Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap#8 Penyesalan datang terlambat

Hari mulai beranjak siang ketika diriku  berlindung di antara deretan rak buku. Sudah hampir satu jam lamanya menghindari tatapan penasaran orang-orang yang mengetahui pengakuan konyol Erga. Laki-laki itu entah berlari ke arah mana sementara kabar terlanjur menyebar hingga menjadi santapan para pecinta gosip.

Sengaja kupilih meja yang berada di paling ujung perpustakaan. Ruangan tempat sebagian mahasiswa mengerjakan tugas atau mencari buku memang cukup luas. Tapi biasanya deretan meja paling belakang jarang ada yang menempati. Selain sepi, penerangan yang temaram kadang membuat bulu roma berdiri.

Aku tidak punya banyak pilihan tempat untuk menyepi. Setidaknya di sini, ada sedikit waktu untuk berpikir tenang. Tidak pernah terlintas sebelumnya bila Erga berani melakulan hal memalukan seperti tadi. Sekalipun tersanjung, efek perbuatnnya membuat namaku ikut terseret.

Ponsel di meja bergetar tanpa henti. Aku sempat menonaktifkan bunyi agar tidak terganggu dengan deringan. Nomor handphone Erga tampak di layar sejak lima menit lalu. Dia kemungkinan sedang mencariku untuk menagih janji.

Pipi memerah setiap mengingat keberanian Erga membuat pengakuan bahwa diriku adalah miliknya. Jauh di relung hati, perasaan senang begitu meluap. Sekalipun berusaha mengabaikan, berbohong namun kenyataan bahwa ada kata suka untuk laki-laki itu semakin menuntut untuk terucap.

"Ah sembunyi di sini rupanya." Suara berat dan dalam yang terdengar dari arah samping hampir membuatku melompat.

Erga berdiri tepat di sampingku. Ia berkacak pinggang sambil  memperlihatkan raut jengkel. Sorotnya memancarkan kekecewaan seolah sedang menduga-duga alasan keberadaanku di tempat ini.

"Sepertinya aku salah mengira bahwa kamu mempunyai perasaan yang sama. Baiklah mulai sekarang, kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan menganggumu lagi."

Tenggorokan tercekat dengan apa yang baru saja terjadi. Seluruh kata terkunci bahkan untuk menggerakan tubuh rasanya begitu sulit. Aku hanya mampu termangu, menatap kepergian Erga seperti orang bodoh.

Erga tidak berubah semenjak  hari itu. Dia tetap bersikap baik, hanya saja tidak ada lagi perlakuan istimewa untukku. Kabar pengakuan yang menghebohkan, ia mentahkan dengan alasan hanya bercanda. Di luar dugaan, sebagian  besar banyak yang mempercayainya. Rupanya hampir semua orang mengetahui bahwa Erga tidak pernah tertarik pada perempuan usianya berada di bawahnya.

Diriku kehilangan arah tetapi hidup terus berjalan. Setiap detik, sakit di dada perlahan menggerogoti  kesadaran, menampar kenyataan bahwa waktu tak bisa di ulang kembali. Andai saja saat itu aku mendengarkan kata hati dan menjelaskan kesalahpahaman, mungkin keadaannya akan berbeda.

Adisti prihatin dengan perubahan sikapku. Ia menilai diriku tidak ubahnya seperti robot. Tidak ada semangat yang terpancar dari sorot mata. Hidup hanya keharusan tanpa melibatkan mimpi dan harapan.

Patah hati semakin menjadi puing-puing ketika mendengar kabar kedekatan Erga dengan salah satu alumni. Keduanya sering terlihat bersama mengingat perempuan itu mengambil salah satu program pasca sarjana di kampus ini. Dan bendera putih berkibar begitu menyadari perempuan yang tengah dekat Erga itu pernah menjadi primadona kampus.

Rambutnya berwarna coklat tua. Panjang dengan gelombang besar. Kulit  putihnya begitu halus tanpa setitik noda. Hidung yang mancung dan bibir mungil membuatnya pesonanya sulit diabaikan. Wajar saja bila banyak tatapan kagum kaum adam tertuju padanya termasuk Erga.

Aku mencoba berdamai dengan keadaan. Berusaha belajar menerima kenyataan pahit. Menguatkan hati dengan berpikir ada banyak kesempatan di masa depan sedikit membantu meski luka yang tertoreh masih berdarah.

"Sya, kenapa tidak jujur saja sih? Setidaknya dengan begitu perasaanmu sedikit lega. Ceritakan kesalahpahaman yang terjadi bahwa dia tidak bertepuk sebelah tangan," ujar Adisti saat kami menunggu mata kuliah terakhir di kantin.

"Bisa tidak kita membahas hal lain?"

"Menghindar hanya akan memperburuk keadaan. Kamu sadar tidak, setiap kita berada di tempat yang sama dengan Erga, ada saja alasanmu untuk pergi. Padahal dia tidak berubah sedikitpun. Erga masih menyapa lebih dulu, tersenyum bahkan menawari bantuan bila kita kesulitan mengerjakan tugas." Adisti tampak kesal dengan reaksiku yang diam saja. "Bila tetap bersikeras untuk tutup mulut maka lanjutkan hidup dengan baik. Jangan memposisikan diri sebagai satu-satunya yang terluka padahal mempunyai kesempatan untuk memperbaiki keadaan."

Aku menghela napas panjang. "Terlambat, Ti. Erga sudah bersama perempuan lain."

"Semua masih rumor. Aku pernah menanyakan hal ini langsung padanya. Dia bilang perempuan itu hanya teman biasa. Jangan terlalu cepat mempercayai kabar hanya karena melihatnya dengan emosi. Apalagi Erga memang dikenal banyak teman perempuannya. Bisa saja ada orang yang tidak suka dan melebih-lebihkan rumor."

Bola mata berputar ke arah tempat parkir yang sedang disiapkan untuk acara inagurasi besok. Ucapan Adisti masih terngiang. Seharusnya aku mempunyai sedikit keberanian untuk menjelaskan kesalahpahaman ini. Bahwa perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi aku terlalu takut mengakuinya. Takut bila dia akan berubah seperti mantan kekasihku dulu.

*****

Keesokan pagi, Adisti tiba-tiba mengabari kalau salah satu tugas yang rencananya dikumpulkan lusa, ternyata tanggalnya dimajukan karena dosen yang bersangkutan akan keluar kota selama beberapa hari. Rencana untuk ikut pergi bersama keluarga ke salah satu tempat wisata di Garut terpaksa batal. Padahal aku berharap bisa melupakan sejenak masalah dengan berlibur.

"Tidak bisa diwakilkan saja, Sya? Demammu belum turun dari semalam. Setidaknya meskipun tidak ikut, ada  baiknya kamu istirahat di rumah." Ibu tampak khawatir meninggalkan putri bungsunya sendirian. Kak Aji dari dua hari yang lalu mengikuti pelatihan di Surabaya.

"Ibu tenang saja. Sudah agak baikan kok," ucapku berbohong. "Marsya nanti pulang cepat kalau sudah selesai urusan di kampus."

Ayah mengusap rambutku yang masih berantakan. "Dengarkan apa kata ibumu. Belakangan ini Ayah perhatikan kamu terlalu sibuk sampai lupa makan dan kurang istirahat. Belajar memang penting tapi kesehatan tidak boleh diabaikan."

"Baik, Yah. Marsya mengerti," balasku menahan sakit di tenggorokan.

Orang tuaku akhirnya menyusul kakak pertamaku dan keluarganya yang sudah menunggu di mobil. Wajah khawatir Ibu menjadi salah satu alasan kuat untuk bersikap sewajar mungkin di hadapan mereka. Hanya saja aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dengan alasan mengerjakan tugas.

Demam membuat tubuhku lemas. Tenggorokan terasa sakit terutama setiap akan bicara. Suara yang terdengar semakin serak bahkan kadang hilang.

Aku memaksa diri keluar dari rumah. Meninggalkan segala bentuk kenyamanan untuk berhadapan kembali dengan kenyataan. Tifak lupa memasang senyum dan menegaskan pada diri sendiri untuk kuat.

Kampus sangat ramai begitu tiba di sana. Stand aneka makanan, minuman dan pernak pernik berderet di sepanjang jalan menuju parkiran yang disulap menjadi area pentas. Suara musik yang cukup keras membuat gendang telinga mau pecah.

Adisti sengaja menunggu di depan gerbang kampus. Ia mencemaskan keadaanku yang kurang sehat. Kami berjalan menuju ruangan dosen.

Di tengah keramaian, pandangan mata terhenti pada dua orang yang tengah mengobrol tidak jauh dari panggung, Erga dan Tiara. Keduanya larut dalam canda tawa tanpa mempedulikan perhatian orang-orang di sekitar. Erga tampak lepas tetapi tetap waspada, menjaga Tiara dari tangan-tangan jahil yang mungkin mencuri kesempatan.

Adisti mengamit lenganku, mengajak pergi menjauh dari keramaian. Aku mengikuti langkahnya menuju ruang dosen di gedung yang baru saja di bangun. Beruntung ruangan yang kami tuju ada di lantai satu. Kenangan menyeramkan saat ospek belum sepenuhnya hilang.

Lelah oleh sakit dan tekanan, aku memilih duduk ruang tunggu setelah mengumpulkan tugas dan menulis mengisi daftar hadir. Mata terpejam, bersandar kebelakang dengan kedua tangan memegang erat tas. Adisti memintaku menunggu sementara ia pergi ke toilet.

Sepuluh menit berlalu, sahabatku itu muncul dengan wajah masam. "Kita belum bisa pulang. Gio minta kita menunggunya. Catatan milikku terbawa olehnya kemarin. Padahal lusa  ada kuis."

"Kenapa dia tidak mengantarnya saja langsung ke rumahmu?" Suaraku mulai  terdengar samar.

"Tanggung katanya. Dia, kan, juga mau mengumpulkan tugas. Sebentar lagi juga sampai. Kamu masih kuat?"

"Iya, cuma agak pusing."

Kami memutuskan untuk kembali melihat acara inagurasi. Erga dan Tiara tampak berada di kantin bersama senior lain. Keakraban mereka menghadirkan sesak di dada. Erga sempat beberapa kali menoleh ke arah kami namun rasa sakit membuatku pura-pura tak melihatnya.

Adisti menepuk bahu. Ia memberi isyarat kalau Gio sudah datang. Dengan sisa tenaga, aku memaksa kaki berputar menuju ruangan dosen. Tapi karena suasana di sana rupanya dipenuhi mahasiswa, aku memilih menunggu di perpustakaan.

Keadaan perpustaan lengang bahkan nyaris sepi. Berbanding terbalik dengan keramaian di luar. Sungguh tempat yang kubutuhkan untuk sejenak mengistirahatkan kaki dan pikiran.

Meja di deretan rak paling belakang kembali menjadi pilihan. Ditemani aroma buku dan kesunyian, aku merebahkan kepala di meja. Jemari membuka asal lembaran buku yang sempat kuambil secara acak.

"Marsya."

Suara itu, desahku dalam hati seraya mengangkat kepala. Erga tengah berdiri di samping rak yang berhadapan meja yang kududuki. Ia berjalan mendekat, menarik bangku tepat di depanku.

Pandangannya menyapu seluruh tubuh. Aku mungkin terlihat menyedihkan. Wajah yang pucat tanpa polesan make up. Rambut diikat seadanya bahkan beberapa anak rambut mencuat keluar. Sweater longgar berwarna hitam menambah kesan kucel. Bagai langit dan bumi bila disandingkan dengan Tiara. Memikirkan hal itu membuat kepercayaan diri drop.

"Sebenarnya aku malas membahas hal yang sudah berlalu tapi tadi temanmu sempat menemuiku. Ia bicara tentang dirimu dan kesalahpahaman yang terjadi. Kita  selesaikan semua dengan baik-baik hari ini."

Aku menelan ludah. "Apa yang ingin kamu dengar?" Suara yang keluar nyaris tak terdengar.

Erga menatap dengan sorot tajam. "Aku mungkin salah mengira. Membuat kesimpulan terlalu cepat hanya berdasar dari caramu bereaksi setiap kudekati. Sikapmu yang salah tingkah bahkan cemburu pada Putri. Aku tidak marah sekalipun perasaan ini tak berbalas, hanya sedikit kecewa karena kamu menghindar seakan keberadaanku menganggu."

"Ma... af." Air mata mulai membayang. Segenap kekuatan yang tersisa meminta untuk bertahan. Ini mungkin kesempatan terakhir untuk menyelesaikan kesalahpahaman meskipun tidak akan mengubah keadaan diantara kami.

Laki-laki itu menggerakan kursinya kebelakang lalu bangkit. "Kita bicara lagi lain waktu. Kondisimu tidak terlihat sehat."

Kepalaku menggeleng, bersikeras meski tenggorokan terasa sakit setiap membuka mulut. "Se... karang sa..  ja."

Erga menoleh padaku. "Tidak. Kita bicara setelah keadaanmu membaik."

"Ta... "

"Tidak ada tapi. Adisti sudah menjelaskan semuanya. Aku hanya ingin mendengar langsung penjelasan darimu. Sekarang pulang dan istirahatlah. Demammu akan semakin memburuk bila memaksa tetap tinggal di sini."

Aku menyerah, pasrah pada keadaan.  Penjelasan apapun tidak akan mengubah kenyataan bila saat ini ada perempuan lain diantara kami. 

"Erga, aku mencari-carimu tapi kamu malah asyik di sini." Gerutuan seorang perempuan mengalihkan perhatianku.

Tiara berjalan menghampiri Erga. Ia menoleh padaku dengan mata menyipit. Pandangannya yang seolah sedang menilai membuatku semakin tak percaya diri. Keduanya tampak serasi.

Aku bergegas bangkit, menguatkan tenaga untuk menjauh dari keduanya. Penjelasan apapun tidak berguna lagi. Dan berhenti membayangkan keadaan akan berubah merupakan hal paling konyol.

"Marsya, Tunggu!" Erga mengejar langkahku hingga keluar dari perpustakaan. Aku terus berjalan, menyusuri koridor yang jarang di lalui mahasiswa. "Marsya!" serunya tak sabar seraya menarik lenganku.

Sorot tajam laki-laki itu menciutkan nyali. Aku menunduk, tidak berani menatap bola matanya. "Kamu salah paham, Sya. Hubunganku dan Tiara hanya sebatas teman. Dia anak dari teman ibuku."

"Teman?" ucapku tak percaya.

"Aku sukanya sama kamu, Sya. Tapi kamu sendiri yang selalu menghindar, seolah keberadaanku hanya penganggu. Di saat aku berusaha menerima keputusanmu, tiba-tiba saja temanmu datang dan mengatakan hal sebaliknya. Mau kamu apa, Sya?" Erga menatap lekat ke arah bola mataku. "Aku tidak akan marah atau memaksa bila hubungan kita berujung pertemanan. Penolakan adalah resiko dari menyukai seseorang jadi bagiku hal itu bukan alasan untuk mengubah keadaan kita menjadi musuh. Pengakuan waktu itu memang bentuk keseriusan tapi keputusan sepenuhnya ada padamu."

Aku mengigit bibir yang bergetar. "Bukan begitu... maksudku."

"Sudahlah, kita lanjutkan nanti. Aku tidak ingin kondisimu semakin memburuk. Pul... " Erga tersentak, namun tubuh tegapnya cukup sigap saat aku mendadak memeluknya.

"Ja... jangan pergi," ucapku terbata-bata menahan tangis. Dada bagai diremas kuat hingga sulit untuk bernapas.

"Siapa yang pergi? Bukankah kamu yang selalu kabur bila kita kebetulan berada di tempat yang sama." Erga melepas rangkulanku. Kekecewaan masih membayang di wajahnya. "Aku masih di sini, selalu,  menunggumu yang tanpa kejelasan mengulur-ulur status hubungan kita."

Ia menghela napas lalu menggeleng pelan. "Kamu tahu, melihatmu sakit sementara aku hanya bisa melihat dari kejauhan, rasanya lebih menyakitkan dari sekadar penolakan. Tapi hal itu tak mampu menyurutkan rasa yang ada." Sedetik kemudian sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh bibirku. "Aku cinta sama kamu, Sya bukan Tiara maupun perempuan lain, cuma kamu."

Tbc



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro