Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap#29- Salah paham

Erga mengabaikan keberadaanku. Rautnya dingin dibalik tawa dan senyum kecut. Kedua ekspresi itu tidak terjadi saat bersamaku melainkan ketika ia sedang berkumpul bersama teman-temannya.

Aku sulit menghalau gelisah sejak kuliah berlangsung. Kecemburuan Erga terpampang jelas di wajahnya. Ia berpikir buruk tentang sahabat Axel yang juga temanku saat SMA. Penjelasan untuk memperbaiki kesalahpahaman terpotong ketika melihat dosen berjalan menuju kelas.

Setelah kuliah pagi selesai, aku pamit pada Adisti untuk menemui Erga. Sahabatku itu hanya berdecak saat kuberitahu penyebab aku gelisah sepanjang mata kuliah berlangsung.

Kadang rasanya melelahkan. Dicemburui memang membuat kita merasa dicintai tetapi Erga menjadikan masalah kami lebih sulit dari bayangan. Mendengar ada lelaki yang mendekatiku saja indera pendengarannya seakan bisa mengetahui dari jarak jauh.

Aku masih punya waktu dua jam sebelum kelas berikutnya di mulai. Setengah berjalan cepat kakiku bergerak menuruni anak tangga hingga lobi. Sosok Erga tidak kutemukan di tempat ia sering terlihat bersama teman-temannya. Perjalanan kulanjutkan menuju kantin, perpustakaan dan lapangan basket, keberadannya masih tanda tanya.

Niat pergi ke ruang himpunan terhenti akibat suara perut yang tiba-tiba membuatku ngilu. Tubuhku berputar arah menuju kantin. Percuma aku mencarinya dalam keadaan perut kosong. Konsentrasi pasti terganggu hingga emosi jadi pemenang bila akhirnya menemukannya.

Aku sengaja tidak meneleponnya, khawatir akan mendapat sambutan dingin. Menemuinya langsung dirasa jalan paling baik tapi tentunya setelah menenangkan cacing di perut lebih dulu.

Suasana kantin belum terlalu ramai dan memudahkanku mencari meja kosong. Kuperhatikan sekeliling. Erga masih tidak tampak di manapun. Begitu juga Wisnu maupun Ferdi.

Seorang lelaki paruh baya membawakan nasi goreng dan teh dalam botol pesananku. Sejenak pencarian sosok Erga terlupakan. Gurih bercampur pedas memanjakan lidah.

Pikiranku tetap positif. Erga mungkin kesal, sebal dan sementara waktu malas bertemu deganku meski begitu aku yakin dirinya akan berpikir ulang melakukan tindakan bodoh. Kami pernah melewati masa sulit hingga akhirnya berpisah. Ia mempunyai kesalahan yang menurutku sulit dimaafkan. Kemungkinan besar dirinya sedang berkumpul berada di ruang himpunan, tempat kos temannya atau pulang ke rumah.

"Lapar." Suara kursi di sampingku terdengar seperti diduduki seseorang.

Kepalaku sontak menoleh. Erga kudapati tengah menopang dagu sembari menatap piring berisi nasi goreng pesananku. "Mau makan?"

"Aku sedang malas makan."

"Kalau kusuapi, bagaimana?"

Senyum Erga semakin masam. Ia menghela napas namun tidak mengalihkan perhatiannya dariku. "Nggak perlu. Kamu dari tadi mencariku?"

"Sok tahu."

"Sudah kukatakan instingku jarang meleset bila berkaitan denganmu. Aku memperhatikanmu dari kejauhan. Kamu terlalu sibuk ke sana kemari sampai nggak menyadari sedang diperhatikan. Tadi aku pergi ke tempat teman dulu sebentar." Sebuah plastik warna merah ditaruh di dekatku.

"Ini apa?"

"Lihat sendiri."

Kuletakan sendok di piring, meraih plastik tadi dengan penasaran. Di dalamnya terdapat sebuah sweater tanpa resleting berwarna hitam. Bentuknya biasa saja. Tidak ada yang aneh. "Tumben. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?"

Erga mengangkat bahunya lalu meraih sendok di piringku, mengambil nasi goreng yang tersisa dan menyuapnya. "Temanku kebetulan punya usaha sablon. Aku memintanya membuatkan satu untukku."

Mataku menyipit. "Sablon?" Tanganku kembali membuka plastik tadi dan kali ini mengeluarkan sweater ke pangkuan. Setelah dibolak-balik, aku sulit menahan untuk tidak tersenyum. Sebuah kalimat yang pernah ia tempel di punggungku tempo hari tampak di belakang sweater ditambah emoticon sedang marah.

NGAJAK KENALAN = BOSAN HIDUP 😡

"Kamu serius ingin aku memakainya?"

"Kamu nggak suka? Modelnya aneh?"

"Modelnya sih biasa tapi tulisannya. Orang-orang pasti  menganggap kita terlalu berlebihan. Pasangan alay."

"Biar saja. Mereka nggak akan tahu aku khusus membuatnya. Lagipula sekarang banyak yang jual dan pakai kaus atau pakaian bertuliskan kata-kata aneh."

"Kamu benar-benar menyukaiku ya," candaku menutupi perasaan yang sebenarnya. Kegelisahan yang sempat singgap sirna oleh kejutan manis.

"Kalau nggak benar sayang, aku nggak akan minta kamu kembali." Erga kembali menyuap nasi goreng. "Setelah aku lulus nanti, mungkin kita nggak akan bisa sesering ini bertemu. Kamu akan  meneruskan kuliah sementara aku mencari pekerjaan demi masa depan."

"Kampus pasti sepi."

"Ayolah. Jangan mendoakanku jadi salah satu mahasiswa abadi. Aku bukan anak orang kaya. Warisan keluargaku juga nggak bisa menghidupiku sampai tua. Perubahan pasti ada. Kita harus bisa keluar dari zona nyaman kalau ingin maju. Tapi bukan berarti aku lantas melupakanmu. Perjuangan, kerja keras dan semangat yang kumiliki selain untuk membahagiakan keluarga tentunya demi dirimu. Hidup  butuh pengorbanan. Aku nggak mungkin kan ngasih makan kamu batu."

Kusikut lengannya dan memasukan kembali sweater ke dalam plastik. "Ya siapa tahu di tempat kerjamu nanti banyak yang naksir."

"Gimana lagi, namanya juga sudah daya tarik natural." Erga merapatkan tubuhnya melihatku membuang wajah. "Kita harus saling percaya. Itu salah satu pilihan agar bisa tetap bersama. Cemburu itu wajar namun bukan berarti jadi gelap mata. Setelah lulus nanti tanggung jawabku akan berbeda. Aku nggak bisa terus menerus bermain-main bila punya niat menjadi calon imam kamu. Suatu hubungan memang membutuhkan cinta, kasih sayang maupun ikatan emosional. Tapi jangan lupa, logika dan akal sehat harus tetap berjalan. Ada kebutuhan dan perut yang harus terisi. Bersabarlah. Sementara menunggu, nikmati masa mudamu. Belajar dan jadilah anak yang baik hingga tiba waktunya aku meminta pada ayahmu untuk menggantikan posisinya menjagamu, berikar setia di hadapan penghulu."

"Sudah ah. Bahas yang lain aja."  Terkadang mendengar Erga yang serius membuatku salah tingkah dibanding bersamanya ketika berkelakuan aneh. 

Erga menyikut lembut tanganku. "Misalnya yang ngirim pesan tadi.  Teman dekatmu waktu SMA."

"Arman? Kami hanya berteman dan belum ketemu lagi setelah pertemuan itu. Kami nggak punya hubungan istimewa selain sahabat kayak kamu sama perempuan-perempuan lain," terangku sejelas mungkin.

"Ada perlu apa dia menghubungimu?"

"Cuma tanya kabar dan kasih tahu kalau kemungkinan Alex bakal datang ke kampus jemput Putri tapi nggak tahu kapan. Dia cuma mau bilang aku siap-siap aja." Sengaja tidak semua isi pesan kuceritakan.

"Perhatian juga ya temanmu itu."

"Mungkin Arman merasa bersalah. Kami bertiga berteman dekat walau ia lebih dulu kenal sama Alex. Bisa saja ia baru punya keberanian untuk memperingatkan agar aku waspada. Semua teman Axel takut pada lelaki itu."

"Ganti topik saja. Ingat apa yang Axel lakukan padamu dan Egia bikin aku pengin menendangnya ke saturnus," geramnya kesal.

"Terima kasih sweaternya. Nanti aku pakai." Kualihkan pembicaan kami. Suasana hati Erga berubah muram setelah mendengar nama Axel.

"Kenapa pakai sekarang? Bahannya nggak panas. Ukurannya juga pas walau kukira-kira."

Aku sedikit ragu terlebih suasana kantin mulai ramai. Erga menunggu. Senyumannya tampak puas melihatku memakai barang pembeliannya. Ada kelegaan mengetahui rambut yang tergerai menutupi sebagian punggung.

"Sudah yuk." Erga ikut bangkit ketika aku mengajaknya pergi. Matanya mendelik sebal begitu menyadari aku sengaja memakai ransel di punggung.

"Sial," gerutunya saat menyejajarkan langkah kami.

Aku berusaha tidak tertawa. Selalu menyenangkan bisa membalas kejahilan Erga. Lelaki itu masih memutar otak, mencari cara agar punggungku tak tertutupi ransel. Ia semakin dongkol mendengar penolakanku ketika ditawari membawakan ransel.

Di lobi kami bertemu Wisnu dan Ferdi. Keduanya tengah berjalan menuju ke bangunan lain di samping bangunan kelas. Erga memanggil keduanya agar berhenti. Wisnu mendekatkan tubuhnya pada Ferdi lalu berbisik.

"Mau ke mana?"

"Ruang himpunan. Tidur sebentar. Capek gue ngerjain tugas semalaman." Ferdi tersenyum padaku. "Lo mau ikut?"

"Gue nyusul. Mau antar Yayang  dulu." Pipiku bersemu sekaligus geli mendengar panggilan Erga.

"Huh dasar bucin. Budak cinta," cibir Wisnu.

"Daripada lo, budak gue," balas Erga sembari melempar tas miliknya pada lelaki bertubuh tambun itu. "Bawain ke ruang himpunan." Belum sempat bereaksi, Erga meraih tali ransel dari bahuku dan memindahkannya di pundaknya. Tak lupa rambutku dirapihkan lalu disampirkan ke bahuku.

Erga tersenyum puas melihat tidak ada lagi penghalang di punggungku. Tindakannya memang terlihat lebih kekanakan dibanding lelaki biasanya. Bahkan saat bersama Axel pun, saat dalam kondisi normal, aku belum pernah diperlakukan seperti ini.

Wisnu mencondongkan kepalanya mengikuti gerakan tangan Erga yang menepuk lembut punggungku. "Nggak sekalian pakai tandatangan, Ga? Posesif amat."

Erga merangkul bahuku. Sebelah tangannya menyusup ke balik saku celana. Gerakannya sangat santai. "Percuma gue jelasin panjang lebar. Cuma orang yang punya pacar yang ngerti perasaan gue," dalihnya dengan kepala menggeleng.

"Kita pergi saja, Wis. Anggap yang ngomong alas sepatu yang baru nginjak tai kotok."

Tai kotok adalah sebutan kotoran ayam dalam bahasa sunda. Beberapa teman lelaki di kelas pernah menyebut kata itu untuk meledek.

"Nah, beginilah tipe orang lemah. Segala tai kotok yang nggak bersalah jadi bahan lelucon balas dendam. Itu tai kotok juga kalau bisa ngomong, dia penginnya naik level jadi tahi lalat." Erga semakin ngawur tapi seperti biasa, lelaki itu tak peduli.

Aku melirik Erga yang menarikku menjauh dan mengulum senyum. Obrolan ketiga seniorku itu selalu menggelikan. Erga jarang mau mengalah. Ada saja stok balasan setiap kali mendapat ledekan atau cibiran.

*****

Tiga hari setelah pertemuan terakhir kami, Erga izin absen malam minggu karena mau pergi melihat beberapa pabrik yang rencananya akan jadi tempat kerja praktek untuk semester depan. Ia pergi bersama beberapa sahabatnya termasuk Ferdi dan Wisnu.

Aku memintanya agar fokus pada tujuan. Tidak perlu mengkhawatirkan keadaanku. Sejauh ini situasi berjalan seperti biasa. Misalnya Axel datang pun aku sudah lebih dari siap.

"Kang Erga pergi kapan, Sya?" Adisti menarik kursi di sebelahku saat memasuki ruang kelas.

"Kamis malam. Ia sengaja pergi agak lama biar nggak usah bolak-balik." Wajah manisnya manggut-manggut lalu mengalihkan topik pada masalah tugas presentasi kami.

Semua berjalan nyaris tanpa hambatan. Urusan kuliah, hubungan keluarga bahkan kebersamaan dengan Erga pun berlangsung seperti orang kebanyakan. Tidak ada yang perlu ditakuti. Aku belajar menikmati dunia tanpa perlu bergelung dalam ketakutan akibat luka masa lalu.

Sore itu hari berlalu begitu cepat. Kuliah terakhir selesai lima menit yang lalu. Konsentrasi tercurah sepenuhnya pada penjelasan dosen selama kuliah berlangsung. Berkumpul bersama teman-teman pun jadi begitu mengasikan hingga melupakan sejenak ketidakhadiran Erga.

"Langsung pulang, Sya?" Adisti menoleh padaku yang sibuk memasukan catatan dalam ransel.

"Sepertinya. Ayah mengajakku makan malam di luar."

Adisti mengangguk pelan. Ia senang mendengar hubunganku dengan keluarga semakin membaik. Ia menilai Erga memberi pengaruh positif dalam kehidupanku.

Kami segera meninggalkan kelas, berjalan bersama teman-teman lain yang akan turun ke lobi. Cuaca di luar jendela tampak cerah dan membuatku sedikit merindukan Erga. Niat menghubunginya urung kulakukan. Aku tidak ingin menganggunya sebelum malam datang.

Adisti tiba-tiba menyikut lenganku saat kami menuruni anak tangga menuju kantin. Aku memandanginya bingung lalu mengikuti arah pandangannya. Beberapa temanku yang lain berbisik-bisik membicarakan seseorang. Aku baru sadar siapa yang Adisti maksud dan teman-temanku perhatikan.

Axel dan Arman sedang mengobrol di kantin. Suasana di kantin tidak terlalu ramai hingga keberadaan keduanya yang masih asing banyak mencuri perhatian terutama Axel. Penampilan lelaki itu biasa saja. Ia memakai kaus, jaket dan jeans, hanya saja perawakannya yang tinggi, gagah, dan rapih membuatnya menonjol di antara yang lain.

Bukan sesuatu yang sulit menyukainya sejak pandangan pertama. Banyak yang berpendapat serupa terutama kaum hawa. Dulu aku pun bagian dari pengagumnya hingga waktu membuktikan bahwa kenyataan tak seindah bayangan.

Arman lebih dulu menoleh padaku sebelun aksi pura-pura tak melihat kulakukan. Aku berniat melambai padanya sebagai bentuk balasan sambil terus berjalan. Di luar dugaan teman-temanku justru mengambil langkah menuju kantin. Mereka menarik pergelangan tanganku hingga rencana menghindari Axel gagal total.

Dengan terpaksa aku harus bereaksi sewajar mungkin. Tetap menyungging senyum walau berada di zona  tak nyaman.

Axel kemungkinan sedang menunggu Putri. Hanya itu alasan yang terpikir ketika melihatnya berada di kampus.

"Mau pulang, Sya," tegur Arman. Ia tiba-tiba saja sudah berada di belakangku saat akan membayar minuman dalam kemasan.

Kulirik teman-temanku di salah satu meja. Mereka sibuk mengobrol hingga tak memperhatikanku. "Iya. Mau jemput Putri?"

"Iya. Lagi di toilet dulu katanya."

Kepalaku mengangguk namun tidak ada satu kata yang terucap. Sikap mendadak canggung. Bukan Arman yang kupermasalahkan melainkan Axel. Seharusnya aku sudah sanggup menatapnya tanpa terganggu kisah usang kami.

Perdamaian rupanya tidak serta merta menghapus semia kenangan buruk. Ada satu atau dua memori yang lolos hingga berbuah ketidaknyaman. Akan jauh lebih mudah bila tidak melihatnya tapi punya hak apa aku melarangnya menemui Putri.

"Sampaikan salam untuk Putri dan Axel. Teman-temanku bisa heboh kalau tahu aku kenal sama Axel. Kamu mengerti, kan?"

Arman mengangguk. "Pesonanya masih susah diacuhkan ya."

"Aku pergi dulu ya. Nanti teman-temanku malah curiga lagi." Kutepuk pundak Arman dan berlalu.

Adisti memperhatikanku ketika beranjak menuju meja yang teman-temanku duduki. Mereka mengira Arman mengajakku berkenalan. Aku menanggapi dengan senyuman dan sebisa mungkin mengalihkan pada topik lain.

Putri berjalan cepat menuju kantin. Rautnya sumringah begitu tiba di dekat Axel. Kebahagian tidak bisa ia sembunyikan. Axel berdiri menyambutnya. Keduanya begitu serasi. Pasangan yang jadi pusat perhatian.

Arman ikut bangkit, mengikuti keduanya yang bersiap meninggalkan kampus. Sekilas Axel menoleh padaku. Ia mengangguk pelan dan tersenyum seakan memberi tanda  akan pamit.

Teman-temanku menyalahartikan sikapnya. Mereka mengira senyuman Axel ditujukan untuk salah satu dari mereka. Aku juga Adisti hanya diam, bersikap biasa dan tak terpengaruh suasana yang mendadak heboh.

Sebelum tiba di rumah, aku mampir di mal yang berada di jalan Dago. Berhubung dua hari ke depan Erga absen datang, aku berniat membeli buku atau majalah untuk menemani sisa minggu. Tidak butuh lama bagiku untuk asyik sendiri di antara rak berisi novel.

Satu persatu kuperhatikan deretan novel sambil sesekali meraih salah satu buku, membaca sinopsis dan berharap ada yang membuatku tertarik membayarnya di kasir. Satu jam berlalu, tiga buah novel berhasil masuk dalam belanjaan.

Puas berkeliling toko buku, aku segera pergi mencari toko aksesoris. Ikat rambut milikku sering hilang. Aku butuh beberapa meski tidak yakin akan bertahan lama apalagi kalau kakak pertamaku dan keluarganya berkunjung. Barang-barangku sering dipakai keponakanku dan ditaruh sembarangan.

Sebuah toko aksesoris kumasuki. Dalam hitungan menit, perhatian teralihkan pada benda-benda lucu. Kadang aku malas kalau masuk ke tempat seperti ini bila bersama Erga. Lelaki itu selalu mengira barang pilihannya cocok kupakai dan modelnya biasanya bertolak belakang dengan seleraku.

Aku menyukai barang polos atau yang tidak terlalu ramai sementara Erga menyukai sesuatu yang banyak corak atau berwarna mencolok.

"Marsya?"

Panggilan namaku memaksaku menghentikan melihat-lihat ikat rambut. "Axel?"

Mantan kekasihku berada seberang rak tempatku berdiri. Ia bergerak, mendekatiku yang masih membeku.

"Putri sama Arman mana?" tanyaku berbasa-basi.

"Putri lagi belanja di dekat sini. Kalau Arman ke ATM dulu. Kamu sendiri sedang apa di sini?"

"Iseng. Kamu mau beli sesuatu buat Putri?" Aku terus mencari cara untuk mengakhiri pertemuan kami. Rasanya canggung.

"Iya. Tadi nggak sengaja lihat tapi belum tahu mau beli apa." Ia meraih ikat rambut warna hitam polos dengan tambahan aksen bunga. "Dulu kamu suka yang seperti ini. Biasanya berwarna hitam atau biru tua. Nggak mengkilat atau berkilau."

Jawaban Axel seketika membuatku menoleh. Tebakannya tepat dan itu berarti ia sudah banyak mengingat. "Sepertinya aku nggak perlu menjelaskan lagi. Dulu kamu sangat mengenalku hingga benda-benda yang kusukai. Dan sekarang tugasmu memahami kesukaan Putri."

Rautnya berubah agak murung. Senyumnya terlihat samar. Pandangannya tidak beralih pada deretan ikat rambut. "Kamu benar."

"Kalau gitu aku duluan ya. Sudah hampir malam. Lagian nggak enak kalau Putri lihat kita berdua. Aku nggak mau ada salah paham."

Axel tidak menjawab. Ia diam melihatku pergi ke kasir. Aku tidak bisa mengusirnya saat ia menjajari langkahku keluar dari toko. Aku tetap berpikir positif. Axel mungkin tidak sengaja menungguku. Kebetulan saja kami pergi keluar dalam waktu yang sama.

"Selera pakaianmu berubah ya." Axel mendesah pelan setelah berada di luar toko.

"Kenapa?" kataku.

Axel melirik sweater pemberian Erga yang kupakai. Semalam Erga memintaku memakainya ke kampus. "Biasanya kamu paling menghindari kaus atau pakaian yang bertuliskan kata-kata. Dan tulisannya cukup provokatif."

Tanpa sadar bibirku melengkung bak bulan sabit. "Ini pengecualian. Erga sengaja memesankan sweater ini untukku termasuk memilih kata-katanya. Berlebihan mungkin tapi lucu."

Ekspresi Axel datar.

"Kak Marsya?"

Seseorang memangil namaku dari belakang. Aku berbalik dan menemukan Egi berdiri tidak jauh dari kami. Senyumnya menyungging ketika pandangan kami bertemu namun rautnya berubah tajam begitu matanya beralih pada Axel.

"Kakak sedang apa sama laki-laki berengsek ini!"

Tbc

One year sudah. MFTP juga sudah. Next I(N)GU. Di tunggu ya semua. Terima kasih 😊



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro