chap#26- happy ending?
Bantuan datang tanpa terduga. Kedatangan Ferdi menambah ketenangan. Beralasan ingin membantu sahabatnya ia menawari tumpangan setelah tahu aku akan pergi ke Jakarta. Wisnu menyambut antusias tawaran sahabatnya. Tambahan seorang lelaki lain menurutnya lebih aman andai terjadi hal buruk. Kami tak perlu memikirkan akomodasi karena Ferdi menolak dibayar. Ia sudah cukup senang dilibatkan.
Dibanding kedua temannya, Erga justru terlihat kesal. Ia menggerutu mendengar rencana teman-temannya. Nada bicaranya naik turun, matanya mendelik bahkan menunjuk teman-temannya agar mengantarku pulang sesuai waktu yang disepakati. Kekhawatiran orang tuaku dijadikan tameng, berdalih mereka akan curiga. Reaksinya terlalu berlebihan seakan kami merencanakan liburan tanpa mengajaknya.
Aku memahami perasaannya. Kekasihnya sedang terlibat masalah. Persoalan yang berhubungan dengan mantan kekasih yang pernah menjadi cinta pertama. Keberadaan lelaki dari masa lalu sedikit banyak menganggunya walau sepertinya ia enggan mengakui. Dalam waktu bersamaan kesehatan neneknya tidak terlalu baik. Erga terpaksa harus merelakan kedua sahabatnya menggantikan posisinya menjagaku.
"Nanti Putri pulangnya bareng sama kamu nggak, Sya?" Ferdi mengabaikan tatapan tajam Erga. Mimiknya dipenuhi keingintahuan.
Bahuku terangkat, bingung harus memberi jawaban. Pembicaraan dengan Putri tidak sampai sedetail itu. Ia hanya memberitahu akan menginap di rumah tantenya. Kemungkinan besar kami pulang terpisah setelah pertemuan.
"Belum tahu. Putri nggak bilang apa-apa."
"Yah, sayang banget. Kalau dia ikut jumlahnya jadi pas dua pasang. Akang sama Putri, Wisnu sama kamu." Tawa puas Ferdi berderai seakan mendapat lotere.
"Lo berani macam-macam. Ruang himpunan gue acak-acak." Bukannya takut ancaman Erga justru membuat kedua temannya tergelak semakin keras. Sejenak perhatian orang-orang tertuju pada kami. Keriuhan ketiga lelaki di meja ini memancing keingintahuan pengunjung kantin.
"Santai dong, Ga. Pinjam sehari doang. Tenang saja dibalikinnya nggak bakal sampai lecet kok." Ferdi terus meledek seolah belum puas mencandai sahabatnya. Ia merangul bahu Wisnu yang berguncang karena ikut tertawa.
Erga mendadak bungkam. Wajahnya memerah. Ketidaksukaan membayang jelas. Aku sampai waswas, khawatir timbul kejadian tidak menyenangkan. Sejak ide pergi ke Jakarta tercetus, ia memang tak menyukai rencana tanpa melibatkan dirinya. Apalagi antusias kedua lelaki di hadapan kami membuatnya terpaksa gigit jari hanya terpaksa menjadi penonton.
Kulingkarkan tangan di lengannya, bergerak pelan dan sedikit hati-hati. Bukan karena malu dengan reaksi disekeliling tetapi menjaga agar Erga tidak lepas kendali. Ketegangan mengalir di sekitar tubuhnya. Aku yakin ia sudah terbiasa mendengar ejekan maupun ledekan jahil. Kelakuannya pun tak jarang sangat konyol dan jauh dari kesan serius. Seharusnya ia tak perlu membesar-besarkan godaan Ferdi.
Kedua lelaki itu berdiri lalu pamit, meninggalkan singa yang terlanjur terbangun tanpa dosa. Derai tawa samar masih terdengar seiring kepergian mereka meninggalkan kami.
"Tadi Ferdi cuma bercanda. Nggak usah cemburu."
"Cemburu?" desisnya meremehkan perkataanku. "Aku hanya kurang suka mereka menjadikanmu bahan candaan. Argh bikin kesal saja." Erga mengacak-acak rambutnya.
Perlahan kuraih jemarinya, menarik tangannya ke bawah meja demi menghindari perhatian pengunjung kantin yang kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Senyum tidak lupa menyungging, mencoba mengubah suasana hatinya."Ayolah, lihat sisi positifnya. Niat mereka baik. Aku merasa lebih tenang Ferdi sama Wisnu mau ikut."
"Aku yang nggak tenang!" selorohnya sambil berdecak. Salah satu kakinya terangkat dan tungkainya ditopangkan pada kakinya yang lain. Sementara itu tangannya yang menggenggam tanganku dibiarkan tetap pada posisinya.
Aku mati-matian menahan tawa di kerongkongan. Erga begitu ekspresif. Rasa cemburunya tak masuk akal, berlebihan namun di saat bersamaan terlihat menggemaskan. "Lucu banget sih kamu." Sengaja kutiru tindakan konyol lelaki itu.
"Sebentar." Seringai licik yang diikuti kerlingan nakal muncul." apa maksudnya nih? Pasti kode lagi pengin dicium ya." Ia mengatannya dengan percaya diri.
"Huh. Dasar senior mesum." Aku mencebik sambil berusaha keras menenangkan debaran."Soal ke Jakarta, sebenarnya aku juga pengin kamu ikut tapi kesehatan Nenekmu lebih penting. Aku harap kondisinya semakin membaik. Nenekmu pasti senang kamu dan keluargamu datang menjenguk," lanjutku pura-pura tak terpengaruh gerakannya yang sedang mengigit sudut bibir bawah.
Erga melepas genggamannya. Kepalanya di rebahkan pada meja dam menjadikan kedua tangan yang menyilang sebagai alas. Sorotnya meredup ketika garis bibirnya melengkung bak bulan sabit. "Lain kali kita jalan-jalan ke Jakarta. Aku cari waktu yang tepat sambil kumpulin uang dulu. Cih, keduluan mereka lagi."
"Nggak perlu maksain. Di Bandung kan juga banyak tempat wisata yang pemandangannya bagus dan belum aku datangi. Lagian aku dari lahir tinggal di Jakarta, udah bosan."
"Yah sesekali nggak ada salahnya main agak jauh. Kita bisa pergi pagi dan pulang agak malam. Aku sekadar ingin menyenangkanmu. Memangnya kamu dulu pernah nolak waktu Axel membelikan barang?" Entah apa yang ada dalam kepalanya. Nama Alex mencuat.
Aroma kecemburuan tercium. Jejaknya terbaca melalui pancaran mata. Pertanyaan Erga tak ubahnya memancing di air keruh. Kekesalan pada kedua temannya merembet bagai efek domino. Tentu saja aku terkena imbasnya. Sasaran empuk yang siap dibidik dalam sekali tembak.
Ia merasa terganggu. Ketidakhadiran dalam momen penting yang berkaitan dengan diriku membuatnya tak berdaya. Erga setengah tak rela memberi amanat agar menjadi pelindungku pada kedua temannya. Di sisi lain ia tak punya pilihan karena keluarganya membutuhkan kehadirannya.
"Bohong kalau aku bilang nggak pernah. Di luar sikap kasarnya, hubungan kami seperti orang pacaran normal. Axel biasanya memberi hadiah kalau kami baru saja selesai bertengkar, setelah ia mengatakan kata-kata atau bertindak kasar. Tapi barang semahal apapun nggak bisa menghapus perbuatannya dari ingatan begitu saja." Aku berusaha mempertahankan ketenangan. Bicara sejelas mungkin walau harus membuka rahasia kelam yang susah payah dipendam. Kebahagiaan yang kujalani sekarang belum sepenuhnya mengubur kenangan pahit.
Usiaku memang belum tergolong dewasa. Pemikiran dan sudut pandang ala remaja labil acap kali muncul. Emosi bercampur ego membuahkan keras kepala. Meski begitu sedikit demi sedikit aku belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Sekuat tenaga diriku berusaha mengimbangi kedewasaan orang-orang di sekitar. Dan mempertontonkan kelemahan dalam bentuk tangis sebisa mungkin dihindari selama mampu menahan sabar.
Erga menegakkan tubuhnya. Posisinya tetap rileks namun tidak dengan tatapannya. Posisi tangannya menopang dagu. Rahang kokohnya mengeras. Ia mungkin baru sadar. Axel tidak hanya berkaitan denganku tetapi juga sosok penting dalam kehidupan adik perempuannya.
Dirinya mengabaikan kebencian melalui kata maaf. Setidaknya begitu yang terlihat sebelum kebenaran terungkap. Kepergian Egia menjadi catatan tadir tak terelakan nan menyedihkan
. Kemunculan Axel merupakan salah satu potongan pemicu, begitu pula keberadaanku mengingat pada saat sebelum Egia kecelakaan aku sempat melihatnya bersama lelaki itu.
Awalnya semua berjalan cukup lancar hingga masa laluku terkuak bak lembaran buku yang terbuka. Amarah muncul ke permukaan. Permintaan maaf menjadi kata tanpa makna. Fakta bahwa Axel pernah amat sangat menyakitiku seakan menyiram bensin pada sisa kobaran api yang belum padam.
"Orang tuaku membuang barang-barang pemberiannya. Nggak ada satupun yang dibawa pindah." Suaraku merendah. Gumpalan kepedihan mencair namun tetap mengganggu. "Aku bukannya nggak mau kamu belikan hadiah atau ajak makan di tempat mahal. Dengan senang hati pasti kuterima. Aku hanya nggak mau membebanimu. Bisa bersamamu saja aku sudah senang lagipula hadiah tanpa cinta ibaratnya kotak beledu tanpa cincin."
"Waduh." Telapak tangan Erga yang bebas menepuk dahinya.
"Waduh kenapa?"
Erga nyengir. Tangan beralih mengusap leher lalu tersenyum lebar. "Kamu barusan ngomongin cincin. Itu kode terselubung ya. Mau minta Akang halalin, Neng?"
******
Hari minggu yang menegangkan akhirnya menyapa. Aku merencanakan agenda hari ini sebaik mungkin. Persiapan sandiwara dan berpura-pura akan mengerjakan tugas kelompok seharian tidak boleh sampai ketahuan. Hasilnya sesuai perkiraan. Ibu mempercayai alasanku. Ia sering mendengar hal yang sama dari dua anak lelakinya. Kak Adji sampai sekarang bahkan sering menginap di rumah temannya karena tugas kuliah.
Erga sempat menghubungi beberapa kali, memastikan aku mengingat pesannya sampai ke bagian terkecil. Sebelum langit berubah gelap dan adzan magrib berkumandang posisiku harus sudah berada di rumah. Kedua sahabatnya diminta tak boleh lengah menjagaku.
Aku berusaha menenangkan kekhawatirannya dengan mengiyakan semua aturan yang dibuat. Rasa optimis keadaan akan berjalan lancar muncul. Terbersit harapan bahwa pertemuan nanti akan menjadi obat dari segala sakit hati kala SMA.
Untuk membuatnya terwujud diriku harus berbesar hati meyakini arti memaafkan yang sebenarnya. Bukan hanya sekadar kata di mulut. Sejarah hidup telah mencatat peristiwa jauh dari kata menyenangkan. Axel pernah menghancurkan kepercayaan diriku menjadi kepingan tak berbentuk. Ia pernah mempermainkan perasaanku seolah ia adalah raja paling berkuasa dalam hubungan kami. Tapi kuyakini setiap orang bisa berubah. Pada dasarnya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci.
"Beritahu aku bila ia memintamu kembali jadi pacarnya." Erga menelepon lagi begitu aku sampai di depan kampus.
Kakiku menghampiri kios rokok dekat gerbang kampus. Pantatku menghempas bangku kayu di samping kios yang masih tutup. Sengaja aku memilih tempat bertemu yang jauh dari rumah.
Mataku berkeliling menunggu kemunculan kedua sahabat Erga."Kamu tahu itu mustahil. Ingatan Axel belum pulih. Perasaannya sekarang hanya sama Putri. Pertemuan kami nanti sebatas menuntaskan rasa bersalah."
Hembusan napas pendek dan kasar terdengar. "Masa bodoh. Aku tetap mencemaskanmu. Ini bukan soal kalian pernah bersama. Niatnya padamu lah yang kuragukan." Nadanya mulai meninggi.
"Hubungan kami sudah lama selesai. Kami punya kehidupan masing-masing. Kamu tahu sendiri kedekatannya dan Putri. Dan sejauh yang kita tahu Axel memperlakukan Putri dengan baik. Ia bisa saja sudah benar-benar berubah. Masa aku harus mendoakannya jadi psikopat."
"Oh kamu membelanya?"
"Aku bukan membelanya, bukan pula membenarkan kesalahannya. Axel memang pernah melukaiku, membuatku sedih hingga merasa nggak berguna. Sebaik apapun perubahannya sekarang hubungan kami sudah berubah. Di luar itu semua aku cuma ingin tenang. Terbebas dari kebencian dan melanjutkan hidup tanpa dihantui dendam."
"Ok. Aku mengerti. Berhati-hatilah. Kabari kalau Axel berulah."
Pembicaraan kami selesai. Hingga titik ini Erga meyakinkan dirinya sendiri bahwa aku aman dalam pengawasan kedua temannya. Perkiraannya memang bisa saja terjadi tapi Axel akan berpikir ulang membuat kekacauan. Lelaki mempunyai kebiasaan menghindari keributan di tempat umum.
Adrenalin memacu, memompa darah hingga irama jantung bagai berlomba. Gelisah merasuk dalam dada. Pertemuan nanti bukan pertama kalinya setelah aku dan Axel berpisah.
Kami berjalan di arah yang berbeda namun keadaannya sekarang berbeda. Entah seberapa jauh Axel mampu mengingat, yang jelas ia sepertinya mulai menyadari hubungan kami di masa lalu. Poin terpenting dalam pertemuan kali ini, tali yang mengikat dalam mimpi buruk harus terlepas.
Persiapan menuju Jakarta selesai tanpa kendala. Ferdi menjemputku selang beberapa menit setelah obrolan dengan Erga berakhir. Wisnu duduk di samping kursi pengemudi saat aku membuka pintu belakang mobil. Pakaian keduanya kasual layaknya akan pergi ke kampus.
Aku menyebut nama mal di sekitar Jakarta Barat sebagai tujuan kami. Kebetulan Ferdi mengetahuinya hingga aku bisa duduk manis tanpa perlu memberitahu arah. Keduanya mengajakku mengobrol, sengaja mengalihkan perhatian dan membahas berbagai topik kecuali tentang Axel.
Udara panas menyambut saat kendaraan memasuki ibukota. Kerinduan pada kota yang pernah mengukir kenangan sejak lahir mengurangi ketegangan. Tidak semua yang terjadi dalam hiduku berakhir buruk, ada banyak memori menyenangkan pernah terlewati.
Mobil Ferdi baru memasuki daerah Slipi saat Putri menelepon, mengabari kalau dirinya sudah sampai tujuan. Aku memintanya menunggu di sebuah kafe. Ia bebas memilih tempatnya selagi nyaman.
"Axel sudah datang?" Wisnu menoleh ke belakang.
"Sepertinya belum."
"Kamu sudah siap?" Sela Ferdi.
"Siap," balasku cepat.
Wisnu mendesah pelan. Ia melempar pandangan keluar jendela. Sepanjang mata memandang hanya ada gedung bertingkat. Antrean mobil mengular sejak memasuki ibukota. "Marsya lebih dewasa dibanding Putri. Gue khawatir ia kesulitan mengendalikan emosi. Tahu sendiri gimana orang lagi cinta-cintanya terus dipaksa pisah. Anaknya biasa dimanja lagi."
"Sebenarnya gue juga nggak begitu suka sama Axel tapi kalau memang bisa berubah, seburuk apapun masa lalunya layak diberi kesempatan asal jangan terlalu percaya. Tapi mungkin keluarga Putri punya penilaian lain. Gue nggak bisa menyalahkan orang tuanya. Mereka bersikap begitu untuk melindungi anaknya." Ferdi menimpali.
Aku terdiam, menyetujui pendapat Ferdi dalam hati. Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Sekalipun perlakuan kasar Axel terjadi padaku, bukan berarti keluarga Putri mengabaikan kesalahan lelaki itu begitu saja. Mereka butuh pembuktian dan perlu waktu tidak sedikit untuk meyakinkan anak mereka aman bersama lelaki itu.
Orang tuaku pun bersikap sama. Hingga detik ini aku yakin mereka belum sepenuhnya melupakan peristiwa yang menimpa putri bungsunya. Kejadian pahit membawa kami pindah ke kota lain, meninggalkan semua kenyamanan dan memulai hidup baru. Sulit dibayangkan betapa khawatirnya mereka seandainya tahu Axel tiba-tiba muncul.
Dengan pemikiran yang tidak terlalu matang, aku memutuskan menemui Axel di Jakarta. Semua pilihan memiliki risiko tapi kekhawatiran bahwa ada kemungkinan orang tuaku tidak sengaja melihat saat kami bertemu membuatku berpikir telah mengambil keputusan yang tepat.
"Sya, sudah sampai," teguran Wisnu membuyarkan lamunan.
Kepalaku mendongkak, menatap keluar jendela dan tersandar sudah berada di basement. Ferdi memarkirkan mobil di dekat pintu masuk mal yang kebetulan kosong. Mencari tempat parkir kala weekend lebih susah dari hari biasa. Ia mengajakku dan Wisnu turun dari mobil, memasuki mal lalu menyusuri setiap lantai.
Mal yang kami kunjungi lumayan luas. Toko demi toko terlewati. Lalu lalang pengunjung tampak ramai. Senyum terpasang di wajah mereka berbanding terbalik dengan diriku. Kedatanganku bukan untuk bersenang-senang.
Putri mengabari kembali melalui pesan. Ia mengirimkan nama kafe dan memberi petunjuk arah agar kami tidak kesulitan mencari tempatnya.
Setelah menyusuri lantai demi lantai, kami berhenti di sebuah kafe di lantai tiga. Tempatnya tidak terlalu besar. Suasananya temaram namun nyaman untuk berkumpul bersama kolega, teman maupun keluarga. Putri duduk sendiri di salah satu meja, letaknya tidak jauh dari pintu masuk.
Putri tersenyum begitu kami dekati. Aku menyapanya begitu juga dengan Wisnu dan Ferdi. Kedua lelaki itu berbasa-basi sebentar menanyakan kabar lalu duduk di meja lain dekat meja yang ditempati Putri. Rupanya perempuan itu datang tanpa ditemani saudara atau teman.
"Kamu sudah menghubungi Axel?" tanyaku membuka percakapan saat menyeret kursi di sampingnya.
"Belum tapi aku percaya Axel pasti datang." Tidak ada keraguan dalam suara Putri. Ia begitu antusias. Kerinduan berpedar dalam binar matanya.
"Oh ya." Aku meraih daftar menu. "Kamu sudah pesan makanan?" Sengaja kuhindari kontak mata. Suasana agak canggung. Bagaimana tidak, lelaki yang akan kami temui adalah mantan pacarku sekaligus orang terdekatnya.
"Sudah. Kamu pesan saja. Sepupuku bilang makanan di sini enak. Apa kamu pernah datang di sini?"
Bicara wajar saat ini rasanya berat. Pertanyaan Putri mudah dijawab tapi mengatakannya butuh kehati-hatian. Mood-nya bisa saja memburuk andai tahu kafe ini salah satu tempat yang biasa aku dan Alex datangi dulu.
"Begitulah," balasku singkat. Aku segera memanggil pelayan setelah membolak-balik daftar menu. Dalam hati doa mengalun, agar hari cepat berakhir dan terbebas dari rasa tak nyaman.
Seorang pelayan perempuan menghampiri. Dengan sigap ia mencatat makanan pesananku. Putri tampak sibuk memainkan ponselnya. Aku justru lega melihat sibuk sendiri.
Kuperhatikan Wisnu dan Ferdi di meja sebelah setelah pelayan tadi pergi. Keduanya mengobrol sambil sesekali melihat ke arah kami. Senyum Wisnu seolah mengatakan tidak ada yang perlu dicemaskan. Mereka rupanya juga sudah memesan makanan.
Pelayan kembali datang. Kali ini membawa pesanan makanan Putri. Perempuan itu hanya memesan ice cream dan minuman soda. Perutnya masih kenyang, begitu jawabnya saat kutanya kenapa tidak memesan makanan atau kue.
Selang beberapa menit orang yang kami tunggu muncul. Axel datang bersama temannya. Mataku mengawasi sosok di samping Axel. Namanya Arman. Lelaki bertubuh kurus dan berkacamata. Keduanya bersahabat dekat sejak kecil dan bersekolah di SMA yang sama. Keluarga Arman pernah menjadi tetangga Axel.
Arman mengetahui perjalanan cinta kami. Di antara teman-temannya Axel, hanya Arman yang kupercaya. Dulu tak jarang kami pergi bertiga. Ia juga yang menolongku saat peristiwa di kamar mandi sekolah waktu itu.
Jemari Putri bergetar di bawah meja. Ia buru-buru menghentikan suapannya. Wajahnya sangat tegang. Dari posisiku, Putri tampak berusaha menahan tangis.
Aku mengangguk pada Axel dan Arman setelah keduanya mendekati meja kami. Axel memakai kaus dan celana hitam begitu juga dengan Arman, hanya warna dan motifnya yang berbeda. Tinggi keduanya pun hampir sama. Arman lebih kurus dan berkulit sawo matang.
Aku menyambut uluran tangan keduanya. Putri bereaksi sama namun dalam adegan lebih lambat.
Arman menatapku, mengamati setiap detail penampilanku. "Makin cantik saja, Sya." Pujinya yang kuanggap sebagai candaan.
"Kamu juga makin nggak banget," balasku cepat.
Lelaki itu tertawa kecil. Kami sudah terbiasa saling melontarkan ledekan bila bertemu. Pandangannya beralih pada Putri. "Kamu pasti Putri ya? Axel sering cerita. Senang bisa ketemu langsung."
Putri mengangguk pelan. Rona merah di pipinya bersemu.
Axel masih diam. Sejak datang ia lebih banyak memperhatikanku. Sikapnya membuatku tak enak hati meski tindakannya mungkin hanya didorong oleh rasa bersalah.
"Kalian mau pesan makanan?" tawarku memecah kecanggungan."
"Kamu sendiri?" Arman menatap mejaku yang masih kosong.
"Aku sudah pesan sebelum kalian datang. Makan saja dulu. Kita bicara setelah perut terisi." Kepalaku menoleh pada Putri. "Kamu yakin nggak mau makan?"
Putri menggeleng. "Nanti saja."
Pertemuan ini tidak terlalu buruk. Beruntung Arman ikut bersama Axel. Setidaknya aku bisa mengajaknya bicara karena enggan beramah tamah dengan Axel. Posisiku serba salah. Selain itu hubungan kami telah lama berakhir. Putri lebih berhak menunjukan dominasinya atas Axel tapi sepertinya tidak ada reaksi apa-apa.
Kedua lelaki di hadapanku memanggil pelayan dan memesan makanan. Memori sempat mengulang adegan ketika kami pergi ke kafe ini saat malam minggu. Arman dan teman-teman dekat Axel kadang suka menyusul. Dalam keadaan normal, Axel memperlakukanku sangat manis. Tidak sungkan menunjukan keromantisan yang membuat perempuan lain iri.
"Erga nggak ikut, Sya?" Axel mengetahui keberadaan dua seniorku.
"Lagi ada keperluan keluarga jadi nggak bisa datang."
Kami berempat terdiam beberapa saat hingga pesanan makananku datang. Sebenarnya aku masih kenyang tapi menyantap makanan bisa mengalihkan obrolan sejenak. Putri meneruskan menghabiskan ice creamnya sementara Axel juga Arman mengobrol tentang topik seputar game.
Pembicaraan mulai serius setelah makanan keduanya datang. Axel hanya memesan kopi sementara Axel bersemangat menyantap steak pesanannya. Aku sendiri sudah lebih dulu selesai, menunggu waktu yang tepat memulai maksud pertemuan ini.
Tanpa diduga Putri membuka mulut dan mempertanyakan arti dirinya pada Axel. Ia mengepalkan kedua tangannya di paha. Sorotnya nyaris putus asa.
"Aku butuh waktu memikirkan semuanya. Dan yang kubutuhkan pertama-tama adalah kepastian Marsya. Ingatanku belum sepenuhnya pulih tapi ada beberapa potongan yang berhubungan dengan dirinya." Axel tampak lugas. "Masalahku... "
"Dengar Axel," selaku sebelum emosi keduanya terpancing. "Apapun yang telah terjadi di antara kita kuanggap selesai. Aku memaafkanmu. Jangan jadikan masalah kita dulu sebagai hambatan kehidupanmu sekarang."
"Kamu benar-benar memaafkanku?" Axel masih tampak ragu.
"Aku ingin tenang, Axel. Membencimu nggak akan merubah keadaan. Aku telah memilih jalanku, baiknya kamu pun begitu."
Arman menoleh pada Axel. "Ini akhir yang baik untuk kalian berdua. Kamu juga bisa membalas rasa bersalah dengan menjadi pribadi yang lebih baik, Xel. Ada Putri... "
Kepala Axel menggeleng. Ia menatap Putri sekilas lalu mengarahkan pandangannya ke meja. "Perbuatanku dulu sangat buruk. Aku bahkan berharap sisa ingatan terhapus. Ini terlalu cepat. Akan lebih baik kalau Putri bersama lelaki lain."
"Perasaanku nggak berubah. Aku percaya setiap manusia memiliki sisi baik. Tindakanmu dulu pada Marsya bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Tapi sikap kasarmu terbentuk karena pengaruh lingkungan luar. Permasalahan di antara orang tuamu. Tekanan dan beban sekolah." Putri diam sejenak lalu merapikan rambutnya ke belakang telinga. "Aku bukan bermaksud menyinggungmu, Sya. Hanya saja di usia yang labil, bisa saja ada ketidakcocokan di antara kalian. Semua itu menggumpal dan kamu memendamnya hingga amarah membutakan mata hati."
"Jangan melempar kesalahan pada Marsya. Kenyataannya sikapku memang buruk. Aku nggak akan membela diri dengan alasan apapun. Dilihat dari kacamata manapun, aku lah yang telah melukai fisik dan batin Marsya. Ada banyak remaja yang pacaran dan ketidakcocokan pasti ada satu atau dua dalam hubungan mereka. Reaksiku terlalu berlebihan dibanding yang lain. Aku hargai perasaanmu, Putri. Jujur aku pun sayang padamu tapi cobalah bijak. Keluargamu sudah tahu masalah ini. Mereka pasti nggak akan setuju melihatmu bersamaku. Kita berteman saja."
Putri mengepalkan kedua tangannya sangat kuat. Matanya memerah menahan luapan tangis. Lututnya bergetar. Kakinya tidak bisa diam. "Keluargaku?"
"Kakakmu pernah menelepon. Ia memintaku menjauhimu. Keluargamu menyayangimu. Pahami itu."
Detik berikutnya keadaan berubah panik. Putri tiba-tiba pingsan. Axel dengan sigap berdiri dan membopong perempuan itu. Beberapa pelayan menghampiri. Mereka mengizinkan kami membawa Putri menuju salah satu ruangan untuk istirahat karyawan.
Ferdi sempat terpancing emosi. Ia mengira Axel telah mengatakan kalimat kasar. Beruntung Wisnu dan Arman bisa membantu mengendalikan ketegangan. Aku sendiri duduk di sisi sofa tempat Putri diletakan, mencoba pertolongan pertama seperti yang pernah kubaca saat browsing. Seorang pelayan datang membawakan bawang putih, teh manis dan meletakannya di meja panjang.
Selang beberapa menit, setelah mendekatkan bawang putih pada hidung Putri, ia akhirnya sadar. Semua yang berada di ruangan bernapas lega. Mata perempuan itu mengerjap lemah. Bulir bening mengalir dari sudut mata.
Axel melarangnya bicara. Aku perlahan menyingkir dan membiarkannya berada di samping Putri. Axel menarik lembut leher Putri saat memberinya minum teh manis. Kekhawatiran membayangi gerak-geriknya. Aku dan yang lainnya memperhatikan dengan saksama.
Arman menepuk bahuku. Kepalanya menoleh ke arah pintu keluar. "Bisa kita bicara sebentar?"
Aku mengangguk, diam-diam mengikuti Arman sementara Wisnu dan Ferdi tampak serius memperhatikan Axel. Kami berjalan keluar dari ruangan. Berjalan beberapa meter dari pintu lalu bersandar di lorong yang menghubungkan ke area tempat makan. "Ada apa?"
"Boleh aku minta nomor ponselmu?"
"Tentu." Kusebut rangkaian angka saat ia mengeluarkan ponselnya.
"Senang lihat kamu bangkit lagi. Aku belum pernah lihat kamu bersinar seperti sekarang." Arman memasukan kembali ponselnya dalam saku celana. "Kamu sepertinya sudah benar-benar memafkan Axel. Alih-alih menyimpan benci, kamu memilih berdamai. Itu sesuatu yang bagus tapi akan lebih baik bila kamu nggak perlu mengaitkan Axel dengan Putri."
"Aku kasihan sama Putri. Ia sangat menyukai Axel. Larangan keluarganya bahkan nggak membuatnya goyah. Aku pikir mungkin keberadaan Putri mampu membawa perubahan baik untuk Axel."
"Putri sepertinya perempuan baik. Hanya saja kalau keduanya sampai dekat lagi, itu artinya kemungkinan besar kamu dan Axel akan sering bertemu. Apalagi kata Axel, pacarmu menganggap Putri seperti adiknya. Sedikit banyak gesekan bisa terjadi. Kadang kala kita harus bersikap egois."
Kupandangi Arman. Ia masih orang yang sama dengan yang kukenal dulu. Sebelum pacaran dengan Axel, Arman pernah memberi isyarat agar aku menjauh dari sahabatnya. Awalnya aku mengira ia melakukannya karena menganggapku tak layak. Setelah mengenalnya cukup lama, Arman hanya mencoba mengingatkan demi kebaikanku.
Ia sendiri terlihat tunduk pada Axel. Berada di bawah bayang-bayang sahabatnya. Keduanya jarang sekali bertengkar. Arman lebih banyak mengalah dan membiarkan Axel mendominasi.
Axel keluar dari ruangan itu. Langkahnya menghampiri kami. Ekspresinya sangat serius. "Marsya." Ia menatapku sesaat. " Aku nggak tahu apakah ini akan berjalan dengan lancar. Setelah melihat keadaan Putri, aku berniat mencoba memperbaiki keadaan ini. Aku akan berusaha berubah dan mendapatkan restu keluarganya. Sikapku dulu sangat buruk padamu dan nggak ingin melihat itu terulang pada Putri. Apakah kamu nggak keberatan kalau aku bersamanya? Aku janji nggak akan sering menampakan diri di depanmu atau Erga."
Kepalaku mengangguk pelan. Bayangan masa lalu kutepis. Permintaan Axel mengingatkan kesungguhannya saat memintaku menjadi pacarnya. "Aku nggak punya hak melarangmu bersama Putri. Jangan mengulangi kesalahan."
Senyuman di wajah lelaki itu mengembang. Ia tampak bahagia mendengar jawabanku. "Terima kasih. Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kali?"
Sejenak aku meragu. Batasan sengaja yang kuciptakan termasuk menghindari sentuhan fisik. Perasaan belum sepenuhnya siap menghadapi situasi seperti sekarang. "Tentu saja."
Kami pun berpelukan, bukan jenis layaknya teman, lebih terlihat seperti dua orang baru saling kenal. Pelukan itu terjadi hanya beberapa detik. Aku tidak ingin Wisnu dan Ferdi salah paham. Arman menepuk bahu sahabatnya sebelum Axel berbalik meninggalkan kami.
Arman mengajakku kembali ke ruangan tempat Putri dan yang lainnya berada. "Lain kali kita bicara lagi. Sekarang kita masuk dulu. Aku akan cerita soal Axel nanti. Ini tempat umum. Kita harus segera membawa Putri dari sini."
"Bukankah ini akhir yang membahagiakan?" ucapku pada diri sendiri.
"Semoga kamu bahagia."
tbc
Update One Year menyusul ya. Terima kasih 🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro