Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap# 19 - Back to zero

"Kamu tuh gimana sih, Sya. Badan lagi kurang fit malah hujan-hujanan begini. Kenapa nggak absen  saja satu hari." Ibu membawakan handuk setibanya di rumah.

Kuraih handuk lalu mengosokannya pada rambut. Kepala semakin terasa berat. "Aku masih kuat kok."

"Erga nggak mengantarmu pulang?"

Lengkungan di bibir tetap mengembang meski perih menyapa mendengar nama itu disebut. "Erga lagi persiapan kerja praktek jadi nggak mungkin terus-terusan antar jemput. Lagian aku bisa pulang sendiri."

Ibu pergi ke dapur lalu kembali membawa secangkir teh hangat. "Ya sudah. Minum dulu terus bersihkan badanmu." Aku menurut, menarik kursi dan menghempaskan tubuh yang lelah.

"Ayah berniat  membelikanmu motor. Kamu bisa lebih tenang tanpa menggantungkan pada ojek online atau bantuan orang lain."

"Marsya nggak keberatan pakai kendaraan umum kok, Bu. Kita kan, baru pindah dan biaya masuk kampus juga lumayan mahal. Kasihan Ayah kalau harus keluar uang lagi."

"Setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Ayahmu bekerja untuk kebahagiaan kalian." Ibu mengusap keningku. "Lagian Ibu suka khawatir kalau kamu pulang sendiri."

"Ibu, kan, bisa telepon kalau khawatir." Kuhabiskan teh dalam sekali teguk. "Aku mandi dulu ya, Bu. Badan nggak enak. Lengket."

"Kamu istirahat saja. Ibu siapkan makanan dulu."

Aku melangkah gontai menuju kamar. Perasaan tumpah ruah setelah melempar tas ke tempat tidur. Tubuh meluruh di lantai. Gumpalan emosi begitu menyesakan dada. Ketegaranku sirna, mengalir seperti air bah melewati daratan kering. Sumpah serapah dan makian terucap dalam hati untuk Erga juga mereka yang memaksaku membuka kenangan buruk di masa lalu. Aku pun membenci diriku sediri karena terlalu naif hingga tidak waspada.

Rekaman di kepala memutar adegan di kampus sore tadi. Wajah Erga, tuduhan Putri bahkan kehadiran Bianca maupun tatapan tajam Ferdi hampir membuat kemarahanku meledak. Cara pandang mereka seolah menuduh, menatap layaknya seorang pesakitan sebelum pertanyaan tentang Axel terdengar.  Andai Adisti tidak berada di sana, kalimat paling kasar yang tidak pernah terucap mungkin sudah keluar dari mulutku. 

Kuusap jejak air mata sambil mengigit bibir, menahan isak tangis sekuat tenaga. Aku marah pada ketidakadilan yang menimpaku. Marah pada keadaan. Kenapa semua harus terjadi di saat baru saja mulai belajar percaya masih ada kata bahagia. Padahal aku berusaha melanjutkan hidup dengan benar.

Aku mengembuskan napas panjang, mengumpulkan serpihan ketenangan meski sangat sulit berpikir menggunakan akal sehat.  Semua kenangan bermasa Erga perlahan meluruh. Erga telah menghancurkan kepercayaanku. Hubungan kami hanya sandiwara. Pembuktian dari rasa cinta tidak lebih demi memuluskan rencananya membalaskan dendam kematian.

Dan aku dengan sangat bodohnya terperangkap umpan. Memupuk harapan terlalu tinggi padahal kenyataan di depan mata hanya sebuah fatamorgana. Untuk kedua kali diriku terjatuh di titik rendah. Tercabik oleh kebohongan yang terlajur menguasai hati.

I'm so stupid.

*****

Dua hari berselang, aku meringkuk dalam balutan selimut. Tubuhku demam tetapi di dalam sana jauh lebih menyakitkan. Nafsu makan menghilang. Mata semakin sulit terpejam. Otak dan tubuh berjalan tidak seirama.

Aku patah hati. Perasaan terluka, lebih perih dibanding ketika putus dari Axel. Rasa sayang terlanjur hadir, melekat dalam tulang hingga melepasnya butuh kekuatan sangat besar.

Tambahan dua hari beristirahat harus diakhiri. Adisti sempat menelepon. Kami bicara cukup lama. Dia prihatin dengan masalah yang kualami sekaligus mengingatkan tugas kuliah mulai menumpuk. Hubunganku dengan Erga memang telah selesai namun kewajiban kuliah masih harus dijalankan. Aku tidak bisa menghindar dan berlindung dibalik alasan sakit terus menerus.

Itu sebabnya pagi ini aku memaksakan diri menjejakan kaki di kampus. Kondisi tubuh yang belum sepenuhnya sembuh harus diabaikan. Sebenarnya kemarahan mulai surut. Emosi tidak lagi menggebu-gebu. Hanya aja keadaan telah berubah. Statusku bukanlah milik seseorang.

Aku merapatkan jaket sambil meneruskan langkah, menyusuri jalan menuju gedung perkuliahan. Suasana kampus belum terlalu ramai. Beberapa mahasiswa tampak mengobrol di sepanjang jalan. Pemandangan biasa namun membuatku waspada, bersiap mengambil langkah seribu bila menemukan sosok Erga di antara mereka.  Aku berniat menjaga jarak baik dengan Erga, teman-teman dekatnya maupun Putri atau Axel. Memastikan diri berada di luar lingkaran mereka.

Pemikiran konyol. Setelah kejadian itu Erga tidak mengubungiku maupun mengirim pesan. Keputusanku mengakhiri hubungan telah menarik garis pembatas di antara kami. Erga tidak akan memperpanjang sandiwaranya untuk seorang perempuan yang pernah dia anggap penyebab kematian adiknya.

Aku menggeleng pelan, mengusir kata rindu yang diam-diam menyusup. Akal sehat berusaha menjelaskan fakta bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. Melupakan adalah satu-satunya cara terbaik yang terpikir agar bisa bertahan selama Erga masih kuliah di kampus ini.

"Pagi, Sya." Suara dari samping terdengar kurang familer. Rupanya sapaan tadi berasal dari Bianca.

"Pagi," balasku kaku.

"Kamu nggak terburu-buru? Aku ingin sedikit ngobrol denganmu, itu juga kalau kamu nggak keberatan."

Suara hati meminta menolak tapi kepalaku malah mengangguk. Kami tidak mempunyai masalah secara personal. Bertemu dengannya hanyalah awal dari ujian yang sebenarnya yaitu menghadapi sosok Erga.

Aku mengikuti Bianca ke arah taman. Kami duduk di salah satu bangku kayu.

"Erga pasti sudah memberitahumi siapa diriku tapi sebaiknya aku lebih dulu mengenalkan diri. Namaku Bianca." Dia menoleh, memberi senyuman manis. "Aku minta maaf atas kejadian tempo hari. Penjelasanmu di luar dugaan dan aku ikut prihatin. Seharusnya peristiwa sore itu bisa dicegah andai aku lebih keras mengingatanmu."

"Mengingatkanku? Kapan?"

"Aku lupa tepatnya, kalau nggak salah ketika ospek. Aku pernah memintamu menjauhi Erga. Kamu ingat?"

Memori mengisi kepala. Memutar ingatan, memilah adegan demi adegan masa awal ospek. "Jadi maksud peringatanmu karena sudah tahu Erga merencanakan ini dari awal?"

"Nggak seratus persen yakin tapi hanya menyimpulkan tanda yang bisa kubaca. Erga telah menandaimu sejak kamu mendaftarkan diri. Entah kamu sadar atau nggak. Aku cukup lama mengenalnya jadi sudah hafal tabiatnya tentang perempuan. Awalnya aku kaget karena setelah kami berpisah dia seolah berputar haluan dengan tipe perempuan yang disukai." Bianca memalingkan wajahnya pada pepohonan. "Dia menyukaimu, tulus dan bisa kulihat dari caranya memperhatikanmu. Tapi seiring itu, keingintahuan tentang kamu  membuatnya mengumpulkan banyak informasi tentang dirimu. Dia baru sadar kalau kamu pernah satu sekolah dengan Axel."

Penjelasan Bianca sebenarnya tidak ada lagi artinya. Aku bahkan belum bisa menebak apa maksudnya bersusah payah menjelaskan hal ini padaku.

"Erga pernah mendengar namamu di sebut oleh salah seorang teman dekat Egia yang ikut saat kecelakaan itu terjadi. Teman Egia  bilang dia diberitahu salah satu teman dekat Axel. Egia menuduh Axel berselingkuh ketika ada perempuan yang mendatangi Axel saat keduanya bertemu di Jakarta. Tapi Axel punya pendapat lain. Dia memilih melepas Egia dan memintanya kembali ke Bandung."

"Jadi saat itu Axel mutusin Egia?

"Kurang lebih begitu," balas Bianca. "Erga termakan oleh emosi hingga lupa menyelidiki lebih jauh tentang dirimu. Dia berpikir kamu adalah perempuan yang telah merenggut kebahagiaan adik bungsunya. Erga memintaku menjauh, tak mencampuri urusannya. Aku berharap kejadiannya tidak akan seperti kemarin bila saja kejujuran lebih dulu terucap," lanjutnya sambil bangkit.

"Untuk apa kamu mengatakannya? Hubungan kami sudah selesai."

"Aku hanya merasa kamu perlu tahu cerita dari versi Erga karena pasti dia nggak akan kamu beri kesempatan menjelaskan, setidaknya untuk sekarang. Dia memang salah sudah menggunakan cara picik dan berpisah denganmu adalah hukuman berat. Dia sebenarnya punya banyak cara kalau benar-benar ingin menipumu. Dia hanya perlu mengelabuimu, 'mengotorimu' dan membuangmu setelah puas bermain-main tapi alih-alih melakukan itu, dia justru meluangkan waktu dengan mengenalkanmu pada keluarganya. Kamu tahu, aku saja baru kenal keluarganya setelah kami pacaran setahun." Bianca menepuk bahuku. "Oh ya, kamu nggak perlu terbebani karena harus menghindari Erga selama di kampus. Wisnu dan Ferdi sudah memintanya menghormati keputusanmu dan dia menerimanya."

"Kamu masih suka sama Erga?"

Bianca tertawa kecil. "Entahlah. Kami sudah nyaman seperti sekarang tapi kita nggak pernah tahu arah masa depan. Kamu keberatan?"

"Kami bukan sepasang kekasih lagi. Erga bebas mencari pandamping lain." Sudut hati setengah tak rela mengatakannya.

"Jangan menangis kalau itu sampai terjadi ya. Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa lagi." Bianca berjalan ke arah kantin. Aku sendiri masih termangu.

Perasaan benar-benar hampa. Kesenangan, kegembiraan seolah diambil paksa dari tubuh. Setelah merasa sedikit lebih tenang, aku segera melanjutkan langkah menuju kelas.

Konsentrasiku pecah hingga membentur dinding karena berjalan sambil melamun. Beruntung kejadian itu tidak ada yang melihat namun tetap saja malu dan sakit.

"Marsya." Jantungku berdegub kencang mendengar namaku dipanggil. Kedua tangan mengepal kuat saat berbalik ke asal suara.

Erga berdiri, menatapku dengan wajah lelah. Bayangan hitam membayang di bawah mata. Aku harus menahan diri ketika kerinduan membuncah tanpa kendali.

"Bisa kita bicara, lima menit saja ? Kalau kamu sibuk, nanti juga nggak apa-apa."

"Sekarang saja, masih ada waktu setengah jam lagi."

"Di kantin, gimana?" tawarnya pelan.

"Boleh," balasku singkat. Kecangungan menguasai kami berdua.

Aku menjaga jarak ketika mengikutinya menuju kantin. Berbagai rasa bermunculan. Kami hanya dua orang asing sekarang.

"Mau minum?" tanya Erga setelah memilih meja.

Kepalaku menggeleng. "Nggak usah."

"Sebentar ya." Erga beranjak dari meja menuju tempat kios yang menjual minuman.

Kupandangi sosoknya dari kejauhan. Tak pernah terbayang sakit dan perihnya akan seperti ini. Dia yang kusayang sekaligus kubenci. Luka yang terlanjur tergores masih berdarah.

"Maaf lama." Erga kembali dengan membawa botol minuman cola. Dia menyeret kursi di depanku.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?"

Laki-laki itu menatap tanpa kedip.    Penyesalan tersirat di sorotnya. Dia tampak tegang dan kurang nyaman. "Sebelumnya terima kasih kamu mau bicara denganku. Aku sadar tindakanku membuatmu terluka. Aku minta maaf meski tahu nggak mungkin mengubah keadaan. Awalnya niat membalas kekecewaan Egia memang ada tetapi aku nggak bisa membendung dorongan menyayangimu lebih dari seharusnya." Dia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. "Cintaku padamu bukan bagian dari kebohongan."

"Cukup, Ga." Kutelan ludah, membasahi tenggorokan yang kering. "Kita nggak perlu membahas masalah ini."

"Aku akan menjauh bila itu membuatmu tenang. Kamu nggak perlu repot memikirkan cara menghidar. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku, itu saja."

Aku segera berdiri. Gelombang panas seolah menjalar di kedua mata. "Cukup. Permainanmu membuatku lelah. Setelah kamu membohongiku dengan bersikap seolah melihatku sebagai satu-satunya perempuan dalam hidupmu, pertanyaanmu saat ini hanya menegaskan keegoisan. Apa bedanya kamu dan Axel. Jika kamu memang benar-benar mencintaiku, pergilah dari hadapanku. " Kutingalkan Erga yang melempar tatapan getir. 

Itu adalah terakhir kali kami bicara. Sejak hari berikutnya, dia kembali menjadi Erga yang dulu. Dia sama sekali tidak menghindari namun caranya bersikap padaku telah berubah. Di matanya aku hanya seolah junior seperti mahasiswa baru lainnya. Bukankah ini yang terbaik untuk kami tetapi kenapa aku sulit melepaskan diri dari pusaran perasaan. 

Jarak di antara kami semakin menjauh. Rumor putusnya hubungan kami jadi santapan para pecinta gosip. Keluargaku pun akhirnya mengetahui bahwa statusku dengan Erga telah berakhir. Aku mengerahkan segenap kekuatan agar terlihat normal. Menampilkan senyum dan tawa sepanjang hari. Tapi tanpa sadar tenggelam dalam kepalsuan membuatku terperangkap dalam masalah lebih besar.

Berawal dari mencari cara untuk mengalihkan pikiran, aku mulai sembunyi-sembunyi merokok. Adisti menasihatiku saat semakin dekat dengan beberapa teman yang sering pergi ke klub malam. Aku mengabaikan peringatannya dan sibuk mencari pembenaran pergaulan yang baru. Orang tuaku tidak pernah curiga setiap aku izin menginap di rumah teman. Mereka pikir putri bungsunya sedang mengerjakan tugas kelompok, padahal aku larut dalam hingar bingar dunia malam. 

"Tunggu sebentar, aku ke toilet dulu." Adisti menitipkan tas miliknya. Sore ini kami pulang telat dari biasanya karena baru selesai mengerjakan tugas yang harus diserahkan besok pagi. Persahabatanku dengan Adisti tidak berubah. Dia malah semakin cerewet bila mengetahui keinginan merokokku muncul. 

Suasana kampus sangat sepi. Kios di kantin sudah tutup semua. Hanya meja tempatku duduk yang terisi. Aku merasa senang karena bisa merokok tanpa ada yang mengetahui. Kukeluarkan ponsel dan memasang earphone, menikmati hentakan beat lagu more than you know milik Axwell /\ Ingrosso dengan sebatang rokok. 

Pandanganku tiba-tiba terkunci pada beberapa orang yang baru saja keluar arah lapangan basket. Erga dan Bianca sedang mengobrol sementara Ferdi juga Wisnu berjalan di belakang keduanya. Dari tas besar yang Erga bawa, mereka sepertinya baru selesai bermain basket. 

Dua bulan telah berlalu namun aku belum mampu terbiasa dengan perpisahan kami. Aku telah menutup pintu hati  dan konsekwensinya pemandangan seperti ini harus kunikmati tanpa keluhan. Erga bukan lagi kekasihku. Dia bebas bersama perempuan manapun termasuk Bianca. 

Perempuan itu memberikan tas miliknya pada Erga ketika melewati gedung perkuliahan. Aku mengumpat dalam hati saat ketiganya berputar ke arah kantin. Sisa asap rokok masih mengepul  sebelum aku sempat mematikan rokok. 

Aku pura-pura sibuk memainkan ponselku. Berharap Adisti segera datang dan menyelamatkanku dari situasi canggung. 

"Belum pulang, Sya?" sapa Wisnu ketika ketiganya menghampiriku. Erga memperhatikan sisa batang rokok di lantai. 

Kulepas earphone lalu memasukannya ke dalam tas . "Lagi nunggu Adisti, Kang."

"Oh gitu, Akang ke sana dulu ya." Dia menunjuk meja di sebelahku. 

Erga menepis lengan Ferdi lalu menyeret kursi di hadapanku. Wajahnya mengeras. Kedua alisnya bertaut melengkapi sorot tajam. Dia jelas tidak menyukai pemandangan yang baru saja dilihatnya. "Bukankah aku sudah mengikuti permintaanmu mengakhiri hubungan kita. Dan ini caramu move on? Menyakiti dirimu sendiri dengan benda-benda sialan itu?"

"Kamu tak punya hak mengaturku!"

"Aku memang nggak  berhak mengaturmu tapi kamu pun nggak bisa melarangku peduli pada orang yang kusayang toh aku tetap menghargai statusmu yang baru," geramnya dibalik sikap dingin. 

Air mataku mengalir, tidak lagi sanggup menahan luapan emosi. "Hentikan sandiwaramu seolah masih peduli padaku. Kata-kata dan perbuatanmu bertolak belakang. Kisah kita adalah cerita usang dalam perjalananmu. Aku nggak akan terjebak dua kali. Kamu bahkan sudah memiliki pacar baru, kan," tuduhku asal sambil menyeka air mata. 

Kening Erga berkerut. "Pacar? Maksudmu Bianca? Ada masalah kalau kami kembali bersama. Kamu sendiri yang bilang hubungan kita telah berakhir. Benar, kan?"

Tubuhku bangkit, tidak ingin mendengar kelanjutan ucapannya. "Aku benci padamu."

"Silahkan benci aku sepuasmu." Erga menyeret kursinya. Tubuh tingginya menjulang di hadapanku. "Tapi kali ini bersiaplah lebih membenciku. Dua bulan lebih aku menjauh hanya untuk mendapatimu berubah menjadi sosok lain. Aku sudah muak menurutimu. Berlarilah kalau sanggup karena aku akan mengejarmu melebihi kegilaan yang pernah kamu lihat sebelumnya. Satu lagi, gunakan akal sehatmu ketika bersenang-senang di klub malam."

tbc

Halo semua. Maaf ya kalau belakangan ini updatenya lebih lama. Kesibukan di dunia nyata agak chaos jadi author agak kesulitan buat nulis. Tapi semoga part ini bisa sedikit menghibur, kalau belum tolong di maafkan ya hehehe. Selamat malam. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro