Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap#24 Ide buruk

Hidup memang tak selalu mudah ditebak. Sedih maupun bahagia berganti dalam hitungan detik. Kurang lebih begitu yang sedang kurasakan.

Sempat aku mengira hubunganku dan Erga berada di titik nadir. Berakhir sangat mengenaskan. Ketidakpercayaan menghantui setiap sisi pertemuan kami. Rasa sayang yang terlanjur terbangun begitu menyiksa hingga ke dasar hati. Mungkin ini terdengar berlebihan tetapi menghapus kenangan merupakan pekerjaan super berat.

Dan malam ini dunia tiba-tiba berubah. Warna-warninya menyenangkan. Muramnya hujan di luar sana berbanding terbalik dengan keceriaan sepanjang perjalanan dalam mobil. Canda, tawa bahkan ejekan meramaikan suasana.

"Hei, melamun saja," tegur Ferdi padaku. Ia duduk di bangku depan menemani Erga.

Kalimat canda di kantin tadi berbuah masam. Erga memaksaku duduk di belakang bersama Wisnu. Dia beralasan aroma badannya tak sedap dan khawatir muntahanku mengotori mobilnya.

"Ganggu orang senang aja sih lo, Fer. Cewek cantik mah bebas, coy," balas Wisnu sambil tertawa.

"Tapi duduknya digeser dikitlah." Erga melirik dari spion dalam. "Jangan pakai alasan basi badan lo kegedean terus kursinya mendadak menciut, coy."

Ferdi mendesis pelan. Bola matanya berputar pada kedua sahabatnya bergantian. "Beunget maneh di kontrol, Coy. Siga nu karek nincak tai kotok wae."* celetuknya menertawakan ekpresi kesal sahabatnya.

Aku menyandarkan kepala di jendela. Hiburan yang ketiganya pertontonkan membuat senyum terus mengembang. "Hidup trio pakcoy." Kataku sekenanya.

Ketiganya tersenyum kecut. Beberapa saat kemudian mereka mengganti topik obrolan. Aku lebih suka menjadi pendengar walau kadang yang dibahas tidak kupahami. Mereka sibuk membicarakan Mobile Legend, game yang sedang banyak disukai.

Sesekali pandanganku dan Erga bertemu melalui spion dalam. Garis bibirnya melengkung lebar hingga matanya ikut menyipit. Tubuhku menghangat. Tindakan spontan yang berulang kali mendatangkan riak bahagia hingga semu merah di pipi.

Setibanya di rumah, Kak Adji menyambut kami. Erga memaksa mengantar hingga depan pintu. Kedua lelaki itu bersalaman, berbasa-basi sebentar sebelum sosok Erga kembali ke mobil.

"Kalian sudah pacaran lagi?"

"Kakak tahu dari mana?" tanyaku bingung. Aku baru saja sampai dan belum sempat bercerita.

Kak Adji melewatiku menuju ruang tengah. "Dia bilang sendiri pas salaman tadi. Mohon kerjasamanya kakak ipar, gitu katanya."

Pantas Erga senyum-senyum tidak jelas sebelum pamit.

*****

Beban di pundak sedikit lebih ringan. Ini bukan tentang cinta semata. Setelah kami menjalin hubungan kembali bukan berarti semua normal. Ada kesepakatan tak tertulis. Aku yang memintanya dan Erga mau tak mau menyanggupi.

Aku jengah melihat reaksi orang-orang di sekitar menyikapi hubungan kami. Sempat putus sambung membuatku jadi sasaran empuk gosip hangat. Seburuk apapun sikap Erga, tuduhan tidak enak lebih banyak ditujukan padaku. Lelaki itu memiliki citra yang baik dan ceria. Sifatnya disukai sekaligus memiliki banyak teman. Berbeda denganku yang hanya dikenal sebagai mahasiswa baru.

Pasangan kekasih di kampus memang bukan hanya satu tetapi nama Erga cukup dikenal. Sebagian orang mengetahui tipe perempuan yang didekatinya biasanya berumur lebih tua. Pilihannya bersamaku tentunya terdengar seperti memilih jalan alternatif yang memiliki banyak hambatan.

Apalagi selama kami berhubungan perhatian Erga sangat mencolok. Ketika kami sempat putus, jarak itu semakin nyata. Sindiran, candaan bahkan ejekan meski tersirat sering terdengar walau tidak secara langsung. Sebagian teman-teman perempuan Erga memberi tatapan seolah sudah memperkirakan akhir hubungan kami.

Aku ingin tenang. Pacaran hanya bumbu penambah semangat sementara kewajibanku paling utama menyelesaikan kuliah tepat waktu. Godaan yang sempat membuatku mengabaikan nasihat orang tua memaksa otak berpikir panjang menyikapi keberadaan Erga.

"Pagi." Sapaan hangat menyapa ketika baru saja memasuki gerbang kampus.

"Kenapa di sini? Nggak bawa motor?".

Erga mengatur kakinya seirama dengan langkahku "Bawa." Dia merapikan rambutnya dibalik topi. "Aku sengaja nunggu kamu di kios depan cuma kayaknya kamu nggak lihat."

"Tumben. Biasanya nunggu di kantin."

Lelaki itu tertawa pelan lalu menyusupkan kedua tangan ke balik saku jaket. "Lagi pengin saja. Habis kamu suka ngomel kalau aku panggil dari kantin."

Bibirku mencibir. "Kamu bukannya manggil tapi teriak. Kan malu didengar sama yang lain. Makin lengkap deh tuduhan mereka kalau kita abg labil yang terjebak cinta monyet."

Sorot Erga menajam. Garis bibirnya berubah datar. "Memangnya ada yang bilang begitu?"

"Nggak sih cuma aku merasa begitu. Dulu waktu kita pisah, aku langsung jaga jarak sementara kamu lebih bisa bersikap dewasa. Bisa saja mereka melabeliku remaja labil."

Erga menarik pergelangan tanganku mengarah ke taman. "Usia kamu memang peralihan dari masa remaja. Siapapun pernah melewatinya. Aku juga punya andil, akibat kekonyolanku selama ini. Aku minta maaf."

Perasaanku terenyuh. Hubungan kami memang jadi agak kaku dalam sudut pandang Erga. Delikan atau deheman dariku memaksanya menahan diri meluapkan kemesraan atas nama sayang.

"Nggak perlu minta maaf. Tindakanmu memang sering melewati batas normal tapi belum masuk kategori menganggu," celotehku. "Meski begitu aku harus memberi batasan supaya nggak menambah daftar penggemarmu yang senang setiap kali kita ribut."

"Ada yang begitu? Siapa?" Erga mengabaikan pernyataannyaku sebelumnya.

"Erga," keluhku menahan kesal.

Kami melanjutkan langkah melalui jalan kecil dari taman menuju papan pengumuman. Erga terus menerus menanyakan siapa saja orang yang kemungkinan tidak menyukaiku. Desakannya sengaja kuabaikan.

"Dengarkan saja, Sya. Jika ada sesuatu atau seseorang yang membuatmu kurang nyaman dan berimbas pada hubungan kita, bicaralah padaku." Erga menghentikan langkahnya sesampainya kami di luar kelasku. "Tenang saja. Aku nggak akan bermain kasar atau bertindak bodoh. Aku hanya ingin kamu belajar memberiku kepercayaan berbagi masalah."

"Dan kamu akan melakukan hal serupa?"

"Tentu saja." Erga mengusap lembut rambutku. "Sebenarnya aku jarang berbagi cerita sewaktu masih pacaran dengan perempuan lain. Rasanya aneh. Denganmu akan jadi pengalaman baru dan aku menantikannya."

Beberapa temanku melintas. Mereka menyapa seraya mengucapkan kalimat menggoda.

"Kita lanjutkan nanti ngobrolnya. Aku harus masuk, sebentar lagi kelas di mulai."

Erga mengangguk, mengurungkan niat mencium kening ketika kupelototi. Dia membiarkanku pergi, melewatinya menuju kelas. Kepalanya masih terlihat dari salah satu jendela. Tangannya melambai setelah memastikan posisiku duduk.

Teman-temanku tiba-tiba menertawakannya. Erga rupanya sedang diomeli dosen yang akan mengajar di kelas kami. Lelaki itu sempat mengedip sebelum sosoknya menjauh. Senyumku masam mendengar riuhnya suasana kelas.

Ada permasalahan lain dan masih mengganggu, Axel. Dia belum mengabari sejak terakhir kami bicara lewat telepon. Keberadaan Putri pun jarang terlihat. Fakultas kami memang berbeda. Wajar saja bila tidak menemukan sosoknya. Terlebih kampus kami lumayan luas. Tapi sebelumnya dia cukup sering tampak di kantin fakultas tempatku kuliah.

Aku paham kaitanku dengan Axel mempengaruhinya. Namaku tercatat dalam kehidupan orang yang disukainya. Meski telah berlalu hal itu mungkin saja menganggu seperti hal nya caraku melihat Bianca. Ditambah kepribadian Axel padaku bukan sesuatu yang pantas dibanggakan.

Cinta tak mengenal batasan. Ketika hati telah bicara seketika logika terkunci dalam gelapnya hati. Masa bodoh dengan dunia bukan lagi sesuatu yang patut dipertanyakan. Selama perasaan bersambut yang terlihat hanya pelangi meski dalam kacamata orang lain adalah awan gelap.

Kisah hidupku ketika berseragam putih abu menyisakan jejak memilukan. Sebagian kenangan tersimpan rapat namun bukan berarti tidak ingin hidup dengan normal. Sejarah tak mungkin terulang. Aku hanya bisa menjadikannya pelajaran agar bisa memandang dunia tanpa rasa takut.

Dan memaafkan jadi salah satu obat agar mampu kembali melangkah. Aku tidak ingin menghakimi. Aju yakin Axel masih punya nurani. Bukankah setiap bayi yang terlahir memunyai jiwa yang murni. Karakter dirinya terbangun karena pengaruh lingkungan.Aku mungkin kurang memahami alasan dibalik perilaku kasarnya.

Selama beberapa hari pikiran itu menghantui. Diriku seolah sedang menunggu bom meledak di tangan. Axel bisa menghubungi kapan saja atau yang lebih gawat dia tiba-tiba muncul. Solusi di kepala hanya satu, menemuinya sebelum dia lebih dulu nekat mendatangiku.

Tepukan di bahu membuyarkan lamunan. Adisti menggeleng lalu meneruskan kegiatannya memasukan catatan dalam tas. "Melamun terus. Kelas hampir kosong."

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Sebagian besar teman sekelasku sudah pergi. "Siang nanti dosennya absen ya?"

Adisti mengangguk. "Aku mau pulang. Kamu?"

"Pulang juga kayaknya. Kenapa memangnya?"

Perempuan di sampingku menunjuk ke arah jendela. Kepalaku berputar mengikuti pandangannya. Seorang lelaki tengah bersandar di jendela. Tubuhnya menghadap ke belakang tetapi perawakannya persis seperti Erga.

"Dia kan memang kadang suka nunggu di luar kalau kebetulan ada jadwal kuliah, Ti." Jemariku memasukan alat tulis terakhir dalam tas.

"Iya itu maksudku." Dia bangkit lebih dulu. "Aku pulang duluan ya. Jangan pacaran terus, ingat sebentar lagi ujian."

Aku nyengir namun tidak membantah. Erga mendongkak saat menyadari diriku sudah berdiri di dekatnya. Ia mengenakan kaus putih berlogo nama himpunan jurusan kami. Jeans hitam di kakinya tampak baru. Topi baseball bertengger di kepalanya. Jaket biru dongker menyampir di lengannya.

Kami segera menyusuri koridor, menikmati perjalanan menuju lobi sambil mengobrol. Sesekali ia merapikan anak rambutku ke telinga. Pandangannya waspada ketika kami menuruni anak tangga seakan khawatir diriku terpeleset.

"Kamu nggak takut ya diledek karena sering nunggu aku selesai kuliah di luar kelas? Biasanya orang-orang ketemuan di kantin atau tempat lain, kan."

"Aku nggak terlalu peduli selama itu bukan kritikan membangun. Lagi pula kesempatan seperti ini akan sulit terjadi kalau aku lulus nanti."

"Menurutmu kita akan bertahan selama itu?"

Erga mengangkat bahunya. "Bertahan dengan status pacar sih kurang yakin tapi kalau nikah, bisa jadi." Derai tawanya menggema, mengundang perhatian mahasiswa lain yang berpapasan.

Aku mengembuskan napas. Erga belum sepenuhnya berubah, masih saja konyol. Bicaranya sering kali tidak dipikir dahulu dan membuat orang lain salah paham. "Terlalu dini membahas nikah. Belum lama pacaran saja kita udah pernah putus. Nggak ada jaminan pasti kita bakal awet."

"Kamu terlalu serius. Anggap saja kata-kataku tadi tujuan akhir dari hubungan ini. Pasangan yang putus sambung berberapa kali tapi menikah juga banyak. Tapi untuk saat ini fokus saja dulu dengan kuliahmu. Buat orang tuamu bangga dan bahagia. Aku akan mendukungmu."

Bibirku mengerucut lalu berjalan cepat meninggalkannya. "Bicaramu seperti orang tua saja."

Erga menyusul. Tawanya kembali hadir meski aku merasa tidak ada yang lucu. Meski begitu ekspresi lepasnya membuatku ikut tersenyum. Lelaki itu memiliki aura positif. Dia seperti matahari yang muncul setelah hujan reda.

Setelah berada di lobi, kami memutuskan melanjutkan obrolan di kantin. Kebetulan Erga masih ada kuliah siang nanti. Untuk pertama kalinya aku menawari menunggunya hingga selesai kuliah. Awalnya dia meminta agar diriku pulang karena tidak ingin melihatku bosan. Meski sempat terlihat matanya berbinar ketika tawaran itu terucap.

Sebenarnya aku memiliki tujuan lain dibalik alasan menunggunya. Ada sedikit harapan akan berhasil menemukan sosok Putri. Aku ingin bicara dari hati ke hati tentang Axel.

"Aku tunggu di kantin ya."

Senyum Erga tinggal segaris. Ketidakpuasaan tersirat di wajahnya. "Kenapa nggak di perpustakaan?"

"Di sini lebih banyak makanan."

"Tapi di sana lebih tenang." Dia belum juga beranjak padahal kuliahnya di mulai lima menit lagi. Jarak kelasnya dengan kantin bahkan lumayan jauh.

"Ramai juga nggak masalah." Kursi yang di duduki Erga terseret ke belakang. Sorotnya menajam ketika memalingkan wajah. Ia menarik ransel dari meja lalu pergi.

Kuperhatikan sosok Erga menjauh. Sesekali ia menoleh. Lirikannya memastikan diriku tetap berada di tempat, sendiri tanpa keberadaan mahasiswa lain. Sikapnya benar-benar menggelikan. Baru kali ini aku menjalin kasih dengan lelaki yang memperlihatkan kecemburuan sekonyol itu. Ia tidak peduli dengan penilaian dirinya di kepalaku. Masa bodoh menunjukan kelemahan ketika teman-temannya menyindirnya seakan berada di bawah kuasa perempuan.

Perhatianku beralih pada sekitar kantin. Suasana tidak seramai jam makan siang. Sebagaian mahasiswa pergi melanjutkan kegiatan masing-masing. Tanganku menopang dagu. Tangan yang bebas mengeluarkan ponsel dan mengamati layar. Bunyi pesan terdengar samar dari dalam tas tadi. Kening berkerut melihat pesan masuk dari Erga.

"Lihat ke atas 🙋."

Kepala sontak terangkat, memperhatikan bangunan tinggi di hadapan. Erha terlihat dari jendela di lantai paling atas. Telunjuk dan jari tengah di arahkan pada matanya lalu ditujukan padaku berulang kali. Mulutnya bergerak-gerak. Aku tak kuasa menahan senyum setelah membaca gerak bibirnya.

Pesan berikutnya kembali muncul.  "I'm watching you 👿."

Selang satu jam penantian berbuah bosan. Jam kuliah Erga masih menyisakan satu jam ke depan sementara Putri tidak terlihat. Aku bergegas meninggalkan kantin lalu pergi ke perpustakaan. Rasa jenuh belum hilang apalagi deretan buku yang berkaitan dengan mata kuliah tidak menarik minat berlama-lama di sana. Kakiku bergerak meninggalkan perpustakaan dan tanpa sadar justru bergerak menuju ruang kelas Erga.

Rasa penasaran membuncah. Aksi sembunyi-sembunyi menambah cepat adrenalin. Aku berhenti di jendela paling jauh dari pintu kelas lelaki itu. Tubuh merapat ke dinding, berhati-hati agar tidak terlihat oleh dosen. Erga dan beberapa temannya berdiri di depan papan tulis. Mereka sedang presentasi. Tidak berapa lama dosen berjalan ke tempat duduk mahasiswa hingga aku lebih leluasa mengamati.

Erga terlihat berbeda, lebih serius dan tenang. Suaranya terdengar tanpa nada gugup. Kaca mata yang ia pakai membuatnya terlihat lebih dewasa. Melihatnya membuatku malu sendiri mengingat diriku selalu mati kutu setiap kali diminta menjelaskan ke depan.

Lelaki itu mendadak terdiam. Salah seorang temannya menyikut lengannya agar ia kembali melanjutkan penjelasannya. Tapi Erga tetap diam dan kusadari itu alasannya karena mengetahui sedang diperhatikan. Dengan raut polos dia tiba-tiba melambai ke arahku. Teman-temannya berpaling mengikuti pendangannya. Sontak suasana menjadi ramai dan Erga dihadiahi lemparan gulungan kertas dari dosen.

Wajahku memerah lalu dengan seribu langkah turun kembali ke lobi. Beruntung dosen tadi tidak sempat melihat keberadaanku. Kepala menggeleng membayangkan aksi Erga tadi. Bisa-bisanya konsentrasinya hilang.

Harapan bertemu Putri akhirnya menememukan celah keberuntungan. Sosoknya terlihat ketik aku iseng pergi ke taman. Perempuan itu sedang menuju gerbang. Ia berjalan sendiri. Tatapannya lurus dan kosong.

"Putri," seruku setelah jarak kami hanya terpaut beberapa langkah.

Ia berhenti, menoleh dan tersenyum. Wajahnya pucat dan tampak lebih kurus dari terakhir kami bertemu. Aku mempercepat gerakan kaki sambil menyiapkan kalimat pembuka yang harus diucapkan.

"Sudah lama nggak ketemu. Bagaimana kabarmu?" Pertanyaanku terdengar basa-basi namun sekuat tenaga berpikir, hanya kalimat itu yang muncul.

"Senang juga bertemu denganmu. Aku baik-baik saja."

"Kamu mau pulang?"

Putri menggeleng. "Mau beli majalah ke kios depan. Kamu ada perlu denganku?" Pandangannya berkeliling seperti mencari-cari seseorang.

"Begitulah." Suaraku berat dan pelan. "Erga masih kuliah," lanjutku menebak siapa yang ia cari.

"Kita ke kantin saja. Kebetulan ada yang ingin kubicarakan tentang Axel." Aku menurut, menjajari langkahnya menuju kantin. Sepanjang jalan isi kepala berperang, saling menyela agar jadi pemenang dan keluar dari mulutku.

Suasana kantin agak sepi. Hanya beberapa meja yang terisi. Kami memilih meja yang tadi sempat kududuki. Putri duduk di hadapanku. Ia menolak halus saat aku akan memesan minuman dingin. Aku kembali dengan membawa botol minuman soda dingin dan air mineral.

"Jaga-jaga kalau nanti haus,"kusodorkan air mineral padanya. Putri tersenyum lirih.

Tanpa dikomandoi suara Putri mengalir bak derasnya aliran sungai. Ia bercerita bahwa Axel tidak ingin mereka berhubungan lagi demi kebaikan perempuan itu. Erga menasihatinya agar melupakan Axel. Keduanya sempat berdebat panjang lebar bahkan kakaknya yang tidak lain mantan kekasih Erga akhirnya mengetahui cerita itu. Andai bisa ia pun ingin melanjutkan hidup dengan tenang namun perasaan sulit dibohongi.

Perasaan Putri jatuh terlalu dalam. Kata cinta membumbung tinggi hingga lupa berpinjak di bumi. Kekhawatiran sekaligus rindu membelenggu. Ia kehabisan cara mengabaikan bayang-bayang Axel. Seburuk apapun masa laluku, lelaki yang ia kenal bukanlah seorang pemarah. Axel adalah lelaki manis dan peka di matanya.

"Erga begitu karena kamu sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Dia hanya mengkhawatirkanmu, nggak ingin kejadian yang menimpa adiknya terulang padamu."

Kepala Putri tertunduk. "Aku mengerti. Itu sebabnya aku berusaha mengubur perasaan tentang Axel."

"Melupakan seseorang yang kita sayangi butuh waktu. Memaksanya hilang dari memori hanya akan mempersulit karena akan terus teringat."

"Lalu apa yang ingin kamu bicarakan?"

Aku menceritakan niat Axel agar kami bertemu dengan hati-hati. Putri sedang patah hati. Meski hubungan yang kualami telah berlalu, keberadaanku adalah sumber masalah hubungan mereka.

"Aku berencana menemuinya. Membicarakan masalah kami hingga semuanya jelas. Aku memang sudah memaafkannya sejak lama tapi kami belum pernah membahasnya secara langsung. Mungkin setelah itu, baik aku maupun Axel bisa melanjutkan hidup kami tanpa bayang-bayang masa lalu."

"Kapan kamu akan menemuinya?"

"Entahlah. Aku harus mencari waktu yang tepat. Orang tuaku mungkin akan percaya kalau aku izin menginap di rumah teman dengan alasan mengerjakan tugas tapi Erga? Ia nggak akan mudah dibohongi. Lagi pula aku masih bingung kalau pergi ke Jakarta sendirian."

Senyum Putri tiba-tiba mengembang. "Aku akan menemanimu. Kita bisa berangkat pagi dan pulang sebelum malam. Wisnu atau Ferdi pasti mau membantu mengalihkan perhatian Erga selama kita pergi. Aku pikir setelah semuanya selesai, kita semua akan lebih tenang."

"Terlalu berisiko. Aku berencana memberitahu Erga. Itu pilihan terakhir kalau semua cara berakhir buntu."

"Jangan, Erga nggak akan setuju. Meskipun kelihatannya biasa saja. Erga masih marah sama Axel. Dia bilang nggak akan peduli lagi padaku kalau masih berhubungan dengan Axel. Ayolah. Lusa tanggal merah. Kamu tinggal buat alasan akan mengerjakan tugas. Adisti pasti mau membantu menutupi cerita kita."

Aku terdiam. Ide Putri cukup menjanjikan. Kami hanya butuh kurang dari satu hari untuk menyelesaikan masalah. Tapi bagaimana dengan Erga? Ia pasti curiga ada yang tidak beres kalau aku mendadak sulit dihubungi.

Tbc

· Beunget maneh di kontrol, Coy. Siga nu karek nincak tai kotok wae : Muka kamu di kontrol dong, coy. Kayak baru nginjak kotoran ayam aja.

Yeay akhirnya bisa update di hari pertama tahun ini. Mohon doanya ya semoga kedepannya semakin lancar dan ceritanya lebih baik lagi. Mudah"an kalau nggak ada halangan Barra nyusul besok ya.. Satu lagi, maaf kalau lama balas komen ya. Terima kasih dukungan dan perhatiannya 🙏.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro