Chap#31 - Cinta yang sebenarnya
Erga memandangi Axel. Keduanya saling berhadapan layaknya dua musuh bertemu dalam pertempuran."Biar aku luruskan. Kamu putus dengan Putri karena ingin menghilang dari kehidupan Marsya. Dan setelah mematahkan hati pacarmu, beralasan demi kebaikannya, untuk apa semua omong kosong ini? Apa belum cukup kamu bersikap egois?"
"Aku hanya menjawab desakan Marsya. Sudah kukatakan padanya, aku nggak akan menginjakan kaki di kota ini. Ia bisa melanjutkan hidupnya tanpa gangguan."
"Menurutmu Marsya bisa bersikap normal setelah pernyataanmu? Belum puas kamu menyiksa batinnya?"
"Aku terpaksa jujur. Tindakanku memang salah tapi aku hanya bermain-main dengannya. Ia belum tersentuh."
"Maksudmu?"
"Ada banyak cara memuaskan diri tanpa harus melakukan 'itu'. Aku hanya penasaran. Marsya berbeda dengan perempuan lain yang justru menyodorkan harga dirinya."
Erga mencengkram kuat jaket Axel. Matanya terbuka lebar. Geraman yang lolos dari bibirnya menambah kesan menakutkan saat rahang Erga menegang. "Jadi kamu mau bilang adikku menawarkan tubuhnya dengan sukarela?"
Axel menepis tangan Erga. "Aku nggak pernah memintanya membuktikan perasaannya. Dengan sadar Egia menyerahkan miliknya meski tahu aku nggak pernah menjanjikan apapun."
"Berengsek!" Sebuah pukulan mendarat di perut Axel. Arman beranjak dari sisiku. Ia berjalan cepat menghampiri sahabatnya yang tersungkur.
"Erga jangan," pekikku tertahan mendapati Erga bersiap melayangkan pukulannya kembali.
Lelaki itu dibutakan amarah. Suaraku diabaikannya. Arman berusaha mencegah, menarik sahabatnya menjauh namun kalah tenaga. Axel tidak sempat bereaksi saat kepalan tangan berulang kali mendarat di tubuhnya.
Pemandangan mengerikan itu memaksaku menepikan ketakutan. Aku berlari secepat yang kubisa mendekati Erga, sekuat tenaga menahan salah satu lengannya agar berhenti memukul. Erga terlanjur dikuasai bisikan setan. Dengan mudah dan kasar rengkuhanku ditepisnya hingga tubuhku terdorong ke belakang.
Aku mengaduh begitu menghempas tanah. Tangan yang menahan berat tubuh terasa nyeri. Luka goresan membekas di telapak tangan. Kukira Erga akan berhenti, menoleh ke belakang atau setidaknya memeriksa keadaanku seperti yang biasa ia lakukan.
Kali ini situasinya berbeda. Kemarahan menutup mata hatinya. Ia hanya peduli pada nafsu. Emosinya meluap dalam bentuk kekerasan.
Tidak berapa lama Ferdi dan seorang penjaga keamanan mendatangi kami. Mereka berhasil melerai, meredakan suasana yang dipenuhi aura negatif. Bentakan Ferdi berdegung di telinga. Ia menarik paksa Erga sembari mengucapkan kalimat menenangkan sementara Arman berhasil menyeret Axel menuju mobil.
Penjaga keamanan menghampiriku yang masih terduduk di tanah. Ia menanyakan keadaanku. Suaranya samar walau kami bersisian. Pikiranku melayang, memperhatikan geraman, bentakan yang memenuhi udara. Beruntung pertengkaran itu tidak sampai membuat pengunjung di dalam restoran terganggu.
"Lo diam dulu." Perintah Ferdi pada Erga. Lelaki itu bergegas beralih padaku.
Di tengah kebingungan aku hanya menurut saat Ferdi membantu berdiri. Ia melontarkan pertanyaan yang sama dengan penjaga keamanan itu tadi. Pertanyaan sederhana namun entah kenapa sulit kujawab.
Sementara itu mobil yang Axel dan Arman tumpangi perlahan meninggalkan parkiran.
"Lo udah gila, Ga? Axel bisa nuntut lo. Gue paham perasaan lo tapi bukan berarti main tangan juga. Lo nggak kasihan sama Marsya. Dia sampai syok begini."
Pandanganku bertemu dengan Erga. Raut lelaki itu sangat dingin namun tidak semenakutkan tadi. Tidak ada senyuman. Kehangatannya tersapu oleh angin malam.
"Gue antar Marsya pulang. "
Aku merapat ke punggung Ferdi. Jemari memegang ujung kausnya. "Aku pulang sama Kang Ferdi saja," bisikku parau.
"Marsya biar gue yang antar. Lo pulang saja, istirahat dan dinginkan kepala."
Erga tidak mencoba membantah. Ia menepuk kedua tangannya lalu berjalan melewati kami. Kepalaku menunduk, bersembunyi di balik punggung Ferdi seolah menghindari tatapan monster. Jemariku bergetar saking takutnya.
Kami akhirnya meninggalkan tempat parkir. Aku diantar Ferdi dengan mobil sementara Erga pulang mengendarai motornya. Sepanjang perjalanan Ferdi sengaja mendiamkanku. Ia tidak ingin mengusikku yang termenung menatap ke luar jendela.
"Kamu baik-baik saja, Sya? Mau makan dulu?" tanya Ferdi setelah kami hampir tiba di komplek rumahku.
"Masih kenyang, Kang. Makannya nanti di rumah saja."
"Jangan lupa makan dan istirahat. Soal Erga biar nanti Akang bicara padanya."
Aku hanya diam. Berbagai perasaan saling tumpang tindih. Sebagian merasa jijik pada diri sendiri. Menyalahkan kebodohanku menilai sifat seseorang. Dan sisi yang lain dipenuhi ketakutan, kehilangan kepercayaan pada lingkungan sekitar.
Setibanya di rumah, setelah mengucapkan terima kasih pada Ferdi, aku bergelung dalam kesunyian. Detak jam menggema, memenuhi seisi ruang tengah tempatku mengisitirahatkan tubuh dan pikiran.
Mata sulit terpejam. Potongan demi potongan kejadian di parkiran restoran mengalir tanpa henti bagai menonton film horor. Kepala menyerap seluruh ingatan hingga bagian terkecil.
Pernyataan Axel sedikit melegakan tetapi tetap membuatku mual setiap membayangkan apa yang pernah dilakukannya saat kesadaran terenggut. Ia telah menghancurkan kepercayaan diriku dengan cara menyakitkan melebihi perilaku kasarnya.
Dan bukan hanya tentang ikatanku dan Axel yang serumit benang kusut. Cara pandang pada Erga berubah tanpa mampu dikendalikan. Bulu roma berdiri membayangkan kemarahan di wajah Erga membuatku merasa tidak mengenali sosoknya.
Emosi yang diluapkannya mengingatkanku pada reaksi Axel dulu. Senyuman manis, kelembutan, perhatian dan kebaikannya lenyap ketika tatapan sedingin es menusuk tepat di jantungku. Aku menangis dalam diam, menerima perlakuan buruk bahkan menganggap hal itu bagian dari cinta.
Jiwa yang labil kebingungan menentukan arah. Keraguan berbalut ketakutan menepikan segala kemungkinan untuk terbebas dari jerat rasa bersalah.
Dan sekarang, beberapa menit lalu, mimpi buruk seolah terulang dalam wujud berbeda. Aku melihat Erga memakai topeng yang sama dengan Axel. Kobaran amarahnya mengejutkan.
Akal sehat yang masih mampu berpikir jernih, aku memahami luapan perasaan Erga. Ia dihadapkan pada kenyataan pahit. Berita yang seharusnya tidak perlu ia dengar. Seburuk apapun Egia, ia adalah putri dalam keluarga. Keduanya terikat oleh ikatan darah. Penghinaan terhadap Egia sama saja dengan melempar Erga pada kubangan sampah. Dan bagian paling menyakitkan, sebagai kakak, ia tidak cukup peka melihat luka di mata adik kesayangannya.
Tentang diriku, bagian itu mungkin hanya pemicu. Erga masih tampak mampu mengendalikan diri saat pernyataan Axel terucap. Dampaknya lebih hebat bagiku. Rasanya bagai dihujati ribuan baru berukuran besar.
Axel memang tidak merenggut mahkotaku tapi ia tetap melakulan sesuatu pada tubuhku tanpa seizinku. Bermain-main dengan kepemilikanku selagi kesadaran berada dalam kegelapan.
Bagaimana aku bisa sebodoh itu? Bagaimana diriku tidak menyadari tanda bahaya?
"Bodoh." Kata itu kuucapkan berulang kali sambil memukuli kepala. Anehnya aku tidak merasakan sakit.
"Marsya, kamu sedang apa?" Teguran memanggil namaku menghentikan gerakan tangan.
Kepalaku menoleh sumber suara. "Ah Kak Adjie sudah pulang. Bukannya mau nginap di rumah teman?"
Kak Adji menaruh tas di sofa lalu merebahkan tubuhnya di sampingku. "Nggak jadi. Kamu sudah makan?"
"Masih kenyang," jawabku berbohong. Perut sudah merintih, menunggu belas kasih pemilik tubuh yang enggan menyentuh makanan.
Kak Adjie melirik jam tangannya. "Kalau begitu temani Kakak makan ya. Kebetulan Kakak dikasih voucher makan sama teman."
"Ini kan malam minggu. Memangnya Kakak nggak punya rencana pergi sama siapa gitu?"
"Lagi malas." Kak Ajie menepuk lututnya lalu berdiri. Tangannya terulur. "Kita jalan sekarang."
Hati kecil bicara agar tetap tinggal. Berada di tempat selain rumah bukan sesuatu yang kuinginkan saat ini. Aku tidak peduli walau makanan yang tersedia hanya mie instan. Seharusnya aku mencari alasan. Kak Adjie pasti mengerti kelelahanku. Meski begitu pada akhirnya aku meraih uluran tangannya.
Kami menghabiskan malam bersama. Pergi makan, mengobrol dan membeli makanan ringan sebelum pulang. Perasaan tertutup rapat semua yang terjadi. Memasang topeng seakan peristiwa tadi hanya mimpi belaka.
"Sya, duduk dulu sebentar. Ada yang mau Kakak bicarakan." Permintaan Kak Adjie mengurungkan niatku saat akan beranjak menuju kamar. Aku duduk di sofa panjang.
Kak Adjie ikut duduk di sampingku. Tidak berapa lama ia bercerita. Erga sempat meneleponnya, mengabari kejadian di parkiran restoran sekaligus memintanya menemaniku.
"Kamu jangan memarahinya karena memberitahu Kakak. Ia mengkhawatirkanmu apalagi kamu sepertinya jadi takut padanya." Kak Adjie tersenyum. Ia menarik bahuku merapat ke tubuhnya.
Kami jarang berinteraksi sedekat ini. Pertengkaran atau saling debat tak mau kalah lebih sering terjadi. Biasanya aku akan memilih menghindar karena canggung walau saudara sendiri. Kali ini berbeda. Berada di dekat Kak Adjie membuatku tenang.
Air mata mulai menggenang. Aku tidak tahu apakah Erga menceritakan pernyataan Axel tetapi perasaan terlanjur tumpah ruah. Entah dimulai darimana, aku sudah meringkuk dalam pelukan Kak Adjie sambil menangis. Melabuhkan segala lelah seolah keadaan baik-baik saja.
"Maafkan Kakak. Seharusnya Kakak memberi Axel pelajaran karena sudah... " Ketegangan menguasai suara Kak Adjie. Ia berdeham. "Sebenarnya Kakak berniat mencarinya ke Jakarta setelah mengetahui kejadian itu tapi Erga melarang. Pacarmu itu sudah memberinya hukuman walau nggak bisa merubah apa yang pernah ia perbuat."
Kepalaku menggeleng pelan. "Jangan, Kak. Biar saja. Aku capek berurusan sama dia."
Kak Adjie mencium keningku, mengusap rambutku lembut. "Masalahnya memang pasti akan semakin panjang walau begitu Kakak nggak peduli tapi Kakak pikir harus melihat dari sisimu dulu. Hanya saja Kakak sedikit lega karena lelaki itu masih berpikir waras untuk merusakmu meski nggak membenarkan perbuatannya."
"Aku juga bodoh. Seharusnya aku meninggalkannya bukan malah menempel seperti lem."
"Manusia kadang bersikap bodoh bila berurusan dengan cinta. Umurmu saat itu masih labil, belum menemukan jati diri dan masih mudah terseret arus. Jangan pernah membenci dirimu sendiri. Kamu nggak salah. Axel... "Suara Kak Adjie menghilang beberapa detik. "Melakukan tindakan itu tanpa sepengetahuanmu. Ia mungkin merasa tertantang karena kamu selama ini menolak keinginannya."
Tangisku semakin kencang. Pelukan semakin erat. Bayangan di kepala mereka ulang adegan yang mungkin pernah Axel lakukan padaku. Jijik, marah dan kepedihan bercampur jadi satu.
"Kakak tahu kamu masih dalam masa transisi. Kamu belum sepenuhnya melupakan perbuatan kasar Axel. Itu sebabnya Kakak pikir kamu menghindari Erga karena trauma melihat kekerasan. Kakak mengerti perasaanmu meski begitu Erga hanya manusia biasa. Kemarahannya sesuatu yang wajar apalagi menyangkut orang yang disayanginya. Andai Kakak ada di tempat kejadian, Kakak bisa saja lepas kendali dan bukan cuma memberi Axel bogem mentah."
"Aku... tahu itu. Aku cuma takut kalau Erga akan berakhir seperti Axel. Ia mengabaikan perkataanku dan terus memukuli."
"Kekerasan memang bukan Hanya dalam masalah ini cobalah mengerti dari sisi Erga. Ia menekan sekian lama kebenciannya dan memperlihatkan ketegaran sebagai anak lelaki pertama dalam keluarga. Siapapun bisa melakukan kesalahan, lepas kendali tapi Kakak menaruh keyakinan kalau Erga sekarang pasti menyesal."
"Kenapa?"
"Di satu sisi Erga mungkin merasa puas. Pelampiasan kemarahannya tersalurkan. Di sisi yang lain, ia nggak menduga kalau tindakannya justru memicu ketakutanmu. Ia sangat khawatir makanya meminta Kakak menemanimu. Kami, kaum lelaki juga punya hati."
Aku tidak meneruskan obrolan. Ada banyak benang terputus yang harus dirangkai. Perasaan saling berbenturan antara trauma dan pengecualian. Reaksi Erga memicu ketakutanku pada lelaki kasar sementara ia hanya membela harga diri adiknya yang tidak lagi bernapas di dunia.
Keheningan mengisi sisa hari. Pikiran berkecambuk, memisahkan apa yang pantas dan tidak untuk disesali. Kak Adjie memberi pendapatnya. Axel berhasil membuatku berpikir buruk tentang diri sendiri. Tidak seharusnya aku menyalahkan diri sendiri sementara pelaku kejahatan hidup tenang.
Kak Adjie mengingatkanku berulang kali sebelum aku pamit ke kamar. Erga tidak akan menilai rendah harga diriku hanya karena masa lalu yang penuh masalah. Ia mencintai semua kurang dan lebihku.
Waktu berlalu. Setelah pertengkaran malam itu, hubunganku berjarak dengan Erga. Aku sengaja menjauh, menenangkan pikiran sebelum siap bicara. Satu hal yang tidak bisa ditolelir adalah kewajibanku kuliah. Seburuk apapun perasaan, aku harus mampu memisahkan masalah pribadi dan kepentingan di masa depan.
Adisti tidak banyak bertanya. Tugas kuliah kami semakin padat dan cukup mengalihkannya dari rasa penasaran. Aku bukan tidak ingin berbagi. Kali ini biar semua tersimpan dalam hati.
"Hei, yakin nggak mau pulang bareng?" Adisti menawariku ikut dengannya. "Sepertinya mau hujan."
"Aku pulang sendiri saja. Kakakku bilang mau jemput." Hanya itu alasan paling masuk akal yang terpikir sebelum terdesak bujukan.
"Ok. Sampai ketemu besok." Adisti melambai. Tubuhnya berjalan cepat, meninggalkan keramaian lobi.
Kuhela napas panjang. Suasana siang ini cukup ramai. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Beberapa berkerumun di depan papan pengumuman. Sebagian asyik mengobrol di sekitar lobi. Sisanya lalu lalang melewati keramaian.
Dua mata kuliah terakhir ditiadakan tetapi aku tidak berencana pulang lebih cepat. Sebenarnya cuaca yang mendung di atas langit mengisyaratkan kenyamanan berada di hangatnya rumah atau empuknya tempat tidur. Pemikiran itu menggoda tubuh yang lelah meski akhirnya kucoret dari daftar pilihan. Lagipula aku membawa payung untuk berjaga-jaga jika hujan turun.
Kaki urung melanjutkan langkah menuju tangga keluar dari lobi. Sudut mata tiba-tiba melihat Erga dan beberapa teman perempuannya keluar dari koridor yang bersebrangan dari tempatku berdiri. Kerumunan orang berhasil menutupi keberadaanku.
Perut sontak terasa sakit. Cemas dan gelisah membelit. Perasaan ini selalu muncul tiap berusaha menghindari Erga. Bila dihitung dengan jari, hampir seminggu kami tidak bertegur sapa di dunia nyata. Aku meminta waktu sendiri padanya lewat pesan singkat dan ia menyanggupi tanpa memberi kesan untuk membujuk atau memohon.
Kak Adjie berpendapat aku tidak perlu tergesa-gesa. Belum lama ini kami mengalami peristiwa buruk. Kejadian yang secara tidak langsung membuka kenangan pahit sekaligus menggali kemarahan ke permukaan. Bukan berarti kami saling membenci, lebih tepatnya kami membutuhkan ketenangan untuk bertanya pada diri sendiri sebelum mengambil langkah.
Aku berbalik arah, mencari jalan lain keluar dari lobi. Rencanaku tidak terlalu sulit. Koridor menuju taman tidak begitu ramai dan sebagian yang melewati bukan wajah-wajah yang kukenal. Sekitar sepuluh menit berjalan aku tiba di gerbang kampus.
Tanpa pikir panjang aku segera menaiki salah satu kendaraan umum menuju terminal Ledeng dan berganti kendaraan lain ke arah Lembang. Salah satu tempat rekreasi jadi tujuan. Mengingat hari ini bukan tanggal merah atau hari libur, suasana jalan tidak terlalu macet.
Mungkin niatku terbilang nekat. Hujan bisa datang kapan saja menghancurkan rencana. Tapi tekad mengalahkan kekhawatiran. Aku akan bisa berteduh di tempat makan sambil mengisi perut.
Keluargaku pernah mengajakku pergi ke Lembang. Jalan utama satu arah jadi tidak terlalu sulit mengingat rutenya. Pemandangan di sepanjang sisi jalan membuatku sedikit melupakan masalah. Hembusan angin dari pintu yang terbuka menyegarkan kepala. Untuk beberapa saat rasanya menenangkan.
Entah berapa lama perjalanan, setelah berganti kendaraan, akhirnya aku tiba di Curug Maribaya. Udara segar menyambut dan memberi semangat.
Kususuri jalan menuju air terjun. Mungkin karena bukan hari libur atau cuaca kurang bersahabat, pengunjung yang lalu lalang tidak terlalu ramai. Dan selang beberapa menit hujan mulai turun. Aku berniat berlari, mencari tempat berteduh sebelum mengeluarkan payung hingga sesuatu tiba-tiba menaungi kepala.
Tubuhku berbalik dan menemukan seseorang dalam kostum beruang cokelat mirip boneka memayungiku. Ia mengabaikan dirinya yang basah oleh hujan sementara tangan kanannya menyodorkan lima balon berwarna merah muda. Di setiap balon berisi sebuah huruf yang bila dirangkai akan membentuk kata sorry.
Aku sempat mundur selangkah. Khawatir ini perbuatan orang gila atau ada yang berniat jahat. Di kedua sisi jalan hanya ada hutan. Suasana cukup sepi hingga bisa saja ada yang memafaatkan kelengahanku. Perlahan mata memperhatikan gambar di balon. Sebuah tokoh kartun mirip Marsya and the bear terlihat di bagian depan.
"Erga? Kamu Erga?" tebakku.
Orang berkostum beruang cokelat tampak kesulitan melepas kostum di bagian kepala. Ia berusaha menjaga payung di tangannya yang lain tetap kokoh melindungiku. "Maafkan aku, Sya."
"Ka... kamu sedang apa di sini? Pakai kostum begini lagi." Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan kaget. Balon dalam genggaman sontak terlepas, melayang ke udara di tengah hujan. "Kamu bisa sakit," lanjutku cemas, meraih payung di tangannya lalu merapatkan tubuh agar kami berdua tidak semakin basah. Aku sedikit kesulitan melakukannya, terpaksa berjinjit karena kostum yang Erga pakai membuat badannya semakin besar.
Erga menarik ujung payung kembali hanya melindungiku. Ia tidak memedulikan tubuhnya yang mulai basah kuyup. "Aku sengaja mengikutimu dari kampus. Kostum ini sengaja kusewa tapi seharusnya bukan di tempat ini."
"Untuk apa?"
"Aku ingin minta maaf. Kupikir kalau memakai kostum ini, kamu nggak akan takut lagi padaku."
Kepalaku berputar ke semua penjuru. Hanya ada kami berdua. Aku benar-benar tidak bisa menebak jalan pikiran Erga. "Memagnya kamu nggak malu jadi tontonan? Ini tempat wisata bukan rumah sendiri, Erga."
"Aku jauh lebih merindukan kamu daripada memikirkan rasa malu."
Tbc
Selamat malam pembaca kesayangan. Berhubung author sedang bermurah hati, malam ini akhirnya bisa juga mempertemukan kalian dengan cowok-cowok idaman di dunia watty bukan dunia nyata tiga cerita sekaligus.
Dan supaya tidak ada demo atau protes dari cowok" ituh, harap meninggalkan jejak di setiap lapak cerita ya. Di read boleh, kasih bintang boleh sekali, apalagi kalau tambah komen, super boleh sekali asal jangan minta up lagi ya. Kepala masih nyut-nyutan nyariin si ide. Di doain makin cantik yang baca.
Terus satu lagi author minta bantuannya pilihin cover kiara ya di pengumuman terbaru lapaknya Kiara. Untuk dua pemenang terpilih nanti ada dua novel kiara terbaru, gratis tis tis.
See u di update selanjutnya yang entah kapan hehe 😂. Sehat selalu ya semua.
Ps. Lope u dari Kang Erga
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro