chap#34 - Kebohongan
"Kakaknya Putri kelihatannya masih suka sama kamu."
Erga menatap lekat mataku, memasang raut serius, menelisik mimik wajahku. Keramaian di sekitar kami tidak menganggunya. Sepulang dari kampus kami menyempatkan mampir di sebuah kafe pinggir jalan sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah. Sebenarnya tenggorokan tidak haus, perut pun belum memberi tanda lapar tetapi kami butuh waktu bicara tanpa gangguan orang tua.
"Berhenti menduga-duga karena aku nggak berminat membicarakannya. Jauh lebih menarik membahas tentang kamu atau kita. Bagaimanapun Amara sudah memiliki pendamping hidup. Menurut pendapatku, reaksinya tadi menyangkut soal Putri, adiknya. Ia minta bantuan bukan berniat mengulang masa lalu. Lagipula kisah kami telah usai." Sebelah tangannya menopang dagu. "Kamu keberatan?"
"Bagaimana ya..." Kuhela napas sembari menenangkan percikan cemburu. Menyatukan pemikiran kala situasi menuntut kedewasaan namun sisi lain justru menginginkan tindakan kekanakan ternyata sangat sulit. "Mulutku ingin mengabaikan tapi hatiku melawanannya. Menurutku walau kedengarannya subjektif, perhatian Amara sedikit berlebihan. Fakta bahwa kalian sudah lama saling kenal bahkan pernah menjalin hubungan membuatku sulit untuk tidak curiga. Seperti halnya bila aku bicara tentang Axel padamu," ingatku.
"Oke. Aku hargai pendapatmu. Apa selama ini kamu juga terganggu keberadaan Putri?" Pandangan Erga tetap sama, tenang dan datar walau kesan dingin membayang dalam sorot mata. Aku bisa membaca perubahan suasana hatinya.
Kepalaku menggeleng lalu mengaduk teh manis. Situasi terasa berat. Terbersit keinginan untuk menyudahi pembicaraan, pergi sejauh mungkin tapi hati kecil memaksa menghadapi ketidaknyamanan. "Untuk Putri aku beri pengecualian. Walau manja, dari kacamata orang awam, aku kira ia melihatmu sebatas kakak," kataku kali ini berusaha mengerahkan akal sehat dan logika.
"Terima kasih atas pengertianmu dan maaf karena membuatmu nggak nyaman." Erga menyandarkan punggungnya ke belakang sofa. Pandangannya tidak beralih, membuatku risih ketika menyeruput habisbminuman di gelas. "Begini. Soal Amara akan kuselesaikan, menjaga jarak hingga nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Aku bukannya khawatir hanya berjaga-jaga. Bagaimanapun kamu cuma manusia, lelaki biasa. Nggak ada jaminan seratus persen luput dari godaan mantan," gerutuku mulai jengkel.
Erga menyeringai geli. Sudut bibirnya terangkat. Matanya mengedip. "Kamu benar. Kita sempat putus. Aku masuk lebih dalam ke pusaran godaanmu dan sulit keluar."
Aku mencebik menahan malu yang menjalar di pipi. Erga tidak tertawa seperti biasa bila melihatku tersipu. Tatapannya menajam seolah sedang mengabadikan gerak-gerikku dalam bingkai mata. "Aku nggak pernah menggodamu."
"Kamu diam saja sudah menggoda," sahut Erga enteng. "Lalu bagaimana kabar Axel?" Ia mengalihkan topik dengan nada bicara malas-malasan. Aku memang sempat memberitahu kabar dari Tante Winna sebelum kami meninggalkan kampus.
"Masih dirawat. Aku belum tahu kondisi terbarunya. Mm... Tante Winna sempat menyakan soal Putri, orang yang terakhir kali bicara sama Axel. Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan sikapnya yang tiba-tiba pergi dari rumah?"
"Maksudmu Putri ada kaitannya dengan Axel?" Bahasa tubuh Erga menegang. Reaksinya seakan menganggap pertanyaanku menunjuk peran Putri dalam kecelakaan yang menimpa Axel.
"Bukan, bukan begitu, maksudku mungkin saja Putri tahu Axel akan pergi kemana atau dengan siapa."
"Pendapatmu bisa jadi benar. Aku ikut prihatin walau menganggap kejadian yang Axel alami merupakan balasan setimpal atas dosa-dosanya di masa lalu tapi akan kucoba menanyakan soal itu sama Putri nanti." Sikapnya semakin dingin. Putri sudah dianggap seperti adik sendiri, terutama setelah kepergian Egia.
Suasana mendadak canggung setidaknya bagiku. Topik Putri dan Axel seakan bahasan terlarang. Erga menyiratkan perlindungan, pembelaan pada perempuan itu. Meski sejak awal tidak menaruh cemburu berlebihan, melihat reaksi Erga sekarang tak urung membuat darah mendidih.
"Kenapa kamu mendadak melihatku seperti ancaman. Apa karena aku mengaitkan Putri dengan kondisi Axel? Aku kan cuma mempertanyakan, bukan menuduh. Siapa tahu keterangan Putri bisa membantu. Dan semua semata-mata karena kasihan sama Tante Winna bukan berarti masih peduli sama Axel."
"Aku nggak menganggap kamu masih peduli."
"Tapi kamu terkesan menyalahkan penilaianku soal Putri," kataku ketus. "Oh ya, aku lupa, ia adik kesayangan mantan pacar sih. Kalau nggak ada yang perlu dibahas, kita pulang karena semakin lama di sini membuatku ingin memukulmu." Oh, tidak. Sifat kekanakanku muncul.
Erga menarik napas panjang. "Sejak kapan kamu mulai ringan tangan," ucapnya setengah bercanda.
"Sejak kamu membuatku tersinggung." Tubuhku sontak berdiri, bersiap meraih tas.
"Duduklah. Maaf kalau kata-kataku menyinggungmu." Keterkejutan membias di pelupuk matanya hingga rahangnya mengeras.
Kutepis uluran tangannya. "Aku mau pulang, terserah kamu mau antar aku atau nggak." Tanpa peduli akan pertengkaran kami akan jadi pusat perhatian, kakiku berjalan cepat meninggalkan kafe. Erga mengikutiku dari belakang, terburu-buru setelah membayar pesanan makanan kami.
"Ayolah, Sya. Kita bicarakan baik-baik. Jangan mengambil kesimpulan singkat."
"Kurang baik apa aku? Sudah dibohongi tapi masih kasih kamu kesempatan. Kamu baik dan perhatian sama adik mantan pacar saja nggak pernah bawel. Seharusnya kamu melihat dari posisiku buķannya mengedepankan ego!" geramku tertahan. Di pelataran parkir tidak begitu banyak orang dan membuatku sedikit lega karena tidak ingin mengusik rasa penasaran orang-orang bila mendengar pertengkaran kami.
"Oke. Aku salah. Aku minta maaf. Jadi... "
"Cukup, Ga. Kepalaku rasanya mau pecah. Kalau seperti ini terus jangan salahkan aku kalau memaksamu memilih memutuskan semua tali masa lalu atau membiarkanku pergi." Ia terdiam. Tatapannya menajam, terluka, perih sekaligus penuh amarah. Tapi aku terlanjur kesal untuk menyadarinya.
*****
Sembunyi. Kata itu bagai jalan alternatif paling aman di tengah perang dingin. Pertengkaran membuatku enggan bertatap mata meski dari kejauhan. Perasaan selalu memburuk, super jengkel setiap mengingat cara Erga memperlihatkan ketidaksetujuan tentang Putri.
Dan yang semakin mengesalkan, ia sudah lebih dulu membaca pikiranku. Lelaki itu selalu terlihat kemanapun kaki melangkah. Di koridor menuju ruang kelas, menunggu di lobi, bersantai di taman, duduk manis di perpustakaan atau kantin. Dirinya ada di mana-mana seolah mengejekku yang kehabisan celah melarikan diri. Padahal jadwal kuliahnya tidak setiap hari.
Tidak cukup sampai di sana, tatapan tajamnya selalu berhasil menemukanku dalam keramaian. Senyuman menyungging di wajahnya saat pandangan kami bertemu. Ia bersikap sangat wajar, terlalu normal untuk sepasang kekasih yang sedang perang dingin. Hingga tidak seorangpun mengira kami sedang saling tak bicara.
Adisti menangkap signal kekesalanku. Ia mulai paham setelah mengamatiku yang banyak alasan menghindari kantin saat pulang. Awalnya aku tidak ingin berbagi masalah dengan siapapun. Bukan kali ini pertengkaran kami terjadi. Aku cukup sering melancarkan aksi tutup mulut dan menghindar.
"Akhirnya matamu terbuka juga," tawa Adisti berderai setelah mendengar inti cerita pertengkaranku dan Erga. "Teman-teman kita saja bisa menilai Putri terlalu bergantung pada Erga. Mereka sungkan padamu jadi nggak pernah membahasnya terutama di depanmu."
Kuperhatikan sejumlah teman sekelas yang duduk di barisan depan. Mereka mengobrol sambil menunggu dosen. "Aku bukannya cemburu sama Putri tapi kesal karena tindakan Erga yang bersikap seakan perempuan itu nggak bersalah. Ditambah kakaknya Amara belum lama ini menunjukan diri. Dan Erga terlalu santai, mengira aku baik-baik saja."
"Keluarkan saja unek-unekmu. Buat aturan antara kalian berdua termasuk soal menyikapi orang-orang dari masa lalu. Hubungan kalian nggak akan berjalan lancar kalau menganggap prinsip masing-masing paling benar . Lagipula aku lihat Erga masih teramat cinta padamu. Perjuanganmu jauh lebih mudah."
"Entahlah," sahutku muram. " kadang aku merasa terlalu kekanakan. Hubungan kami sering diwarnai drama layaknya sinetron ribuan seri. Sebesar apapun perasaan yang Erga tunjukan, kami nggak pernah keluar dari pusaran keraguan."
"Itu gunanya komunikasi. Erga memang menyebalkan, bisa-bisanya melindungi Putri sebegitunya. Tapi beri kesempatan ia mengatakan alasannya karena masalah kalian bukan teka teki silang, Non."
Tanganku menopang dagu, memutar-mutar pinsil dan mencorat-coret kertas kosong tak beraturan. "Saranmu bagus juga tapi aku malas menyapanya duluan."
"Malas atau gengsi." Adisti menyikut lenganku. "Tuh, orangnya kayaknya bakal nunggu sampai kelas selesai."
Mataku mengikuti pandangannya ke jendela yang menghadap koridor. Erga melambaikan tangan, menyungging senyum tanpa dosa. Mulutnya bergerak-gerak membentuk kalimat, aku tunggu di sini.
Harus kuakui kegigihan Erga. Tak peduli seberapa jauh aku mendorongnya pergi, ia akan kembali dengan kecepatan berkali lipat. Tersenyum dan bersikap seakan tidak pernah terjadi pertengkaran.
Adisti benar. Masalah akan bertambah runyam bila aku terus berlari. Beralasan menunggu waktu yang tepat setelah masa menenangkan diri. Pemenang sebenarnya adalah mereka, orang-orang yang mungkin tidak menyukai jalinan cinta kami. Para perempuan atau penggemar Erga yang berharap kamu berpisah untuk selamanya.
Setelah kelas berakhir, aku berlama-lama di kelas, menunggu Adisti menyelesaikan menulis catatan. Rasa kikuk menjalar di seluruh tubuh, membuatku mual. Aku butuh teman, setidaknya selama beberapa menit ke depan.
"Aku paham kita belum lama meninggalkan masa remaja. Masa di mana penuh dengan kelabilan. Kita masih meniti tahap menuju kedewasaan baik secara fisik maupun pola pikir. Tapi turunkan egomu. Coba lihat betapa sabarnya Erga. Ia memilih menunggu di luar untuk menghormatimu alih-alih tak tahu malu menerobos masuk dan berbasa-basi tanpa tahu malu seperti julukan orang-orang padanya selama ini."
Dengan enggan sekaligus penasaran bola mata berputar ke jendela. Erga bersandar ke dinding, tertunduk ke arah lantai. Sekelebat nyeri menyentak dada. Ia berusaha tetap terlihat olehku disela kesibukannya.
Mataku terpejam sesaat, mengingat ancaman yang terlontar kala dipenuhi emosi. Erga menyembunyikan perasaannya akibat kata-kata itu dibalik keceriaan.
"Sudah selesai?" Erga mengangkat kepalanya begitu kami meninggalkan kelas.
"Sudah dari tadi sebenarnya tapi Nona yang disebelah minta ditemani, malu katanya." Adisti tertawa kecil tak terpengaruh delikanku.
Erga tersenyum. Matanya berbinar seakan ada ribuan lampu menyala di dalamnya. Tubuhnya bergerak ke sampingku, menjajari langkah kami yang kembali menyusuri koridor.
Mulut tiba-tiba terkunci, tertutup rapat. Tidak ada satu kata yang melintas dan membuatku cukup frustasi. Sementara itu sentuhan jemari saat tidak sengaja beradu menciptakan aliran listrik. Aku merasa ditarik kembali ke masa awal menyukainya.
Adisti terus mengoceh sepanjang jalan mewakiliku yang mendadak jadi pendiam. Semua topik dibahasnya termasuk masalah politik. Erga menimpali. Keduanya saling beradu argumen. Sekalipun lega dengan bantuan Adisti, ada sedikit rasa iri karena tidak bisa ikut berdebat. Aku akan terlihat aneh.
"Maaf," bisik Erga di telinga. Tindakan tiba-tibanya membuat dadaku bergemuruh. "Kesabaranku habis. Aku rindu sekali, sangat merindukanmu."
Semburat rona merah menghias pipi. Perutku melilit. Getaran listrik mengalir saat Erga mengaitkan salah satu jari kami. Aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa rindu bukan hanya miliknya.
"Aku juga." Lidah masih gengsi mengucap sepatah kata rindu. "Maaf ancamanku waktu itu."
Erga tersenyum geli. Bibirnya mengecup singkat puncak kepalaku selagi Adisti terus bicara. "Bukan salahmu. Aku yang mendorongmu mengatakan kata-kata itu."
Kami sampai di lobi. Adisti mengangkat kedua alisnya, memperhatikan tautan jari kami. Senyumannya menggodaku. Ia pamit tanpa banyak berbasa-basi ketika pandangannya beralih pada Erga.
Lelaki itu berulang kali mendekatkan ujung hidungnya ke kepalaku. Ia menahan diri memberi banyak ciuman di rambut mengingat suasana kampus cukup ramai. Erga urung membawaku ke tempat parkir begitu melihat lambaian Wisnu dari kejauhan di kantin.
"Mau ke mana sih, kayak yang nggak ikhlas lihatnya?" Wisnu mengelap mulutnya dengan tisyu begitu kami tiba di mejanya. Di depannya dua mangkuk dan gelas besar telah kosong.
"Antar Marsya pulang." Erga membantu melepas tas dari bahuku, menaruhnya dikursi panjang lalu duduk. Tangannya reflek memegangi jemariku ketika mengikutinya duduk di kursi yang sama.
"Biasanya nongkrong dulu di kantin. Tumben buru-buru."
"Di sini terlalu ramai."
"Lah apa hubungannya?"
"Hubungannya baik-baik saja," tukas Erga cepat. Ujung sepatunya mengetuk-ngetuk lantai dengan gerakan lambat.
"Iya, kenapa?" Aku menyela karena bingung. "Disuruh pulang cepat?"
"Bukan." Kedua siku Erga menumpu di meja, bersidekap sambil menoleh padaku. "Aku ingin memelukmu. Kamu pasti marah kalau aku melakukannya di sini."
"Apa sih," balasku memelototinya.
"Maklum aja, Sya. Belakangan ini Erga uring-uringan terus. Kamu terang-terangan menghindarinya. Kelihatan dari luar sih baik-baik saja tapi pas kamu nggak ada." Wisnu menggeleng. "Ini sepatu hampir melayang gara-gara kelakuannya seperti abg labil putus cinta."
"Fitnah!"
"Oh jadi kamu memang baik-baik saja ya." Aku ikut manggut-manggut.
Erga tampak salah tingkah. Keningnya berkerut melihatku bergeser dari sampingnya. "Bukan begitu. Yang Wisnu bilang nggak semuanya benar. Aku benar-benar merindukanmu, Sya. Tunggu, aku akan buktikan perkataanku."
Aku dan Wisnu terkejut mengetahui Erga bersiap menaiki meja. Tanganku menahan lengannya. "Mau apa?"
"Bilang sama orang-orang kalau aku kangen kamu biar kamu percaya."
"Jangan." Kutarik tangannya hingga ia kembali duduk. Erga memasang raut senang seolah menikmati reaksiku. Garis bibirnya melengkung saat mengangkat mencium punggung tanganku. "Oke. Aku percaya. Sekarang tolong berhenti membuat kekacauan. Tindakanmu bisa memalukan kita semua."
"Jadi kamu percaya?" Ia sengaja mengabaikan perkataanku.
Sikapnya yang seenaknya memaksaku mengalah. Erga tidak akan ragu melakukan hal yang lebih dari sekadar naik ke atas meja. Urat malunya telah putus sejak lama. Tambahan satu aksi tak tahu malu tidak akan mengubah anggapan orang-orang ia berubah menjadi lelaki pemalu.
"Percaya. Jadi duduklah yang manis."
Matanya berkedip. Memamerkan deretan giginya yang rapih. Kedua alisnya turun naik. "Siap."
Wisnu hanya menggeleng. Tatapannya meremehkan Erga tapi orang yang diperhatikan tampak masa bodoh. Lelaki itu bicara tentang Putri ketika Erga memesan minuman. Bicaranya cukup hati-hati. Ia mengatakan kalau ikut membujuk Putri bersama Erga.
Ia sudah mendengar permasalahan kami. Sebagai sahabat posisinya netral. Meski begitu dirinya berani menjamin keberadaan Putri hanya sebatas adik.
"Keadaan Putri mengingatkan Erga sama adiknya. Putri kelihatan tertekan meski ia bilang nggak ada kaitannya sama Axel. Demi menghargaimu dan nggak ingin melukaimu lagi, kepentingannya hanya membawa Putri ke keluarganya. Ia cukup kuat tapi mudah rapuh jika berkaitan denganmu."
Pandanganku beralih pada sosok yang tengah mengantre di kios minuman. Punggung tegap Erga tampak kokoh. "Masa sih? Pertama kali ketemu, Erga bukan tipe yang mudah tertindas."
"Kamu berbeda dari mantan-mantan pacarnya. Seenggaknya cuma kamu yang diajaknya pacaran lagi. Biasanya kalau sudah putus artinya tutup buku meski masih sayang."
"Keadaan Putri gimana?" Sengaja kualihkan pertanyaan sebelum wajah seperti kepiting rebus.
"Buruk seperti Egia dulu. Aneh saja kalau ia stres hanya karena cincin toh orang tuanya sudah menganggap masalah itu selesai. Ketakutannya terlalu berlebihan."
"Ketakutan?"
"Iya. Tubuhnya gemetar saat kami membawanya pulang. Erga menawari ke rumah sakit tapi ditolak mentah-mentah. Putri sempat membentak, ingin segera sampai ke rumah. Meski kesal Erga prihatin dengan kondisinya. Ia berharap Putri bisa menggunakan akal sehat dibanding Egia."
"Apakah ada permasalahan yang belum selesai antara Putri dan Axel?"
Bahu Wisnu terangkat. Kepalanya menggeleng lemah. "Entahlah. Putri lebih banyak menutup mulut. Ia hanya bilang hubungannya dengan Axel sudah selesai."
Kami berdua terdiam. Putri jelas masih patah hati. Sikapnya yang meledak-ledak gambaran kepedihan yang dipendam. Perasaannya pada Axel tidak lekas hilang. Lukanya masih berdarah dan butuh waktu untuk pulih.
Erga melihat kerapuhan Egia dalam diri Putri. Rasa bersalah menyeretnya hingga detik ini. Kondisi Putri mungkin mengingatkannya pada satu-satunya adik perempuan. Dulu ia tidak sempat menyadari tetapi kali ini ia berusaha mencegah hal buruk terulang.
Namun karena permasalahan kami, Erga menahan diri. Batasan yang dibuatnya demi menghindari perdebatan di kemudian hari. Bagaimanapun keberadaan Putri tidak lepas dari Amara. Walau Putri bukan masalah besar, akan lain ceritanya dengan kakak perempuannya.
Selang beberapa menit Erga datang membawa dua botol minuman cola dingin. Salah satu disodorkan padaku. Sedetik kemudian ia terlibat obrolan serius dengan Wisnu, tentang pekerjaan sampingan mereka. Aku tidak terlalu antusias mendengarkan. Bayangan dalam kepala dipenuhi Putri.
Usapan di rambut menyadarkanku kembali. "Pulang sekarang?" Satu jemari Erga mengusap pipiku.
Aku melirik jam tangan lalu mengangguk. "Iya, sudah sore."
Erga segera berdiri, meraih tas milikku dan menyampirkannya di bahunya. Ia berdiri, menungguku bangkit sambil tetap tersenyum. Wisnu mengangguk saat kami pamit.
Sebelum mengantarku, Erga mengajak mampir ke rumahnya. Aku tidak keberatan dan sekalian ingin bertemu keluarganya. Harapan itu pupus setibanya di sana. Suasana rumah tampak sepi. Orang tua Erga tidak ada di tempat sementara Egi belum pulang.
Kuhempas tubuh yang lelah di kursi ruang tamu. Belakangan ini waktu tidur berkurang. Tumpukan tugas memaksa mata tetap terjaga hingga pekerjaan selesai.
Angin berhembus dari jendela dan pintu masuk yang terbuka. Kami melakukannya agar tidak mengundang kecurigaan tetangga. Kantuk semakin menyerang, membelai mata dan mengucapkan mantra ke alam bawah sadar.
Mataku tiba-tiba terbuka dan menyadari tidak berada di ruang tamu. Aku terbaring di ruangan khas anak perempuan. Dekorasi serba manis dengan sentuhan warna merah muda terlihat di meja belajar dan dinding. Kesadaran perlahan pulih. Diriku berada di kamar Egia.
Rasa penasaran mencari tahu sosok Egia menyeruak dibanding memikirkan siapa yang membawaku ke tempat ini. Kuseret tubuh dari tempat tidur, berjalan lambat menyusuri setiap sisi ruangan. Pandanganku terhenti pada buku kecil di meja belajar. Buku bergambar dua anak kecil saling menggenggam tangan itu terkunci. Gembok kecil menggantung di sisi kanan buku.
"Sudah bangun?" Sapaan dari pintu mengejutkanku. Buku itu terlepas hingga menimbulkan bunyi agak keras begitu menyentuh lantai.
"Sudah." Dengan terburu-buru kuambil kembali buku tadi. "Maaf aku nggak bermaksud merusaknya."
Erga menghampiriku. Ditatapnya buku itu. Sorotnya meredup, memancarkan kesedihan. "Aku tahu." Wajahnya mendekat sebelum akhirnya mengecup singkat pipiku. "Aku nggak berminat membaca diary Egia. Keluargakupun memilih menyimpannya tanpa mengetahui isinya."
Aku menatap bola matanya. Keingintahuan alasan pilihan Erga menghilang di tenggorokan. Ia memiliki cara sendiri mengatasi kehilangan salah satu anggota keluarga termasuk dengan membiarkan rahasia Egia tetap terkunci dalam buku.
"Aku belum sepenuhnya sanggup menerima kenyataan bila dalam buku itu menuliskan kerelaan menjadi duri dalam daging hubunganmu dan Axel. Biarlah hanya kenangan manis sosoknya yang akan selalu teringat dalam kepalaku." Penjelasan Erga seakan menjawab pertanyaan yang tidak sanggup kulontarkan.
Ekspresi sedih Erga menyebabkan rasa tidak nyaman dada. Tanpa pikir panjang aku memeluknya, menyandarkan kepala di dada bidangnya. Erga melingkarkan lengannya di bahuku. Berulang kali mengecup puncak kepala.
"Kamu memindahkanku ke kamar?" Setelah menenangkan diri, kuberanikan menggangkat wajah. Pandangan kami bertemu, terkunci dan sulit dialihkan.
"Kursi itu sepertinya nggak membuat tidurmu nyaman jadi aku memindahkanmu ke sini. Tidurmu sangat pulas sampai tak bereaksi apapun." Suara Erga berat dan parau. Darahku berdesir merasakan usapan lembut di pipi. "Aku mencintaimu, Sya."
Pelukanku semakin menguat. "Aku juga mencintaimu." Kakiku berjinjit, mencium pipi Erga. "Soal kata-kataku waktu itu, aku minta maaf."
Erga tersenyum lalu mengecup dahiku. "Sudahlah. Aku punya andil hingga kamu mengatakan hal itu."
"Tapi kamu marah, kan?"
"Sedih tepatnya. Sekarang aku sudah lupa." Kepalanya menunduk, agak dimiringkan dan semakin mendekatkan wajahnya. Irama jantungku tidak beraturan seiring rasa asing yang menjalari tubuh. Kaki terasa lemas.
Rangkulan Erga turun ke pinggang. Tanganku bergerak, melepas genggaman lalu mengaluh di lehernya. Kesepian membuai, melatarbelakangi gelora ketika bibir saling bersentuhan.
Ciuman Erga lebih dalam namun tetap lembut. Mataku terbuka, pipi merona mendengar erangan disela ciuman kami. Erga tidak terpengaruh meski matanya seolah tersenyum.
Ia semakin menekan bibirnya, mengecap dan memilih lidahku seakan memberi tanda kepemilikan atas diriku. Aku tahu arti bahagia tetapi ini berbeda. Diriku seolah menyaksikan pesta kembang api di bawah pelangi.
"Kak? Kak Erga sudah pulang?" Panggilan dari arah pintu masuk menghentikan aksi kami berdua. Kedua tanganku sontak terlepas. Kepalaku menunduk, berusaha mendorong tubuh Erga.
Lelaki di depanku bergeming. Ia membeku di tempatnya hingga memaksaku kembali mendongkak. Erga terdiam, lebih serius dibanding sebelumnya. Rangkulannya dilepaskan. Aku mengigit bibir karena gugup.
Tangan Erga menyusup saku jaket, meletakan sebuah kotak kecil berwarna biru di meja. "Terimalah. Aku bukan ingin menakutimu hanya ingin kamu mempercayai kesungguhanku. Maaf kalau kamu nggak menyukai benda itu."
"Eh ada Kak Marsya." Egi menghentikan langkahnya saat melewati pintu kamar Egia yang terbuka. Pandangannya beralih pada kotak di meja. "Aku ke kamar dulu, Kak," sahutnya berlalu meninggalkan kami.
"I.. ini apa? Ulang tahunku masih lama."
"Buka saja."
Setengah mati kucoba menghentikan getaran di tangan. Jantung berdegub kencang. Mulut terasa kering. Sebuah kalung dengan bandul inisal kami berdua mengisi bagian dalam kotak.
"Aku sudah merencanakan hal ini sejak lama." Erga menyisir rambutnya ke belakang. "Kupikir sebuah cincin akan menakutimu. Benda itu kubeli dari hasil kerja sampingan jadi harganya nggak terlalu mahal. Lain kali aku akan belikan yang lebih bagus."
Aku memegang tangannya, menahan bobot tubuh saat memberinya ciuman di pipi. Kalung ini menggambarkan kerja keras Erga. Sekalipun ia bilang tidak mahal tapi bukan murahan. "Terima kasih. Aku suka."
Erga menyeringai, merangkul pinggangku dengan satu lengan. Bibirnya mengecup kepala, dahi dan bibirku. "Kamu pantas mendapatkannya." Ia melepas pelukannya, meraih kalung itu dan memakaikannya padaku. "Aku tunggu di luar ya."
Tangan tidak sengaja menjatuhkan diary Egia lagi ketika akan meraih kotak pemberian Erga di meja. Diary itu jatuh dalam keadaan terbuka menghadap lantai. Gemboknya tergeletak tidak jauh dari kursi.
Perlahan kuambil diary dan gemboknya. Sesuatu menghentikan gerakanku, menghipnotis pandangan mata agar tertuju pada lembaran yang terbuka.
Diary itu berisi curahan hati Egia. Bagaimana perasaannya pada Axel. Egia rela menempuh Bandung Jakarta demi bertemu lelaki itu meski harus berbohong pada keluarganya. Ia mengetahui posisinya bukanlah sebagai yang pertama dan berharap pada akhirnya Axel lebih memilihnya setelah menyingkirkanku.
Tanganku tidak bisa berhenti membuka lembaran berikutnya. Dalam tulisan Egia yang cukup rapih, disebut nama sahabat Axel, Arman. Egia menulis bahwa Arman meyakinkannya untuk tidak menyerah. Lelaki itu akan membantunya mendapatkan hati Axel. Awalnya Egia ragu hingga tidak sengaja mendengar Arman bergumam sendiri. Arman menyukaiku, itu sebabnya ia tidak keberatan menutupi kebohongan Axel padaku.
Arman suka padaku? Sejak kapan? Bagaimana mungkin aku tidak menyadarinya. Ia bahkan membantu Axel menutupi kebohongannya. Tapi selama ini ia selalu menjadi penengah di antara kami.
Diary itu segera kukunci kembali, menaruhnya di antara deretan novel milik Egia. Aku tidak sanggup melanjutkan terutama beberapa tulisan menggambarkan bagaimana romantisme Axel yang berbau sensual. Untuk gadis remaja rasanya terlalu berlebihan.
Semoga Erga maupun keluarganya tidak berminat melihat isi diary itu. Aku khawatir tulisan itu akan menghancurkan sosok manis dalam ingatan mereka, pikirku sedih.
Baru akan beranjak, ponselku berdering dari dalam tas. Erga rupanya menaruh tasku di atas tempat tidur. Perlahan tubuhku berbalik menuju tempat tidur, membuka tas dan meraih benda yang terus mengeluarkan bunyi nyaring.
"Halo?" Sapaku tanpa melihat layar.
"Halo, Sya." Suara Arman terdengar jelas.
"Halo." Ingatan tentang perasaan Arman padaku membuat isi kepala sempat kosong. "Ada apa?" tanyaku, berusaha keras bersikap normal.
"Kamu sudah dengar kabar terbaru tentang Axel?"
"Belum." Kabar terakhir dari Tante Winna, Axel masih belum sadarkan diri. "Memangnya kenapa? Apa Axel sudah sadar? Kamu sudah menjenguknya?"
"Ini bukan soal kondisi Axel tapi masih menyangkut soal kejadian yang menimpanya." Ada jeda beberapa detik sebelum Arman melanjutkan perkataannya. "Salah satu pelaku berhasil ditangkap. Ia mengaku diminta oleh seseorang untuk melakukan perampokan itu. Bayarannya cukup besar. Yang perlu mereka lakukan hanya 'membereskan' Axel dan bersembunyi."
"Lalu?"
"Orang itu menyebut temanmu, mantan pacarnya, Putri sebagai dalang dibalik kejadian itu."
Tubuhku menegang mendengar berita dari Arman. Firasatku menjadi kenyataan. "Nggak mungkin," sangkalku walau ragu.
"Seandainya begitu tapi Putri punya motif kuat. Sebelumnya ia sering bertanya padaku soal Axel. Orang bisa berbuat gila karena cinta."
"Apa kamu membantunya? Seperti dulu mendukung Egia di belakangku?"
Suasana di seberang mendadak hening. "Jangan salah paham dulu, Sya. Aku memang memberitahu kalau Axel akan pindah bahkan memintanya melanjutkan hidup. Hanya itu. Soal Egia, aku mengakuinya. Kupikir itu jalan terbaik untuk membebaskanmu dari cengkraman Axel. Aku nggak berharap apa-apa selain melihatmu bahagia. Sejak dulu aku tahu matamu hanya melihat Axel."
Tanganku memijit kening. Selama ini Arman tidak pernah menunjukan gelagat menyukaiku. Ia sahabat terbaik bagiku dan Axel. Kebaikannya tidak lebih dari seorang teman.
"Apa kita bisa bertemu tanpa pacarmu? Aku khawatir ia akan salah paham apalagi aku teman Axel. Kebetulan minggu ini keluargaku rencananya mau pergi ke Bandung. Ada acara di rumah saudara. Semuanya akan kujelaskan," pintanya memohon."
"Marsya?" Panggilan Erga membuatku menoleh. Lelaki itu sedang menyandarkan bahunya di dinding dekat pintu kamar. "Ada masalah?"
"Aku hubungi lagi nanti." Dengan cepat kumatikan sambungan telepon.
Erga masih menunggu. Ekspresinya menakutkan. Dari rahang yang menegang, aku menduga ia dilanda cemburu.
Tidak mungkin menghindar. Tidak ada cara untuk berdalih. Kebohongan hanya akan memperburuk suasana. Sekalipun sulit Erga harus mengetahuinya.
"Tadi Arman menelepon. Ia memberitahu kalau dapat kabar bahwa salah satu pelaku tertangkap dan mengatakan aksinya dibayar oleh seseorang." Kuhela napas panjang dan merasa semakin tak nyaman. "Orang itu Putri."
Kedua tangannya mengepal. "Boleh aku minta nomor teleponnya?"
"Untuk apa?"
"Supaya dapat penjelasan lebih detail. Tenanglah aku nggak akan ikut campur terlalu jauh, hanya ingin memastikan kabar itu. Kenapa reaksimu seolah enggan memberikan nomor teleponnya? Ada hal lain yang kamu sembunyikan?"
Kepalaku menggeleng cepat. "Nggak ada apa-apa. Aku akan beritahu nomor Arman." Kuraih tas dan memasukan ponsel ke dalamnya.
Erga menghalang langkahku begitu tubuh berbalik. Kedua tangannya bersidekap. "Kalau memang nggak ada apa-apa bisa tolong kamu jelaskan pembicaraan dengan Arman. Kita bisa bicara sebentar sebelum pulang."
"Kita bicara di luar saja. Nggak enak sama adikmu." Kami meninggalkan kamar Egia. Sepanjang langkah kekhawatiran mencuat.
Erga mencium ketidakberesan. Kabar tentang Putri sangat mengejutkan dan sikapku yang terkesan menyembunyikan sesuatu menambah kekesalan. Aku dalam bahaya.
Kami bicara panjang lebar di ruang tamu. Erga duduk di sampingku, memandangi tanpa mengalihkan sedikit perhatian. Kedua tangannya tetap bersidekap. Ketegangan memancar dari bahasa tubuhnya. Ia tampak muram sekaligus marah.
Pada satu titik aku berhenti menghindar. Erga sulit dikelabui. Penjelasan tentang Putri tidak memuaskannya. Ia menuntut cerita lain. Informasi tambahan yang bisa menyulut api cemburu.
"Jadi itu maksudnya nggak ada apa-apa?" Nada suara Erga terdengar sinis.
"Memang," dalihku tetap tenang. "Kenyataan bahwa Arman pernah suka nggak ada pengaruhnya saat ini. Persoalan Putri lebih penting."
"Arman diam-diam menyukaimu. Ia pernah membantu Egia agar kamu dan Axel berpisah. Dan sekarang itu terulang sama Putri. Sepertinya ada yang janggal."
"Maksudnya?" tanyaku bingung.
Jemari Erga mengusap lembut kepalaku. Merapikan anak rambut ke belakang telinga. "Bukankah Axel putus dengan Putri karena masih ada rasa padamu."
Pernyataannya membuatku gelisah karena benar. "Tapi aku dan kamu juga sudah pacaran."
"Bagaimana kalau sebenarnya target Arman bukan kamu. Ia berusaha menjatuhkan Axel lewat perempuan-perempuan yang dekat dengan sahabatnya. Aku kenal Putri cukup lama. Ia mungkin manja tapi bukan tipe yang sanggup bertindak di luar anak sehat apalagi sampai menyewa orang jahat. Pasti ada yang mempengaruhinya. Orang yang cukup dekat dengan Axel dan mengetahui keseharian lelaki itu."
"Maksudmu Arman membantu Putri?"
"Bukan membantu tapi menyiapkan rencana busuk, menempatkan Putri sebagai kambing hitam bila usahanya gagal. Orang bayarannya tertangkap dan Axel selamat."
"Bagaimana mungkin? Selama ini Arman selalu melindungi Axel. Mereka berdua sudah seperti keluarga. Arman menyimpan rapat perasaannya pun karena menghargai Axel."
"Sebenarnya aku sudah membaca diary Egia. Adikku menuliskan cukup detail kisah cintanya. Nama Arman ikut disebut. Arman nggak sepenuhnya bersih. Ia menyimpan rasa iri pada Axel dan adikku terlalu naif melihat kenyataan. Aku pikir tulisan Egia hanya kebetulan, sekarang kelihatannya mulai masuk akal."
Tangan mengusap wajah. Praduga Erga mau tak mau melekat dalam kepala. "Aku akan bicara padanya, mencoba mengorek informasi bila dugaanmu benar."
"Tindakanmu terlalu berisiko. Seandainya semua benar, kita nggak pernah tahu rencana berikutnya. Arman dengan mudah menyewa orang jahat untuk mencelakai Axel. Tentu menghadapimu urusan sepele baginya."
"Motif Putri mencelakai Axel cukup kuat. Patah hati bisa membuat orang berpikir pendek. Cincin itu kemungkinan bukan hilang tapi dijual. Kalaupun Putri menyebut Arman membantunya, hal itu bisa disangkal Arman sebagai kebohongan. Kita butuh pengakuan Arman, bukti yang memperkuat bahwa Putri hanya dipengaruhi. Aku akan bicara dengannya."
"Nggak boleh. Aku nggak mengizinkan. Urusanmu hanya kuliah. Jangan membuat orang tuamu khawatir."
"Tapi aku bisa bantu... " Erga memolototiku.
"Pasti ada cara lain tanpa harus melibatkanmu. Membayangkanmu duduk bersamanya saja membuat darahku mendidih. Dengarkan dan turuti kata-kataku!"
Deringan ponsel Erga menyela pembicaraan kami. Amara menelepon, memberitahu bahwa Putri terlibat masalah besar. Berita itu sepenuhnya benar. Putri mendapat panggilan dari kepolisian soal keterlibatannya dalam kecelakaan Axel.
Kenapa Arman membenci Axel? Apakah alasannya seperti dugaan Erga. Selama ini Arman sangat baik. Melindungiku bila Axel mulai kasar. Ia tidak pernah bersinggungan dengan hukum. Kenakalannya hanya sebatas ketahuan bolos itupun karena dipaksa Axel. Kedekatan keduanya bagaikan saudara kandung.
Dulu Arman membantu Egia karena agar aku lepas dari kungkungan Axel tapi tidak sekalipun menganggu hubunganku dan Erga. Bisa saja Putri yang memanfaatkan Arman untuk mengetahui keberadaan Axel. Ia tidak menyerah begitu saja. Rencananya mungkin hanya sekadar menakut-nakuti tanpa mengira yang terjadi di luar rencana. Bukti-bukti mengarah padanya.
Aku harus menemui Arman meski terpaksa sembunyi-sembunyi dan menutaskan rasa penasaran yang mengganjal.
Dehaman menghentikan lamunan. "Jangan main-main denganku. Aku tahu yang kamu pikirkan, Sayang," bisik Erga di telinga.
Tbc
Lama tak bersua pembaca semua. Belakangan ini kegiatan saya agak jelimet dan harus keluar bolak balik ke luar kota karena ada urusan. Kondisi badan juga turun naik jadi memang mau nggak mau rehat sebentar dari watty dan sosmed. Tapi tenang aja, cerita"nya bakal tetap lanjut kok. Dimulai dari Erga cs dulu ya, yg lain segera menyusul.
Terima kasih. Salam sayang untuk pembaca semua 😙😙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro