Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap#25 - Izin

Jarum jam menunjuk angka dua belas.Waktu di mana sebagian besar manusia bergelung dalam mimpi. Kesunyian memenuhi seisi ruangan. Rasa lelah membuai mata, membujuk hingga terasa menusuk agar segera terpejam.

Tubuh menghempas ranjang setelah sekian lama termenung menatap tumpukan jurnal kuliah. Pikiran tidak berada di tempat. Isi kepala jelas sedang membayangkan hal lain. Tawaran Putri terus menggema. Meski terdengar berisiko, bila melakukannya dengan rencana matang, masalahku dan Axel akan selesai dalam satu hari.

Di sisi lain aku terbentur perasaan tak tega. Putri terdengar bersunggung-sungguh akan menjalankan niatnya. Ia mengabaikan kemungkinan usahanya berakhir sia-sia. Hubungannya dengan Axel kini berjarak, bukan hanya tempat melainkan hati. Kemungkinan lelaki itu memilih menjauh agar Putri tidak terluka setelah mengetahui masa lalunya.

Masalah terbesar adalah menghindari kecurigaan Erga. Aku bisa beralasan akan menginap di rumah salah satu teman dekat saat SMA. Meyakinkan orang tuaku lebih mudah dibanding mencoba melakukan hal serupa pada Erga.Ia akan memastikan kepergianku memang karena alasan reuni.

Hubungan kami masih seumur jagung tapi masalah datang layaknya pasangan hitungan tahun. Bayangan cerita manis berbalut romansadi awal ikatan terpinggirkan oleh logika. Mimpi buruk di masa lalu bagaikan melodi tanpa irama yang menghantui setiap langkah.

Hembusan napas terdengar bagai jeritan putus asa. Aku belum menemukan jawaban tepat untuk mengakhiri kegelisahan. Kuacak rambut dan berusaha menenangkan diri.

Tubuh berguling ke sisi ranjang, tempat aku menaruh ponsel. Jemari meraih benda itu, mengotak-atik layar lalu memeriksa kumpulan foto. Tanpa sepengetahuan Erga, aku terkadang diam-diam mengambil fotonya. Sebagian besar ia tertangkap kamera sedang tertawa. Keceriaannya menghangatkan suasana. Orang-orang di sekitarnya ikut antusias memperhatikan lelaki itu. Gerakan tanganku terhenti di salah satu foto.

Berbeda dengan ekspresi Erga sebelumnya, kali ini ia tampak serius. Suasana kantin yang ramai menjadi latar belakang. Ia duduk di salah satu meja, menopang dagu dengan sebelah tangan memegang buku yang terbuka. Darah berdesir, mengaliri tubuh, membawa berjuta kehangatan atas nama rindu.

"Sudah tidur?" Jemari menekan tombol mengirim pesan. Erga mungkin sudah tidur dan pesanku baru ia baca esok hari.

Dua menit berselang, ponselku berdering dan nomor yang tertera di layar dari lelaki itu. Aku segera menggeser icon berwarna hijau sebelum dering berakhir. "Halo," sapaku pura-pura tak bersemangat.

"Malam, Sya," balasan di seberang terdengar berat dan parau. "Kamu belum tidur? Ada tugas?"

"Nggak cuma belum bisa tidur aja. Kamu sendiri sedang apa?"

"Aku lagi nonton bola, sebentar lagi selesai. Kenapa nggak bisa tidur, ada masalah?"

Senyumanku berubah kecut. Tawaran Putri tidak mungkin kuceritakan. Kami berdua dalam kondisi lelah. Bahasan menyangkut Axel adalah topik yang harus dihindari.

"Tadi habis minum kopi," jawabku berbohong. "Nanti kupaksakan tidur."

"Aku akan menemanimu sampai kamu tidur." Derai tawa pelan terdengar dan entah kenapa itu menghujami dada oleh rasa bersalah. "Oh ya, Sya. Hari Sabtu nanti aku sama keluara mau ke luar kota. Tadi sore saudara Ibu menelepon kalau Nenek sakit. Kami mungkin pulang hari Senin."

"Bagus kalau begitu," ucapku tanpa sadar.

"Bagus? Apanya yang bagus? Hei, ada sesuatu yang kamu rencanakan selama aku pergi ya?" tuduh Erga.

"Maksud aku, bagus kalau kamu sama keluarga besarmu bisa berkumpul. Aku harap Nenekmu segera sembuh."

"Kamu menyembunyikan sesuatu?"

"Menyembunyikan apa? Kamu mungkin sudah ngantuk jadi bayanganmu melantur ke mana-mana."

Percakapan kami berlangsung alot. Erga bersikeras mengira aku memiliki niat lain saat dirinya pergi. Kecemburuannya tak masuk akal hingga beberapa lelaki termasuk Satria jadi sasaran tebakan daftar saingannya. Setengah jam berlalu, setelah aku bersuara seperti menahan kantuk, pembicaraan kami selesai, setidaknya untuk malam ini.

Keesokan pagi, tepat pukul setengah tujuh, aku dikejutkan kedatangan Erga. Ia berada di ruang makan, sarapan bersama Ayah dan Kak Adji. Ketiganya membicarakan soal masalah politik sementara Ibu berada di dapur.

Kami terbiasa pergi ke kampus bersama. Ia kadang mengantar jemput keculi waktunya tak memungkinkan mengingat jarak tempat tinggal kami lumayan jauh. Aku pun tak pernah memaksanya.

Tapi hari ini diriku sulit menahan gelisah. Erga tampak biasa saja seolah pembicaraan semalam hanya topik biasa. Sikapnya santai, tenang dan selalu mengumbar senyum.

"Pagi semua." Kuhampiri ketiganya setelah memastikan tak perlu mempertontonkan reaksi berlebihan.

"Pagi, Sya. Ayo sarapan dulu." Ayah melirik dari balik surat kabar. Erga dan Kak Adji menoleh bersamaan.

Kepalaku mengangguk, melangkah kecil mendekati meja makan. Kursi kosong di antara Erga dan Kak Adji jadi pilihan, membuatku merasa jadi yang tercantik. Aku berusaha fokus, meraih selembar roti tawar lalu mengolesnya dengan selai.

Ketiga lelaki itu melanjutkan obrolan. Temanya masih sama dan sama sekali tidak menarik minatku. Ibu muncul dari dapur. Ia ikut bergabung hingga suasana semakin ramai namun hangat.

Selesai sarapan aku segera mengajak Erga pergi sebelum Ayah menahan kami lebih lama. Ibu mengantar hingga teras. Ia sempat berterima kasih karena Erga merelakan sebagian waktunya menjemputku. Kasih sayang yang terpancar membuatku tersadar bila hubungan kami tidak berjalan dengan baik, ada pihak lain ikut terluka.

Aku memeluk erat pinggangnya sepanjang jalan. Sebagian pemikiran seakan belum sepenuhnya bahwa kesempatan untuk membawa ikatan ini kembali ke jalan yang benar telah terbuka. Cinta mungkin membutakan sebagian akal sehat tapi celah kecil ketidakpercayaan akibat luka dibohongi belum sepenuhnya tertutup.

Motor yang kami kendarai menembus padatnya hari ini. Keramaian tampak di berbagai sudut jalan. Kesibukan menjadi pemandangan biasa.

Jemari Erga mengusap jemariku ketika berhenti di lampu merah. Ia menoleh lalu membuka kaca helm. Tidak ada kata hanya senyum.

Aku menyandarkan helm di pundaknya setelah ia kembali memokuskan perhatian pada jalanan. Berbagai tanya sekaligus ragu menggumpal. Aku tidak tahu harus mencari waktu yang tepat untuk meminta persetujuannya atau menyelesaikan dengan cara sendiri meski riskonya besar.

"Jadi kemana rencanamu malam minggu nanti?" Pertanyaan Erga mengejutkanku setibanya kami di kampus. Ia membuka helm, menaruhnya di atas motor lalu berdiri menunggu jawaban.

"Belum tahu, bisa di rumah atau jalan ke luar sama keluarga. Masih curiga?" Sedapat mungkin reaksiku terlihat normal saat meletakan helm di motor.

Mata Erga menyipit. Kedua tangannya bersidekap. Caranya memandang seakan menilai sejauh mana pernyataanku dapat dipercaya. "Aku sedang berusaha mempercayaimu."

"Apa alasan kamu nggak percaya? Semua orang di kampus tahu kita pacaran. Lelaki yang mendekat pun hanya teman termasuk Satria. Nggak ada yang istimewa."

Erga mengelilingi motornya hingga kami saling bersisian. Tangannya terangkat lalu merangkul bahuku. "Apapun alasannya aku pernah melukaimu. Kadang pada satu titik aku mengira akan dapat balasan dengan cara yang lebih menyakitikan agar posisi kita seimbang."

"Aku nggak akan selingkuh demi membalas sakit hati dulu. Arti cinta buatku nggak sedangkal itu."

Erga mengacak-acak rambutku. "Rasanya melegakan."

"Lega?"

"Tentu saja. Bertemu gadis yang memiliki pemikiran sepertimu merupakan keberuntungan."

Kucubit pinggangnya dengan wajah merona. Kampus masih sepi hingga terhindar tatapan keingintahuan mahasiswa lain. "Jadi kamu pulang Senin depan?" tanyaku mengalihkan perhatian.

"Benar. Kenapa?"

"Aku pikir proses merindukanmu akan lebih sulit dari dugaan."

Derai tawa Erga menggema. Aku terpaksa menyeretnya dari tempat parkir sebelum orang-orang bertanya-tanya. "Manis sekali sih kamu," ucapnya dan kembali membuat pipiku bersemu.

Kami menyusuri koridor, bicara tentang banyak hal kecuali rencana Putri. Kepergian Erga keluar kota bukan untuk bersenang-senang. Sikapnya biasa saja tapi ketika aku bicara tentang kondisi Neneknya, sorotnya berubah lirih.

Kabar dariku tentu akan menganggu konsentrasinya. Tingkat keingintahuan dirinya padaku kadang melebihi kekhawatiran orang tuaku sendiri. Ia sempat mengatakan Ayah pernah menyampaikan amanat untuk menjagaku.

Aku pikir setiap lelaki kemungkinan besar pasti diminta menjaga kekasihnya, sebagai salah satu bentuk kepercayaan keluarga. Itu bukan sesuatu yang aneh atau baru. Dalam perjalanannya kadang amanat tadi sering diabaikan bahkan dianggap kata tak bermakna. Tapi lain lagi dengan Erga. Ia menganggap kepercayaan Ayah sebagai tanggung jawab.

Menjelang siang Erga mengabari kalau ia pulang lebih dulu. Kesehatan Neneknya memburuk dan keluarganya diminta datang lebih cepat. Ia berpesan agar diriku tidak macam-macam selama kami berpisah.

Putri mendatangiku saat makan siang, tepat setelah Erga meninggalkan kampus. Kebetulan Adisti tidak kuliah jadi hanya ada kami berdua di meja. Entah kenapa semua berjalan tanpa halangan. Tanda yang Putri anggap sebagai restu agar kami bisa menyelesaikan masalah.

"Permintaanmu terlalu berisiko, Put. Pergi diam-diam selalu ada kemungkinan ketahuan. Aku akan meminta Axel datang. Kita akan cari tempat dan waktu yang tepat dan nyaman untuk bicara."

Putri menggeleng. "Axel nggak akan mau. Kita datangi saja dia."

"Kalau belum dicoba kita nggak tahu apa responnya."

"Aku sudah meneleponnya dan dia bilang nggak bisa. Tadi pagi kutelepon lagi, panggilanku malah dialihkan." Ekspresi perempuan di hadapanku seolah sedang menahan tangis. Ia mengigit bibir bawah agar air matanya tak turun.

"Kamu benar-benar menyukainya?"

"Aku pernah beberapa kali pacaran, memiliki hubungan dengan berbagai karakter lelaki. Tapi Axel berbeda. Bersamanya membuatku sangat nyaman. Aku bisa jadi diri sendiri tanpa harus terbebani." Matanya mengerjap. Ia menyeka sudut mata sambil menatap ke bawah meja.

Kuhela napas panjang. Posisi Putri cukup dimengerti. Menghapus perasaan pada seseorang yang terlanjur tumbuh tidaklah mudah. Usahaku ketika menghadapi perpisahan dengan Erga pun bagai drama tak berkesudahan. Dan hal paling menyiksa adalah kerinduan sepihak.

"Pikirkan baik-baik dulu, Put. Kita nggak bisa gegabah mengambil keputusan. Ini bukan soal diriku saja tetapi keluargamu juga. Mereka pasti cemas kalau kamu pergi tanpa alasan jelas."

"Aku janji akan menerima hasilnya. Pertemuan itu kupikir paling lama hanya dua jam. Ayolah, Sya. Aku ingin menyelesaikan semuanya."

Kebingungan memaksaku tidak menjawab desakan Putri. Terlebih keluarga perempuan itu melarangnya berhubungan dengan Axel. Keadaan semakin rumit karena campur tangan keluarga. Mereka pasti kecewa sekaligus khawatir bila tahu kebohongan dibalik kenekatan Putri.

Orang tuaku pernah melakulan hal serupa ketika berusaha mengingatkan diriku akan ketidaksetujuan hubunganku dan Axel. Mereka ingin melihat putrinya bahagia namun ada kalanya sebagai anak, nasihat atau larangan dianggap batasan yang tidak mengenakan.

Putri pergi dengan perasaan kecewa. Sosoknya berlalu, menjauh dari kantin hingga tidak terlihat lagi. Aku sendiri masih dilema. Berbagai pemikiran mencari jalan keluar terhempas oleh ketakutan kebohongan akan terbongkar.

Kuliah dan tugas berhasil membuatku sejenak lupa dengan masalah. Konsentrasi sepenuhnya tercurah pada bahasan yang dosen berikan.

Ketenangan itu berlaku hanya sampai mata kuliah berakhir. Putri tiba-tiba mengabari kalau dia sedang dalam perjalanan menuju Jakarta. Ia mencoba kembali menghubungi Axel namun belum menunjukan hasil.

"Kamu benar-benar nekat. Bagaimana kalau orang tuamu tahu?"

"Aku sudah izin sama mereka dari kemarin. Kebetulan tanteku ada yang tinggal di Jakarta. Aku akan menginap di sana."

"Kalau Axel tetap nggak mau ketemu gimana?"

"Itu sebabnya aku meneleponmu. Kuharap kamu mau membantu mengakhiri kebimbanganku. Jawaban apapun akan kuterima selama kami menyelesaikannya dengan baik."

Kusandarkan sisi tubuh di dinding. Kepala serasa dihujami puluhan batu, memusingkan. Putri sangat nekat. Cinta membuatnya melupakan rasa takut.

"Rumah tantemu di daerah mana?"

Putri menyebut sebuah perumahan di sekitar Jakarta Barat. Aku lumayan tahu daerah itu. Tempat tinggalku dulu kebetulan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal tantenya Putri.

"Begini saja. Aku akan menelepon Axel. Kalau dia mau, kita ketemu di mal yang kutentukan. Aku pergi dari Bandung dari pagi dan kembali sebelum sore."

"Kamu pergi sendiri?"

"Tentu saja. Keadaannya mendadak. Aku naik travel dari sini. Sekarang aku coba hubungi dia dulu. Kalau nggak sesuai rencana, sebaiknya kamu pulang." Saranku sambil menahan jengkel. Posisiku serba salah. Mengacuhkan Putri rasanya sulit tapi mengikuti keinginannya hampir membuat kepalaku pecah karena pusing.

Jemariku menggusap layar, mencari-cari nomor Axel dan menyiapkan diri saat sambungan telepon mulai terhubung.

"Halo, Sya."

"Halo, Axel."

"Tumben telepon. Apa Putri menyuruhmu menghubungiku?"

"Salah satunya memang tentang dia tapi ada yang harus kita bicarakan. Aku ingin menyelesaikan semua masalah di masa lalu. Putri juga berhak dapat penjelasan. Kita ada waktu besok siang? Kita ketemu di Central Park, bisa?"

"Kamu nggak perlu repot datang ke sini. Kita ketemu di Bandung saja."

"Lebih baik aku yang menemuimu. Kebetulan aku ada perlu ke Jakarta dan kuharap kamu juga mau bicara sama Putri."

"Baiklah kalau mau kamu begitu. Soal tempat kamu saja yang tentukan." Axel menghela napas. "Maafkan aku, Sya. Aku... "

"Axel, please... kita bicara besok saja. Aku harus masuk kelas," potongku cepat. Axel mungkin sudah berubah tapi sikap memohonnya masih sama.

Kami saling mengucapkan salam sebelum menekan tombol end. Putri lega begitu kukabari bahwa Axel mau menemui kami. Ia sedikit cemburu, getaran lirihnya samar terdengar.

Permasalahan tinggal satu. Bagaimana menjelaskan masalah ini pada Erga. Aku bisa mencari alasan untuk pergi seharian bila orang tuaku bertanya tapi tidak untuk lelaki itu.

Di tengah kebuntuan tepukan di bahu dan sapaan hangat menyeret kesadaran kembali ke tempatnya. Erga menyeringai lalu duduk di sebelahku. Ia menaruh ranselnya di meja dengan santai.

"Sudah makan?"

"Kenapa masih di kampus? Bukannya tadi bilang mau pulang cepat," jawabku sengaja mengabaikan keingintahuannya.

Erga menekuk sikunya di meja, mengepalkan tangan kanannya saat menopang dagu. Rambutnya mulai panjang, agak berantakan tersibak angin. "Tadi memang sudah pulang tapi Ibu bilang perginya diundur nanti malam. Jadi kupikir selagi ada waktu, aku ingin menghabiskan kesempatan melihatmu."

Kuperhatian wajahnya saksama. "Kamu nggak capek?"

"Ya sebanding sama hasilnya, bisa ketemu kamu." Ia perlahan bangkit. "Mau makan apa? Nanti aku pesankan."

"Nggak, masih kenyang. Teh manis dingin saja."

Usapan lembut di kepala membuatku canggung mengingat keadaan kantin lumayan ramai. Erga segera berlalu, melewati deretan meja menuju kios yang menjual nasi goreng. Ia berdiri di luar kios, menunggu giliran setelah sempat mempersilahkan perempuan di belakangnya maju lebih dulu.

Pandanganku terkunci seolah menonton drama di televisi. Aku selalu terusik tiap memperhatikan zona nyaman Erga. Keramahannya tidak jarang mengundang salah paham terutama dari kaum hawa. Meski tidak terang-terangan, sebagai sesama perempuan bentuk kekaguman tersirat jelas dari cara pandang atau gaya bicara.

Aku memahami bahwa ada kehidupan lain di luar hubungan kami. Sifatku mungkin masih jauh dari kata dewasa tapi mengekangnya dengan membatasi pertemanannya bukan ide bagus. Selama Erga mampu memegang kepercayaan, tidak ada alasan mengurungnya demi memuaskan ego.

Erga kini beralih ke kios yang menjual minuman setelah memesan makanan. Ia menahan seorang perempuan yang hampir jatuh karena berdesakan. Kepala Erga menunduk, tersenyum dan mulutnya bergerak-gerak sementara perempuan itu tersipu malu.

Selang beberapa menit ia kembali membawa air mineral dan segelas teh manis. Keningnya berkerut melihatku merengut. "Maaf , antrenya agak lama."

"Kalau mau tebar pesona lihat keadaan dong. Kan kelihatan sama aku."

"Bukan begitu, Sya. Aku cuma nolong supaya perempuan tadi nggak jatuh makanya kutahan lengannya. Masa gitu aja kamu bilang tebar pesona."

Kuseruput teh hingga setengah gelas. Dingin dan rasa manis di lidah tidak meredakan kekesalan. Logika tertutup oleh cemburu. Aku tahu tindakannya hanya alasan kemanusiaan tapi reaksi perempuan itu seakan mengundang kesempatan berkenalan. Wajahnya tidak familer, mungkin mahasiswa jurusan lain.

Kuperhatikan sesekeliling dan menemukan perempuan tadi bersama teman-temannya di meja lain, tidak jauh dari tempat kami duduk. Mereka sesekali melirik sambil mengobrol dan makan.

"Udah habit sih jadi susah." Aku menggeser tubuh dari sisinya.

"Ya ampun, Sya. Tadi cuma kebetulan. Aku nolong bukan berharap ada embel-embel di belakang. Kalau memang punya niat jelek sudah dari awal pacaran aku deketin perempuan lain," jelas Erga.

Harga diri menahanku memaklumi tindakannya. Seharusnya semua selesai tanpa perlu mengeluarkan argumen tapi rasanya belum puas.

"Niatnya sampai bantu bawa botol minuman ke meja dia? Tuh lihat, dia sama teman-temannya ngelirik ke meja kita terus."

"Dia tadi bawa banyak minuman, aku kasihan doang, Sya."

"Mungkin karena kamu udah terkenal baik di mata orang. Jadi bisa saja dia sengaja beli banyak walau awalnya beli untuk diri sendiri. Logikanya masa teman-temannya tega nggak ada satupun  yang bantuin atau biasanya kalau beli banyak, kita kan bisa minta tolong penjualnya antar ke meja. Kamu kan banyak pengalaman soal perempuan, masa nggak bisa baca situasi. Apa karena yang ditolong cantik?"

Erga terdiam lalu mengembuskan napas. Ia kembali merapatkan tubuhnya hingga lengan kami bersentuhan. "Masa mau nolong aja harus mempermasalahkan fisik, Sya. Ada banyak perempuan cantik di kampus ini tapi yang buat aku deg-degan cuma kamu." Dahiku berkerut seolah meremehkan pernyataannya. "Bilang cantik kan bukan berarti suka. Sekadar kagum sesaat doang."

"Kagum?"

Ia menggacak-acak rambutnya hingga berantakan. "Aku salah ngomong lagi ya? Maaf. Nanti aku tutup mata saja kalau ada perempuan lain."

"Kemarikan ponsel kamu."

Sebuah benda berwarna hitam disodorkan padaku dari dalam ransel. "Buat apa?"

"Pinjam. Kuota aku habis."

Nasi goreng pesanannya akhirnya datang. Erga membujuk agar aku ikut makan tapi kutolak. Ia tak kehabisan akal dan mulai menyuapiku sementara diriku sibuk dengan ponselnya.

"Aih. Mesra sekali. Jadi pengin disuapin," seloroh seorang lelaki terdengar dari arah depan. Wisnu nyengir saat menyeret kursi.

"Sini gue suapin pakai sendok semen."

"Gue ganggu ya. Kayak ada percikan-percikan emosi sepertinya." Wisnu melirik padaku.

"Biasa. Cemburu dari hat... " Erga mengaduh saat kakinya kuinjak.

"Makanya Sya, coba kamu pilih Akang. Dijamin aman tentram damai sentosa."

"Diam lo! Gue jadiin banner, mau," gerutu Erga.

"Marah-marah aja sih. Gue kan cuma bercanda, Bang... ke. Lagian yang suka diam-diam sama Marsya kan memang banyak. Coba kalian putus lagi, gue jamin dia bakal kayak gula dikerubutin semut. Anaknya imut manis begini kok. Ya nggak, Sya."

Aku tahu Wisnu hanya bercanda. Lelaki ini bisa dibilang penyelamat kala kami dalam suasana tegang. Celotehannya sering kali mengubah amarah berganti tawa.

Tapi Erga menanggapinya berbeda. Sekarang giliran dia yang memasang wajah judes. Senyumnya masam dan tampak dipaksakan. Posisi duduknya menjadi menyamping, menghadapku sambil menopang dagu.

Sorotnya semakin serius. Ia tidak mengalihkan perhatiannya hingga diriku risih. Deringan ponselnya tiba-tiba terdengar. Ia masih bergeming saat meraih benda yang kusodorkan.

Keningnya berkerut, ekspresinya menegang seolah sedang mendengar berita mengejutkan. Sebelah kakinya yang menumpu di kursi bergerak-gerak dengan gelisah.

"Siapa?" tanyaku penasaran setelah Erga mengakhiri pembicaraan.

"Kakaknya Putri. Dia tanya apa Putri cerita tentang Axel belakangan ini. Anak itu mendadak pergi ke rumah tantenya di Jakarta." Aku terbatuk hingga menimbulkan kecurigaannya.

Setelah menimbang semua risiko, diriku menyerah dan menjelaskan rencana Putri soal keberangkatannya ke Jakarta. Wisnu ikut memperhatikan. Erga mengigit bibirnya ketika topik beralih pada niatku menyusul Putri. Rahangnya mengeras. Pendengarannya jelas tak menyukai rangkaian kata yang meluncur dari bibirku.

"Aku pikir pertemuan nanti akan menyelesaikan masalah kami. Putri pun bisa melanjutkan hidupnya. Jadi boleh ya aku ke Jakarta? Kasihan Putri kalau sendirian."

Erga tidak menjawab. Sorotnya menajam. Keramahan di wajahnya menghilang. Ia tampak dingin saat temannya yang kebetulan melintas meja kami menyapa.

Kusentuh jemarinya yang dingin. Ia tak bereaksi. "Please. Pertemuannya hanya beberapa jam. Sebelum malam aku sudah sampai di rumah."

"Pantas aku sudah curiga dari semalam. Kenapa kamu nggak bicara sama aku dulu. Tindakan kalian terlalu berisiko. Bagaimana kalau keadaannya memburuk?"

"Kami ketemu di mal kok. Aku kenal Axel. Dia nggak akan berani berbuat ulah di tempat ramai."

"Tapi dia juga pernah memukuli... " Kalimatnya menggantung berganti geraman halus.

"Sorry, Ga. Bukan gue ikut campur. Rencana Marsya nggak terlalu buruk. Masalah kalian bisa selesai dengan bicara baik-baik. Gue yang temani dia biar lo tenang di jalan nanti. Lagian lebih berisiko membiarkan Putri ketemu Axel sendiri."

Erga memejamkan mata. Ia menekan keningnya sembari menggelengkan kepala. "Aku terpaksa izinkan tapi dengan catatan ponselmu harus tetap menyala." Tangannya mengeluarkan benda berukuran panjang dan pipih berwarna putih. "Pakai power bank-ku."

Perasaanku berangsur lega. Badan terasa lebih ringan.

Wisnu mengedipkan matanya padaku. Ia melirik sahabatnya lalu menaruh tangannya di dekat mulut seperti orang berbisik. "Ini rahasia kita saja ya, Sya. Mumpung di Jakarta, sebelum pulang kita jalan-jalan dulu ya." Aku terkekeh karena ia sengaja mengucapkannya dengan jelas.

"Nanti aku ajak ke tempat yang terkenal makanannya enak, Kang."

Erga menggeram. Gulungan kertas yang entah kapan ia buat memukul pelan kepala kami. Matanya melotot. "Siapa yang bilang boleh sekalian rekreasi? Langsung pulang!"

"Nah ini baru namanya cemburu menguras hati. Untung gue jomblo. Paling cuma makanan yang menguras dompet," ucap Wisnu diiringi gelak tawa.

"Berisik lo." Erga kembali berdiri.

"Yah gitu saja marah. Lo mau kemana?"

"Buang hajat. Lo mau ikut?" Nadanya masih menggerutu sebelum berlalu.

Wisnu mengalihkan perhatiannya padaku. Senyumannya memudar. "Untung kamu jujur, Sya. Coba kalau pergi diam-diam. Erga bisa marah besar. Marahnya orang humoris kadang lebih seram dibanding orang biasa. Apalagi Akang belum pernah lihat dia sensitif kayak sekarang. Secinta-cintanya sama pacarnya dulu, Erga masih bisa santai kalau lagi cemburu. Ini digodain dikit udah kayak kebakaran saawak-awak."

"Saawak-awak itu apa?"

"Maksudnya sebadan? Sya. Maksudnya kalau orang lain istilahnya kebakaran jenggot, kalau dia kebakaran seluruh badan," terang Wisnu.

Selang beberapa menit Ferdi menghampiri dari arah belakangku. Ia menyentuh punggungku lalu menarik sebuah kertas. "Si Erga bikin malu lagi aja."

Kami bertiga tersenyum masam saat melihat kertas dengan hurup kapital hitam yang ditulis cukup besar lengkap gambar lengan.

"NGAJAK KENALAN=BOSAN HIDUP 💪."

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro