanganku.
"Lo berdua pacaran?" tanya salah satu dari mereka.
Erga tersenyuk mengejek ke arah teman-temannya. "Gue resmi keluar dari geng jomblo."
"Eta si Erga teu sopan. Kuduna urang tiheula nu boga kabogoh!" Pekik Wisnu sambil menunjuk ke arah Erga. *
"Matakna tong ulin jeung lalaki wae geura jadi we kapiheulaan," balas Erga dengan dialek sunda kental. *
Gerutuan sekaligus godaan terdengar hingga kami keluar dari kantin. Erga bergeming, menariku yang menahan malu sampai tempat parkir motor."Tadi kamu sama Kang Wisnu bilang apa sih?"
"Nanti aku translate. Sekarang cepat naik, sebentar lagi hujan. Nanti kamu semakin sakit." Ia membantu memakaikan helm sementara aku menyampirkan ransel dipunggung.
"Maaf ya, aku baru bisa mengantar pakai motor," ucap Erga lagi sebelum menaiki kendaraan roda dua berwarna hitam miliknya.
"Naik motor juga nggak apa-apa kok. Tapi bukannya waktu itu kamu pernah bawa mobil ke kampus?"
"Aku pinjam punya Abah. Dibolehin kalau lagi urgent."
"Abah itu ayah?"
"Iya, kalau ibu, aku panggil Ambu." Kepalaku manggut-mangut. Sepertinya aku harus segera mempelajari bahasa daerah kota ini.
*****
Berita hubunganku dengan Erga menyebar cepat. Berbagai spekulasi tentang kami bermunculan. Mulai dari hubungan sebatas pelarian sampai kabar kalau Erga mendekatiku untuk membuat cemburu perempuan yang sebenarnya ia sukai.
Aku berusaha menyikapinya sebijak mungkin. Bahkan ketika banyak suara sumbang meramalkan hubungan kami tidak akan bertahan lebih dari satu bulan. Sekalipun telinga merah mendengarnya, membalas dengan kemarahan hanya akan membuat mereka berpikir kabar itu benar.
Erga bukannya tidak mengetahui gosip yang berseliweran. Dugaan tanpa dasar sudah terlanjur menjadi santapan penghuni kampus. Dia memilih untuk mengabaikan. Baginya memikirkan masalah yang sudah kami tahu kebenarannya hanya membuang waktu.
Aku bukannya terlalu mendramatisir keadaan. Dua minggu telah berlalu tetapi kabar miring itu belum mereda. Beberapa teman satu angkatan namun berbeda kelas pun sering kali menatap sinis bila kebetulan berpapasan. Sejak ospek, Erga mempunyai kesan positif terutama dalam pandangan mahasiswi baru. Mereka tidak menduga kami akan menjalin hubungan mengingat selama ini jarang menunjukan kebersamaan.
Pagi tadi sebelum mata kuliah pertama mulai, aku dan Erga sempat bertemu di kantin. Awalnya hanya obrolan ringan seputar hobi atau sesuatu yang kami sukai. Sampai pada akhirnya kami berdebat dengan mengenai cara pandang menghadapi gosip. Aku mungkin terlalu paranoid, terlalu khawatir bila ada yang salah paham dengan kebaikannya.
"Nggak diantar Erga, Sya?" Adisti menoleh kesekeliling lobi seusai mata kuliah sore berakhir. Erga memang sesekali menungguiku selesai kuliah. Tapi dia bukan tipe laki-laki yang selalu menguntit kemana aku pergi.
"Dia mungkin masih marah. Kami sempat bertengkar tadi pagi."
"Tentang apa?"
"Aku ingin dia tidak terlalu baik sama perempuan lain. Kamu tahu sendiri bagaimana gosip miring tentang hubungan kami. Bukan hal menyenangkan di saat baru mulai tapi orang-orang menganggap ini sebuah lelucon."
"Ayolah, Sya. Seharusnya kamu sudah tahu resiko berhubungan dengan laki-laki seperti Erga. Terlepas benar atau tidak, predikat playboy menempel padanya jauh sebelum kalian saling mengenal. Belum lagi dia punya banyak teman perempuan. Kamu hanya akan terlihat kekanakan bila menggunakan alasan hanya berdasar perasaan."
Aku mengehela napas. "Apa salah kalau aku merasa khawatir?"
"Nggak salah, apalagi hubungan kalian baru hitungan minggu. Tapi cobalah untuk lebih mempercayainya. Erga mungkin hanya ingin memberi ruang untuk dirimu sendiri. Pacaran bukan berarti kemana-mana harus berdua, kan. Aku pikir kedekatannya dengan perempuan lain masih wajar, layaknya kamu dengan teman laki-laki kita yang lain. Dia ramah, pintar tapi nggak pelit ilmu, mungkin itu salah satu yang membuat orang-orang merasa nyaman berteman dengannya."
Penjelasan Adisti membuka pemikiran yang terlanjur bercabang tanpa arah. Harus kuakui, kami belum terlalu lama mengenal. Kata cinta tidak cukup membuat keadaan berjalan mulus. Dua kepala, dua pemikiran akan memiliki dua cara pandang yang berbeda.
"Eh tuh, Erga," bisik Adisti sambil melirik ke arah kerumunan orang di meja panjang dekat tangga lobi. Tempat yang biasa mahasiswa gunakan untuk berkumpul atau mengerjakan tugas.
Dadaku berdetak lebih kencang mendengar nama itu di sebut. Sial.
Aku tidak berhenti mengerutu dalam hati. Pemandangan di depan kami membuat mata sakit. Erga terlihat sedang serius bicara dengan teman-temannya. Dari tumpukan buku dan alat tulis di meja, laki-laki itu seperti sedang menerangkan sesuatu.
Pandangan kagum. Senyuman yang terkesan menggoda. Bahkan perempuan yang duduk di sisi kanan Erga seperti sengaja menyentuhkan bagian dadanya ke lengan laki-laki itu. Aku berusaha keras terpancing emosi. Sejauh yang bisa terlihat, Erga fokus mengajari teman-temannya. Dia bergeming pada hal lain di sekitarnya.
Pengalamanku menghadapi laki-laki memang tidak banyak. Jatuh cinta hingga tahap pacaran pun baru dua kali. Tapi sebagai perempuan, aku bisa mengetahui apakah mereka punya perasaan lebih atau sebatas sahabat. Entahlah apa Erga kurang peka atau bersikap pura-pura tidak tahu dengan sikap teman-teman perempuannya.
Erga menoleh saat kami mendekat. Dia tidak segera bangkit untuk menyapa. Justru beberapa teman laki-lakinya memintaku mendekat.
Adisti menoleh, cemas bila sewaktu-waktu emosiku meledak. Sebenarnya aku ingin sekali meluapkan kekesalan. Memaki atau mengeluarkan amarah hingga lega. Tapi aku tidak akan melakukannya. Semua sia-sia bila Erga justru berpikir caraku kurang dewasa. Lagi pula ini masih lingkungan kampus. Rumor yang beredar tentang hubungan kami sudah cukup membuatku tertekan.
"Hai, Marsya. Mau pulang?" tanya Ferdi yang berada di antara mereka. Teman-teman perempuan perlahan menjaga jarak dengan Erga.
Kepalaku mengangguk. "Iya, Kang."
"Kamu tunggu sebentar. Aku selesaikan dulu urusanku," potong Erga.
Awalnya aku berniat menolak tapi sekali lagi keinginan itu harus terkubur dan memilih menuruti permintaan Erga. Adisti pamit pulang. Ia sempat berbisik, memintaku tetap menggunakan akal sehat.
Ferdi menggeser tempat duduknya di ujung kursi. Ia memberi tempat padaku karena tidak ada kursi kosong yang tersisa. Sementara Erga melanjutkan membantu tugas teman-temannnya, aku menyibukan diri dengan jurnal parktikum.
Berulang kali aku mendesah pelan. Lembar demi lembar berganti tanpa satupun ada kalimat yang menempel di kepala. Konsentrasi terbagi dengan perasaan. Beberapa kali mataku melirik, pura-pura memperhatikan penjelasan Erga. Laki-laki itu rupanya menyadari arah pandanganku. Dia bergerak, menjauhkan lengannya hingga perempuan itu menjaga jarak.
"Pusing, Sya?" tegur Ferdi.
"Iya, Kang. Dua hari lagi mulai praktikum tapi bahan untuk laporan awal masih kurang."
"Praktikum apa?"
"Kimia dasar."
"Kalau nggak salah, Akang masih simpan bekas jurnalnya. Nilainya standar sih tapi siapa tahu bisa nambah materi. Besok Akang bawa kalau kamu mau pinjam."
"Boleh, Kang. Eh iya katanya asistennya galak-galak ya. Akang kenal nggak?"
"Bukan galak, Sya tapi tegas. Mereka begitu supaya kamu terbiasa dengan yang namanya tugas kuliah. Praktikum di semester selanjutnya jauh lebih berat. Segalak-galaknya mereka, belum ada apa-apanya sama dosen. Tapi nggak jarang juga yang habis praktikum malah pacaran sama asistennya. Coba kalau kamu belum punya pacar," balas Ferdi. Dia sengaja memelankan suaranya.
Pukulan ringan di kepala Ferdi menyentak kami berdua. Erga berdiri di belakang sahabatnya dengan tangan memegang gulungan kertas. "Jangan racuni pacar gue sama pikiran sempit lo." Rupanya dia sudah memperhatikan sejak aku datang.
Ferdi mengelus kepalanya, memasang raut pura-pura sakit. "Gue bicara fakta, Bro. Kayak lo nggak pernah ngalamin aja. Ups... . "
Erga terdiam. Suasana sempat menegang. Semua orang seperti sedang menahan napas. Pandangan mereka terhenti padaku, menunggu reaksi apa yang akan muncul.
"Nggak apa-apa, Kang. Dulu, kan, saya belum kenal sama Kang Erga."
"Iya. Maaf ya, Sya. Kalau Erga macam-macam, jangan sungkan bilang sama Akang ya. Nanti Akang lempar ke sungai di belakang kampus."
Erga menarik pergelangan tanganku. "Gue pulang dulu."
"Eh, lo mau balik ke kampus lagi nggak?" tanya salah satu senior perempuan.
Ferdi menghela napas panjang. "Lo mau nanya apalagi sih, Rim? Lo, kan, juga perempuan. Masa lo nggak kasihan sama Marsya. Masih bagus dia nggak ngomel-ngomel lihat lo nempel kayak ulet bulu ke Erga." Ia bangkit sambil meraih ransel di meja. "Lo juga Ga. Jangan mainin anak gadis orang. Sekarang cepat antar Marsya pulang," lanjut Ferdi. Ia sempat mengusap kepalaku sebelum berlalu menuju kantin.
Aku terenyuh dengan sikap Ferdi. Pantas saja dia menjadi ketua panitia ospek dan angkatan. Di balik ketegasan, dia ternyata cukup peka dengan keadaan di sekitar. Ferdi mungkin kasihan padaku yang kurang nyaman dengan suasana di sekitar kami.
Aku tetap tersenyum. Bersikap setenang mungkin saat pamit pada teman-teman Erga. Mereka termasuk Rima, perempuan tadi akhirnya meminta maaf. Terlepas dari alasan teman yang mereka katakan sebagai pembelaan, aku cukup lega karena tidak terbawa emosi. Masalah mereka jujur atau tidak, biarlah waktu yang akan menjawab. Tuhan tidak tidur, setiap manusia akan menuai apa yang ditanam, begitu pikirku membesarkan hati.
"Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu salah paham."
"Bukan salahmu. Seharusnya aku tidak perlu terkejut. Aku yang salah, mengira hubungan kita bisa dengan cepat berubah hanya karena ada embel-embel pacar. Dan, sekarang aku mengerti kenapa orang-orang menganggap hubungan kita tidak lebih dari sekadar bahan gosip."
"Marsya. Bukan maksudku mencari pembelaan. Kami sudah lama terbiasa saling mengajari bila ada yang kesulitan mengerjakan tugas. Aku benar-benar minta maaf bila kamu merasa sikapku tak menghargai posisimu sebagai pacar," ucapnya serius.
Bola mataku bergerak, memperhatikan laki-laki tinggi yang memasang raut menyesal. "Aku tidak ingin memperpanjang tapi rasanya sedikit ironis. Yang berani bersuara untuk membela justru orang lain, bukan laki-laki yang katanya sayang. Mungkin ini yang Ibu maksud, laki-laki itu dinilai dari caranya bertindak, bukan hanya kemampuan berucap."
"Marsya!"
Tbc
*Eta si Erga teu sopan. Kuduna urang tiheula nu boga kabogoh = Itu si Erga nggak sopan. Harusnya saya duluan yang punya pacar
*Matakna tong ulin jeung lalaki wae geura jadi we kapiheulaan = Makanya jangan main terus sama laki-laki, jadi aja keduluan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro