chap#36- Masa lalu
Tekanan yang menghimpit di sekitar kami berangsur menghilang. Tubuh mulai rilek. Senyuman tidak lagi kaku. Semua karena pertemuan hari ini berakhir tanpa diwarnai adu pendapat yang menyesakan.
Di tengah rasa penasaran yang seakan sengaja diperlihatkan Erga, aku bisa memberinya jawaban paling rasional dengan menuruti keinginannya. Hal itu membuat sikapnya berangsur normal termasuk kembalinya sifat tak tahu malu. Rayuannya masih terdengar menggelikan, terlalu berlebihan dibanding menghanyutkan.
Erga mengatakan kalimat mesra sangat santai. Ia tidak memedulikan reaksi sejumlah pengunjung lain yang mengangkat alis ketika mendengar rayuannya saat melewati meja kami. Di bola matanya hanya ada diriku dan harus kuakui itu membuatku tersanjung.
"Aku kenyang. Sekarang bisa jelaskan maksud pernyataanmu tadi." Tanganku menaruh gelas minum yang telah kosong.
"Yang mana?" Erga mengerutkan kening, kentara pura-pura berlagak lupa.
Punggung kusandarkan ke belakang kursi. Berulang kali menghela napas tanda tak sabar. Kedua tanganku bersidekap, menempel erat di dada. Bibir mengerucut seperti bebek menahan kesal.
Kekehan mengalun merdu dari seberang meja. Erga tak terusik justru menikmati gambaran raut perempuan yang memasang wajah jengah. Dan yang lebih menyebalkan, tawa kecilnya menular hingga diriku mau tak mau ikut tertawa.
"Ayolah," pintaku setelah tersadar terjebak situasi yang Erga ciptakan. "Atau mungkin aku bisa menanyakan sama orangnya langsung," decakku sambil melempar pandangan ke langit-langit.
Kalimat bernada ancaman disikapi Erga dengan sorot tajam. Ia berubah lebih dingin. Keberadaan Axel menghapus ketenangannya. Kepedihan atas kepergian Egia mungkin begitu membekas. Meski mengaku sudah memaafkan tetapi melupakan membutuhkan proses panjang.
"Ha ha. Nggak lucu, Marsya."
Bahuku terangkat. Kecemburuan Erga merupakan hiburan menyenangkan. Kadang reaksinya mengerikan namun tak urung menggoda. "Siapa yang bercanda. Aku bisa menjenguk Axel sebagai teman. Kak Adji nggak akan keberatan menemani. Anggap saja ini bagian dari terapi. Dan nilai lebihnya selain dari sisi kemanusiaan, kebenaran akan terungkap. Bukannya kamu ingin menolong Putri, kan?"
Erga menghela napas kasar. Jawabanku sepertinya memperburuk isi hatinya. Erga ingin aku menjauh dari masalah, dari Axel. Gambaran tentang itu terlihat jelas lewat bahasa tubuhnya walau mulutnya terkatup.
Kepalanya menggeleng. "Aku nggak setuju. Kamu bukan polisi jadi berhenti bermain detektif. Jika memang ada sesuatu yang menurutmu janggal atau penting, kamu bisa bicarakan padaku. Menemui Axel nggak termasuk di dalamnya. Berapa kali harus kujelaskan sampai kamu mengerti arti bahaya." Kalimat terakhir diucapkan penuh penekanan.
"Tapi... "
Tangan Erga terangkat sebelum aku sempat melanjutkan aksi protes. Punggung lelaki itu dicondongkan ke arahku. Kedua tangannya menumpu di paha.
Bola mataku berputar ke sekeliling demi menghindari tatapan menuduh. Pengunjung lain tampak menikmati kesibukan masing-masing. Tawa, obrolan dan senyuman terdengar di antara aroma lezat makanan.
Seharusnya kami pun begitu. Melewati kehidupan normal layaknya pasangan di luar sana. Diriku hanya seorang perempuan yang belum sepenuhnya dewasa. Perempuan yang baru saja menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Tapi kupikir sesuatu yang buruk tidak selalu berakhir buruk. Dalam masalah ini kebersamaan dengan Erga jadi salah satu pengalaman terbaik.
"Baiklah." Aku berhenti mendebat. Mempertahankan keras kepala bukan solusi untuk memperbaiki keadaan. "Selama kamu juga terbuka soal Putri. Aku nggak mau ada salah paham lagi."
"Setuju." Senyuman lega menghias wajah tampan Erga. Ia kembali menegakan tubuhhnya. "Meski kamu sudah tahu, pernyataanku akan dan tetap sama Aku nggak punya hubungan spesial seperti yang kamu khawatirkan baik sama Putri, kakaknya atau keluarganya. Kami berhibungan baik karena kenal cukup lama."
"Kita pulang sekarang?"
"Masih keras kepala rupanya," desah Erga. Ia melambai pada seorang pelayan. Aku pura-pura bermain handphone saat dirinya membayar pesanan kami.
Perjalanan pulang tidak sesepi yang dibayangkan. Erga terus bicara, banyak bertanya hingga menuntut seluruh perhatianku. Delikannya semakin menjadi setiap kali tangan kiriku memainkan handphone. Untuk sejenak kami melupakan masalah Axel atau Putri. Erga berhasil membungkam keingintahuanku dengan mencecari persiapan ujian nanti.
Genggaman tangannya terkadang menguat dan melembut tetapi tidak sampai membiarkan terlepas. Menit yang berlalu memberi kebahagiaan layalnya pasangan biasa. Menghabiskan waktu berdua, bercerita, menggenggam tangan tanpa diwarnai pertengkaran.
Aku hampir tidak memiliki kesempatan memperhatikan pemandangan di luar jendela. Mendengar suara Erga lebih mengasyikan dari apapun. Getaran yang tercipta di antara kami membuatku betah berlama-lama. Kami seolah berada dalam gelembung. Jauh dari hiruk pikuk. Lepas dari tuntutan di sekeliling.
Setibanya di rumah kami disambut keluargaku. Kak Adji yang biasanya jarang terlihat hari ini tampak bersantai di teras bersama Ayah. Erga bersikap sangat sopan. Ayah cukup senang melihat kedatangannya. Dengan setengah memaksa, ia meminta lelaki itu makan bersama kami. Dalihku bahwa kami baru saja makan tidak digubris. Erga bahkan berkata perutnya termasuk perut karet.
Aku permisi ke kamar sementara Erga dikelilingi keluargaku. Hari ini lumayan melelahkan sekaligus menghibur. Meski bertemu Erga bagai doa yang terkabul, pengakuan Arman tidak bisa diabaikan begitu saja. Teruma saat sedang sendiri seperti di kamar. Keingintahuan memenuhi kepala.
Setelah menaruh tas di meja, aku segera mengambil kaus dan celana piama dari lemari. Erga terbiasa melihatku dalam balutan pakaian sederhana. Ia memuji kecantikanku. Menurutnya kelebihan fisikku tidak terhalang pakaian jenis tertentu. Pernyataan yang sangat berlebihan karena keluargaku tidak sependapat terutama saat melihat betapa buluknya pakaian pilihanku.
Rasa penasaran tentang Arman terpaksa harus tersingkir. Ketukan dan suara Ibu dibalik pintu kamar membuyarkan lamunan. Awalnya aku bereaksi biasa saja. Erga sudah sering mengobrol bersama keluargaku. Humor dan sifat jenakanya selalu berhasil menghibur, menceriakan orang-orang disekelilingnya.
"Ada cerita seru yang kulewatkan?" Kuhempas sofa di samping Ayah saat menyusul Ibu.
Ayah tersenyum lalu melirik Erga. Dibanding dalam perjalanan dari mal di mobil, sikap Erga tampak tegang. Jemarinya saling bertaut. Posisi duduknya seolah tak nyaman.
Kak Adji mendahului membuka obrolan. Ia memberitahu sekaligus meminta izin diriku menenemui keluarga besarnya. Permintaan yang sangat wajar.
"Kenapa kamu tegang begitu. Orang tuaku kan sudah mengizinkan?" Ekspresi Erga memberi kesan ada yang ditutupi.
Dan benar saja penjelasan Kak Adji hampir membuatku terbatuk. Pertemuanku dengan keluarga besar Erga bukan hanya sekadar perkenalan. Sepengetahuanku kondisi neneknya memang kurang sehat. Beberapa kali sakit parah.
Belum lama ini nenek Erga meminta sesuatu pada salah satu cucu kesayangannya itu. Ia ingin mengenal calon pendamping cucunya. Selain itu bila memungkinkan neneknya berharap bisa melihat Erga mengikat hubungan setidaknya bertunangan lebih dulu.
Kepalaku sontak berputar pada Ayah. Sebagai kepala keluarga, restunya sangat penting. Diriku merupakan anak perempuan satu-satunya, bungsu dan memiliki trauma di masa lalu. Memberikan diriku peluang mempunyai pacar lagi setelah Axel mungkin bukan masalah besar tetapi bertunangan bukan permainan anak-anak.
"Bagaimana menurutmu?" Reaksi tenang Ayah di luar ekspektasi.
"A... Ayah setuju seandainya aku... " Lidah benar-benar kelu. Berita ini belum terserap sempurna di kepala.
"Kelanjutan hubungan kalian akan dibicarakan setelah pertemuanmu dan keluarga Erga nanti. Sebagai orang tuamu, kami harus bicara dengan mereka. Yang Erga sampaikan adalah niat baik. Meski kalian masih muda, ia sangat serius. Ada banyak lelaki seumurnya yang masih ingin bermain-main. Kakakmu saja sepertinya belum terpikir sampai sejauh itu." Kak Adji menampilkan raut datar. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
Pipiku merona sampai tidak sanggup memandangi wajah-wajah di sekeliling. Semua begitu mendadak. Dalam tidurpun aku belum pernah membayangkan mimpi semacam ini. Ayah bilang permintaan nenek Erga baru sekadar wacana. Kepastiannya belum tentu terjadi dalam waktu dekat. Tapi tetap saja dadaku bergemuruh karena bingung oleh antusias.
Jemari Ayah mengusap puncak kepala. "Semua keputusan ada padamu. Ayah perhatikan kamu sudah banyak berubah. Kamu semakin mandiri dan kuat. Siapapun pasanganmu kelak nggak akan mengubah kasih sayang kami. Jika menurutmu Erga bisa membuatmu bahagia maka Ayah akan berbahagia untukmu. Tapi untuk sekarang kamu temui dulu keluarga Erga. Kedepannya kita bicarakan lagi."
Tubuhku bergelung dalam pelukan Ayah. Perasaan bercampur aduk. Mendapati keterbukaan Ayah tentang hubungankanku dengan Erga sangat luar biasa. Begitupula melihat sambutan keluargaku. Kak Adji dan Ibu mengulum senyum senang.
Berbanding berjuta rasa tak karuan yang hinggap di dadaku, Erga malah melempar tatapan cemas, menunggu kesediaanku atau sebaliknya. Sudut mata menyadari kegelisahan lelaki itu.
Aku berdeham, melepas rangkulan setelah seperkian detik menenangkan diri. "Ya, aku mau, mau menemui keluargamu maksudnya."
"Yes... " Erga tiba-tiba tergagap, menyadari aksinya berbuah kerutan di wajah-wajah yang memandanginya. "Oh itu... ya terima kasih."
Gelak tawa Kak Adji mengejutkan kami semua. Kakak keduaku paling jarang memperlihatkan emosi saat berada di antara keluarga. Ekpresinya lebih sering tak acuh atau datar. Dan hari ini ia tergelak bahkan meledek.
Erga hanya tersenyum. Tidak ada kesan sakit hati. Perhatiannya tertuju padaku.
"Terima kasih," ulangnya tanpa suara.
Hari itu berakhir canggung. Kami lebih banyak menatap dan sedikit bicara di sisa pertemuan. Pipiku merona hanya dengan melihat senyumannya. Perut terasa aneh ketika tak sengaja bertatapan.
Sikap Erga tetap tenang. Tidak sekalipun kelihatan kikuk di depan keluargaku. Tawanya terdengar sangat normal tapi ekspresinya berubah bila pandangan kami bertemu. Kedua alisnya terangkat, tersenyum kecil dengan sorot teduh. Sorot yang mampu menjungkirbalikan duniaku.
Sebelum pulang aku sempat menemaninya hingga teras. Erga tidak merangkul atau menggenggam tanganku. Jemarinya diletakan di kepalaku, mengacak-acak rambutku sambil terkekeh geli.
"Sampai ketemu lagi besok," bisiknya di telinga.
Bibirku mencebik demi menutupi irama jantung yang berdebar tak karuan. "Hati-hati di jalan."
"Siap." Tangan Erga turun dari kepala menuju jemariku. Sentuhan lembutnya menambah besar dorongan untuk memeluknya. "Oh ya. Jangan melakukan apapun tanpa sepengetahuanku tentang Axel atau Arman. Berjanjilah."
Kedua nama lelaki yang pernah menjadi bagian dalam kehidupan di masa lalu mengguncang kesadaran. Erga berdiri, menunggu seraya memperhatikan gerak-gerik wajahku. "Marsya," tegurnya tak sabar.
"Ok," balasku singkat walau tidak yakin bisa menepatinya.
Aku memandangi sosok Erga hingga mobil yang dikendarainya menghilang dari pandangan. Kebahagiaan menggelitik mengingat kembali permintaan Erga pada orang tuaku. Rasanya melegakan melihat reaksi keluargaku yang memberi restu. Tetapi perasaan penasaran tentang Arman masih menggantung dalam kepala. Seseorang yang kukenal ramah, baik dan loyal. Ia salah satu teman paling baik saat SMA. Bagaimana mungkin ia bisa merencanakan hal keji bahkan menyeret pihak lain demi ambisinya?
*****
Empat hari berselang aku mendapat telepon dari keluarga Arman. Mereka rupanya mencari keberadaan lelaki itu. Arman terakhir mengabari akan ke Bandung menemuiku. Setelah itu sosoknya tiba-tiba hilang. Handphonenya tidak aktif begitu pula akun sosial medianya. Teman-temannya juga tidak mengetahui kabar terbaru dari Arman.
Aku mencoba menghubungi nomor handphone Arman dan mengirinya pesan. Semua berakhir sia-sia. Tak satupun panggilan maupun pesan dibalasnya. Aku tidak ingin berprasangka buruk kaitan dirinya dengan Axel. Mungkin saja Arman kecelakaan, bertemu penjahat atau lupa mengabari.
Masalah ini hanya kuceritakan pada Adisti. Memberitahu Ferdi dan Wisnu terlalu berisiko. Erga pasti akan mengetahuinya. Aku butuh pendapat selain pemikiran sendiri.
"Keluarga Arman sudah lapor polisi?" Adisti mendengarkan ceritaku dengan saksama sejak keluar dari kelas. Hari ini dosen mata kuliah selanjutnya berhalangan. Jadwal kuliah diganti dengan tugas.
"Katanya begitu. Aku harap semua cepat selesai." Kupeluk erat tas di dada.
"Gimana sama Axel?"
Bahuku terangkat. Langkah kaki saat menyusuri koridor terasa sangat berat. Kebahagiaan mengingat permintaan Erga tempo hari sedikit terusik. Adisti belum mengetahuinya. Rencananya aku akan memberitahu bilang sudah yakin.
Kami menyapa beberapa senior yang berpapasan di tangga. Mereka menggodaku, menyebut Erga belakangan ini agak lebih tenang, serius dan tidak terlalu aktif.
"Entahlah. Aku belum tahu kondisi Axel. Erga nggak akan suka kalau menghubungi keluarganya. Situasi kami sekarang lumayan membaik. Kalaupun penasaran, aku harus melakukannya dengan sangat hati-hati," jelasku mengalihkan perhatian sebelum Adisti mencurigai sesuatu antara aku dan Erga.
"Lepas dari masalah Arman, aku lega lihat kamu sekarang. Senyum kamu lepas dan menikmati hidup. Dan orang yang pernah buat kamu menderita justru posisinya nggak lebih baik."
"Sudahlah. Jangan diperbesar. Aku sudah memaafkan mereka. Bukan kapasitasku memberi hukuman. Aku memang pernah berdoa buruk tapi sekarang semua kuserahkan sama Tuhan."
Adisti mengigit bagian dalam pipinya hingga kempot. Matanya melirik sekilas lalu menghela napas. "Kadang aku merasa cara pikirmu terlalu dewasa untuk remaja seumuran kita."
Senyumku tertahan oleh pernyataan Adisti. "Nggak juga. Beberapa bulan lalu aku malah mengira hidup di tengah kelabilan. Putus sambung, masalah sama Axel, cemburu nggak jelas. Pokoknya banyak yang bikin pusing. Mau nggak mau aku memaksa otak mencari penyelesaian terbaik. Lagian kedewasaan nggak selalu berbanding lurus sama umur."
"Iya juga sih. Yah, yang paling penting dunia kembali damai." Adisti menyikut perutku. Kepalanya mengangguk ke kejauhan setelah kami menginjakan kaki di anak tangga terakhir.
Bola mataku berputar mengikuti pandangannya. Dada serasa dihentak sangat kencang begitu mengetahui siapa yang dimaksud Adisti. Siapa lagi kalau bukan Erga. Lelaki itu tampak asyik mengobrol di kelilingi teman-temannya. Ia duduk membelakangiku, menumpu tubuhnya di sisi meja kayu panjang yang belum lama ditempatkan di sekitar lobi.
Tanpa perlu memastikan, meski hanya lewat punggung, aku yakin tebakanku tidak salah. Irama jantung berlomba seiring dekatnya jarak antara kami. Aku berusaha rileks, percaya diri dan bersikap senormal mungkin. Adisti belum tahu kabar keseriusan Erga. Teman-teman Erga pun sepertinya begitu. Tidak ada gunanya mendadak canggung tetapi perasaan sulit dikendalikan.
"Mm... ke kamar mandi dulu yuk." Adisti berkerut mendengar ajakanku.
"Nggak bilang dulu sama Erga?"
"Nanti saja." Dengan cepat tanganku menarik pergelangan Adisti. Sahabatku tidak terlalu lama kebingungan. Ia mengira diriku kebelet buang air kecil.
Selama di toilet aku mencoba meyakinkan bahwa tindakanku sangat konyol. Untuk apa malu-malu. Adisti sedang menelepon saat aku keluar dari kubikal toilet dan mencuci tangan.
Baru saja bernapas lega setelah kami membuka pintu kamar mandi, sesosok lelaki yang berdiri tepat di depan ruangan mengejutkan seluruh indera. Erga bersandar pada dinding. Senyumnya penuh hingga melengkung bak bulan sabit. Keceriaan tidak ia sembunyikan.
Adisti menyapa lebih dulu sementara diriku menenangkan gemuruh di sekujur tubuh. Erga menatapku tanpa kedip. Matanya berbinar persis seperti anak kecil sedang melihat mainan yang diidamkan. Adisti mendesis sebal karena diabaikan.
Aku bersiap mendapat pelukan atau rangkulan. Erga selalu melakukannya setiap ada kesempatan. Tapi hari ini agak berbeda. Ia hanya merapat, mengambil posisi di sampingku yang mengapit dirinya dan Adisti. Sesekali jemari kami bersentuhan ketika menyusuri koridor. Percikan yang terjadi sangat menganggu namun bukan dalam arti yang buruk.
Erga sepertinya merasakan hal serupa. Ia melempar senyum hingga mengedip genit. Usaha menahan tawa gagal total. Diriku terkikik sambil mencubit pinggangnya. Adisti hanya menggeleng, keheranan karena sikap kami tidak ubahnya bak pasangan yang baru saja pacaran.
Kami pergi ke kantin menyusul Wisnu dan Ferdi. Adisti pamit karena ada keperluan. Sebenarnya aku juga bisa saja pulang. Erga tidak keberatan karena ia masih ada jadwal kuliah. Hanya saja keinginan bersamanya lebih menarik daripada menghabiskan waktu di kamar.
"Kamu yakin mau nunggu sampai aku selesai kuliah?" Erga menaruh botol minuman cola di hadapanku sebelum duduk di sampingku.
"Cuma dua jam, kan? Aku bisa baca buku di perpustakaan."
"Jangan. Bahaya."
Wisnu yang duduk di depan kami mengerutkan kening. Ia berhenti menyuap dan bertanya. "Apanya yang bahaya, Ga?"
"Bahaya kalau sampai ditikung."
Ferdi menyemburkan minuman yang baru saja diteguknya tepat ke wajah Erga. Ia terbatuk sambil memeluk perut. "Otak lo ketinggalan di mana, Ga? Di Mars atau Pluto?"
"Namanya juga waspada."
"Ya tapi itu alasan paling nggak banget, Ga. Satu kampus juga tahu Marsya pacaran sama lo."
"Iya." Aku ikut menanggapi. "Kamu berlebihan. Mahasiswi di sini juga banyak yang lebih cantik dibanding aku."
"Mereka semua jelek. Cuma kamu yang cantik di mata aku."
"Sudah." Ferdi bergidik. "Nggak usah terlalu over, Ga. Geli tahu."
Wisnu melanjutkan acara makannya lalu manggut-manggut. "Lo kayak kenal Erga sehari aja, Fer. Anggap saja orang gila. Abaikan saja."
Aku ingin menyela, ikut meledek Erga tetapi urung karena handphone dalam tas berdering. Erga kembali mengobrol dengan kedua sahabatnya. Bahasan yang mereka bicarakan bukan lagi tentang hubungan kami.
"Siapa?" Erga bingung melihatku menimbang-nimbang untuk mengangkat panggilan atau tidak.
"Arman."
Ia terdiam sesaat. "Angkat saja."
Kuhela napas panjang sebelum menekan tombol hijau di layar. "Halo?"
"Halo,Sya." Suara Arman terdengar lemah.
"Kamu di mana, Arman? Keluargamu khawatir kamu tiba-tiba nggak ada kabar. Kalau memang ada masalah baiknya dibicarakan. Lari bukan jawaban." Erga meneruskan pembicaraannya dengan kedua sahabatnya tetapi diriku yakin telinganya mendengar setiap kata yang kuucapkan.
"Aku minta maaf, Sya. Semua ini salahku. Seharusnya kejadiannya nggak kayak begini."
"Tenang dulu, Ar. Kamu bilang dulu ada di mana?"
Alih-alih menjawab memberitahu keberadaannya, Arman justru mengatakan banyak hal mengejutkan. Dengan suara serak ia mengakui sebagai dalang dibalik kejadian yang menimpa Axel. Ia juga memanfaatkan keterpurukan Putri. Putri hanya pion dan tidak tahu menahu soal rencananya melukai Axel.
Semuanya seharusnya berjalan tanpa hambatan namun seiring membaiknya kondisi Axel. Cepat atau lambat aksinya akan terbongkar. Dan sebelum terlambat ia ingin memberitahuku semuanya.
"Ke... Kenapa kamu melakukan itu, Ar? Kalian berteman baik dan... " Posisi Erga berubah. Ia membalikan tubuhnya hingga menghadapku. Pandangannya menajam seolah menahan keinginan untuk merebut handphone dari tanganku.
Arman mengatakan bahwa selama ini persahabatan dengan Axel tidak sehat. Arogansi Axel sulit dilawan meski hati kecilnya menentang. Terlebih keluarganya pernah berhutang budi atas kebaikan orang tua Axel. Ia hanya bisa menurut bahkan membereskan masalah yang sahabatnya lakukan.
Sejak lama Axel juga tahu kalau sahabat dekatnya menaruh hati padaku. Axel jelas tidak menyukai kenyataan itu meski sikapku pada Arman biasa saja. Arman cukup sadar diri, ia tidak pernah menunjukan isi hatinya. Sayang Axel terlanjur merasa dikhianati. Ia memberi pelajaran bukan lewat kata tetapi tindakan. Keberadaan Arman tidak ubahnya seperti kacung. Ia tidak berdaya setiap kali diperlakukan kurang baik terutama saat aku berada di antara mereka.
Kemarahan yang terpendam semula terhenti saat kami lulus dan pertemuan baru-baru ini membangkitkan kembali kenangan buruk. Arman merasa Axel menutup kesempatan baginya untuk mendekatiku sementara perlakuannya tidak menunjukan bahwa lelaki itu layak dipilih. Dan puncak kejadian yang menimpaku dulu memicu keberaniannya mengabaikan segala risiko.
Belum sempat menjawab, suara-suara keras terdengar dari seberang. Arman tidak lama berteriak minta maaf padaku. Suaranya pecah, serak dan sarat kesedihan lalu perlahan menjauh.
Erga meraih handphoneku. Ia bicara dengan seseorang namun sepertinya bukan Arman. Beberapa menit kemudian handphone tadi diletakan di meja. Ia memberitahu bahwa polisi baru saja menangkap Arman. Rupanya sehari sebelumnya ia sempat menelepon salah satu temannya untuk meminjam uang. Entah karena kalut ia tidak sengaja memberitahu dimana dirinya tinggal.
Kesaksian Axel dan kasus Putri mendorong polisi mencari tahu keberadaan Arman. Tindakannya bersembunyi tidak membantu menyelesaikan masalah.
"Terlepas tindakan buruk Axel sama Arman, nggak seharusnya ia melibatkanmu sebagai salah satu pemicu kenekatannya. Kamu nggak perlu merasa bersalah." Erga meraih jemariku. "Arman punya kesempatan menyelamatkanmu sebelum Axel semakin kasar. Ia bisa merekam, mengumpulkan bukti atau apapun yang bisa membebaskanmu. Tapi ia membiarkan dirinya menjadi penonton. Ia terlalu takut dan berlindung dibalik kelemahan."
"Tapi kalau Axel... "
"Sekalipun Axel salah, nggak ada yang membenarkan tindakannya melukai bahkan sampai memanfaatkan pihak lain. Posisi Putri paling dirugikan. Ia hanya terlalu terbawa perasaan hingga mau saja dibohongi tapi bukan berarti dirinya jahat. Andai Axel nggak selamat, apa kamu yakin Arman akan mengakui kesalahannya?"
Aku terdiam. Lidahku kelu.
Wisnu berdeham lalu melirik jam. Ia mengingatkan kalau mata kuliah mereka sebentar lagi dimulai. Erga berencana bolos. Niatnya kuomeli dan bersikeras akan menunggunya.
"Kamu yakin nggak mau pulang?" Erga meraih tanganku, membantuku berdiri.
"Iya."
"Kamu serius nggak mau kutemani?"
"Aku bisa baca buku dan melupakanmu."
Jemarinya mengusap puncak kepalaku. "Yang buruk-buruk menjauhlah. Yang baik mendekat." Senyumannya menenangkan. Ia tahu kegelisahan yang kurasakan. "Jangan nangis dulu sebelum aku datang ya."
Selama menunggu Erga pikiranku sulit berkonsentrasi. Lembaran demi lembaran buku yang terbuka tidak satupun menempel dalam ingatan. Erga benar, aku pasti merasa bersalah. Andai bisa peka sedikit saja,mungkin perasaan Arman mudah terbaca. Ia lebih perhatian daripada Axel. Selalu menyemangatiku meski sahabatnya memberi kesan diriku lemah. Ia sering bersikap malu-malu bila aku memujinya. Tidak pernah terlintas kalau semua itu karena ada rasa padaku.
Aku keluar dari perpustakaan. Berada dalam ruangan membuat suasana semakin muram. Kaki melangkah keluar dari gedung, menyusuri koridor hingga tak terasa berada dekat dengan lapangan basket. Keadaan sangat sepi.
Siapa yang mau bermain basket di tengah siang bolong begini, pikirku dalam hati.
Entah kenapa langkahku tidak berhenti. Perlahan kutaruh tas di kursi panjang setelah memasuki lapangan. Kepala berputar mengelilingi setiap sudut mencari sesuatu yang bisa dilempar. Sebuah bola basket berada di salah satu sudut yang berlawanan dari tempatku berdiri.
Tubuh bergerak sendiri, meraih bola, memantul-mantulkan dan berusaha memasukan ke dalam ring. Konsentrasi terpusat pada bola. Berharap semua pikiran tak menyenangkan teralihkan.
Keringat menetes. Terik matahari mulai membuat kepala pusing. Tenggorokan sangat kering. Aku segera duduk di kursi, meluruskan kaki setelah menyadari tidak membawa minuman.
"Haus?" Sesuatu tiba-tiba menempel di pipi.
Kepalaku mendongkak, mendapati Erga tengah berdiri. "Sejak kapan di sini?"
"Belum lama. Aku tadi cari ke perpustakaan tapi kamu nggak ada. Ditelepon juga nggak diangkat. Kebetulan tadi lewat sini. Kamu melamun terus jadi nggak sadar kupanggil-panggil." Ia mengambil tempat di sampingku.
"Sudah selesai kuliahnya?"
"Cuma kuis doang."
"Tadi main basket?"
"He em. Mumpung nggak ada yang lihat."
"Ya sudah. Kita cari tempat teduh. Kepalamu nanti pusing terlalu lama di sini." Ia segera bangkit. Meraih tas milikku dan digenggamnya.
Aku mengikutinya, menjajari langkahnya menuju lobi.
"Masalah bisa datang kapan saja. Aku tahu kamu makin kuat. Kamu juga memiliki hati yang baik. Tapi kalau kamu merasa butuh seseorang selain keluargamu, hatiku selalu terbuka. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu."
"Nggak ada rayuan yang lebih masuk akal ya?"
Erga merangkul bahuku dengan tangannya yang bebas. Dikecupnya kepalaku. "Ada. Pacarku hanya ada satu tapi aku jatuh cinta padanya ribuan kali."
*****
Permasalahan Arman dan Axel semakin jelas setelah Arman diamankan. Ia mengakui semua kesalahannya. Axel mengambil keputusan yang dianggapnya terbaik untuk semua pihak. Dirinya memilih jalur kekeluargaan dan berdamai. Ia sendiri menyadari kekeliruannya hingga membuat sahabatnya memiliki kebencian sebesar itu. Begitu juga dengan Putri. Posisinya tidak lebih dari korban. Meski begitu perempuan itu butuh waktu memulihkan diri.
Axel sempat menelepon, meminta maaf dan mendoakan yang terbaik. Ia berharap Erga bisa menjagaku. Aku pun mendoakan kehidupannya di tempat baru. Sementara itu Arman menenangkan diri di tempat saudaranya. Jauh dari hiruk pikuk kota besar.
Sebenarnya aku ingin bertemu dengan keduanya. Berbicara dari hati ke hati tentang ganjalan selama kami saling mengenal. Erga kurang sejutu setidaknya hingga suasana berangsur tenang.
Sebelum niat itu terlaksana aku dan Erga harus mengatasi masalah lain. Adisti, Wisnu dan Ferdi akhirnya mengetahui kabar wacana pertunangan kami. Salah satu sepupunya pernah datang ke kampus dan memberitahu mereka rencana itu saat kami berkumpul.
Erga terpaksa mengiyakan mentraktir keduanya selama seminggu penuh bila tidak ingin kabar itu berhembus. Sebenarnya ia masa bodoh sekalipun satu kampus tahu tetapi reaksiku yang hampir menangis memaksanya menyetujui.
Aku memang belum siap sebelum cincin melingkar di jari kami. Akan sangat memalukan bila rencana itu ditunda atau gagal sementara semua orang mengira sebaliknya.
"Habis tunangan mau langsung nikah atau gimana?" Wisnu baru saja menghabiskan mangkuk kedua soto ayam yang dipesannya.
"Gimana nanti. Tunangan saja belum," gerutuku.
"Maksudnya nggak apa-apa tunangannya kelamaan kalau nikahnya nunggu lulus?" sahut Ferdi sambil tersenyum geli.
"Biar saja. Daripada pacaran lama tapi tiap diajak serius bilangnya nanti terus."
Erga mengusap kepalaku. "Sudah dijawab ya sama calon istri."
Mataku mendelik padanya. "Kamu juga jangan main game terus. Katanya mau cepat lulus."
Senyumnya berubah masam. "Itu cuma selingan daripada selingkuh."
"Kalau kamu selingkuh ya kita putus. Beres."
"Lo sih, Wis, pakai nanya macam-macam." Kedua tangan Erga mendekap erat di dada. "Mending lo makan aja."
Ferdi dan Wisnu cekikikan melihat reaksi sahabat mereka. Erga mendengus kesal karena candaannya ditanggapi berbeda olehku. Padahal sebenarnya aku pun hanya iseng.
"Beres, Bos. Tadi sudah soto. Mm sekarang enaknya makan nasi padang, ayam goreng, pecel lele sama bakso. Cemilannya baso tahu, batagor sama gorengan. Oh lupa tambah martabak buat dibungkus. Sebentar ya gue pesen dulu." Wisnu perlahan bangkit.
"Lo mau buat restoran sendiri atau ngerampok gue!"
"Lo mau anak-anak tahu?" tawar Wisnu penuh percaya diri.
Erga melirikku yang memolototinya. "Cih. Pesan tapi seporsi aja." Ia mengacak-acak rambutnya. "Sial."
Ferdi dan aku tertawa. Erga biasanya berhasil menjahili teman-temannya. Ternyata menggodanya sangat menyenangkan. Bila melihat kebelakang, kembali ke masa lalu, berada di lingkungan seperti ini hanya sebuah mimpi. Hubunganku dan Axel hanya bayangan semu. Setiap hari dipenuhi ketakutan oleh tekanan.
Dan sekarang kenangan pahit telah terkunci. Perjalanan memang masih panjang. Tidak ada jaminan semua akan mudah. Diriku pernah terjatuh dan bangkit berulang kali. Di masa depan pun akan begitu. Sedih, bahagia ataupun kegelisahan adalah proses menjadi pribadi yang lebih baik. Tanpa mengabaikan peran keluarga, Erga atau sahabat dalam perubahan hidup, aku sekarang yakin mampu melangkah tanpa menoleh ke belalang. Hidupku bukan lagi untuk masa lalu.
The end
Malam semuanya. Belakangan ini saya memang lama baru bisa update. Ada beberapa hal yang lumayan berat dan harus dibereskan di dunia nyata. Kemungkinan masalahnya belum selesai sampai tahun depan jadi harap maklum kalau updatenya nggak sesuai dengan jadwal. Maaf kalau balasnya agak lama ya.
Tapi saya usahakan menyelesaikan setiap cerita sampai akhir walau updatenya lama.
Cerita Erga saya akhiri sampai di sini. Mungkin nanti saya edit lagi dari awal dan buat epilog atau ektra part untuk yang kangen sama Erga. Oh ya cerita INGU part 35 belum sempat saya repost ya.
Sekali lagi terima kasih atas kesabaran pembaca semua. Sampai jumpa di cerita yang lain. 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro