Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap#3- Mr. Bear

Hujan belum menunjukan tanda akan mereda sesampainya kami di rumah. Kondisi Erga yang basah kuyup membuatku tidak enak hati. Dia bahkan menolak dengan halus tawaran Ibu untuk beristirahat sampai hujan berhenti.

Aku menelan ludah ketika tanpa sadar memperhatikan tubuh laki-laki yang tengah bersiap memakai jas hujan yang kupakai tadi. Otot dada dan perut ratanya tercetak jelas di balik kaus. Waktu berjalan sangat lambat ketika dia mengusap rambutnya yang basah. Tetesan air di wajah laki-laki itu mengingatkanku pada potongan adegan di komik saat seorang tokoh perempuan terpesona pada karakter si laki-laki.

"Kamu kenapa?" Erga menoleh padaku yang sedang mencubiti pipi.

Aku mendadak salah tingkah. "Tidak apa-apa, Kang." Memalukan. Harus ditaruh dimana wajahku jika dia sadar kalau tengah menjadi objek pemikiran kotor oleh perempuan yang ditolongnya.

Erga tertawa, suara beratnya terdengar pelan. "Tolong bilang pada Ibumu kalau Akang pulang dulu. Sebaiknya kamu juga masuk, besok masih ada jadwal ospek."

"Iya, Kang. Terima kasih sudah di antar."

Erga kembali menaiki motornya setelah mengenakan helm. Dia masih tersenyum tapi kesannya berbeda dengan sebelumnya. "Tidak perlu berterima kasih. Siapa tau suatu saat nanti kamu yang membantu saya." Kepalanya mengangguk sesaat, lalu bergerak menjauh.

Sosok tegap itu akhirnya benar-benar menghilang dibalik derasnya hujan. Lima menit berlalu tetapi diriku masih mematung, memandangi kepergian laki-laki itu. Sebagian besar laki-laki yang kukenal tidak pernah memperlakukan diriku sebaik ini. Mereka jarang mau direpotkan kecuali ada maksud tertentu.

Aroma mengugah selera menyeruak dari ruangan makan, tempat favorit kedua keluarga setelah ruang tengah. Perasaan mendadak terenyuh melihat kesibukan Ibu bolak-balik membawa makanan dari dapur. Perut yang kenyang kembali menyisakan tempat untuk masakan buatan Ibu.

Kuseret kursi sambil menghirup aroma di meja makan. Pandangan mata tertuju pada mangkuk besar berisi ikan patin. "Ibu tau saja Marsya sedang ingin makan sop ikan."

"Kalau begitu makan yang banyak. Jangan sampai sakit." Tanpa banyak bicara aku segera makan dengan lahap. Hujan seperti ini paling enak memang menikmati makanan berkuah.

"Laki-laki tadi senior kamu dikampus? Baik sekali ya, mau mengantar kamu sampai basah kuyup begitu."

"Iya, Bu. Dia memang baik sama semua orang kok." Kepalaku mendongkak, menyadari Ibu tiba-tiba diam. "Kenapa Bu?"

Senyuman lembut perempuan di hadapan merekah. Tulus dan penuh kasih. "Tidak apa-apa. Lanjutkan makanmu, Ibu ke dapur dulu ya. Ayahmu tadi menelepon, minta di buatkan wedang jahe."

Aku menghela napas panjang. Ingatan masa lalu kembali berulang bagai alunan nada dalam lamunan. Peristiwa yang memberi trouma dan mengubah cara pandangku melihat dunia. Semua yang terlihat hampir sempurna di luar belum tentu mencerminkan kebenaran sesungguhnya.

Bukan hanya diriku yang terpengaruh. Keluarga terutama Ibu menjadi sosok paling menderita. Sosoknya yang sedang menangis karena sikap keras kepalaku tak bisa begitu saja mudah di lupakan.

Selesai makan, aku membawa piring kotor ke dapur. "Marsya ke kamar dulu ya, Bu. Mau buat tugas dulu." Ibu mengangguk, lalu melanjutkan kegiatan memasaknya.

Mata dan isi kepala tidak bisa sejalan sekeras apapun usaha untuk fokus. Sejak mengerjakan tugas, pikiranku hanya tertuju pada ranjang. Membayangkan betapa hangatnya berada di balik selimut tebal sambil merebahkan diri, tentunya pasti jauh lebih nyaman daripada duduk dengan badan pegal.

Lembaran folio yang masih kosong merengutkan kedua alis. Mengisi satu halaman saja membutuhkan waktu lama. Hampir satu jam berlalu, tulisanku tidak banyak mengalami kemajuan.

Bosan, aku meraih kertas kosong lain dan mulai mencorat-coret. Menggambar atau menulis kata-kata sesukanya. Tanpa sadar bibir membentuk senyuman saat menuliskan sebuah nama, Erga.

Jemari menari dengan lincah, menggores pinsil, membentuk skesta wajah laki-laki yang belum lama kukenal itu. Degub jantung dan perasaan hangat menjalari setiap bagian tubuh ketika mengingatnya. Aku pernah jatuh cinta atau menyukai lawan jenis tapi kali ini berbeda. Tidak ada kata atau kalimat yang bisa menggambarkan. Entahlah.

"Dek, kamu belum tidur?" Suara Kak Aji dan ketukan pintu terdengar bersamaan.
Bayangan Erga memudar berganti kekesalan. Emosi merangkak naik ke permukaan, mengingat kebohongan Kak Aji. Kami berdua memang sering berdebat tapi kelakuannya tadi sulit dimaafkan. Bagaimana bisa dia tega bersenang-senang sementara mengetahui adiknya kesusahan.

"Masuk, nggak di kunci."

"Hei, maafkan Kak Aji ya. Ini Kakak bawakan donat kesukaanmu. Terima kasih tidak memberitau Bunda kejadian yang sebenarnya."

Mataku melirik sekilas kotak panjang berisi donat. "Lain kali kalau memang tidak bisa jemput, jujur saja dari awal."

Kak Aji mengusap kepalaku. "Sebagai gantinya biar Kakak kerjakan tugasmu. Catat poin apa saja yang Kakak tulis. Kamu pasti capek, kan."

Aku mendelik ke arahnya, lalu bangkit. "Tuh, Kak Aji baca saja di buku Marsya apa yang harus di tulis. Tapi ini bukan berarti Marsya sudah memaafkan ya," ucapku seraya meraih donat pemberian Kak Aji.

Kakak keduaku itu hanya tersenyum. Dia perlahan duduk, lalu mulai mengerjakan tugas milikku. Capek dan kantuk sedikit demi sedikit menguasai indra pengelihatan hingga akhirnya tertidur pulas dengan mulut masih mengunyah sisa donat.

Keesokan hari, di pagi buta, Ibu membangunkanku yang masih terlelap dalam alam mimpi. Dia memerciki air di wajahku setelah semua cara tidak berhasil membuat mataku terbuka.

"Bangun dong, Dek. Sudah jam berapa ini, nanti telat. Ayah bilang mau mengantarmu. Sekarang cepat mandi dan siap-siap."

Aku menggosok mata dengan sebelah tangan memeluk handuk. Setengah terpaksa, menyeret kaki menuju kamar mandi. Selalu saja, belum terbiasa dengan rutinitas sepagi ini.

Gigi masih gemeletuk setelah membersihkan diri dengan air dingin. Gerakan tangan saat merapikan kemeja putih terhenti ketika menatap cermin. Seraut wajah perempuan cantik memantul. Rambutnya yang panjang di ikat menjadi dua bagian dan berhiaskan pita berwarna merah dan putih. Cekungan hitam tampak samar di bawah mata bulatnya. Kulitnya kuning langsat kontras dengan warna rambutnya yang hitam legam.

Bayangan cantik itu memudar seiring menghilangnya senyuman dihadapanku. Dulu, menatap cermin seperti sekarang bukan hal mudah. Dan, aku tidak ingin kembali ke masa itu.

Kuraih tas dan barang untuk ospek. Kak Aji rupanya mengerjakan semua tugas termasuk membuat barang yang kubutuhkan. "Semua akan baik-baik saja, Sya," desahan keluar dari bibirku.

Suasana di ruang makan tampak ramai. Semua sudah terbangun termasuk Amie . Kak Aji duduk dekat Ayah, tidak terusik dengan keributan yang di sebabkan keponakannya. Padahal biasanya kakak keduaku itu paling sulit dibangunkan sepagi ini. Dia hanya menyuap sarapannya tanpa berniat menggoda Amie atau diriku seperti kebiasaannya. Tumben.

Amie bersikeras untuk ikut sarapan meskipun badannya masih panas. Semua orang memilih mengalah daripada kesehatannya semakin memburuk. Dan, seperti sudah bisa ditebak, keponakanku itu memaksa ingin ikut bersama Ayah mengantar ke kampus.

Kak Hani menggeleng, bukan satu atau dua kali perilaku putrinya membuatnya kesal. Dia berusaha menahan diri setiap akan memarahi Amie, terlebih putrinya sering berlindung dibalik kasih sayang Kakek dan Neneknya setiap diomeli. Amie hanya menurut pada ayahnya saja.
"Amie dirumah saja ya. Kamu, kan masih demam," bujuk Kak Hani .

"Nggak mau. Aku mau ikut sama Kakek ke sekolah Tante Adek," balas Amie sambil menjerit. Dia memanggil dengan sebutan itu karena terbiasa mendengar orang rumah menyebutku Adek.

"Sudah. Biarkan saja dia ikut. Setelah mengantar Marsya, Ayah langsung pulang." Potong Ayah. Amie bersorak senang mendengar permintaannya di kabulkan. Kami semua tersenyum masam melihatnya bergegas masuk kamar untuk membawa boneka kesayangannya.

Sepanjang jalan, ketenanganku terusik dengan berbagai pertanyaan yang dilontarkan Amie yang duduk di bangku depan. Ini apa, itu apa, kenapa lampu rumah menyala, kenapa mobil bisa berjalan dan berbagai pertanyaan yang diulangnya terus menerus sekalipun sudah dijawab untuk kesekian kali. Dia akan mencibir sambil memeluk lengan Ayah jika mendapatkan delikan tajam dariku.

"Ini sekolah Tante Adek?" Amie kebingungan saat aku minta turun di deretan kios yang masih tutup. Dia menatap kesekeliling di balik jendela yang terbuka.

"Bukan," balasku sebelum keluar dari mobil.

Ayah bergegas menutup jendela sebelum cucunya menahan lebih lama langkahku. Aku tertawa geli melihat bayangan wajah Amie yang merengut karena tidak puas.

"Hei, baru datang Sya?" Sapa seseorang dari belakang. Satria berdiri hanya beberapa langkah dari tempatku.

"He em. Kamu?" Sengaja aku berjalan cepat, seakan sedang terburu-buru.

"Sama, aku juga baru datang. Kamu di antar siapa?" Dia berusaha mensejajarkan langkah kami. Kakinya lebih panjang jadi mengejar langkahku bukan hal sulit.

"Ayah."

Kepalanya manggut-manggut. "Katanya kamu baru pindah ke Bandung ya?"

"Iya." Dalam hati aku berdoa semoga ada siapapun yang muncul dan bergabung bersama kami. Satria memang tidak bersikap aneh tetapi lirikan matanya membuatku risih.

Permohonanku tidak terkabul dan terpaksa harus menghabiskan sepuluh menit dengannya. Selama itu pula aku harus mendengar cerita tentang kebesaran nama keluarganya. Laki-laki ini sebenarnya punya daya tarik baik secara fisik maupun materi. Siapapun bisa menilai dari caranya bicara. Hanya saja tipe seperti dirinya bukan seseorang yang ingin kujadikan calon pacar. Mungkin karena dia mengingatkanku pada seseorang di masa lalu.

Satria kecewa ketika aku pamit dan bergabung bersama teman-teman perempuan yang sudah lebih dulu datang. Seharusnya dia bisa membaca ketidaknyamanan dari bahasa tubuh maupun balasan singkat yang kutunjukan. Aku pun tidak ingin merasa ge er sendiri tetapi sebelum dia berharap lebih, memberi batasan jelas bukan hal buruk.

Acara di mulai seperti biasa dengan berbaris sesuai kelompok. Setiap panitia memeriksa kelengkapan tugas. Sejauh ini tidak ada seorang pun yang melanggar. Kami bisa bernapas lega dan mengikuti rangkaian acara lain.

Hari terakhir, panitia lebih banyak membuat games untuk lebih mendekatkan sesama mahasiswa baru dan senior. Tanya jawab seputar jurusan, dosen ataupun mata kuliah termasuk dalam susunan acara. Seharusnya aku bisa menikmati seperti teman-teman yang lain tapi suasana jadi membosankan.

"Kamu sakit, Sya? Dari tadi diam saja." Adisti menyikut lenganku.

"Ngantuk, Ti," balasku tanpa semangat.

Di tengah menahan serangan kantuk, bola mata tak sengaja berputar ke arah pintu masuk. Seseorang baru saja datang. Masker menutupi mulut dan hidungnya. Dia memakai sweater hitam dengan tudung yang menutupi kepalanya. Perawakan dan cara jalannya terlihat sepeti laki-laki.

Jantung berdetak kencang bersamaan dengan keringat dingin yang membasahi telapak tangan. Laki-laki itu menyipitkan matanya ketika pandangan kami bertemu. Itu Erga, aku sangat yakin meski wajahnya tidak terlihat sepenuhnya.

Keyakinanku terbukti ketika laki-laki itu menarik maskernya ke dagu. Dia mengalihkan pandangannya kembali, mengobrol dengan teman-temannya. Beberapa menit kemudian, Erga berjalan ke arah kelompok mahasiswi. Ada sedikit ketidakrelaan saat mengetahui bukan aku yang di hampirinya.

Erga mendekati Putri, mahasiswi paling cantik menurutku dan teman-teman lainnya. Bukan satu atau dua senior yang menunjukan ketertarikan meski hanya sebatas candaan. Tubuhnya lemah dan sering masuk ruang kesehatan.

Aku tau tak semenarik Putri, mendekatipun tidak. Wajar jika Erga termasuk salah satu pengagumnya dan kalau pada akhirnya keduanya menjalin hubungan seharusnya bukan masalah besar. Hanya karena dia bersikap baik bukan berarti laki-laki itu suka. Menyebalkan, semudah itu diriku di bodohi pikiran sendiri.

Adisti hanya melirik bingung tingkah sahabatnya yang bergumam. Jangankan dia, aku sendiri tidak mengerti mengapa harus merasa kesal. Setelah menepuk pipi beberapa kali, mencoba memikirkan hal yang menyenangkan, akhirnya konsentrasi tertuju ke arah depan. Melanjutkan mencatat dan berharap hari ini segera berlalu.

"Ti, mau ke toilet nggak?"

"Nggak sih. Mau aku temani?"

Aku menggeleng, lalu bangkit. Peserta ospek tidak diperbolehkan bergerombol kalau ingin ke toilet kecuali saat istirahat. "Tidak usah. Aku pergi sendiri saja."

Salah seorang panitia yang menjaga di pintu depan memberi izin saat aku mengatakan alasan keluar dari ruangan. Baru saja berbelok di ujung koridor, terlihat dua sosok laki-laki tengah berjalan sambil mengobrol. Sempat terpikir untuk berbalik tetapi keinginan untuk ke toilet sudah mendesak. Mencari toilet lain akan memakan waktu, apalagi aku belum begitu mengenal seluk beluk kampus ini.

"Eh ada Marsya and The Bear?" Ferdi menoleh ke arahku setelah merasa ada yang berjalan di belakangnya. Namaku sepintas memang sering mengingatkan orang pada tokoh kartun anak kecil dengan beruang yang selalu menjaganya.

Erga ikut menoleh,dia tersenyum seperti biasa. Lepas dan tulus. "Itu Masha, bukan Marsya eh tapi kalau dia yang jadi Masha, aku mau daftar jadi The Bear-nya ah," ucapnya sambil tertawa kecil.

Ferdi menyeringai ngeri, seolah sahabatnya mengatakan sesuatu yang aneh. "Sehat, Ga?" Beberapa detik kemudian pandangannya kembali beralih padaku. "Kamu mau ke toilet?"

Kepalaku mengangguk, memasang raut dan senyum palsu. Kehadiran Erga berhasil memporak-porandakan ketenangan yang susah payah dibangun. "Iya, Kang."

"Ya sudah cepat, jalannya jangan kayak siput nanti di omeli panitia lain kalau terlalu lama di luar."

"Makanya jangan di ajak ngobrol terus. Kamu boleh jalan duluan, Sya." Erga menarik lengan Eqi, memberiku jalan untuk melewati keduanya. Aku pamit pada keduanya sebelum melangkahkan kaki.

Dalam hati aku mengutuk sikapku yang kenakak-kanakan. Ketidaknyamanan ini sepenuhnya buah dari pemikiran sendiri. Seharusnya tidak di lampiaskan pada Erga. Sejak awal akulah yang salah, terlalu mudah berharap pada seseorang.

Memasuki waktu istirahat, Adisti meminta diantar ke toilet yang berada satu lantai di atas ruangan yang kami gunakan. Dua toilet di yang paling dekat sudah penuh. Tapi kondisinya ternyata sama saja. teman-teman lain memiliki pemikiran sama dan memilih mencari toilet lain. Adisti merengut karena masih harus mengantri hingga gilirannya tiba.

Aku berjalan ke koridor lain, menjauh dari keramaian yang sebagian besar perempuan. Kaki berhenti didepan sebuah jendela kaca. Menatap takjub pemandangan di luar jendela. Gunung yang menjulang seolah memagari bangunan-bangunan di bawahnya. Rumah

"Semalam gimana? Ada yang sakit?" Sapaan terdengar jelas, mengusik lamunan.

Debaran itu muncul lagi, begitu kuat hingga dada terasa sakit. Erga berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri. "Saya baik-baik saja. Kang Erga sendiri gimana? Sakit ya?"

Dia tersenyum, lalu menatap keluar jendela. "Ah cuma flu, minum obat juga sembuh. Lagi pula rumah Akang dekat dari sini jadi bisa izin kalau memang butuh istirahat."

Kerutan di kening rasanya bertambah. Mencoba menghitung jarak yang harus ditempuh dari rumahku menuju kampus. "Dekat dari kampus? Bukannya kemarin Kang Erga bilang rumah kita searah?"

Kedua alisnya terangkat. "Loh memang satu arah tapi belokannya banyak." Dia merogoh saku sewaternya dan mengeluarkan sebuah cokelat berukuran kecil, lalu menyodorkannya padaku tanpa ragu. "Hari ini kamu sepertinya butuh sesuatu yang manis biar nggak cemberut terus. Eh ada yang manggil kamu tuh."

Kepalaku berpaling pada arah yang di tunjuknya tapi tidak ada siapapun disana. Erga sudah berjalan menjauh begitu pandangan kembali padanya. Aku tidak bisa menahan senyum geli ketika beralih pada cokelat pemberian laki-laki tadi. Sebuah tulisan di secarik kertas menempel pada kemasan luar cokelat itu.

Semangat Neng geulis - dari The Bear *

tbc

* geulis : cantik

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro