Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap#6 Tutup mulut

Hari dimana ospek terakhir berlangsung akhirnya tiba juga. Perasaan terbagi antara mengikuti acara atau absen dengan alasan sakit. Semalaman mataku sulit terpejam hanya memikirkan hal itu. Satu sisi, keberadaan Erga jadi salah satu penyemangat sementara di sisi yang lain, membayangkan harus berhadapan dengan aura seram di kampus berhasil membuatku bulu roma berdiri.

Pada akhirnya, semua perdebatan tadi  hanya ada dikepala. Aku tidak memiliki alasan kuat untuk bolos ospek. Ibu pasti akan mengomel panjang lebar dan berimbas dengan menyebutkan nominal uang untuk kuliahku yang jumlahnya tidak sedikit. Seperti biasa, Ayah hanya memberi nasihat dan mengembalikan semua pilihan padaku. Sementara Kak Aji, tentu saja dia akan jadi orang yang paling depan mengejek ketakutanku.

Kejadian buruk dua hari lalu memang sengaja tidak aku ceritakan pada siapapun termasuk keluarga. Mengerikan memang saat menggali ingatan pada malam itu. Sendirian di ruangan tertutup dalam gedung yang sepi. Tapi aku tidak ingin mereka terus menerus khawatir.

Dan, disinilah aku sekarang. Menahan dingin di pagi buta bersama peserta ospek lain. Kami berkumpul di tempat parkir sesuai kelompok masing-masing. Setiap kelompok didampingi satu orang senior. Aku hanya mampu menghela napas ketika mengetahui Wisnu jadi pendamping kelompokku. Dia terkenal paling penakut diantara senior lain terutama yang berbau supernatural.

"Aku harap kita bisa melewati malam ini dengan selamat," keluh Adisti. Ia duduk disampingku tanpa semangat.

Ada sedikit kelegaan ketika kami ternyta berada dalam kelompok yang sama. Hal itu tidak berlangsung sama bengitu mengetahui sisa anggota yang lain.  Gio, Nilam dan Arie, penampilan fisik ketiganya tidak mengesankan cukup pemberani. Nilam cenderung pemalu, dia lebih banyak diam sambil mengigit ibu jari. Arie lain lagi, bukan kacamata tebal yang membuatku meragukan kemampuannya. Sifat penakutnya bukan lagi sekadar rumor. Sebagian teman malah terkesan enggan satu keompok dengannya.

"Jangan berlebihan deh, ini acara ospek bukan game survival. Panitia pasti sudah memikirkan segi keselamatan," ujarku setelah menenangkan diri. Berpikir negatif sama sekali tidak membantu.

"Memang tapi bagiku lebih terlihat seperti uji nyali. Suka tidak suka, kita akan di hadapkan dengan kegelapan dan ruangan sepi di malam hari. Imajinasi akan sangat mudah membentuk bayangan dari ketakutan. Masalahnya apa kita bisa berpikir tenang atau malah lari terbirit-birit bila kemungkinan terburuk jadi kenyataan. Dan yang paling mengerikan, kita menyadari sudah terpisah dari anggota lain."

"Kamu habis nonton film horor? Apa tidak ada bahasan lain," gerutuku mulai jengkel.

Lengannya terangka, bergerak untuk merangkul bahuku. "Ada, tapi jangan salahkan aku kalau semangatmu semakin drop." Ia tertawa pelan.

"Apa itu?" tanyaku sekenanya.

Dia menunjuk ke arah kelompok yang berada dibagian depan, dimana Putri berada. Perempuan itu sangat beruntung, selain Satria yang menjadi salah satu anggota kelompoknya. Erga rupanya menjadi senior pendamping mereka. Laki-laki itu sedang memberi arahan pada kelompok yang didampinginya.

"Satu-satunya yang kukhawatirkan kalau ada anggota kita yang pingsan saat acara malam nanti."

Bola mata Adisti membulat. Kedua aliasnya terangkat dengan sorot tak percaya. "Maksudku Kang Erga? Kamu tidak iri tidak satu kelompok dengannya."

Aku menghela napas pendek. "Iri juga percuma, keputusan penetapan senior pendamping nggak bisa diubah lagi. Yah, semoga hari ini cepat berakhir."

Kedatangan Ferdi menghentikan pembicaraan kami. Acara dimulai dan sedikit demi sedikit mengalihkan konsentrasiku. Sebagian besar rangkaian kegiatan bertujuan untuk menguji kekompakan setiap kelompok. Sejauh ini kelompokku mengumpulkan nilai paling sedikit. Dan yang lebih mengesalkan hal itu karena jadi bulanan-bulanan panita lain.

Aku melirik iri pada kelompok Putri. Nilai kelompoknya tertinggi, jauh di atas kelompok lain. Erga sebagai pendamping selalu memberi semangat tanpa kesan menekan. Satria yang sebelumnya memberi jarak malah terlihat akrab.

"Duh, gimana nih. Kalau begini terus, kita bakal jadi kelompok paling terakhir acara jurit malam nanti." Adisti tidak bisa menyembunyikan kecemasannya. Ketiga temanku yang lain bersikap sama. Di tambah keberadaan Wisnu yang tidak bisa diharapkan. Senior pendampingku itu lebih fokus pada makanan.

"Sudahlah, percuma juga kita bahas. Sekarang paling penting bagaimana caranya kelompok kita bisa mengejar ketinggalan, setidaknya nggak jadi posisi paling akhir." Kami berlima kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Menjelang malam hari, memasuki waktu istirahat, seluruh peserta kembali berkumpul di lapangan parkir. Penilaian hasil akhir akhirnya diumumkan. Seperti yang sudah diduga, kelompok kami mendapat poin paling kecil. Dan, itu artinya kami harus menunggu semua kelompok menyelesaikan tugasnya untuk mendapat giliran terakhir pada acara jurit malam.

Kelompokku berada di barisan paling belakang. Aku duduk bersila, sedikit menjauh dari anggota yang lain dan lebih banyak mendengarkan pembicaraan mereka menerka-nerka apa yang akan terjadi nanti. Ketegangan juga dirasakan para peserta ospek lainnya.

Pandangan beralih kesekeliling dengan waswas. Aku sempat bergidik ketikan tak sengaja berhenti pada bangunan lima lantai tempat dilaksanakan acara nanti. Letaknya tepat disebelah bangunan yang digunakan untuk ruang kelas. Gedung itu baru saja diresmikan dan rencananya diperuntukkan khusus untuk ruang praktikum. Dari lima lantai hanya tiga lantai yang lampunya menyala.

"Jangan melamun, pamali, Nyai." Tegur seseorang. Suara baritonnya terdengar familier.

Wajahku berpaling ke sumber suara. Erga tengah berjongkok disampingku. Pandangannya lurus, tepat menghadap kerumunan panitia di depan barisan mahasiswa baru. Ada sedikit    rasa senang menyelinap dan semakin menggelitik perut yang sejak tadi sakit karena tegang. 

"Jangan nakut-nakutin deh, Kang."

Mimik wajahnya tetap serius. Ia terlihat tidak seperti biasanya. "Tahun kemarin ada yang melamun terus... "

Aku menelan ludah. "Terus apa, Kang?"

Raut seriusnya berangsur memudar, berganti senyum geli. "Terus di marahi panita dan disuruh nyanyi. Kamu mau begitu?"

"Huu, Kang Erga bercanda aja. Lagi tegang juga."

"Ini belum ada apa-apanya, nanti kamu bakal dua kali lebih tegang kalau mau bimbingan sama dosen. Tenang aja, setiap senior pendamping dilengkapi sama walkie talkie. Kalian bisa cepat keluar kalau sudah menyelesaikan tugas." Laki-laki itu menaruh sebuah benda kecil disampingku. Bentuknya menyerupai bolpoint berwarna hitam. "Itu bisa gunakan sebagai senter. Pakai kalau terdesak."

"Bukannya setiap kelompok nanti masing-masing diberi senter?" Keningku berkerut, mengingat-ingat informasi yang panitia berikan tadi pagi.

Erga bangkit tanpa menoleh. "Untuk berjaga-jaga. Kelompok kalian paling mengkhawatirkan di antara yang lain."

"Kami mungkin mengkhawatirkan tapi nggak selemah itu. Mengumpulkan tanda tangan dan bendera paling memakan waktu kurang dari satu jam. Benarkan, Kang?" Aku berusaha membela diri setelah seharian mendengar kelompok kami mendapat berbagai julukan yang meremehkan.

"Akang ragu tapi bagus kalau kamu punya percaya diri. Setidaknya tularkan hal itu pada teman-temanmu."

Mataku melirik sesaat pada keempat temanku. Suasana murung terlihat pada raut mereka. "Kami akan baik-baik saja. Saya yakin mereka mampu melewati malam nanti," ucapku tenang meskipun sebenarnya agak ragu.

"Good girl." Erga memerkan senyumannya, lalu berjalan dan bergabung bersama para panitia yang lain.

Menjelang pukul sepuluh malam, acara jurit malam pun dimulai. Putri dan kelompoknya mendapat kesempatan pertama. Diikuti kelompok lain setiap selang setengah jam. Putri dan teman-temannya berhasil menyelesaikan tugas kurang dari satu jam. Tapi keadaannya tidak begitu bagus. Erga keluar dari gedung dengan membopong Putri. Perempuan itu pingsan karena terlalu tegang sejak awal.

Gio bergerak mendekatkan posisinya padaku. "Sya nanti kita juga harus kompak, nggak boleh egois. Terutama kalau ada yang pingsan."

"Iya, aturannya memang nggak setiap kelompok harus keluar dengan formasi lengkap."

"Maksud aku, kalau yang pingsannya Kang Wisnu." Senyumku masam membayangkan kerepotan kami bila laki-laki bertubuh gemuk itu tidak sadarkan diri.

Satu persatu setiap kelompok selesai mengerjakan tugasnya. Kegelisahan semakin kuat setiap detiknya. Menunggu giliran masuk bangunan itu tidak ubahnya bagai mengantre memasuki rumah hantu. Ketidakhadiran Erga diantara panitia menambah ketegangan. Sosoknya belum terlihat sejak membawa Putri ke salah satu kelas yang dijadikan ruangan kesehatan.

Langkah terasa berat ketika giliran kelompokku tiba. Waktu menunjukan pukul dua belas malam tepat saat itu. Aku sempat melirik ke arah ruangan kesehatan, melihat Erga keluar dan bicara dengan Ferdi. Percakapan keduanya terlihat cukup serius.

"Sya, ayo masuk," bisik Adisti sambil mengamit lenganku.

Dari kejauhan Erga kembali masuk ke ruangan itu dan kembali keluar dengan membopong Putri menuju ke sebuah mobil. Aku mengusap wajah, memusatkan konsentrasi lalu memaksa kaki bergerak memasuki gedung.

Kesunyian menyeruak begitu menginjakkan kaki di lobi. Sepanjang mata memandang, hanya ada tembok dan jendela. Bahkan adanya lampu yang menerangi setiap koridor tidak membantu banyak menghilangkan rasa takut. Dan semakin diperparah kenangan buruk saat terkurung tempo hari.

Kami berjalan beriringan, aku gio dan Wisnu berada didepan sementara Adisti, Nilam juga Arie dibelakang. Selembar kertas berisi peta dan lokasi yang kami tuju dipegang oleh Wisnu. Laki-laki itu lebih serius dibanding  sebelumnya.

Jumlah keseluruhan ruangan yang harus kami datangi ada enam. Terbagi dalam tiga lantai. Satu persatu ruangan kami datangi dan berhasil melakukan perintah yang diminta.

Wisnu menatap lembaran ditangannya saat kami meninggalkan ruangan terakhir. Tugas yang tersisa tinggal mengambil bendera. Dia menghentikan langkah didekat tangga. "Benderanya ada dilantai empat."

"Lantai empat?" ulang Gio dan Arie bersamaan. Keduanya memandang ngeri dari bawah tangga yang menuju lantai diatasnya.

"Benar, Gio, Arie nyalakan kalian. Adisti dan Nilam jalan sama Gio. Kamu, Marsya sama Kakak dan Gio." Perintah Wisnu. "Ingat, jangan sampai terpisah. Kita ambil benderanya lalu keluar. Ingat konsentrasi, jangan ada yang melamun." Kami mengangguk serentak tanpa suara.

"Tunggu!" Seruan dari arah belakang  menghentikan pembicaraan kami.

Wangsa, laki-laki yang sudah membuatku susah mendekat dengan malas-malasan. "Aku diminta ikut dengan kalian. Api ungun sebentar lagi dimulai, jadi cepat jalan." Wisnu tampak kurang nyaman tetapi ia menyikapi dengan baik. Aku sendiri sebenarnya malas, apalagi melihat raut angkuhnya.

Adrenalin naik dengan cepat. Jantung berdebar kencang hingga terasa sakit. Perut semakin mulas dan tegang. Untaian doa pendek yang paling dihapal terucap meski dalam hati. Bagaimana tidak, dihadapan kami hanya ada kegelapan. Cahaya bulan sedikit membantu penerangan selain senter.

Wangsa meraih paksa lembaran kertas dari tangan Wisnu. "Sini biar aku aja yang baca. Kalian juga jalannya kayak siput, pantas yang lain bilang kelompok ini paling mengkhawatirkan. Kalau bukan karena diminta Ferdi, aku nggak mau terjebak bersama kalian."

"Eh, Sa. Nggak usah banyak omong," balas Wisnu, kali ini dengan nada lebih tinggi.

Wangsa hanya mendengus kesal, lalu kembali berjalan. Kami terpaksa mengikutinya tanpa bisa protes. Lima belas menit berlalu, ruangan yang dituju tidak juga ditemukan. Menurut peta, ruangannya tidak jauh dari tangga tapi semua ruangan yang dilewati dalam keadaan terkunci. Aneh.

"Kamu benar nggak baca petanya," gerutu Wisnu. Dia mengambil kembali kertas itu dan meminta Gio mengarahkan senter agar bisa melihat peta lebih jelas.

Aku dan yang lain kebingungan dan semakin cemas. Dan diperparah makian Wangsa karena senternya tiba-tiba mati. Usaha Wisnu menghubungi panitia lain sia-sia setelah walkie talkie miliknya hanya mengeluarkan suara kresek-kresek.

Kami kembali berjalan dan mencari lebih teliti. Wisnu mencoba menggunakan walkie talkienya tapi masih belum berhasil. Dia meminta kami tenang dan berdoa. Setelah melakukan yang diminta, dengan kaki yang mulai lelah kami menyusuri koridor.

"Ah dasar, kalian nggak teliti sih. Tadi, kan kita sudah lewat sini!" gerutu Wangsa begitu menemukan ruangan yang dicari.

Wisnu tidak menanggapi, ia mencoba mencari saklar lampu dan menyalakannya. Usahanya kali ini pun tidak membuahkan hasil. Dengan mengandalkan cahaya dari senter, kami mencari bendera keseluruh ruangan cukup besar itu.

Arie tiba-tiba berseru senang, dia akhirnya bisa menemukan bendera di bawah dalam lemari kaca. Kami semua bernapas lega kecuali Wangsa. Laki-laki menyebalkan itu bahkan berdiri di depan pintu.

"Ah berengsek," gerutu Wangsa ketika sebuah kunci miliknya terjatuh ke dalam ruangan dari di balik saku celana ketika Wisnu bersiap mengunci pintu. Dia meminta Arie menyerahkan senternya. Entah kurang hati-hati, Wisnu terjatuh saat mencari kuncinya. Tubuhnya tidak sengaja mendorong pintu hingga tertutup.

Wisnu berusaha membuka tapi tidak berhasil. Begitupula ketika kami bergiliran mencobanya. Di dalam ruangan, Wangsa semakin meradang di balik jendela kaca dengan teralis. Ia berpikir kami sengaja menguncinya padahal sejak awal pintu ruangan itu tidak terkunci.

"Begini saja. Sebagian tunggu disini, sisanya ikut dengan Akang minta tolong sama panitia lain."

Aku, Adisti dan Gio terpaksa menunggu. Semenyebalkan apapun Wangsa, kami tidak mungkin meninggalkannya. Laki-laki itu mulai panik sendiri tapi tidak lagi menggedor-gedor pintu. Berbekal senter pemberian Erga, kami bertiga menunggu senior lain dengan ketakutan yang semakin membesar.

Cahaya bulan menyinari sisi koridor tidak jauh dari tempat kami berada. Adisti mulai gelisah, ia tidak berhenti menatap ke arah jalan Wisnu dan dua temannya pergi. Sementara Gio tampak komat-kamit, sepertinya sedang berdoa.

Brag.

Gedoran di jendela mengejutkan kami. Wangsa semakin geram karena Wisnu belum datang juga. Gio tiba-tiba meminta aku menyorot ke lemari yang menempel di belakang Wangsa.

"Ngga ada apa-apa, Gi," balasku setenang mungkin. Kemungkinan ada 'sesuatu' di sana membuatku tidak berani melakukan apa yang di minta sahabatku itu.

Adisti mengenggam tanganku yang memegang senter. Memaksanya bergerak ke arah yang Gio tunjuk. Wangsa dengan kesal ikut mengikuti arah cahaya. Sedetik kemudian kami mematung. Tanganku yang memegang senter bergetar sementara Wangsa mulai menggendor-gedor pintu.

Kakiku lemas, lalu terduduk. Begitu juga dengan kedua temanku. Ditengah ketakutan yang amat sangat, hati nurani kami masih tersisa. Wangsa sempat meminta maaf bila sudah berucap yang tidak pantas sebelum suaranya menghilang.

Gio meraih senter dari tanganku lalu perlahan bangkit. Dia mengarahkan kembali senter ke arah kaca. "Kang Wangsa pingsan."

Aku menelan ludah. "Kalau i... itu... "

"Ng... nggak ada."

Adisti tiba-tiba merangkul bahuku. Kepalanya menyusup lekukan leher. Perasaanku dan Gio memburuk, ada sesuatu yang menakutinya. "Kalian baca doa. Apa aja dan jangan lihat ke atas." Suaranya bergetar.

Aku dan Gio sontak duduk semakin rapat. Kaki kami sulit untuk digerakan, lagi pula cahaya dari senter pemberian Erga tidak terlalu terang. Keadaan bisa jauh lebih menakutkan bila senter itu rusak atau mati saat kami berlari sebelum menemukan tangga turun.

Rasa penasaran membuatku mendongkak ke atas. Dan, astaga apa itu. Sesosok wajah perempuan tengah menatap ke arah kami dari balik jendela. Kulitnya pucat dengan senyuman yang menakutkan. Rintihannya bahkan terdengar sampai telingaku. Mungkinkah itu salah satu senior yang berusaha menakuti kami?

Mataku kembali tertutup dan terus mengucapkan doa yang mampu di ingat meski dengan suara terbata-bata. Adisti dan Gio melakulan hal yang sama. Hanya itu yang bisa kami lakukan untuk melawan ketakutan.

"Hei, kalian nggak apa-apa?" Suara-suara terdengar mendekat.

Mataku baru berani terbuka diikuti perasaan lega. Wisnu kembali datang bersama beberapa senior. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang mereka tanyakan saat membawa kami keluar dari gedung. Kepalaku terasa sangat pusing hingga sulit berpikir.

Wangsa masih tidak sadarkan diri ketika bantuan datang. Pintu ruangan itu ternyata bisa terbuka dengan mudah dan tidak mengalami kerusakan apapun. Bila perempuan tadi memang bagian dari panitia, kenapa sosoknya tidak terlihat lagi.

Nilam dan Arie menghampiri kami di pintu masuk. "Kalian bertiga nggak apa-apa?" tanya Nilam cemas.

"Ya," balas Adisti singkat.

"Kata Kang Wisnu, kita kumpulkan dulu tugas sebelum gabung dengan peserta lain," ajak Arie. Dia sadar ada yang salah dengan sikap diam ketiga temannya.

Ferdi dan sebagian besar panitia menatap kami saat mendekati mereka. Laki-laki yang jadi panitia ospek itu menatapku, Adisti dan Gio bergantian. "Kalian kenapa?"

Arie menceritakan apa yang terjadi termasuk saat Wangsa terkunci. Dia, Nilam dan Wisnu meminta bantuan pada beberapa senior yang kebetulan masih berada di salah satu ruang di lantai tiga. Wisnu meminta ia dan Nilam turun lebih dulu sementara ia menjemput sisa anggota yang masih menunggu di lantai empat.

Para senior saling pandang mendengar penjelasan Arie. Mimik terkejut mereka tampak tidak dibuat-buat. Ferdi berdehem, memberi isyarat agar rekan-rekannya diam. Dia lalu menatapku yang sejak mendatanginya masih terlihat gelisah. "Kamu kenapa, Marsya? Ada yang sakit?"

Wisnu akhirnya muncul dengan teman-temannya tadi dengan membopong Wangsa menuju ruang kesehatan. Senior pendamping kelompokku itu tergopoh-gopoh menghampiri rekan-rekannya. Ferdi menatap kami lebih serius saat Wisnu berbisik padanya.

Ia meminta salah satu anggota seksi keamanan membawa kami ke ruang kesehatan. Kami diminta untuk istirahat sebelum kembali berkumpul dengan yang lain. Tidak ada yang curiga, sebagian berpikir itu karena kondisi fisik yang kelelahan.

"Saya disini aja, Kang, Teh." Kakiku urung melangkah memasuki ruangan kesehatan. Dua kali mengalami kejadian buruk masih menyisakan rasa takut.

"Kenapa, Sya? Masuk ke dalam terus minum teh hangat dulu ya," bujuk salah satu senior perempuan.

Adisti menggenggam jemariku. "Marsya masih syok kayaknya, Teh. Tadi kami sempat melihat makhluk halus." Para senior yang membawa kami tertegun dan saling pandang.

"Rin, ada barang Putri ya ketinggalan, nggak?" Suara Erga terdengar mendekat. "Eh, ini ada apa?" Keningnya berkerut. Salah seorang senior menjelaskan apa yang membuat kami diminta ke ruang kesehatan.

Teman-temanku akhirnya masuk lebih dulu, meninggalkan aku dan Erga. "Akang mengerti kamu takut tapi jangan bersikap seperti ini. Cobalah untuk sedikit lebih dewasa. Teman-temanmu bahkan sudah bisa menenangkan diri." Beberapa kali ia melirik jam tangannya seolah diburu-buru sesuatu. Lalu menerima panggilan telepon dan berusaha menenangkan pemilik suara diseberang.

"Iya, kamu istirahat dulu. Akang lagi nyari barang kamu dulu, tunggu sebentar ya," ucapnya lembut.

Perasaanku memburuk, jauh lebih buruk daripada saat mengalami kejadian tadi. Erga hanya sekadar berbasa-basi, ia punya alasan lain dan apalagi kalau bukan untuk mengambil barang milik Putri. Aku memilih diam dan bersiap melewatinya.

Erga memperhatikan ekspresi dinginku. "Kamu kenapa sih?"

"Bukannya tadi Akang minta saya masuk?"

"Marsya." Nadanya agak meninggi.

Aku menghindari tatapannya dan memilih berlalu. Hari ini benar-benar buruk. Selama sisa malam, aku bahkan tidak bisa menikmati acara seperti teman-teman yang lain. Adisti dan Gio kembali bersikap normal, menceritakan pengalaman mereka pada teman-teman kami.

Satria mengambil tempat disampingku saat kami akhirnya diperbolehkan kembali mengikuti acara. "Aku dengar kalian melihat makhluk halus. Pasti menyeramkan sekali ya."

"Kamu ingin aku bereaksi seperti apa?" balasku ketus.

"Maaf, aku nggak bermaksud menyinggung perasaanmu. Biar kamu lupa, gimana kalau lusa kita nonton film?" tawarnya.

Pandanganku beralih sejenak pada Erga yang kembali memasuki mobil dengan menenteng jaket perempuan. Ia sempat menoleh ke arahku. Pandangannya tajam tetapi tidak begitu kupedulikan.

"Boleh," balasku singkat. Aku akan menerima apapun selama itu mampu mengalihkan rasa tak nyaman yang ada di hati sekarang.

Tbc

Maaf kemarin ngga sempet update, authornya ketiduran hehe 😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro