Chap#30 - Pupus
"Egi tenanglah. Kami nggak sengaja bertemu. Axel sudah punya pacar dan kakakmu tahu itu." Kedua tangan Egi mengepal kuat di sisi tubuh. Lelaki itu berusaha keras mengendalikan emosi. "Pergilah, Xel. Jangan sampai Putri khawatir," lanjutku setelah memastikan keadaan terkendali.
Axel menatap kami bergantian sesaat sebelum akhirnya melengos. Reaksi Egi tak mengusik ketenangannya. Beruntung aku sempat bergerak cepat menghampiri Egi tepat waktu sebelum semua semakin kacau. Emosi Egi hampir meledak. Gejolak muda berbalut kisah getir kepergian kakak perempuannya bisa memicu aksi balas dendam. Tindakan itu berhasil diredam walau bukan berarti kemarahan menghilang.
Mungkin karena perbedaan faktor usia, Erga lebih piawai menyembunyikan perasaan hingga luapan ketidaksukaan jarang ia perlihatkan secara jelas. Hingga detik ini aku belum pernah melihatnya menumpahkan rasa sakit akibat kehilangan keluarga yang dicintai pada orang yang dianggap sebagai akar masalah. Mungkin dulu pernah, sebelum kami bertemu, siapa yang tahu karena aku tidak melihat secara langsung. Selain itu kami memilih mengindari membicarakannya demi melindungi perasaan masing-masing.
Kutepuk bahu Egi. Aura muram masih membayangi sorot dinginnya. "Tenanglah. Kamu jangan salah paham dulu."
"Aku ngerti, Kak. Kak Erga pernah cerita waktu Kakak SMA. Kak Erga juga minta aku belajar memaafkan. Kebencian nggak akan pernah bisa menggembalikan Kak Egia kembali ke dunia. Aku tahu itu tapi sulit mengganggap semua normal. Kecelakaan yang menimpa Kak Egia memang nggak secara langsung menyeret lelaki berengsek itu tetapi semua bisa dihindari andai Kak Egia... " Egi mengembuskan napas berulang kali. Wajahnya memerah campuran amarah dan kesedihan. "Maaf,aku terlalu banyak bicara, Kak."
"Nggak apa-apa. Kehilangan anggota keluarga yang kita sayang pasti menyakitkan. Semua yang kamu rasakan itu wajar." Kepalaku berputar ke sekeliling lelaki muda itu. Berharap menemukan sesuatu untuk mengalihkan perhatian. "Oh ya. Ngomong-ngomong kamu sendirian?"
Tenaga Egi melunak. Bahunya tidak lagi terlihat tegang. Kepalanya di miringkan saat menoleh padaku lalu tersenyum seolah perasaannya tidak pernah memburuk. "Iya. Mau cari kado nih. Kakak sendiri sedang apa?"
"Beli buku sama aksesoris. Mumpung kakakmu nggak ada. Selera kami berbeda. Pilihan Kakak dianggap terlalu polos, tidak menarik sementara pilihannya sangat mencolok, norak dan aneh," keluhku mengingat-ingat perdebatan kecil bersama Erga setiap aku meminta saran saat ingin membeli sesuatu.
Tawa Egi terdengar renyah. Ia kembali menjadi sosok yang kukenal. "Tingkah Kak Erga memang absurd, aneh dan paling tidak biasa sejak kecil. Semakin norak, menyebalkan atau ajaib di mata orang lain justru menurutnya adalah pilihan terbaik."
Membahas Erga yang tidak berada di antara kami mencuatkan keinginan bertemu. Ia memang aneh, berbeda dengan yang lain tapi parahnya aku malah semakin merindukannya."Mau Kakak temani?" tawarku setelah membersihkan bayangan lelaki itu dari kepala.
"Kalau Kakak nggak keberatan sih boleh banget. Kebetulan aku pusing setengah mati cari kado buat cewek. Nanti aku antar pulang deh."
"Soal itu kamu nggak perlu khawatir. Kakak bisa pulang sendiri. Kita pergi sekarang ya, mumpung belum terlalu sore."
Dengan cepat Egi membuka tas miliknya. Aku menunggu, memperhatikannya mencari-cari sesuatu dari dalam tas. "Tunggu sebentar, Kak. Kita foto dulu."
"Buat apa, Gi?" tanyaku bingung.
Ia tidak menjawab dan segera mengabadikan momen kami berdua. Aku belum memahami walau melihatnya sibuk mengotak-atik layar ponsel setelah mengambil gambar. Selang beberapa menit ponselku berdering.
"Aku kirim foto kita ke Kak Erga biar dia iri," ujar Egi nyegir.
Senyumku kecut. Keduanya serupa dan walau kelakuannya tidak seratus persen mirip tapi mereka masih satu keluarga. Aku masih ingat bagaimana sambutan Egi mempermalukan kakaknya saat pertama kali datang ke rumahnya.
*****
Bertemu Axel tidak lagi seberat ketika pertama kali dihadapkan pada kenyataan kemungkinan akan sering melihat keberadaannya. Ada banyak cara untuk membuat nyaman tanpa perlu memaksakan diri terlibat dalam aksi basa-basi yang terdengar canggung. Aku memang telah memaafkan masa lalu. Belajar hidup berdampingan bersama sejarah mengerikan yang akan terus menempel dalam ingatan. Selama beberapa tahun belakangan aku memilih mengubur kenangan itu, melarikan diri dari kenyataan dan membuka lembaran baru, berharap ada kebaikan di ujung kepedihan. Pepatah badai pasti berlalu memotivasi agar berhenti menyalahkan diri sendiri. Tapi alur kehidupan tidak selalu bisa ditebak bahkan ketika merasa berada di jalan yang benar.
Setelah mengira terbebas dari kesedihan. Masalah yang berawal dari peristiwa memilukan mengikuti ke tempat baru. Dan selepas menghadapi kesalah pahaman di antara aku juga Erga selesai pun, akar ketakutan masih menancap terlalu dalam. Untuk menjadi pemenang, terbebas dari duka, aku harus berhenti berpikir bahwa menghindar merupakan jalan paling aman. Tidak ada cara selain menghadapi ketakutan itu sendiri seperti yang kulakukan sekarang.
Tanpa kehadiran Erga, berada di manapun walau berjuang seorang diri, di kala sepi atau ramai, aku cukup percaya diri untuk tidak menangis. Bagiku itu langkah besar.
Siang ini, beberapa jam menjelang waktunya orang-orang bermalam minggu, aku dan Adisti menghabiskan sisa makan siang di taman. Awalnya teman-temanku yang lain ikut bergabung. Kami mengobrol sambil membahas tugas kuliah. Lima menit lalu mereka pamit ke kantin untuk mengisi perut.
Adisti sesekali menatap lekat pemandangan di hadapannya. Sejumlah mahasiswa berkelompok di sekitar kami. Mereka duduk di rerumputan yang barus saja dibersihkan dan berlindung di antara pohon besar. Kami melakukan hal serupa, bersandar pada pohon sambil menikmati semilir angin.
"Kamu sudah ketemu sama Kang Erga?" Adisti membuka pembicaraan tanpa menoleh. Ia menatap sebuah novel tebal di pangkuannya.
Hampir satu minggu aku belum melihat batang hidung Erga. Kami hanya berkomunikasi lewat pesan atau kalau sedang ingin, bertatap muka lewat vidio call. Ia belum terlihat di kampus dan aku memakluminya. Ritme kesibukan kami sedikit banyak berbeda walau berada di satu kampus. Biasanya Erga yang menyempatkan menemuiku selagi ada waktu kosong. Sebagai senior dua tingkat di atasku, ia memiliki target lulus tahun depan dan kurang lebih berarti akan semakin sibuk.
Demi kebaikan bersama selain saling mendukung, aku belajar tidak bergantung padanya. Bukan hanya bantuan mengerjan tugas kuliah tetapi juga tidak selalu mengharap keberadaannya secara fisik. Kami tidak mungkin selalu bersama di kampus. Ia memiliki kegiatan dan kehidupam di luar hubungan kami begitupun sebaliknya.
Karena berbagai alasan, aku mencoba tak membebaninya seperti rengekan ingin bertemu walau rindu menyesakan dada. Tidak jarang aku membayangkan, berimajinasi Erga tiba-tiba muncul seperti kebiasaannya. Keinginan tidak selalu terwujud.
Hari berganti. Menit berlalu. Bergerak lambat hingga aku merasa waktu berputar lebih lama setiap detik. Adisti sering menertawakan kegelisahanku.
"Belum. Kemarin sempat vidio call tapi nggak lama. Jaringannya lagi jelek jadi keputus terus. Telepon juga cuma sebentar. Sibuk banget kayaknya." Pandangan mataku memperhatikan suasana kantin.
"Kamu sudah ajak ketemuan belum? Kang Erga sudah balik ke Bandung, kan?"
"Iya tapi ia bilang lagi ada urusan mendadak. Neneknya sakit lagi. Jadi langsung pergi ke rumah neneknya begitu pulang setelah survey tempat buat kerja praktek. Minggu depan baru ke kampus lagi, mungkin. Dia nggak bilang apa-apa sih soal ketemu. Aku juga nggak mau nambah bebannya."
"Ngomong-ngomong hubungan kamu sama Axel gimana?" Adisti selalu penasaran tentang Axel. Ia tidak mempersoalkan bendera perdamaian yang kami kibarkan tapi menurutnya lebih baik menjaga jarak.
"Biasa saja. Aku nggak benci atau merasa takut andai kami berada tempat yang sama. Kita sama-sama sudah move on. Nggak perlu cari masalah baru."
"Bagus deh kalau begitu." Kami mengakhiri obrolan. Novel yang dibacanya dimasukan dalam tas. Ia mengajakku pergi berhubung mata kuliah berikutnya segera di mulai.
Kelas terakhir hari ini akhirnya selesai saat jam menunjukan pukul empat. Langit yang menguning menyapa dari luar jendela. Cuaca cukup cerah. Suasana yang hampir sempurna bila berniat menghabiskan sisa hari di luar rumah. Atmosfer begitu menyenangkan tapi justru mengingatkanku pada Erga. Candaan, tawa hingga perhatian konyolnya memenuhi isi kepala.
Dia sedang apa ya?
Lamunan terusik. Putri menghampiri ketika aku baru menginjak lobi. Ia keluar dari koridor, sendirian dan tampak berseri. Lengkungan garis bibirnya merekah seperti bunga yang sedang mekar.
"Sore, Sya," sapanya lembut.
Adisti perlahan berjalan minggir, menjaga jarak dariku. Ia tidak terlalu menyukai Putri tapi bukan membencinya.
"Sore juga, Put. Mau pulang?" tanyaku walau jawabannya sudah bisa ditebak.
Kepala perempuan itu mengangguk. "Axel jemput." Kalimat itu terdengar bagai pernyataan bahwa lelaki itu berjalan ke arah yang benar. "Erga masih di luar kota ya? Ia sempat menghubungiku, menanyai lanjutan hubunganku dengan Axel. Ia sangat cerewet."
"Ia sudah mengenalmu cukup lama. Kamu sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan ia pernah kehilangan anggota keluarga. Sikapnya hanya bentuk perhatian. Erga nggak ingin kamu mengalami nasib serupa seperti Egia."
"Aku tahu Erga memang baik sejak ia pertama kali datang ke rumah sampai detik ini. Hanya saja perhatiannya kadang menjengkelkan. Ia mengira aku anak manja yang perlu diawasi. Axel pernah melakulan kesalahan tapi bukan berarti ia nggak punya hak berubah. Ia nggak pernah menyakitiku baik fisik maupun verbal atau melakukan tindakan-tindakan yang dulu pernah kamu alami. Orang tuaku bahkan mulai mengapresiasi sikapnya."
Putri kedengarannya seakan mempertanyakan kebenaran kejadian yang kualami. Perlakuan Axel padanya seolah kontras dengan ceritaku. Aku sangat memahami karena reaksi seperti bukan pertama kali terjadi. Tidak semua orang setuju dengan tuduhan jahat pada Axel hingga waktu membuktikan ucapanku tak keliru.
"Itu bagus." Aku mencoba terdengar antusias agar pembicaraan kami ini cepat berakhir.
"Menurutku juga begitu." Pijaran kebahagaiaan tidak bisa Putri tutupi. "Aku harap kami berhasil melewati masa penyesuaian dan semua berjalan lancar."
"Aku doakan yang terbaik untuk kalian."
"Terima kasih. Aku juga berdoa semoga kalian tetap bersama. Oh ya, mau pulang bareng?"
Aku mengulum senyum. Tawaran Putri hanya basa basi. Sorot matanya tidak bisa berbohong. Kehadiranku di antara Axel dan dirinya pasti jadi penganggu. "Terima kasih tapi nggak usah. Aku masih ada perlu sama Adisti."
"Kalau begitu aku duluan ya." Putri tersenyum, meninggalkan kami, menjauhi lobi dan berjalan cepat menuju tempat parkir.
Adisti mengerang pelan. Ia mengusap lehernya. "Cinta bisa memanipulasi keadaan. Membutakan mata. Menulikan telinga. Harus kuakui daya tarik Axel tapi seharusnya Putri sedikit waspada. Ia benar-benar jatuh di pusaran perasaannya sendiri."
"Kita nggak tahu isi hatinya. Bisa saja ia lebih waspada dibanding yang kita lihat. Sudahlah, kita pulang saja. Aku nggak mau merecoki hubungan mereka. Bukan hakku untuk ikut campur."
"Tapi aku masih berpikir kalau Putri jauh lebih terganggu menghadapi kenyataan bahwa kamu mantan pacar Axel dibanding menimbang perilaku kasar lelaki itu dulu."
Aku tidak merespon. Pendapat Adisti sedikit banyak kusetujui dalam hati. Ekpresi Putri belum terlalu lepas bila kami bertemu. Sorotnya tertahan oleh kecemburuan yang coba ia sembunyikan. Itu salah satu penyebab aku lebih suka kami hanya bertegur sapa seadanya daripada menghabiskan waktu membahas Axel.
Di tengah perjalanan menuju gerbang kami tidak sengaja bertemu Ferdi. Ia menepikan mobilnya dan menawari tumpangan. Adisti menolak, beralasan ayahnya akan menjemput. Aku sendiri akhirnya mengiyakan tawarannya terutama ketika lelaki itu mengatakan akan menjenguk Wisnu yang sakit.
Sebelum tiba di kediaman Wisnu kami menyempatkan membeli mangga. Ferdi bilang kalau sahabatnya berulang kali memberi isyarat agar dibawakan buah beraroma aromanis kalau mau menjenguk.
Sekitar pukul lima kami memasuki komplek perumahan, menyusuri jalanan yang lengang dan berhenti di depan rumah bercat abu-abu. Aku segera turun, mengikuti Ferdi begitu mesin mobil mati. Pandangan berkeliling, memperhatikan pekarangan yang didominasi warna hijau. Seperti halnya rumah Erga, tempat tinggal Wisnu tampak asri oleh tanaman hias.
Ferdi menoleh padaku, matanya memberi isyarat agar aku mengikutinya memasuki pagar. Kami berhenti di depan pintu masuk. Aku berdiri di samping Ferdi sembari kembali memperhatikan keadaan sekitar.
Ferdi mengetuk pintu beberapa kali. "Punten."
"Mangga." Suara balasan terdengar dari dalam.
Keningku berkerut memandangi Ferdi. "Mangga? Aroma mangganya kecium sampai dalam ya."
Ferdi terbatuk. Senyumannya kecut. "Mangga yang kamu dengar tadi bukan berarti buah tapi balasan salam dalam bahasa sunda. Punten itu sama kayak halo atau assalamualaikum. Erga nggak pernah mengajarimu?"
Aku merasa sangat bodoh. "Sering tapi bukan tentang adat setempat. Ia mengajariku seribu cara bersikap konyol yang baik dan benar."
Pintu di hadapan kami terbuka. Seorang lelaki berdiri menatap dengan senyuman. Ia memandangi kami bergantian sebelum mengakhiri pencariannya di mataku. Sosok itu jelas bukan bagian dari keluarga Wisnu.
Dorongan menghambur dalam pelukan terhenti. Kata rindu tertelan di tenggorokan. Aku sudah cukup terhibur bisa bertemu Erga setelah membiasakan diri menepikan bayangannya.
"Lo ngapain di sini, Ga?" Ferdi tidak puas dengan apa yang ia lihat.
"Gue baru datang dari luar kota. Rencananya mau ke kampus tadi siang tapi Wisnu mendadak telepon, bilang sakit, pengin ditengok sama dibawain oleh-oleh." Tatapan Erga belum beralih dariku walau ia bicara dengan sahabatnya. "Kalian datang cuma berdua?"
"Iya rencananya sekalian antar Marsya pulang," jawab Ferdi tenang.
"Benar begitu, Sya?"
Kepalaku mengangguk. Erga tampak menggelikan. Ia memakai kaus, jaket dan celana jeans selutut. Penampilannya biasa saja meski menurut mataku selalu menarik. Lingkaran di bawah matanya menunjukan kelelahan. Aku ingin berempati tetapi ekspresinya saat mengerucutkan bibir memaksaku menahan tawa.
"Iya. Lumayan kan irit ongkos."
"Kalian... " Suara Erga mengambang. Ferdi lebih dulu menyereduk tubuhnya hingga ia bergerak ke samping, memberi ruang saat sahabatnya melewati pintu.
"Berisik, Ga. Jangan banyak asumsi kecuali lo rela Marsya jadi pacar gue. Wisnu mana?"
"Sial.... " Erga belum selesai menyelesaikan kalimatnya karena aku lebih dulu menyela obrolan mereka.
"Dua lebih baik daripada satu," kataku memamerkan mimik tanpa dosa. Kedua lelaki itu sontak menoleh. Erga mendelik sebal sementara alis Ferdi naik turun dan aku tentu saja tertawa puas.
Wisnu rupanya terkena gejala tifus. Ia diharuskan istirahat dan sementara tidak mengikuti kegiatan kampus. Wajahnya tampak agak pucat namun senyumannya tetap menyungging terutama melihat makanan yang kami bawa.
Selama hampir satu jam berada di kediaman Wisnu, aku dan Erga pamit lebih dulu. Tante Mirna, ibu Wisnu sempat menggoda Erga. Ia mengatakan baru kali ini lelaki itu memperlihatkan banyak ekspresi di dekat seorang perempuan.
Erga mematung di hadapanku setelah membantu memakaikan helm. Kerutan di keningnya bertambah saat kedua alisnya menyatu. Sikapnya membuatku risih terlebih kami masih berada di tempat umum.
"Ada apa sih?" tanyaku jengah.
"Gawat..Mataku bermasalah kayaknya."
"Tambah minus?"
"Bukan. Seminggu nggak ketemu, kamu kok jadi makin cantik." Erga mengatakannya dengan mimik serius. "Apa ini efek lapar atau tipuan make up," tuduhnya sambil tertawa.
Kucubit pinggangnya walau tampaknya ia tidak bereaksi kesakitan. Garis bibirnya justru semakin lebar seakan mengejek kecanggunganku. Matanya meredup lalu mengusap kepalaku. "Maaf aku belum sempat mengabarimu. Tadinya mau kasih kejutan tapi ternyata kamu datang ke tempatnya Wisnu."
"Nggak apa-apa yang penting sudah ketemu."
"Ayo cepat naik. Aku antar pulang sekarang."
"Iya, sabar dulu," keluhku bergegas naik ke motornya. "Kamu ada urusan lain ya. Buru-buru banget."
Erga menyusulku menaiki motor. Sedetik kemudian ia menyalakan mesin. "Nggak ada. Aku kangen setengah mati. Gawat kan kalau aku nekat cium kamu di sini. Bisa diseret kita ke rumah pak RT nanti."
Tanganku memukul pelan punggungnya sebelum melingkarkan tangan di perutnya. Gurauan Erga yang kadang tak tahu tempat membuatku merinding. Ia mungkin hanya bercanda tapi tidak mengurangi rona merah di pipiku.
Motor yang kami tumpangi mulai menyusuri jalanan. Kemacetan terlihat di berbagai sudut kota. Suasana yang biasa paling kubenci berubah menyenangkan. Semakin lama berada di tengah hiruk pikuk kendaraan artinya ada lebih banyak waktu bersama Erga. Aku bisa saja meminta dirinya menghabiskan malam minggu seperti pasangan lain tetapi tak tega melihat kelelahan di matanya.
Tanpa sadar pelukanku mengerat, menempel seperti dilapisi lem super kuat. Pandangan Erga tetap ke depan. Ia mencurahkan konsentrasinya mengingat hal buruk bisa terjadi mengingat tidak semua pengendara memiliki kesabaran tingkat tinggi. Dan kadang aku cukup takjub pada lelaki yang sedang kupeluk dari belakang. Erga jarang terpancing meski pengendara di sebelahnya bersikap menyebalkan.
Sentuhan di jemari menghangatkan percikan kerinduan. Erga sepertinya menyadari perasaanku. Ia mengenggam tanganku beberapa saat sebelum melepasnya dan memfokuskan perhatian pada keadaan sekitar. Di tengah perjalanan ponselnya berbunyi. Suara dan getarannya tidak berhenti setelah sekian menit berlalu.
"Angkat dulu. Siapa tahu penting."
Erga menyetujui pendapatku. Kami menepi di sebuah jalanan yang sepi. Erga mematikan mesin motor, mengambil ponsel dari tas dan menjawab panggilan tanpa turun dari kendaraannya.
Aku menegakan tubuh, menunggu dengan sabar sambil memperhatikan sosoknya dari belakang. Nada bicara Erga terdengar lebih serius dari biasanya. Ia bahkan sesekali menahan geraman. Selang lima menit pembicaraan di ponsel selesai.
"Ada masalah?"
"Nggak ada apa-apa." Ega bersiap menyalakan mesin motor.
"Tunggu sebentar. Cerita dulu." Kutahan bahunya hingga gerakannya terhenti.
Erga menghela napas. "Yang telepon tadi Putri. Ia minta tolong padaku agar bicara sama Axel."
"Buat apa?" Ketidaksabaran tersirat dibalik suaraku.
"Mereka putus. Axel mutusin Putri. Putri belum bisa terima. Ia memohon supaya aku menolongnya."
"Putus?"
"Aku mungkin nggak berhak bilang begini tapi kabar itu bukan kabar buruk. Putri pantas dapat yang lebih baik bukan sekadar laki-laki pengecut yang cuma memanfaatkan kelebihan fisik dan finansial demi mendapatkan keinginan."
"Penampilan Axel memang mudah menarik perhatian." Deheman Erga menunjukan ketidaksukaan. "Aku pikir Putri punya alasan menyukainya selain fisik atau materi. Terus sekarang gimana?"
"Putri sedang bersama Ferdi. Ia belum mau pulang. Orang tuanya hanya tahu kalau Axel pergi bersamanya seperti biasa kalau lelaki itu datang ke Bandung. Aku nggak tahu harus mencari Axel ke mana. Putri sendiri sulit menghubungi lelaki itu setelah mereka pergi makan."
"Aku mungkin bisa bantu. Siapa tahu Arman lagi sama Axel."
"Jangan. Biarkan saja. Masalah ini bukan urusanmu. Kamu nggak perlu melibatkan diri."
Mesin motor kembali menyala tapi ketegangan menguar dari tubuhnya. Punggungnya dipenuhi ketegangan. Ia terdengar menahan amarah saat membuka mulut sebelum kami melanjutkan perjalanan. "Lelaki itu sepertinya belum sepenuhnya merelakanmu."
Keadaan rumah kosong begitu kami sampai. Orang tuaku mendadak harus pergi ke luar kota karena ada saudara yang sakit. Kak Adjie sudah dipastikan menginap di rumah temannya. Erga tersenyum menyadariku tidak berusaha menahan kebaradaannya. kami bicara sebentar sembari melepas lelah. Aku bisa membaca kegelisahannya. Pikirannya tidak berada di tempat meski aku disampingnya.
Aku memberinya izin menemui Putri. Erga seakan menunggu kerelaanku karena memikirkan perasaanku. Ia khawatir timbul kesalah paham bila dirinya mengorbankan malam minggu kami demi membantu perempuan yang dianggapnya adik sendiri. Tapi bukan hanya itu yang tersirat di sorotnya. Keberadaan Axel sebagai poros masalah tidak bisa ditepisnya begitu saja terlebih perkataannya yang seakan mengatakan perpisahan mereka karena Axel masih menyukaiku.
"Kamu nggak apa-apa sendirian?" Erga terdengar sedang meyakinkan dirinya dibanding mempertanyakan hal itu padaku.
"Kamu nggak perlu khawatir. Orang-orang di komplek ini saling kenal. Aku tinggal teriak kalau terjadi sesuatu. Lagian selama ini belum pernah ada kejadian buruk di sini. Satpam juga sering keliling komplek." Aku mengantarnya hingga pintu masuk. "Lebih baik kamu temui Putri. Ajak ia bicara baik-baik. Ia mungkin butuh teman bicara. Dan jangan lupa istirahat."
Dalam gerakan cepat Erga meraihku dalam pelukannya. Rengkuhannya begitu erat seakan tidak ingin terlepas. Aku merespon tindakannya, menyandarkan kepala di bahu tegapnya sembari mengusap punggungnya. Untuk sesaat rasa posesif menyala. Ada rasa enggan membiarkannya pergi di pertemuan pertama setelah hampir seminggu terpisah oleh jarak.
Erga menyadari makna dari reaksiku. Ia menarik lembut daguku hingga pandangan kami bertemu. Jantung serasa hampir meledak melihat sorot redup di hadapan. Hanya ada bayanganku yang memantul dalam bola matanya. Desiran hangat menggelitik seluruh kesadaran, membuatku malu sendiri oleh perasaan aneh.
Kecupan di kening mendarat sebelum aku bersiap. Wajahku semakin memerah hingga tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Erga seolah menikmati permainannya. Kepalanya di miringkan, perlahan turun menyusuri pipiku lalu meninggalkan jejak ciuman di bibirku.
Tindakan tiba-tibanya sontak mendorong tubuhnya. Erga mengedip tak peduli perempuan di depannya memolotinya. Aku pura-pura kesal, mengusir munculnya rasa asing yang justru menunggu lanjutan dari sekadar ciuman singkat. Kedua tangan lelaki itu terangkat, memerangkap wajahku dengan jemari besarnya. Ia terkekeh melihatku berusaha melepaskan diri namun tenaganya jauh lebih kuat.
"Menggemaskan sekali. Belum pernah aku sesayang ini sama perempuan. Jaga diri baik-baik. Hatiku cuma ada satu."
Perasaanku tumpah ruah. Semua sakit di masa lalu seakan sirna dalam satu sapuan. Melodi yang mengalun dalam dada bukan lagi pengantar mimpi buruk. Secercah harap terbuka di depan sana. Aku mencoba mempercayai bahwa itu bahagia itu nyata.
Sebelah tanganku menyentuh jemarinya yang membingkai pipiku sementara yang lain memberi isyarat agar kepalanya menunduk. Erga menurut. Entah keberanian darimana atau diriku terlanjur nekat ketika menyatukan bibir kami dalam hitungan detik.
Erga sontak melepaskan kedua tangannya. Ia mundur beberapa langkah. Punggungnya agak memungkuk, menatap lantai sambil menggeleng. Salah satu tangannya menyentuh kening. Aku terdiam melihat reaksinya, waswas membayangkan apa yang ada dalam pikirannya.
"Ini gawat," gerutunya saat tubuhnya tegak kembali. Rahangnya menegang.
"Apanya yang gawat?"
Erga nyengir sambil menaik turunkan alisnya. "Aku mendadak ingin membawamu ke KUA."
"Boleh tapi ditunggu lulusnya dulu ya," cibirku.
Ia bergerak mendekat, menggacak-acak rambutku dengan gemas. "Bisa saja nyindirnya. Kamu juga jangan malas. Selesaikan kuliah tepat waktu. Nurut sama orang tua. Jadi anak baik. Jangan terlalu bebal kalau dinasihati." Jemarinya menjentik keningku. "Aku pergi dulu. Kasihan Ferdi pasti kewalahan menghadapi Putri. Oh ya periksa pintu dan jendela sebelum tidur. Kabari aku kalau ada apa-apa."
Aku memandangi sosoknya hingga bayangannya menghilang dalam gelap malam. Kebahagiaan yang sempat memenuhi dada terusik oleh ingatan akan keadaan Putri. Ia tampak baik-baik saja sore tadi. Begitu ceria, penuh dengansenyuman hingga siapapun bisa menebak isi hatinya. Keberadaan Axel sangat mempengaruhi hidupnya.
Ia terpikat pesona Axel. Rasa yang memenuhi kepalanya menyingkirkan segala prasangka buruk. Perhatian sekecil apapun terlihat bagai mengabulkan mimpi yang tak mungkin. Putri terjatuh dalam pusaran perasaannya sendiri. Aku tidak bisa mengejek pilihannya yang mengabaikan logika ketika masa lalu Axel terbentang di hadapan. Aku pun pernah berada di posisinya. Terjebak, buta dan terlalu bodoh untuk mencintai diri sendiri.
Setelah mengunci pintu rumah, akumelangkah menuju ruang tengah. Tas kulempar sembarang lalu menghempas sofa. Kuraih remote di meja, menyalakan televisi dan mencari tontonan menarik. Suasana cukup sepi. Suara yang terdengar hanya dari televisi.
Di layar, reporter lelaki sedang mengabarkan berita tentang pembunuhan seorang mahasiswi. Dugaan mengarah pada sang pacar. Beberapa saksi mengatakan bahwa hubungan mereka tidak sehat. Lelaki yang menjadi tertuduh diduga mempunyai watak kasar sebaliknya korban cukup pendiam. Korban tidak pernah membicarakan masalahnya dengan siapapun, entah karena takut atau malu hingga hidupnya berakhir di tangan orang yang ia kira mencintainya.
Panggilan di ponsel memaksa sebagian perhatian beralih. Dengan agak malas kuseret tas, membuka risleting dan mencari benda yang belum berhenti berbunyi. Nama Arman terlihat di layar.
"Halo, Sya. Kamu bisa datang ke sini?" Arman menyebut nama restoran. Letaknya ada di tengah kota.
"Sorry, Man. Aku baru pulang, capek, mau istirahat." tegasku tanpa ruang untuk disela.
"Aku ngerti tapi keadaannya bakal lebih kacau kalau kamu nggak datang. Senggaknya kamu bisa mendinginkan kepala pacarmu sebelum terjadi keributan."
Keningku berkerut. "Keributan bagaimana?"
Arman menceritakan bahwa ia dan Axel sempat akan bertolak ke Jakarta beberapa menit lalu. Rencana keduanya tertunda karena Erga berhasil membujuk Axel untuk bertemu. Axel akhirnya setuju dengan syarat tidak membawa Putri dalam pembicaraan ini. Ia akan menjelaskan alasan kenapa hubungannya tidak bisa dipertahankan.
Dan rupanya Erga tidak datang sendiri. Ia muncul bersama sahabatnya dan Putri. Axel tidak banyak bicara, membiarkan Putri mengeluarkan uneg-unegnya.
"Tolonglah, Sya. Aku khawatir Axel kehilangan kesabaran. Putri mencecarinya banyak pertanyaan dan itu berhubungan denganmu. Penjelasan paling mudah didengar pun nggak akan bisa diterima. Ia bahkan menolak keinginan Erga agar keduanya mendinginkan perasaan dan bicara lagi setelah tenang."
"Restoran itu tempat umum. Erga pasti berpikir dua kali kalau pun mau ngasih Axel pelajaran demi membela Putri."
"Dengarkan aku, Marsya. Axel putus dengan Putri karena ia merasa nggak bisa membohongi dirinya lagi. Perasaannya sama kamu belum hilang dan semakin tumbuh sejak kalian bertemu lagi. Ia nggak mau Putri tersakiti bila hubungan tetap dilanjutkan. Axel bahkan bilang ia nggak akan datang lagi ke Bandung agar kamu berhenti menghindarinya."
"Apa?"
"Kamu nggak salah dengar. Axel masih sayang sama kamu. Ia belum berhenti merasa sangat bersalah dengan tindakannya dulu. Tapi nggak mungkin kan mengatakan kebenaran itu sama Putri atau pacar kamu. Sahabat pacarmu malah menahan kepergian kami. Axel melarangku ikut campur. Ia minta aku menunggu di meja lain. Aku kabari lagi nanti." Arman tiba-tiba memutuskan sambungan telepon. Ia seperti terburu-buru.
Perasaan mendadak tidak enak. Bayangan buruk melintas dalam benak. Sesosok lelaki tercipta dalam kepala, memperlihatkan kemarahan layaknya monster kelaparan.
Tanpa pikir panjang aku meraih ponsel dan tas. Berjalan tergesa-gesa meninggalkan rumah dan memesan ojek online. Doa mengalun dalam hati, berharap tidak menemukan kekacauan setibanya di restoran yang Arman beritahu.
Selang setengah jam akhirnya aku sampai di tujuan. Bapak yang mengantarku mencari jalan kecil karena aku memintanya tidak melewati jalan utama agar menghindari kemacetan. Dua orang yang kukenal berada di parkiran. Keduanya bersiap menaiki mobil.
"Axel. Arman. Tunggu," panggilku sambil berlari.
Keduanya berhenti, membalikan tubuh ke arahku. Dadaku berdebar kencang menyadari luka lebam di pipi Axel. Apakah Erga memukulinya?
"Kamu memberitahunya?" Arman diam saja mendengar pertanyaan sahabatnya.
"Apa yang terjadi? Kalian ber... kelahi?" Napasku masih putus-putus setelah berada tidak jauh dari kedua lelaki itu.
"Nggak ada apa-apa. Sudah malam. Sebaiknya kamu pulang."
"Jangan memerintahku. Erga memukulimu?"
"Kalaupun benar kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan melaporkannya. Tenang saja, mulai sekarang kamu nggak akan melihatku di kampus atau di manapun."
"Penjelasan apa yang kamu berikan sama Putri?"
"Aku bilang suatu hari nanti ia akan menemukan lelaki yang lebih baik dariku. Aku memang sayang padanya tapi perasaan itu nggak berkembang. Sudah kucoba berulang kali meyakinkan kebersamaan kami dan hasilnya sia-sia. Memaksakan diri hanya akan menambah luka."
"Lalu?"
"Putri belum bisa terima keputusanku begitu juga Erga dan sahabatnya. Mereka mengira aku hanya mempermainkan perasaannya. Aku melakukannya karena harus memberimu ruang demi mempertanggung jawabkan tindakanku dulu."
Pembicaraan kami semakin memusingkan. "Bukankah kita sama-sama sudah berdamai. Berhentilah mengejar masa lalu."
"Aku sangat ingin tapi nggak bisa. Dan setelah dipikir dengan matang. Aku merasa ini jalan terbaik." Axel melanjutkan bercerita, mengingatkanku pada salah satu momen ketika kami masih bersama.
Suatu hari kami dan beberapa teman pergi merayakan ulang tahun Axel. Ia menyewa vila di daerah Puncak. Kami berangkat pagi dan pulang sebelum malam. Semua berjalan normal kecuali ketika aku mendadak kurang enak badan.
Arman mendekatiku, berusaha menjauhkanku dari Axel. "Pulanglah, Sya. Kami nggak perlu mendengarkan Axel. Pikirannya sedang kacau."
"Apa hubungannya putusnya kalian dengan perayaan ulang tahunmu di Puncak?" Kuabaikan suara-suara di sekitar kecuali hati kecil yang haus oleh rasa penasaran.
Axel tidak langsung menjawab. Ia sengaja menghindar. Aku berjalan ke arahnya sebelum lelaki itu mendekati mobilnya. "Jelaskan, Axel," tuntutku.
"Waktu itu kamu nggak sakit. Kamu pingsan karena termakan umpanku. Maafkan aku, Sya. Aku sangat menyesal. Aku akan mempertanggung jawabkan tindakanku kalau itu bisa menghapus dosa."
"Umpan? Dosa? Maaf atas apa? Untuk apa kamu sengaja membuatku pingsan?" tanyaku belum juga mampu sepenuhnya mencerna jawabannya walau dugaan semakin menghantui.
"Marsya sudahlah. Demi kebaikanmu berhentilah memaksanya bicara. Ada hal yang sebaiknya nggak perlu kamu tahu. Sekarang bukan waktu yang tepat." Arman menarik bahuku, berniat memperlebar jarak dengan Axel.
Bulu romaku berdiri. Ingatan terus tergali ketika kenangan perayaan ulang tahun Axel muncul ke permukaan. Pada saat itu, di tengah acara makan-makan tiba-tiba saja aku merasa sangat pusing, lemas hingga hilang kesadaran. Begitu tersadar aku berada di salah satu kamar, berbaring di tempat tidur sendirian.
"Jangan bercanda, Xel. Nggak lucu!" Kepalaku mendadak kosong. Pikiran jernih menguap. Mulai menduga-duga sesuatu yang buruk.
"Maafkan aku, Sya. Maaf." Tatapan lirih Axel semakin membuatku meradang.
"Aku nggak mau dengar kata maaf. Katakan kalau kamu nggak mengambil kesempatan selagi aku pingsan! Katakan!" Bola mataku memerah, menahan luapan amarah sekaligus perih.
Sebuah benda jatuh terdengar dari samping. Sisa kesadaran memaksaku menoleh sumber suara. Kami berada di tempat parkir. Suasana tidak terlalu ramai. Tempatnya cukup luas dan kendaraan Axel terparkir agak jauh dari restoran. Nada suaraku mungkin terlalu keras hingga mengusik keingintahuan seseorang atau hanya pengunjung restoran yang akan menaiki kendaraannya.
Tebakanku meleset. Seseorang yang tengah menatap kami bukan pengunjung biasa. Sosok itu berdiri tidak jauh dari kami. Tapi dari tempatnya berada bisa kupastikan cukup jelas mendengar pembicaraan kami.
Aliran darah seolah berhenti mengalir di wajahku yang memucat. Erga terdiam, kaku dan sedingin patung tanpa nyawa. Bunyi benda tadi rupanya ponselnya yang terjatuh. Ekspresinya sulit terbaca namun ketakutan melucuti setiap helai harapan. Impian yang tumbuh perlahan runtuh satu demi satu.
Tbc
Lama tak bersua. Mohon maaf ya, berhubung kemarin sakitnya agak lama jadi baru bisa update sekarang. Untuk update Barra menyusul ya karena belum selesai.
Btw cerita ini akan segera selesai. Beberapa part lagi mungkin. Buat yg sedang puasa, selamat menjalankan puasa. Hindari baper siang" ya 🙂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro