Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap#23- Take it or leave it

Masalah akan tetap datang meski kita mengira telah berada di tempat paling aman. Seperti itulah kira-kira posisiku sekarang. Terdiam bak tahanan yang sedang berharap ada keajaiban saat dosanya diperdengarkan dalam pengadilan.

Dalam keadaaan lelah, setelah sepanjang jalan bayangan masakan rumah hampir membuatku meneteskan air liur karena lapar, sambutan penuh amarah terpaksa harus ditelan. Kebohongan yang terbungkus serapat apapun memiliki caranya sendiri untuk menguak kebenaran.

Salah satu temanku yang pernah mengajak mencicipi hiburan malam sempat menelepon. Awalnya Ayah mengira si penelepon orang iseng atau salah sambung hingga dia menyebut namaku. Suara perempuan itu terdengar meracau, tidak jelas bahkan tertawa sendiri seperti orang mabuk.

Aku tak mampu membela diri. Posisiku memang salah. Semua omelan terpaksa kudengar tanpa berani mendongkakkan kepala.

Wajah Ibu tampak sembab. Kepalanya menggeleng seolah menyesali karena tidak mampu mendidik putrinya dengan benar. Ayah berjalan bolak-balik hingga batas ruang tengah sambil berkacak pinggang. Aku merasa sangat bersalah.

Dibanding Ibu, Ayah jarang sekali menunjukan kemarahannya. Biasanya Ayah lebih banyak mengalah bahkan rela jadi tameng ketika Ibu mengomeli anak-anaknya. Mendengar Ayah bicara menggunakan nada tinggi saja sudah membuat kami waspada.

"Kami bukan bermaksud melarangmu bergaul tapi di rumah ini ada aturan yang harus kamu pahami. Ini semua demi kebaikanmu." Tubuh Ayah menghempas sofa. Posisinya tetap tidak santai. "Kamu itu anak perempuan kami satu-satunya. Ayah dan Ibu akan terus mengkhawatirkanmu meski usiamu beranjak dewasa."

Tangan masih membeku bahkan gerakan mudahpun begitu berat. Pembicaraan ini akan berlangsung cukup lama sampai orang tuaku memuntahkan semua kekesalan. Akan lebih mudah bila aku mengucap kata maaf tapi lidah terlalu kelu untuk menyusun kata.

"Apa jangan-jangan rokok waktu itu milikmu? Kamu meminta Erga membantu menutupi kebohonganmu yang lain?" Gelegar suara Ayah berdegung di kepala. Dadaku sesak saking kaget dan bingung.

"Itu punya Erga, Ayah. Kami sempat bertemu dan bicara tentang Marsya." Kak Adji tiba-tiba sudah berada di depan ruang tengah. Dia berjalan mendekatiku, meletakan ranselnya di sisi sofa lalu duduk.

Ayah mengusap wajahnya. Reaksinya membuatku jauh lebih takut karena tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. "Jadi kamu sudah tahu hal ini?"

Kak Adji melirikku sekilas. Isyarat matanya memintaku untuk tetap diam. "Ya." katanya tenang. "Marsya sepertinya masih mudah dipengaruhi. Dia tergoda oleh rasa ingin tahu tanpa berpikir panjang. Aku bisa menyakinkan Ayah kalau dia sudah paham konsekswensinya, itu sebabnya dia menolak ajakan pergi ke tempat hiburan malam."

"Kenapa kamu nggak memberitahu Ayah atau Ibu?" tanya Ibu sedih.

"Bukannya nggak mau, Bu. Tapi masih mencari waktu yang tepat. Lagi pula Marsya sudah menyadari kesalahannya. Dia hanya nggak ingin menambah beban Ibu. Dan aku menghindari dia tambah depresi karena merasa dikekang." Suasana menjadi hening hingga suara jam berdetak memenuhi udara. "Erga yang menyadari perubahan Marsya lebih dulu. Dia menjaga Marsya dari kejauhan. Pada waktu itu mereka sudah putus jadi dia nggak bisa ikut campur terlalu dalam."

Ayah menghela napas panjang, hembusannya semakin teratur. Tatapan tajam masih terarah padaku namun tidak semenakutkan tadi. "Kamu bisa hubungi Erga? Ayah mau bicara dengannya."

"Erga sakit, gejala tifus. Aku baru saja dari rumah sakit."

"Oh kasihan sekali anak itu. Dia pasti kerepotan menjaga dan mengurus kuliahnya. Padahal kamu bukan lagi urusannya." Ibu segera berdiri. "Dia dirawat di mana? Ayah dan Ibu nanti akan menjenguknya."

Aku menjawab tanpa perlawanan. Mengikuti arus merupakan satu-satunya solusi yang terhidang. Berdalih sambil mengolah beberapa kalimat demi memperkuat alasan agar tidak perlu menyeret nama Erga sudah terlambat.

"Kalian berdua makan dulu. Dan kamu Marsya, jangan pernah mengulanginya. Untuk itu sampai akhir bulan kamu dilarang pergi jalan-jalan baik itu sama keluarga atau teman-temanmu." Hukuman yang Ibu berikan jauh lebih ringan ketimbang mengharuskan Ayah atau Kak Adji mengantar jemput ke kampus.

Kedua hal itu memang tidak mungkin. Kak Adji semakin sibuk dengan tugas kuliahnya begitu juga dengan Ayah. Beruntung uang sakuku tidak terkena imbas.

"Terima kasih, Kak," bisikku sepelan mungkin ketika berjalan menuju ruang makan.

"Makanya jangan suka bohong. Susah sendiri kan. Eh Erga benar-benar sakit?"

Kepalaku mengangguk. "Ya. Aku baru menengoknya. Dia akhirnya tumbang."

"Sedendam itu kamu sama dia sampai menyumpahinya?"

"Bukan begitu. Dia sangat aktif, bergerak ke sana kemari. Tenaganya nggak pernah habis. Urat malunya juga sudah putus. Aku kira dia pura-pura sakit biar dikasihani."

"Hanya karena saat ini dia memujamu bukan berarti kamu boleh menuduhnya begitu. Kesalahannya padamu pun karena salah paham. Kalau kamu memang ingin lepas, katakan dengan tegas."

"Jadi sekarang Kakak berpihak padanya?"

"Bukan berpihak tapi mengingatkanmu. Anggap saja kalian sedang mendapatkan kesempatan kedua untuk memberbaiki hubungan tapi jangan harap ada tambahan kesempatan lagi saat kamu memilih menjauh karena gengsi." Kak Adji mendahuluiku. Dia menyeret kursi di samping Ayah yang lebih dulu berada di meja makan.

Suasana belum pulih seperti biasanya. Sorot penuh rasa ingin tahu memancar dari kedua orang tuaku. Andai bisa, mereka sudah pasti akan menggali kebenaran pembelaanku hingga dasar. Di sisi lain aku memiliki pengalaman buruk, kelemahan yang akhirnya kadang kumanfaatkan ketika menghadapi hal tak terduga seperti sekarang misalnya.

Raut lesu, senyum getir dan ekspresi berbalut rasa bersalah cukup berhasil membuat orang tuaku menahan diri. Hanya delikan atau memelototi masih bisa membuatku makan dengan tenang dan tentunya menarik napas lega.

Kebohongan yang akhirnya terkuak seakan melempar diriku ke masa lalu. Ayah yang biasanya paling santai kini beraksi layaknya polisi setiap kali aku bersiap keluar rumah. Sikap Ibu sedikit melunak, tidak terlalu keras, khawatir hormon di usia muda justru membuat naluri pemberontakan menyala tanpa kendali.

Kejadian itu tidak mengubah ritme kegiatan di kampus. Seketat apapun aturan yang mendadak orang tuaku isyaratkan, mereka tetap sulit mengatur jam tiba di rumah mengingat jadwal kuliah serta tugas kadang bisa berubah. Suasana ini membuat kampus berganti fungsi menjadi tempat paling menyenangkan setelah kamar.

Sejak menjenguk Erga terakhir kali, aku belum menjenguknya kembali. Perasaan canggung dan kikuk membebani. Aku hanya tahu bahwa lelaki itu sudah kembali ke rumah, mungkin istirahat sementara waktu sebelum beraktifitas lagi.

"Ambil sisi baiknya. Kamu bisa lega sekarang, nggak perlu khawatir aksimu dulu ketahuan." Adisti berusaha menghibur. Aku memberitahunya saat di kelas tadi. Dia sempat bingung melihat salah satu teman kami yang pernah mengajak pergi ke tempat hiburan malam meminta maaf.

Bahuku terangkat, tidak terlalu setuju dengan perkataannya. Usaha menjadikan kebohongan sebagai rahasia terbongkar setelah hampir saja semua berjalan tanpa ketahuan. Aku tidak memarahi balik temanku yang menelepon karena andil terbesar adalah diri sendiri.

"Orang tuaku semakin protektif. Mereka memberi hukuman seolah mempunyai anak pemberontak. Kenakalan Kak Adji tak terhitung tapi nggak diperlakukan sama sepertiku," kataku. Ingatan sedang menyusun daftar kesalahan Kak Adji hingga detail terkecil.

Adisti mengerucutkan bibirnya. Langkahnya tetap sejajar walau kakiku kadang bergerak cepat atau lambat. "Wajar saja, kamu anak bungsu plus putri satu-satunya. Ditambah keluargamu pernah menjadi saksi terpuruknya dirimu dulu. Jangan dibawa rumit. Hukumanmu hanya sampai akhir bulan ini, kan?"

Kuselipkan kedua tangan di saku jeans. Pandangan berputar, mengelilingi lobi kampus. Perhatian beralih dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain. "Memang tapi bukan berarti aku terbebas dari pertanyaan yang sama setiap harinya. Pulang jam berapa? Ada yang antar atau nggak? Dan masih banyak lagi."

"Kamu maunya bagaimana?"

"Aku sadar tindakanku membuat mereka khawatir tapi bukan berarti aku anak kecil yang nggak punya hak berpendapat. Aku cuma malas berdebat."

"Ya sudah, lupakan saja. Kamu mau pulang?" Adisti mengingatkan mata kuliah kami berikutnya yang dibatalkan.

Kulirik jam, waktu baru menunjuk pukul sebelas. "Kamu sendiri?"

"Gimana kalau kita ke rumah Kang Erga. Aku belum sempat menjenguknya."

"Nggak." Kepalaku menggeleng kuat. "Aku nggak punya alasan menemuinya."

"Menemaniku menjenguknya." Adisti menarik pergelangan tanganku. "Kamu terlalu banyak berpikir."

"Tunggu... a... " Suaraku terputus saat Adisti menyeret langkahnya ke tempat parkir. Dia pura-pura tuli, mengabaikan segala protes dan fokus memesan taksi online.

Debaran jantung hampir membuatku gila. Kegelisahan semakin menjadi dan meredamnya butuh usaha keras.

Sepanjang perjalanan aku memikirkan pertanyaan atau kalimat pembuka yang tidak mengundang kecurigaan. Perutku mendadak seperti dipilin hanya karena berpikir akan kembali bertemu.

Aku tidak pernah berhitung berapa lama kami tak bertemu. Membiasakan diri berada di kampus seolah Erga bukan bagian dari tempat itu. Cara itu lumayan berhasil. Konsentrasi tercurah hanya pada poin penting dalam kehidupan.

Tapi sekali saja nama Erga disebut atau dengan seenaknya ingatan menjejali kepala dengan sosoknya, kupu-kupu di perut berterbangan menimbulkan rasa tak karuan. Bahkan dari sejak taksi online datang hingga hampir tiba di rumah lelaki itu, gugup belum juga hilang.

"Kita sepertinya harus mengurungkan niat? Ti." Pandanganku tertuju pada sosok perempuan dan dua lelaki yang sedang mengobrol di teras rumah Erga.

"Telat. Kang Wisnu udah lihat ke arah kita." Adisti mengendikan bahunya.

Aku terpaksa mengituku meski dalam hati sedikit senang. Satu hal yang menganggu adalah keberadaan Bianca. Seniorku itu memang tidak datang sendiri tapi tetap saja membuatku canggung.

"Maaf Kang, baru sempat nengok." Adisti berbasa-basi setelah memberi salam pada ketiga senior yang lain. Kepalaku mengangguk sebagai tanda sopan.

Wisnu dan Ferdi menyingkir, memberi tempat duduk mereka untuk kami.

"Nggak apa-apa. Lusa Akang balik ke kampus kok." Erga tersenyum padaku. "Oh ya, Sya. Sampaikan salam sama orang tuamu ya. Makasih sudah menengok tapi kami nggak sempat ketemu soalnya kebetulan orang tuamu datang pas bukan jam besuk."

"Iya, nanti aku sampaikan."

"Kalian mau minum apa?" tawar Erga.

Bianca tiba-tiba bangkit. "Kamu temani mereka. Biar aku yang ambilkan. Orang tuamu sedang keluar, kan. Aku masih ingat letak dapurnya kok."

Erga membiarkan Bianca melakukan keinginannya. Ekspresinya ketika memandangi arah pergi perempuan itu lebih hangat.

Perut mendadak mual. Pasokan udara terasa bekurang padahal kami berada di ruangan terbuka. Deringan ponsel menyelamatkanku. Dengan dalih akan menerima panggilan masuk, aku menjauh hingga tepi pagar.

"Halo," sapaku setelah menghela napas pajang. Terlalu terburu-buru membuatku tidak sempat melihat layar ponsel.

"Halo, Marsya."

Bulu romaku berdiri. Setelah sekian lama tak terdengat kabarnya, ini pertama kali Axel menelepon. "Halo juga." Entah karena luapan kegelisahan, suaraku terdengar bergetar. "Tumben. Ada apa?" Susah payah kucoba bersikap sewajar mungkin.

"Putri sudah cerita semua. Keadaan kami sekarang cukup pelik. Ah aku mengira indera pendengaranku bermasalah. Cerita tentangmu, tentang kita seperti seri drama kriminal bukan," desis Axel getir.

"Kalau kamu sulit mempercayainya, lupakanlah. Jalani hidupmu yang baru. Putri perempuan yang baik."

"Aku nggak bisa. Potongan ingatan masa lalu, seburuk apapun merupakan bagian dari diriku. Aku sudah minta Putri menjauh. Dia layak mendapatkan lelaki yang lebih baik."

Tanpa sadar aku memaki. "Lalu kamu apa sekarang? Minta maaf? Aku sudah memaafkanmu sejak lama. Kamu pun sebaiknya begitu."

"Bisakah kita bertemu? Aku harap punya kesempatan bicara langsung denganmu."

"Mau bicara apalagi? Putri pasti sedih dengan keputusanmu. Aku pun sedang menata hidup lagi. Keadaan akan tambah kacau."

"Aku paham tapi berikan kesempatan sekali saja. Aku merasa ada yang aneh sejak melihatmu kita bertemu. Bila... " Suara di seberang mendadak hening. "Aku telah membuatmu menderita. Bagaimana mungkin aku bisa terus hidup dengan menanggung beban itu. Aku nggak minta waktu banyak, setidaknya cukup untuk memberi penutup yang lebih pantas dikenang."

Tepukan di bahu mengejutkanku, hampir membuat ponsel lepas dari genggaman. "Kita bicara lain waktu. Aku masih ada keperluan. Bye."

"Kamu nggak apa-apa? Mereka mengajak kita makan siang jadi aku menyusulmu." Adisti memperhatikan raut wajahku. "Siapa?"

"Axel."

Matanya terbelalak. "Untuk apa dia menelepon?"

"Dia ingin kami bertemu. Bicara tentang masa lalu. Putri sudah menceritakan kejadian waktu itu padanya. Mereka sepertinya, maksudku Axel mungkin menolak perasaan Putri karena rasa bersalah."

"Yang benar saja. Apa bedanya dengan dia menempatkanmu dalam posisi terpojok." Adisti meraih jemariku. "Jangan pernah menemui dia sendirian. Perasaanku kurang enak tentang dia. Sebaiknya kita temui Kang Erga dan yang lainnya atau mereka akan mencurigai sesuatu."

Aku menyeret kaki kembali menuju teras, tak lupa seulas senyum menyungging. Sebisanya bersandiwara seolah tidak ada masalah yang ditutupi. Melarikan diri dari rumah Erga pun tidak bisa mengingat Bianca setengah memaksa kami ikut makan bersama. Mereka rupanya sudah memesan makanan lewat ojek online saat aku menelepon.

Erga dan Bianca tampak akrab. Keduanya mengobrol sambil menyantap makanan di meja makan. Aku sendiri berusaha berbaur, mengabaikan pemandangan menyebalkan dengan kedua senior yang lain. Tapi isi kepala tidak fokus pada satu titik. Tanpa sadar aku sering melamun.

Suara gelas pecah tiba-tiba terdengar. Wisnu tidak sengaja menjatuhkan gelas minumnya. Omelan Ferdi hanya terdengar selintas karena bunyi itu kembali memutar kenangan buruk.

Aku seolah berada di sebuah toilet. Sorot mata di penuhi ketakutan oleh sesosok bayangan. Seorang lelaki berdiri, menatap penuh kemarahan padaku yang tersungkur di hadapannya.

"Aku nggak akan pernah ngelepasin kamu."

"Marsya? Marsya?" Suara di sekeliling berdengung menyebut namaku.

Mataku mengerjap lalu mengedarkan pandangan. Adisti dan ketiga orang di meja makan sedang menatapku bingung. "Y... ya?"

"Jangan melamun. Kamu membuat kami takut saja." Wisnu menggelengkan kepala.

Erga menyeret kursinya lalu bangkit. "Kalian teruskan makannya. Marsya, kita bicara sebentar."

Adisti menoleh, memberi isyarat agar aku menurut. Bianca mengulum senyum. Sudut mataku mendapatinya memperhatikan kami berdua hingga ruang tamu. Kuikuti langkah Erga hingga teras lalu terus berjalan hingga taman kecil yang tersembunyi pepohonan dari luar.

"Duduklah," pintanya menunjuk bangku besi panjang.

"Ada apa?" tanyaku ketus.

"Siapa yang menelepon tadi?"

"Orang tuaku."

"Kalau begitu aku akan mengabari mereka."

Tanganku reflek menahan Erga yang akan meraih ponsel dari saku jaketnya. "Kamu mau apa? Berhenti ikut campur urusanku."

"Kakakmu sudah menceritakan apa yang terjadi pada kami, kan. Aku hanya melakukan permintaannya yaitu menjagamu." Erga mengenggam pergelangan tanganku, menariknya perlahan hingga tubuhku terdorong mendekatinya. "Kuulangi sekali lagi. Siapa yang meneleponmu tadi." Nada bicaranya semakin meninggi.

"Untuk apa peduli padaku. Kenapa kamu nggak lanjutkan obrolanmu dengan Bianca. Dia pasti sedang gelisah menunggu kita kembali." Aku bersiap bangkit namun Erga kembali menarik pergelangan tanganku hingga terduduk di pangkuannya.

"Aku mencium aroma cemburu." Sorot matanya menajam. Aku berusaha tidak limbung oleh luapan berbagai rasa

"Apa salahnya cemburu toh perasaanku dulu memang murni dan bukan alat untuk balas... " mulutku mengatup seiring menegangnya rahang Erga. Dengan mudah dia mengangkat tubuhku ke samping.

"Kamu benar. Lelaki berengsek sepertiku memang nggak pantas bersamamu. Aku akan mencoba peruntunganku lain waktu." Erga bangkit sambil tersenyum getir.

"Tunggu. Bu... "

"Kamu nggak perlu menegaskan apa-apa lagi. Aku nggak akan memaksakan kehendak lagi. Lakukan apa yang menurutmu terbaik. Tenang saja, kita masih berteman seperti biasa." Lidah mendadak kelu, hanya mampu menatap punggung Erga yang beranjak menjauh.

*****

Pesan demi pesan dari Axel muncul setiap hari. Permintaan maaf darinya terus mengalir meski tangan dan jemari berulang kali memberinya kata maaf. Dia tetap menunggu waktu hingga aku siap menemuinya.

Aku memintanya untuk tidak mengusik keluargaku. Itu sebabnya hanya Kak Adji yang tahu tentang dirinya.

Sementara itu hubunganku dengan Erga semakin berjarak. Pertemuan kami tidak lebih hitungan jari dalam sebulan. Rasa kehilangan itu membesar, menyisakan sesak tak berkesudahan di penghujung hari.

Setiap makan siang, aku memilih menghabiskan waktu di taman. Membaca novel atau catatan rumus kimia di bawah pohon rindang sambil menikmati roti dan teh manis dingin. Kabiasan baru membuatku tanpa sadar menjauh dari keramaian.

Adisti paling sering menemani. Dia sedikit khawatir. Menurutnya aku berubah menjadi pendiam. Pelit senyum dan walau garis bibir melengkung itu tidak lebih dari basa-basi.

Aku merasa biasa saja. Masalah memang belum menemukan titik temu namun hidup terus berjalan. Berteman sepi. Menikmati sakit. Menerima pengakuan akal sehat bahwa dunia bukan hanya berisi tawa dan canda.

Entah berapa lama aku berkutat dengan pemikiran itu hingga lelah mulai membebani langkah. Sudah saatnya bagiku menentukan arah. Berhenti melarikan diri dan terkatung-katung karena bingung. Alam bawah sadar berulang kali menyebut nama Erga. Berteriak sangat keras setiap kali berusaha mengabaikan. Sedikit rasa yang tersisa terus menggelitik seperti duri di tenggorokan.

Begitupula tetang Axel. Masalah kami seharusnya bisa selesai tanpa drama. Bila memang pertemuan kami akan menyelesaikan emosi yang terpendam maka aku perlu memikirkan cara untuk pergi ke Jakarta. Melakukan pertemuan di kota ini membuatku paranoid, khawatir kalau ketahuan orang tuaku. Efek samping dari masalah ini akan semakin runyam. Hanya saja pergi ke luar kota tanpa alasan kuat bukan hal mudah.

Langit mulai gelap. Hujan bersiap turun. Kakiku bergerak cepat menyusuri lorong menuju perpustakaan. Adisti yang selalu meminjamkan catatan tidak masuk hari ini. Aku harus meminjam catatan teman lain sebelum tempat itu tutup. Tapi langkah mendadak terhenti.

Pemandangan di lapangan basket menarik perhatian. Erga berada di sana. Sibuk bermain basket bersama teman-temannya. Sejumlah perempuan duduk di sekitar lapangan, Bianca salah satunya. Biasanya aku akan berbalik pergi dan pura-pura tidak melihat. Hari ini berbeda. Mata sulit beralih dari sosok itu.

Jarak dari jendela tempatku berdiri dan lapangan basket agak jauh. Aku pikir Erga tidak akan menyadari apalagi cuaca semakin gelap. Lelaki itu asyik bermain sambil sesekali mengobrol dengan teman-teman perempuannya. Selang beberapa menit dadaku bergemuruh. Erga melayangkan tatapannya ke arahku. Kejutan tak juga membawa kakiku menjauh. Kami saling menatap untuk beberapa lama hingga suara petir mengingatkan tujuan awalku.

Perpustakaan hampir tutup saat tiba di sana. Beruntung aku diberi kesempatan terakhir untuk memfotocopy. Tawaran diantar pulang teman yang kupinjami catatan kutolak halus. Keadaan rumah sedang ramai. Kakak pertamaku dan keluarganya sedang berkunjung. Mustahil berada di kamar tanpa gangguan. Suasana kampus yang mulai sepi sedikit menakutkan tetapi setidaknya bisa memberi sedikit ruang untuk memikirkan rencana pergi ke Jakarta.

Hujan turun sangat lebat. Dengan menjadikan tas sebagai pelindung kepala aku berjalan secepat mungkin menuju kantin. Ibu sempat mengirim pesan, menanyakan kapan aku pulang. Beralasan menunggu hujan reda jadi senjata cukup kuat agar tidak terus diberondong pertanyaan yang sama.

Lampu mulai menyala, bersinar temaram menemani hembusan angin dingin. Dalam keadaan normal, aku mungkin akan mengira otakku sudah korslet, rusak hingga berani uji nyali dalam kesunyian.

Keningku berkerut sambil menyipitkan mata, menatap sebuah bayangan di tengah hujan yang semakin lama mendekati tempatku. Sesosok bertubuh tinggi menutup payungnya, meletakannya di salah satu meja lalu bergerak ke kursi tempatku duduk.

"Nunggu dijemput?" tegur Erga. Dia duduk di sampingku.

"Nunggu hujan reda. Kamu sendiri belum pulang?"

"Sebentar lagi. Bianca dan teman-temannya masih di toilet. Kamu mau ikut? Hujan sepertinya bakalan lama."

Aku berusaha tersenyum. "Duluan saja. Aku baru mau minta jemput Ayah kok."

Deringan ponsel Erga menyela pembicaraan kami. Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya lalu bicara dengan seseorang. Dari nada bicaranya yang lembut kemungkinan si penelepon perempuan. "Baiklah. Aku harus pergi. Yakin kamu nggak mau ikut?"

Kepalaku mengangguk. "Ya."

Erga berjalan menuju meja tempatnya meletakan payung tadi. Dia menoleh sebelum membuka payungnya. "Kakakmu sempat menelepon. Dia mengkhawatirkan keadaanmu. Kalau memang butuh bantuan tapi sungkan sama kakakmu, kamu bisa bicara padaku sebagai teman. Jangan membebani diri sendiri. Telepon aku kalau ayahmu nggak bisa jemput. Ok."

Sosok Erga menghilang dibalik derasnya hujan. Aku tidak terlalu memperhatikan dan mengalihkan pandangan ke lantai. Kini baru tersadar kalau aku telah kehilangan lelaki itu.

Hujan baru berhenti setelah satu jam berlalu. Jam di tangan menunjukan pukul tujul lebih. Merenung di tempat ini rupanya tidak berbuah hasil. Alih-alih mendapatkan ide pergi ke Jakarta tanpa dicurigai, kepalaku justru membayangkan kebersamaan Erga dan Bianca. Sakit yang mengiris dalam hati harus kuterima. Bagaimanapun keduanya dekat kembali karena andil diriku. Aku sendiri yang menjauhkan perasaan Erga dari kesempatan memperbaiki hubungan kami.

Kuseka air mata yang tak terbendung sambil berusaha berdiri. Kepala terasa berat ketika menyeret tas dari meja.

"Marsya." Seruan dari luar kantin mengejutkanku.

Erga berlari menghampiriku. Pakaiannya agak basah karena hujan turun lagi. "Dari tadi aku menelepon kamu tapi nggak diangkat. Ibumu juga bilang kamu belum pulang. Bukannya kamu bilang mau minta dijemput ayahmu?"

"Baterai ponselnya habis. Aku pulang kalau hujan sudah reda." Suaraku terdengar parau.

"Kalau hujan begini lagi gimana. Mau sampai jam berapa nunggu di kampus. Kalau tadi ikut denganku, pasti kamu sudah sampai di rumah." Kedua tangan Erga mengepal di sisi tubuhnya.

"Aku nggak enak, takut mengganggu."

"Menganggu siapa? Mereka hanya teman biasa termasuk Bianca," ucapnya seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku.

"Tapi aku baik-baik saja. Ini juga mau pulang kok." Keras kepalaku muncul dan bersiap berjalan. Senyum tak lupa terpasang mengingat raut Erga semakin menakutkan.

"Apanya yang baik-baik." Erga menarik pergelangan tanganku. Menekan bahuku pelan hingga terduduk kembali di kursi. Dia menyeret kursi panjang di sampingnya hingga kami saling berhadapan. "Katakan padaku, apa yang sedang kamu pikirkan? Tentang kita, aku, tugas kuliahmu atau... Axel?"

Kuberanikan diri memandangi lelaki tampan dengan bola mata kecokelatan yang terlihat menahan amarah. "Ka... kamu dan Axel," ucapku terbata-bata. Sudut mata kembal memanas. "A.. ku pikir te... telah kehilangan perasaanmu."

"Lalu Axel," tuntut Erga, mengabaikan ucapanku sebelumnya.

Mata mengerjap berulang kali, menahan bulir air mengalir di pipi. Erga tentu akan bersorak dalam hati melihat kekalahanku. "Aku berencana menemuinya. Dia terus menerus menelepon dan mengirim pesan, mengajak kami bertemu untuk membicarakan penyebab kami berpisah. Jadi mungkin aku akan pergi ke Jakarta."

Punggung Erga agak membungkuk. Kedua lengannya menumpu pada lutut dengan jemari saling mengait. Sorotnya menajam, menunggu mulutku terbuka.

"Aku rasa menemuinya akan memberi kami akhir penyelesaian masalah ini hingga baik aku maupun Axel bisa melanjutkan hidup tanpa harus menoleh ke belakang. Tapi keluargaku akan curiga kalau aku mendadak pergi apalagi mereka belum lama ini tahu kebohonganku soal pergi ke tempat hiburan malam dulu. Orang tua dan kakakku mempercayaimu. Bisakah kamu membantuku mencari alasan?"

"Maksudmu aku harus berbohong pada keluargamu dan membiarkanmu pergi menemui lelaki pengecut itu?" geramnya.

"Aku hanya butuh waktu dua hari. Sabtu pagi berangkat dan minggu sore sudah kembali. Aku nanti bisa menginap di rumah teman," jelasku pelan.

Erga wajah dan rambutnya ke belakang. Rahangnya menegang, menahan luapan emosi. Tatapannya menajam, hampir mencekikku dengan ketakutan yang dia pancarkan. Perlahan tubuhnya bangkit, bergerak ke meja lain. "Dengar, Marsya. Selama ini aku mengikuti semua keinginanmu. Kamu ingin aku menjauh, ok. Kamu mau kita hanya berteman saja. Nggak lagi memaksamu menerima hubungan kita. Semuanya kuterima selama kamu bahagia!" Gebrakan tangannya di meja membuat nyaliku menciut. "Setelah susah payah merelakan, mencoba memulai membiasakan melihatmu hanya dari kejauhan, mengubur jejak dirimu dan menggantinya dengan kata teman tiba-tiba saja tanpa perasaan kamu bersikap seolah hanya dirimu yang terluka. Bereaksi seakan aku sedang selingkuh. Dan sekarang kamu memintaku menjadi tameng untuk menutupi kebohonganmu lagi hanya karena kita pernah pacaran? Kamu pikir jawaban seperti apa yang akan kuucapkan?" decaknya seakan baru saja mendengar permintaan yang menurutnya tidak masuk akal.

Kutelan ludah, berusaha keras tetap menegakkan kepala. Erga benar. Tidak seharusnya dia  terlibat rencanaku setelah berulang kali mendorongnya menjauh. "Ma... maaf. Lupakan ucapanku tadi."

Erga menghela napas panjang lalu duduk kembali di kursinya. Raut wajahnya tidak lagi tegang namun tatapannya masih diliputi kemarahan. "Lupakan? Itu sama saja menjilat ludah sendiri. Hari sudah malam jadi kita selesaikan semua dengan jelas." Dia meraih jemariku, mengenggamnya sangat erat. "Aku nggak pernah berhenti sayang sama kamu. Tapi kalau kamu masih merasa nggak nyaman berhubungan denganku karena perbuatanku dulu. Daripada kamu selalu menghindar, aku nggak akan memaksakan kehendak lagi. Hapus sisa perasaanmu dan kita bisa berteman seperti biasa."

"Aku masih sayang..." kataku dengan suara hampir hilang. Kalimat yang keluar dari bibir, meruntuhkan pertahanan berdasar ego.

"Benarkah?" balas Erga datar. "Kita perjelas lagi supaya nggak ada salah paham. Keputusan akhir hubungan kita tergantung pilihanmu. Kamu mau membuka kesempatan kita kembali atau cukup sebatas sahabat?"

Kepalaku menunduk. "Yang per... pertama."

"Serius? Nggak menyesal? Masih ada waktu mengubah pilihan."

"Nggak."

"Jadi kita berteman ya."

Mau tak mau kepalaku mendongkak."Bu... bukan itu."

Seringai Erga menyadarkanku sedang dikerjai. Dia membuka jaketnya lalu di sampirkan pada bahuku. Semenit kemudian lelaki itu berlari keluar dari kantin dan muncul membawa satu buket bunga mawar.

"Ini. Aku sengaja membelinya sebelum menemuimu. Ada boneka juga. Kamu bisa mengambilnya kalau sudah di mobil. Sekarang masih hujan."

"Kapan beli?" tenggorokanku semakin sakit.

Erga mengeluarkan sebungkus permen pelega tenggorokan. "Sebelum ke sini. Kesempatannya tipis sih. Aku berniat menyatakan lagi. Resikonya berat karena hubungan kita semakin berjarak tapi aku hanya mengikuti kata hati."

"Meski ada kemungkinan kutolak?" Melihatku kesulitan membuka bungkus permen, Erga mengambilnya kembali, merobeknya dengan mudah lalu menaruh satu permen ke telapak tanganku.

"Akan kuterima." Kepalanya menunduk lalu mencium keningku. "Kenyataan pahit lebih baik daripada berharap tanpa ujung. Baiklah, sebelum pulang kita makan dulu. Aku akan mengabari orang tuamu. Mereka pasti khawatir kamu belum tiba di rumah."

Alunan lagu samar terdengar. Satu jam sendirian, entah kenapa bulu romaku tiba-tiba meremang. Erga menarik bahuku ke dadanya saat aku berdiri, berpikir untuk pergi dari tempat ini secepatnya.

"Dan soal rencanamu ke Jakarta. Aku nggak mengizinkannya. Kita akan cari cara lain."

Tenggorokanku terlalu sakit untuk bicara. Tambahan perut yang belum terisi dan dinginnya angin mendorongku pada satu-satunya pilihan, mengalah.

"Tunggu sebentar. Aku ambil payung dulu."

Jemariku menarik ujung kausnya. Erga berhenti bergerak, menatapku dengan tatapan bingung. "Ja... jaket."

Dia menggeleng. "Percuma  pakai jaket. Hujannya terlalu besar. Badanmu sedang kurang sehat, kan."

Tubuhku merapat ke dadanya. "Ada suara."

"Suara? Hujan maksudmu. Nggak ada siapa-siapa di sini selain kita. Satu jam lebih kamu sendirian dan baru sekarang merasa takut? Aku akan kembali sebelum hitungan lima menit selesai."

Suara itu kembali terdengar, semakin jelas dan mendekati kami. Seseorang berjalan mengampiri dari arah salah satu kios seiring jelasnya suara tadi yang bila didengarkan lebih jelas ternyata nyanyian lagu India.

"Sorry ganggu." Wisnu terkekeh. Lagu itu berhenti ketika dia menekan tombol di ponselnya.

"Bikin kaget aja," decak Erga. "Ngapain di sini? Part time jadi kuncen kampus?"

"Gue ketiduran di himpunan. Mau neduh dulu di kantin, eh nggak sengaja lihat kalian." Wisnu tersenyum ke arahku. "Gue cuma mau nambahin backsound aja kok, biar tambah romantis."

"Pakai lagu tadi? Serius?"

Lelaki bertubuh gemuk itu mengangguk. Wajahnya berpaling ke arah hujan. "Serius pisan, Kang. Pasangannya ada. Lokasinya sepi. Hujannya siap. Lagunya cocok. Butuh pilar? Tuh bisa pakai yang dekat meja paling ujung. Kalian tinggal nari kayak di film. Gue bagian yang vidio-in. Besok pasti viral, sekampus minimal."

Sentuhan dingin menyentuh bahuku. Tangan Erga berada di pinggangku. Tangannya yang lain sedang menunjuk Wisnu sambil mengomel.

"Halo." Sesosok wajah diterangi cahaya senter berhasil membuatku memekik.

Sosok itu terjatuh sambil mengaduh. "Sialan lo, Ga. Sakit tahu. Beneran lagi mukulnya." Ferdi mengusap perutnya di lantai.

"Suruh siapa ngagetin pacar orang!" Erga mengusap-usap punggungku saat aku membenamkan wajah di dadanya.

"Kamu belum mandi ya. Bau asem. Pengin muntah." Kudorong tubuhnya menjauh.

Wisnu menggeleng. "Gue bilang juga apa, kalau mau pelihara bulu ketek biar bisa dikepang atau sekalian beranakin kutu, jangan lupa jaga kebersihan. Niatnya romantis malah jadi lomandi."

"Hm... T. E.R. H. I. N. A," sela Ferdi.

tbc

Halo semua. Semoga part ini nggak buat pembaca beneran mual ya 😅. Yang mau nge-date jangan lupa mandi ya. Have a nice saturday  buat yg jomblo dan non jomblo 😆

Luv

dinni83

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro