Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap#7- Harapan Kosong

Hari pertama memulai perkuliahan memberi banyak kesan. Semua tampak berbeda ketika masih mengenakan seragam putih abu. Terlihat lebih bebas tetapi tanggung jawabnya lebih besar. Tidak ada lagi guru yang mengingatkan untuk mempelajari pelajaran. Sekarang aku dituntut mandiri dan serius bila tidak ingin mengulang mata kuliah tahun depan.

Selain pengenalan kampus, tugas-tugas yang bermunculan perlahan menyita perhatian. Aku berusaha menikmatinya dan mengenyampingkan berbagai perasaan tak nyaman tentang Erga.

Semenjak ospek berakhir, hubungan kami semakin berjarak. Lebih tepatnya diriku yang selalu mencari alasan untuk menghindarinya. Berbanding terbalik dengan teman-temanku, mereka justru menyukai sosok laki-laki itu. Selama ini, di antara senior lain, Erga termasuk salah satu yang paling ramah. Dengan senang hati, ia rela mengajari bila ada yang meminta bantuan.

Berbanding terbalik dengan sikapku pada Erga, Satria justru yang menjauh. Ia mungkin kesal karena ajakannya pada malam pada akhirnya gagal. Ibu memintaku menemaninya ke acara pernikahan salah satu anak temannya pada hari yang sama. Aku sudah mencoba meminta maaf baik melalui telepon maupun berbicara langsung tetapi dia sepertinya masih jengkel.

"Sya, anak-anak yang lain mau ke himpunan. Kamu mau ikut?" tanya Adisti setelah kami menyelesaikan mata kuliah terakhir hari ini.

Keramaian di ruangan berukuran tidak terlalu besar itu membayang. Ruangan himpunan sering kali jadi tempat berkumpul mahasiswa. "Nggak deh. Aku pulang duluan saja ya." Menyadari besar kemungkinannya bertemu Erga di sana, pulang ke rumah merupakan pilihan terbaik.

Adisti menolak menyerah. Ia mencoba dengan berbagai alasan agar aku mau menemaninya. "Ayolah, Sya. Sekali ini saja. Aku dengar anak-anak yang lain sedang di sana. Erga kebetulan sedang bisa diminta bantuan mengerjakan tugas. Tengat waktunya besok. Memangnya tugas kamu sudah selesai?"

"Baru selesai setengah sih. Tapu si sana pasti penuh dan sesak. Kita kerjakan berdua saja atau minta bantuan senior lain tapi jangan ke himpunan?" kataku mengutarakan alasan lain.

Sahabatku itu cukup keras kepala. Melihat ia sampai memohon memunculkan rasa penasaran sekaligus tak tega. Meski belum lama mengenal, aku tahu Adisti bukan pemalas yang menggantungkan nasibnya pada bantuan orang lain. Pasti ada alasan yang lebih besar dari hanya sekedar mengerjakan tugas.

Sepuluh menit berselang, kami tiba di ruang himpunan. Pada akhirnya aku harus menyerah dan mengabulkan permintaan Adisti. Tatapan penuh harapnya tak bisa diabaikan begitu saja.

Dugaanku ternyata terbukti. Sebagian besar mahasiswa baru memenuhi ruangan yang tidak terlalu besar itu. Keramaian di dalamnya membuatku berpikir ulang untuk terus melangkah.

Aku mengigit bibir cukup keras ketika mendapati Erga tengah dikerumuni teman-temanku. Ia tampak tertawa lepas dan tak terganggu dengan begitu sesaknya ruangan itu. Pandangan mata beralih pada perempuan di sebelahnya. Putri.

Sikap keduanya mengesankan ada sesuatu yang lebih pada hubungan mereka. Cara Erga menatap Putri pun berbeda, lebih lembut, seolah perempuan itu spesial.

Adisti mengamit lenganku. Senyumnya tampak dipaksakan. Ia sepertinya mengetahui apa yang sejak tadi menahan kakiku di depan pintu. Sekuat tenaga, aku mencoba menggunakan akal sehat. Bagaimana pun hubungan kami hanya sebatas senior dan junior. Dia lebih dari berhak bersama perempuan manapun.

Kami beranjak menuju sudut ruangan dekat dengan rak untuk menyimpan berkas. Aku terdiam, kebingungan ketika Adisti justru meminta bantuan pada Wisnu. Laki-laki bertubuh besar itu sendiri terlihat sama bingungnya dengan kedatangan kami.

Senyum Adisti mengembang. Ia memberi isyarat kalau Wisnu tak kalah pintar dari Erga. Aku tetap menurut dan duduk bersila di hadapan laki-laki yang tengah membungkus kembali makanan ringan yang dimakannya.

Tebakanku kembali tidak meleset. Wisnu lebih banyak mengajak mengobrol di luar tugas yang kami sodorkan. Satu alasan yang membuatku tetap bertahan karena binar di sorot mata Adisti. Gelak tawa dan mimik wajahnya terlihat bahagia, khas orang yang sedang jatuh cinta.

Bila diperhatikan Wisnu tidak terlalu jelek. Lemak di tubuhnya memang tidak bisa disembunyikan. Bila mau, dia bisa menurunkan berat badannya. Tapi senyumannya tampak tulus dan humoris. Penampilannya juga jauh lebih rapih dibandingkan saat ospek dulu. Bukankah menyukai seseorang tidak hanya sebatas memuja  penampilan fisik?

"Sebentar." Wisnu menghela napas setelah sekian menit memandangi catatan milik Adisti sambil menopang dagu. "Ga, mau kemana? Sini bentar dong."

Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Untuk sejenak, keberadaan laki-laki itu sempat terlupakan. Aku bahkan tidak sadar orang-orang mulai meninggalkan ruang himpunan.

"Ada apa, Wis?"

Pembicaraan keduanya terdengar bagai angin lalu. Pikiranku terlalu sibuk menenangkan diri agar terhindar bertindak konyol. Bahkan untuk sekadar melirik pun, kepala terasa berat. Ah menggelikan, tanpa harus melakukan apa-apa, Erga mampu mengobrak-abrik benteng pertahanan atas nama gengsi.

"Kalau mau melamun, sebaiknya pulang saja. Hargai orang yang sudah susah payah membantu mengerjakan tugas kalian." Teguran bernada jengkel sontak mengembalikan konsentrasi.

Adisti tersenyum kecut. Pandangannya menyadarkan diriku bahwa suara tadi bukan berasal dari Wisnu. "Biar saja, Ga. Marsya mungkin sedang capek," bela Wisnu.

"Bukan begitu, Wis. Dia harus belajar lagi menghargai waktu orang lain. Masih untung yang negur bukan dosen. Ya sudah, aku pergi duluan, Wis."

Semua kata pembelaan berakhir di tenggorokan. Tak terucap dan tertelan dalam kesedihan. Kalimat sinis Erga masih terngiang, mengejek kesalahanku selepas sosoknya menghilang. Sekalipun begitu, semua kegelisahan berhasil tertutupi dengan sisa ketenangan.

"Kamu nggak apa-apa, Sya?" tanya Adisti saat kami meninggalkan ruangan himpunan setelah menyelesaikan tugas.

"Tentang apa?"

Adisti melambatkan langkahnya. Ia meremas tali tas yang melingkar di bahunya. "Mm... soal kata-kata Erga tadi."

Bahuku terangkat, untuk kesekian kali memaksa bibir untuk tersenyum. "Aku memang salah, tak memperhatikan dia dan Wisnu yang sedang menerangkan. Jadi wajar saja kalau dia marah."

"Memang tapi rasanya dia terlalu berlebihan. Tadi aku sempat melihat beberapa teman kita juga kurang memperhatikannya dan reaksi Erga biasa saja."

"Mungkin karena terlalu banyak orang jadi nggak kelihatan. Sedangkan kita hanya berdua. Sudahlah, sekarang kita pulang saja." Adisti mengangguk, hari semakin beranjak sore dan hujan tidak lama lagi akan turun.

Di depan gerbang kampus, kami berpisah. Aku harus bersabar menunggu kendaraan umum di halte yang berjarak beberapa meter dari kampus. Perasaan yang membebani membuatku sengaja tidak terburu-buru ingin segera pulang ke rumah.

Sentakan kuat terasa memukul dada. Wajah kupalingkan ke arah ponsel, pura-pura menyibukkan diri tatkala melihat Erga keluar dari gerbang kampus. Kepedihan merambat, melihat perempuan yang duduk di belakang motornya. Beberapa kali mata mengerjap, menahan panas yang tiba-tiba datang. Harap dan doa mengalun dalam hati agar keduanya tak menyadari keberadaanku. Apa diriku benar-benar menyukai Erga?

*****

Flu dan demam menyerang pertahanan tubuh. Dua hari sudah aku terbaring setelah kehujanan sepulang dari kampus waktu itu. Adisti sempat menjenguk, ia setengah menggerutu mendengar kemungkinan diriku masih akan absen untuk dua hari ke depan.

"Mau ke dokter, Sya? Ibu temenin ya." Ibu tak bisa menyembunyikan kekhawatiran pada putri bungsunya.

"Nggak perlu, Bu. Marsya cuma butuh istirahat saja, sudah agak baikan kok."

Ibu menghela napas namun tetap menyungging senyuman melihatku batuk beberapa kali. Sorot kekhawatiran menghadirkan rasa bersalah. "Jangan lupa diminum obatnya. Bolosnya juga jangan lama-lama, nanti kuliah kamu ketinggalan terlalu jauh." Aku mengangguk, menutupi alasan sebenarnya keengganan kembali ke kampus.

Setelah menimbang, mengerahkan semua sisi positif yang kumiliki. Aku memutuskan untuk pergi kuliah besok. Tidak bijak rasanya memanjakan keinginan untuk lari dari masalah dengan mengorbankan kewajiban. Apalagi orangtuaku sudah mengeluarkan uang cukup besar agar diriku bisa kuliah.

Menjelang makan malam, kami semua berkumpul. Semua berjalan seperti biasa. Kami menyantap makanan sambil membicarakan banyak hal. Aku sendiri lebih banyak menjadi pendengar yang baik.

Kak Aji tiba-tiba muncul dengan wajah kusut dari ruang tamu. Ia baru saja pulang dari kampusnya. "Marsya, sini sebentar. Kakak mau bicara."

"Ada apa sih, Ji. Pulang kok sikapnya begitu. Adikmu kan sedang sakit, tunggu dia selesaikan makannnya dulu." Protes Ibu dengan kepala menggeleng.

"Nggak apa-apa, Bu. Aku sudah selesai makan, kok," ucapku sambil bangkit. Bila tidak dilerai, suasana akan bertambah tidak nyaman.

Aku mengikuti Kak Aji menuju kamarnya. Ruangan tiga kali empat itu sesak oleh barang-barang miliknya. Buku-buku berserakan di lantai, membuatku harus memilih jalan untuk menjejakan kaki sebelum akhirnya duduk di sisi tempat tidur.

"Ada apa sih, Kak?" tanyaku bingung.

Kak Aji berjalan menuju meja tempat ia biasa mengerjakan tugas. Diseretnya kursi kayu ke arahku lalu menghempaskan tubuhnya dengan kasar. "Kenapa kamu tidak bilang soal kejadian malam itu?"

"Kejadian apa, Kak?"

"Waktu kamu terjebak di ruangan selesai ospek. Kamu tidak perlu tahu Kakak dengar darimana."

Wajahku memucat. "Marsya pikir itu hanya kesalahpahaman. Toh panitianya juga sudah minta maaf. Lagi pula aku nggak terluka."

"Apapun itu kamu harus tetap bilang. Kamu tahu sendiri apa yang pernah terjadi karena dirimu memilih menyimpan masalah sendiri." Suara Kak Aji melunak tapi tak begitu dengan kepalan tangannya.

Ingatan pada masa SMA mengurungkan niat untuk membela diri. "Aku mengerti, Kak. Hanya saja, keadaannya nggak seburuk yang Kakak pikir. Aku harus belajar menjalani hidup tanpa merepotkan kalian semua."

Kak Aji beranjak dari kursinya. Ia menghampiri lalu duduk di sampingku. Tangannya terangkat dan mengusap puncak kepalaku. "Semua ini semata-mata karena Kakak sayang padamu. Lain kali kamu bisa bercerita pada Kakak bila ada masalah atau sesuatu menganggumu. Jangan memendamnya sendiri. Mengerti?"

"Iya. Terima kasih, Kak."

****

Keesokan harinya aku kembali ke kampus. Pembicaraan semalam dengan Kak Aji menjadi penyemangat tambahan. Aku salah mengira kalau selama ini kakak keduaku itu kurang perhatian. Di balik sikapnya yang menjengkelkan, ia rupanya tetap perhatian.

Pagi itu, suasana kampus masih sangat sepi. Tidak ingin terjebak macet, aku sengaja berangkat lebih pagi. Tapi ternyata keadaan jalanan lumayan lancar hingga sampai di kampus sebelum kelas di mulai.

Kaki terus bergerak menuju kantin. Letaknya tidak jauh dari bangunan utama. Aku bisa menghabiskan waktu di sana sambil menunggu Adisti atau teman yang kukenal datang.

Kios makanan belum banyak yang buka dan akhirnya hanya membeli minuman dingin dalam kemasan sebagai teman menunggu. Aku duduk di meja yang menghadap ke arah jendela. Setelah mengeluarkan ponsel, pikiran mulai melayang.

"Pagi, Sya." Sapaan bernada ramah mengusik konsentrasi.

Kepalaku mendongkak dan mendapati seorang laki-laki berdiri tepat di hadapan. Ia menenteng ransel sementara tangannya yang bebas membawa map plastik. "Boleh duduk di sini?" tanyanya kembali setelah sekian menit tidak ada jawaban dariku.

Perasaan kesal yang berkelebat kutepikan sejauh mungkin. Bereaksi kasar tentu tidak akan mengubah keadaan. Dan tentunya nilai diriku akan bertambah jelek di matanya.

"Boleh," balasku singkat.

Erga duduk di hadapanku lalu meletakan ransel dan map di kursi yang lain. Pandangannya beralih, menatap lekat tanpa kedip. Ia terus memperhatikan, menunggu reaksiku yang masih membisu.

"Kamu masih marah waktu ospek kemarin, Sya? Kamu sengaja menghindar, kan."

"Nggak," jawabku bohong. "Saya nggak punya alasan untuk itu."

Erga menghela napas. "Panggilannya nggak usah terlalu formal, Sya. Kita, kan sudah selesai ospek. Panggil nama saja ya, usia kita juga nggak terlalu jauh."

"Oke."

Erga tiba-tiba bangkit, menyeret kursi yang ia duduki memutari meja hingga menyisakan sedikit jarak denganku. Dengan gerakan santai laki-laki itu menopang dagu lalu kembali menatap lebih dalam. Aku menenangkan debaran jantung yang mulai riuh. Mempertahankan ketenangan sepertinya sulit tapi memperlihatkan hal sebaliknya tidak kuinginkan.

"Maaf kalau sikapku menjengkelkan akhir-akhir ini. Aku sudah kehilangan cara untuk bisa bicara denganmu. Kamu selalu sengaja menghindar." Telingaku belum terbiasa mendengar ia menyebut dirinya dengan panggilan aku. Rasanya aneh.

Aku menelan ludah, membenarkan perkataannya dalam hati. Selesai ospek Erga memang selalu menyapa bila berpapasan atau mengajak bicara ketika kami kebetulan bertemu tetapi diriku selalu menjaga jarak. Menghindar seolah tak ingin terlihat olehnya.

"Bukan begitu. Marsya sedang banyak tugas jadi sedikit sibuk saja."

"Jangan bohong. Aku bisa membaca raut masam kamu setiap kali kita tak sengaja bertemu. Kamu marah karena kejadian saat jurit malam itu, kan? Karena aku membiarkanmu ketakutan sepanjang malam dan menemani Putri?"

"Aku nggak ingin membahas kejadian mengerikan itu lagi? Dua kali aku mengalaminya dan kamu malah bersa.... " Kalimat terakhirku mengambang di udara. Tersadar telah bersikap konyol. "Sudah selesai bicaranya? Aku mau ke kelas dulu."

Erga menahan tanganku saat bangkit. Rahang kokohnya mengeras seiring tatapan yang semakin menajam. Aura gelap menyeruak dari setiap gerakan tubuhnya. Dengan terpaksa, kuhempaskan kembali tubuh di kursi.

"Aku mengerti cara berpikirmu belum sepenuhnya dewasa tapi kamu pasti paham tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang di sebut pacar. Menurut kamu, kita berdua terikat pada hubungan sejenis itu hingga aku harus memposisikanmu lebih dari perempuan lain?"

Perkataan Erga membuka mataku lebar-lebar, membawa kembali seluruh akal sehat menginjak bumi. Menyadari kenyataan yang membuat wajahku memerah menahan malu. Bila rela lebih  mempermalukan diri sendiri, aku mungkin sudah menangis.

Aku menelan ludah, membasahi tenggorokan seraya menguatkan hati. Bersusah payah mengumpulkan kembali puing-puing harga diri yang tercecer. "Baiklah, aku akan menjawab sebagai seseorang yang belum sepenuhnya meninggalkan fase remaja. Katakanlah aku naif tapi diriku hanya bereaksi pada tindakanmu selama belakangan ini. Mungkin aku salah mengartikan kebaikan yang kamu tunjukkan tetapi sebagai laki-laki dewasa apakah menurutmu memberi perhatian dan harapan kosong merupakan tindakan bijak? Tidakkah seharusnya kamu berpikir panjang sebelum melakukan perbuatan yang bisa membuat orang lain salah paham."

Genggaman tangannya menguat dan baru mengendur ketika melihatku meringis. Tapi bukan berarti Erga lantas melepaskan diriku. "Harapan kosong? Bukankah kamu sendiri yang memilih menjauh selagi aku berusaha mencari cara untuk bisa bicara denganmu."

Aku menarik paksa lengan dari genggamannya. Sebagian membenarkan ucapannya tetapi sisi yang lain menolak di salahkan. "Terserah. Aku mau ke kelas dulu," balasku pura-pura melirik jam tangan.

Erga menggeleng pelan lalu berdecak. Tatapannya masih menajam ketika berdiri untuk bangkit. "Mau melarikan diri lagi? Menghindar lagi agar kamu bisa tetap punya alasan untuk menyalahkan diriku bila dekat dengan perempuan lain. Dan bersikap seakan  menjadi korban dari harapan palsuku."

"Jangan ge er. Siapa yang punya maksud kayak gitu. Aku memang ada kelas pagi," gerutuku.

"Masih pura-pura bohong lagi. Cepat bangun, katanya tadi ada kuliah atau... " Seringai licik tercetak jelas di wajahnya. Sisi lain Erga yang baru kulihat.

"Atau apa?" tantangku meski akhirnya bangkit juga.

Ia melangkah lebih dekat. "Mau aku cium," bisiknya tepat di telingaku.

"Gila!" Pipiku memerah karena malu dan marah. "Aku nggak serendah itu bisa dicium sembarang orang."

"Kalau begitu biar nggak jadi sembarang orang, kamu mau jadi pacarku?"

Aku terdiam, tidak menyangka akan mendengar kalimat itu secepat ini. "Boleh tapi dengan satu syarat, kamu harus memberitahu orang-orang kalau kamu mau jadi pacarku. Minimal  dua puluh orang dalam waktu lima menit. Sanggup?" Keadaan kampus masih agak sepi dan rasanya mustahil menyelesaikan permintaanku dalam waktu singkat, pikirku dalam hati.

Erga mengedipkan matanya. "Itu sih mudah."

Dia segera berlari ke arah tiga orang laki-laki yang tengah berjalan menuju bangunan utama. Mereka berbicara sebentar cukup serius. Salah satu dari ketiganya memberikan benda dengan raut tidak rela, ya benda itu sebuah pengeras suara. Bunyi nyaring yang dikeluarkan benda itu membuat orang-orang mulai mendekati Erga karena kaget sekaligus bingung.

Erga tersenyum ke arahku yang masih tertegun, tak mempercayai apa yang terjadi. Jumlah orang yang berkumpul sekitar dua puluh lebih saat menghitung dalam hati. "Cek satu dua tiga. Satu dua tiga. Ehem saya umumkan kalau Marsya, mahasiswi baru jurusan teknologi pangan mulai detik ini sudah memiliki kekasih yang tidak lain saya sendiri. Sekian dan terima kasih."

Tubuhku mematung dengan wajah semerah tomat ketika pandangan orang-orang beralih padaku. Dan  Erga, sosoknya menghilang, berlari menuju perpustakaan menghindari kejaran laki-laki yang meminjaminya pengeras suara tadi.

Ini pasti hanya mimpi. Pasti mimpi.

Tbc

Halo-halo readers. Maaf ya lama nggak muncul". Untuk kali ini melody yang update. Cerita lain di segerkan ya termasuk repost, jadi untuk sementara cerita yg akan di update tidak selalu setiap malam minggu. Bisa cepat atau lambat tanpa menunggu malam minggu. Mungkin seminggu bisa dua cerita.

Oh ya, untuk yang belum berkesempatan memiliki novel cinta pangeran es bisa ikut GA di booktour CPE ya.

Love you,

Dinni83

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro