Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap#17

Erga memarkirkan motornya di sebuah kafe. Letaknya hanya berjarak beberapa ratus meter dari kampus. Bangunan dua tingkat itu lumayan ramai. Sebagian besar pengunjung didominasi anak muda baik berkelompok maupun pasangan kekasih.

Cat warna hitam terlihat di dinding bagian luar sementara di dalam ruangan terasa lebih hangat oleh nuansa warna cokelat. Meja dan kursi seluruhnya dari kayu. Begitu juga dengan hiasan dinding berbentuk jangkar dan kemudi kapal. Lampu yang menerangi sengaja dibuat temaram. Alunan musik mengiring lembut.

Aku menggigit bibir cukup keras, mengumpulkan seribu alasan demi menghindari topik berbahaya. Itu adalah pemikiran bodoh karena kedatangan kami ke tempat ini salah satunya untuk membicarakan masa lalu. Satu sisi, aku penasaran dengan perempuan tadi tetapi risiko terbongkarnya hubunganku dengan Alex terbuka lebar.

"Mau pesan apa?" tegur Erga setelah langkahnya terhenti pada salah satu meja di sudut ruangan. Dia menyeret kursi untukku.

Pandanganku beralih menatap daftar menu. Membaca tulisan kecil berisi nama makanan dan minuman.
"Mm... cola saja."

"Makanannya?"

Aku menggeleng. "Masih kenyang." Sebenarnya masih ada sisa ruang di perutku namun ketegangan membuatnya terasa penuh.

Erga segera memanggil salah satu pelayan. Dia bertanya tentang menu favorit di restoran ini sebelum menyebut pesanan kami berdua . Aku pura-pura memainkan ponsel.  Tubuhku bergerak sewajar mungkin demi menutup perasaan sebenarnya. Kegelisahan semakin membayang mengingat detik-detik kejujuran akan tiba di depan mata.

"Kamu marah?" Erga menopang dagu. Kedua matanya menatap tanpa kedip. Aku terlalu sibuk mempersiapkan diri hingga tak menyadari pelayan tadi telah berlalu.

Kepalaku terangkat. Sekuat tenaga memberanikan diri membalas tatapannya. "Nggak. Cuma sedikit kaget. Aku nggak tahu kalau perempuan tadi mantan pacar kamu."

Erga mendorong tubuhnya ke belakang kursi. Tatapannya belum berubah, ada rasa bersalah dan khawatir memancar walau samar. "Topik mantar pacar bukan jenis pembicaraan yang enak didengar. Hubungan kita juga baru hitungan bulan dan sering kali diwarnai salah paham. Aku hanya ingin fokus dengan kita, mempelajari sifat dab sikapmu sebelum berbicara tentang dia."

"Oh, benar juga."

Alasan yang masuk akal. Bukankah aku sendiri enggan mengungkap masa lalu, pikirku dalam hati.

"Tapi berhubung kamu sudah mengetahuinya dan agar nggak timbul kesalahpahaman di lain hari, aku akan ceritakan semua."

Tatapan Erga melembut. Kedua tangannya berdekap. Senyuman belum sirna ketika bibirnya mulai terbuka.

Bianca, nama perempuan itu. Sejak pacaran Erga memanggilnya dengan panggilan Bie. Keduanya menjalin kasih sejak awal kuliah. Kebersamaan selama ospek mendekatkan mereka. Layaknya pasangan di mabuk asmara, urusan pacar terasa lebih penting di banding hal lain.

Erga jarang di rumah dan menghabiskan waktu bersama Bianca. Beberapa kali dia menolak mengantar Egia karena alasan ada janji. Awalnya keluarga Erga menegur bahkan sempat berselisih paham tetapi ego membuat laki-laki itu berpikir tindakannya sesuatu yang wajar.

Keadaan tidak berubah hingga hubungan Erga dan keluarga terutama Egia berjarak. Gadis manis yang biasanya selalu bercerita tentang banyak hal pada kakak pertamanya perlahan memilih menyimpan semua keluh kesah dalam diary.

Beberapa hari sebelum Egia meninggal, gadis itu tampak murung. Erga menganggap keadaannya biasa untuk seorang remaja. Egia bahkan sempat memintanya di antar ke Jakarta untuk menginap di salah satu rumah kerabat.

Erga tidak merespon dengan baik. Dia sudah mempunyai janji dengan Bianca di hari yang sama. Hubungannya dengan kekasihnya sedang buruk. Bianca sangat menuntut waktu dan perhatian hingga  rasa cemburu pada perempuan lain sering kali berujung pertengkaran.

"Andai bisa mengulang waktu mungkin  aku masih punya kekuatan untuk menegakan kepala di hadapan Egia. Sekarang yang tersisa hanya penyesalan." Senyum Erga berubah getir. "Masalah ini berimbas pada hubunganku dan Bianca. Kami semakin sering bertengkar hingga  akhirnya memilih jalan masing-masing."

Aku memperhatikan setiap gerak-gerik Erga. Menilai kejujuran dari setiap kata dan ekspresi wajah. "Kalau kalian berpisah karena rasa bersalah, bagaimana dengan hati?"

"Kami memang bukan lagi pasangan kekasih tapi tetap berhubungan baik layaknya teman. Sejarah kami berdua telah tercatat dan nggak mungkin terhapus. Tapi kisah itu  sepenuhnya sudah berakhir, selesai tanpa dendam."

Perut mendadak mual. Masa laluku tidak sebaik miliknya. Aku harus melalui proses panjang untuk bisa hidup dengan normal. "Kamu hanya menjelasakan tentang status. Padahal aku bertanya tentang rasa."

"Hei." Erga meraih jemariku, mengusap pelan dengan hati-hati. "Perjalanan kami telah usai jauh  sebelum kita bertemu. Kepergian Egia hanya pemicu. Perpisahan kami bagai bom waktu, bisa meledak kapan saja. Terlalu banyak ketidakselarasan dalam memandang masalah membuat kami kehilangan satu sama lain meski masih terikat. Begitu juga dengan hati, rasa yang ada justru lebih nyaman saat status berubah menjadi teman. Dan tanpa disadari, sejak saat itu aku selalu tertarik pada perempuan dewasa."

"Perempuan dewasa?" Aku yakin mimikv wajahku tidak enak dilihat saat menanyakan hal tadi.

Erga teryawa kecil.  Jemarinya mengangkat tanganku hingga menempel dengan bibirnya. Darahku berdesir ketika dia mencium setiap jari hingga rona merah bersemu di pipiku saking malunya. "Akal dan logikaku lumpuh ketika Tuhan menggerakan hati ini padamu. Persetan dengan tipe atau kriteria perempuan paling ideal di muka bumi. Aku sudah cukup bahagia waktu kamu membalas perasaanku."

Pembicaraan kami terhenti sejenak saat pelayan datang. Erga menolak melepas genggamannya walau mataku melotot karena risi oleh sikapnya.  Perempuan muda yang mengantar pesanan kami hanya tersenyum. Dia berpura-pura mengabaikan tatapan Erga padaku.

"Kamu sendiri kenapa bisa suka padaku? Apa karena aku baik bin tampan? Atau terpesona oleh  wibawaku? Karena otak yang super pintar ?" tanya Erga dengan jemawa. Kedua alisnya turun naik penuh percaya diri. "Hm... jangan-jangan kamu cuma ingin dibilang keren bisa pacaran sama senior?"

Aku menahan geli. "Yah, aku nggak ngerti di mana bagian keren atau poin baik, tampan, wibawa apalagi otak super pintar tadi tapi sepertinya punya pacar kakak tingkat lumayan berguna, terutama kalau ada tugas."

"Sial!" gerutu Erga. Dia melepas genggamannya ketika akan menyuap nasi goreng di hadapannya. "Ya sudahlah. Setidaknya aku masih punya nilai lebih di matamu."

Cola dingin membasahi tenggorokanku yang kering. Berjuta keraguan hinggap kembali. "Kamu nggak bertanya tentang masa laluku?"

"Aku nggak mengenal kehidupanmu dulu. Bahagia, sedih, senang atau seburuk apa itu. Jadi kupikir lebih baik menunggu hingga kamu merasa nyaman untuk bercerita dengan sukarela." Pipi Erga mengembung dipenuhi makanan. "Mungkin aku bukan laki-laki paling baik yang pernah kamu kenal tapi aku akan berusaha yang terbaik untukmu."

Bola mataku mendadak panas. Butiran hangat menggenang dan siap meluncur. Himpitan rasa bersalah semakin menekan hingga dasar yang mampu kutahan. "Apa pendapatmu akan tetap sama bila ternyata aku nggak sebaik pikiranmu?"

"Bagaimana kalau aku pun nggak sebaik yang terlihat?" Jemari Erga menjentik hidungku. "Aku belajar menerima semua kurang dan lebihmu. Toh pada dasarnya nggak ada manusia yang sempurna. Sekarang beri aku waktu untuk mengisi perut atau... "

"Atau apa?"

"Aku bakal cium kamu."

Bibirku mencebik, meremehkan pernyataan konyol Erga. "Berani?"

Laki-laki itu tiba-tiba bangkit. Tindakannya membuat tubuhku reflek bersandar ke belakang.

"Aku mau ke toilet. Kamu tunggu sebentar," ucapnya santai.

Aku menghela napas panjang sambil mengigit bibir. Sejenak menenangkan diri sambil mengikuti arah Erga pergi. Setelah beberapa menit memikirkan langkah selanjutnya, niat untuk jujur menguat. Aku tidak yakin semua akan berjalan baik tetapi beban di pundak pasti sedikit berkurang.

Lima menit berselang, Erga kembali muncul. Dia tidak sendiri, Wisnu berjalan bersamanya. Aku terpaksa mengurungkan niat. Kehadiran Wisnu memupus harapan untuk menyelesaikan masalah hari ini apalagi kedatangannya sekalian membicarakan kegiatan himpunan. Itu artinya konsentrasi Erga akan terbagi.

Payah.

******

Hari berlalu hingga tiba di penghujung minggu. Niat berkata jujur terus tertunda. Setelah pertemuan terakhir, kami belum kembali bertemu. Jadwal kuliah dan tumpukan tugas mau tak mau harus diprioritaskan. Adisti cukup cerewet, mengingatkan diriku agar tidak larut memikirkan masalah Axel.

"Sya, hari ini pulang bareng Kak Erga?" Adisti melirik sekilas. Dia sibuk membereskan catatannya.

Hampir setiap hari, bila mata kuliah terakhir selesai Adisti biasanya pulang lebih dulu kalau Erga menjemputku. Kami pernah beberapa kali meluangkan waktu sebentar seusai kelas berakhir tapi tidak terlalu sering.

Aku menggeleng. Hampir satu minggu sosok Erga belum kutemui. Chat terakhir tadi pagi tidak membahas rencana bertemu malam ini. Biasanya dia menyempatkan datang di malam minggu tapi bila tidak memungkinkan, kami menggantinya dengan hari lain. Awalnya aku suka mengomel hingga terbiasa dengan kegiatannya.

"Sampai detik ini sih belum ada rencana. Memangnya kenapa?"

"Temani aku jalan yuk. Suntuk nih."

"Bukannya orang tuamu paling rewel ya kalau pulang telat?"

Adisti mengendikan bahu lalu  bangkit. "Sesekali nggak apa-apa. Aku sedang bosan di rumah. Lagi pula aku bisa menjaga diri sendiri."

"Ya, sudah. Kamu mau kemana?"

"PVJ."

Aku terdiam. Mal itu letaknya tidak terlalu jauh dari kampus tetapi perjalanan pulang menuju rumah akan memakan waktu cukup lama. Belum lagi kalau macet dan hujan.

"Kalau begitu kita pergi sekarang sebelum terlalu sore." Adisti mengangguk tanda setuju. Aku tak kuasa menolak permintaannya.

Kami mengobrol sambil berjalan menuju gerbang. Aku menahan diri bercerita tentang masalah pribadi. Kami jarang melakukan kegiatan berdua di luar kampus dan topik menyedihkan bukanlah pilihan tepat untuk bersenang-senang.

Orang tua Adisti agak ketat mengawasi pergaulan putrinya. Di antara teman kampus, mungkin hanya aku yang mereka percayai.

Baru saja keluar dari gerbang, sebuah mobil sedan berhenti di samping kami. Sesosok perempuan cantik muncul dari balik jendela. Jantungku berdegub kencang ketika menyadari laki-laki dibalik kemudi ikut tersenyum ke arah kami. "Hai, Sya, Ti," sapa Putri. "Nggak bareng Erga, Sya?"

"Hai juga, Put. Erga lagi sibuk," jawabku diplomatis. Dalam hati aku berdoa agar Putri tidak memperpanjang daftar pertanyaan.

Adisti memasang senyum masam. Dia berdiri di belakangku, seolah enggan terlihat oleh Putri meski hanya bayangan.

"Kalian mau kemana? Pulang?"

"PVJ," balasku tanpa berpikir.

Lengkungan bibir Putri melebar. "Kebetulan sekali, aku juga mau ke sana. Kalian ikut saja."

Aku dan Adisti saling melempar pandang. Raut wajah sahabatku semakin kecut meski berusaha ditutupi oleh senyuman. Dengan terpaksa walau enggan, kami akhirnya menerima tawaran Putri. Perempuan itu terus mendesak, rengekannya terdengar tidak ingin dibantah.

Axel menoleh ke belakang saat kami duduk. Rambutnya tertata rapih. Pakaian serba hitam membuatnya terlihat lebih maskulin. "Hai, Sya," sapanya ramah.

Adisti meremas jemariku. Dia mungkin khawatir sahabatnya terkena serangan jantung karena cemas. Tindakan yang berlebihan dan mengesalkan karena terkesan meremehkan kemampuanku berpikir logis.

Aku hanya mengangguk sebagai balasan. Keberadaan Axel belum sepenuhnya membuatku ikhlas  berdamai dengan masa lalu. Luka batin masih menganga di beberapa sudut gelap. Terlebih sikap Axel yang melihatku sebagai orang asing menyisakan banyak tanda tanya di kepala.

Putri mengenalkan Adisti pada Axel setelah mobil meninggalkan kampus. Keceriaan perempuan berambut panjang itu begitu lepas. Tawanya selalu terdengar meski untuk sesuatu yang tidak lucu.

Adisti mengeluarkan ponselnya. Dia menatap serius dan menekan jari pada layar seolah sedang mengirim pesan. Aku melirik dan mendapatinya sedang berseluncur di dunia maya. Satu persatu akun sosial media dibuka.    Dia melakukannya hanya agar terlihat sibuk dan menempatkan diriku sebagai lawan bicara Putri selain Axel.

Di luar dugaan, aku sendiri bingung mampu menyikapi keberadaan Axel tanpa gejolak emosi. Di banding beberapa waktu lalu, perasaan sedikit lebih tenang. Gelisah tentu saja masih melekat namun kadarnya berkurang hingga berpikir tidak ada yang perlu ditakuti.

Putri sepertinya salah satu alasan aktingku berjalan sempurna. Kami tidak terlalu akrab tapi sejauh ini, sikapnya cukup baik. Terlepas peliknya hubunganku dengan Axel dulu, Putri berhak bahagia bersamanya. Dan semua akan hancur bila dia mengetahui kenyataan pahit yang kusimpan.

Axel, cinta pertamaku, bersikap layaknya seorang gentleman. Meski penampilan fisiknya tidak terlalu berubah, caranya bersikap berbeda ketika masih bersamaku. Dia terlihat bagai pribadi lain dalam satu raga.

Aku mencoba menerima keadaan. 
Menempatkan kebencian jauh di bawah amarah. Bila Axel memang pernah mengalami kecelakaan dan sebagian memorinya belum pulih, menodongnya dengan pertanyaan menyudutkan hanya akan mempermalukan diriku sendiri.

Wajahku berpaling keluar jendela, mengabaikan obrolan pasangan kekasih di bangku depan. Ingatan mereka bayangan Erga, menggali setiap kenangan manis yang pernah terlewati. Aku harus mengalihkan pikiran sebelum emosi mengulang adegan ketika Axel menguasai hidupku.

Kerinduan memudahkan segalanya. Hanya dalam waktu beberapa detik, wajah Erga dan tindakan konyolnya berhasil membuatku tersenyum sendiri. Dia selalu memiliki cara untuk  memenuhi keinginannya. Melakukan berbagai kegilaan demi mendapatkan perhatianku.

Perasaan aneh tiba-tiba mendorongku menoleh ke arah spion. Axel tersenyum dari pantulan cermin. Pandangan kami terkunci untuk beberapa detik. Tarikan bibirku melengkung ke atas demi alasan  kesopanan.

Aku menekan semua kegelisahan di dasar hati. Keramahan Axel pernah membuatku tergila-gila. Sekasar apapun dia, pintu maaf selalu terbuka. Cinta membutakan insting dan logika hingga kecemburuan dalam batas tak wajar terlihat normal. Aku tidak berdaya dalam kepemilikannya, terlalu memujanya dan mengabaikan luka yang ditoreh.

Penampilan fisik Axel memang mudah menarik perhatian. Caranya berpakaian menunjukan kelasnya. Hampir semua barang yang dia pakai berharga mahal. Tambahan sikap dan senyuman ramah memberi nilai positif. Setidaknya begitulah sosok Axel yang pernah kukenal dulu sebelum waktu menunjukan sisi kelamnya.

"Melamun aja, udah sampai nih." Adisti menyikut lenganku.

Kepalaku reflek mengedarkan pandangan. Rupanya kami sudah berada di tempat parkir.

Pintu di sampingku terbuka dari luar. Axel berdiri di samping Putri yang tengah merapikan make upnya. "Terima kasih," ucapku sambil menggerakan tubuh keluar dari mobil.

"Sama-sama." Axel menutup kembali pintu.

Adisti memutar ke arah kami. Dia pamit pada pasangan itu setelah berbasa-basi sebentar. Kami akhirnya berpisah setelah mengambil jalan berbeda.

"Pantas kamu dulu cinta setengah mati sama Axel. Dia punya aura yang sulit ditolak," ujar Adisti saat kami melewati deretan toko.

Aku membisu.

"Kamu tahu sindrom stockholm? Reaksi psikologis sandera yang jatuh cinta pada penculiknya? Sindrom yang pernah kamu alami. Membabi buta mencintainya sampai lupa untuk menyayangi diri sendiri. Mengabaikan kekejamannya dan begitu mudah mengucapkan kata maaf."

"Aku sedang nggak berminat mengingat masa lalu."

Adisti merengkuh bahuku. "Sebagai teman, aku hanya ingin mengingatkan. Terkadang opini dari orang luar lebih objektif ketika cara pandang kita sedang labil. Axel adalah cinta pertamamu, pacar pertama kamu. Beberapa orang bahkan butuh bertahun-tahun supaya bisa move on." Wajahnya mendekat ke telingaku. "Erga mungkin nggak sehebat Axel baik secara fisik maupun materi tapi setidaknya dia memperlakukanmu lebih baik darinya. Aku yakin kamu nggak senaif dulu."

"Jangan bercanda. Axel sudah punya pacar. Dia bahkan nggak ingat siapa aku."

"Tapi kamu tahu siapa dia."

Mulutku tertutup rapat. Pembicaraan kami mulai tak nyaman. Harus kuakui, ada lubang kecil yang belum sepenuhnya tertutup. Lubang berisi kenangan manis saat SMA. Memori dari masa lalu.

Kami berjalan menuju bioskop. Adisti sudah memiliki rencana menonton film. Aku mengikuti permintaannya tanpa banyak membantah.

"Eh itu Erga bukan sih?" Adisti mengangkat dagunya ke arah sekelompok anak muda. Mereka berkerumun di dekat pintu salah satu studio.

Aku urung mendekat ketika menyaksikan keakraban Erga dan teman-temannya. Dia tampak bahagia. Tawanya lepas melihat reaksi teman perempuannya saat mencandai mereka. Ekspresi yang jarang kutemui saat kami bersama. Erga tidak selepas itu. Dia lebih banyak menahan diri dan berhati-hati.

"Biarkan saja, Ti. Erga juga berhak meluangkan waktu sama teman-temannya. Tuh, mereka udah masuk ke studio."

Adisti menggumam kesal. "Padahal kita datangi saja mereka tadi. Aku pikir Erga melirik ke arah kita." Aku berpikiran sama dengan sahabatku. Meski hanya sekilas, rasanya Erga sempat menoleh ke arah kami lalu memalingkan wajah kembali pada teman-temannya sebelum  Ferdi menyeretnya menuju pintu masuk studio.

"Jadi kita mau nonton apa?"

"Rencananya batal," keluh Adisti. "Kita makan saja, perutku lapar." 

Kami menjauh dari bioskop, turun ke lantai bawah, menuju deretan tempat makan. Mood positif menghilang. Aku benar-benar menjadi pengikut setia. Bahkan saat memilih restoran, menu makanan dan topik obrolan pun hanya berperan sebagai pendengar yang baik.

Langit semakin gelap saat kami memutuskan pulang. Tidak ada pesan atau telepon dari Erga. Hari ini dia sepertinya melupakanku dan gengsi membuatku malas menghubunginya lebih dulu.

Di tengah perjalanan menuju pintu keluar mal, kami berpapasan dengan Erga dan teman-temannya. Adisti yang semula berkeras segera tiba di rumah mendadak berubah pikiran. Keberadaan Wisnu di antara para senior menggoyahkan kekhawatirannya akan omelan orang tua.

Sebenarnya aku sudah bersiap untuk menolak. Ekspresi dingin Erga menghadirkan ketidaknyamanan. Senyum laki-laki itu seolah dibuat-buat. Aku bingung sendiri menilai sikapnya yang berubah-ubah.

"Ayolah, Sya, ikut saja. Malam mingguannya bareng kami," bujuk Wisnu. Aku memang menolak halus tawaran mereka. Semua alasan dikeluarkan termasuk hanya izin pergi bersama Adisti.

"Jangan memaksa, Wis. Orang tua mereka nanti khawatir anak gadisnya telat pulang," kata Erga. "Aku pulang duluan," lanjutnya pada teman-temannya. 

Adisti mengangguk pelan, dia harus mengalah walau sepertinya tidak sepenuhnya rela kembali ke rumah.

"Kami bisa pulang sendiri. Kamu lanjutkan saja acaramu."

Erga menghela napas. "Besok aku ada acara keluarga, nggak bisa pergi bersamamu. Rencananya setelah dari sini, aku berniat pergi ke rumahmu."

"Kita masih punya waktu di lain hari, nggak perlu memaksa kalau memang ada keperluan penting lain." Adisti hanya diam ketika kuseret menjauhi Erga. Laki-laki itu mematung di tempatnya. Aku salah menduga kalau dia akan tetap mengikuti seperti yang biasa dilakukannya.

Aku berdiri menunggu taksi online pesananku datang sementara Adisti sudah lebih dulu pulang. Perasaan bercampur aduk memikirkan alasan dibalik sikap tak bersahabat Erga. Selang beberapa menit, ponselku berdering dari nomor tak dikenal. 

"Halo," sapaku ketus.

"Halo, maaf ganggu waktunya. Ini aku, Axel."

Tubuhku sontak membeku hingga nyaris tidak bisa membuka mulut.

"Aku tahu nomor kamu dari Putri. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kutanyakan tapi aku khawatir kamu berpikiran aneh bila aku mengajak bicara empat mata. Jadi kuberanikan diri menghubungimu lewat telepon."

Aku menelan ludah, memaksa sepatah kata meluncur dari bibir. "Memangnya apa yang ingin kamu tanyakan?"

"Begini, sejak kita berkenalan, aku merasa ada hal yang menganggu. Apakah kita pernah mengenalnya sebelumnya? Putri bilang SMA kamu di Jakarta. Beberapa waktu lalu aku sempat kecelakaan, sejak itu sebagian ingatan masih samar terutama tentang masa SMA. Informasi dari keluarga dan orang-orang di sekitar nggak banyak membantu. Maaf kalau pertanyaanku membuatmu kurang nyaman."

"Entahlah, aku bukan tipe yang pandai bila berhubungan dengan ingatan tentang orang di sekitar. Maksudku kadang aku hanya tahu nama tapi nggak dengan wajah begitupun sebaliknya." Jemariku bergetar pelan saat mencari alasan.

Tawa renyah terdengar di seberang. "Begitu ya, mungkin kita pernah bertemu sebelumnya atau aku memang mengenal seseorang yang kebetulan mirip denganmu. Belum lama ini aku nggak sengaja menemukan foto perempuan di salah satu komik di rak bukuku. Genrenya komedi romantis, bukan jenis bacaanku. Entah kenapa aku nggak bisa mengabaikannya," desahnya berat." Ah, maaf aku jadi melantur. Tolong rahasiakan pembicaraan kita dari Putri, ya. Dia selalu cemas bila aku bicara tentang ingatanku."

"Tentu saja." Hanya dua kata yang  mampu terucap mengakhiri pembicaraan kami mengingat keringat dingin mulai membasahi telapak tangan.

Aku meremas kuat ponsel di dada. Belum sepenuhnya mempercayai pembicaraan tadi telah berlangsung.

"Bicara dengan siapa tadi, serius sekali sampai nggak dengar dipanggil berkali-kali? Axel?" Jantungku hampir keluar dari tempatnya mendengar suara berat laki-laki. Sorot dingin dan tajam memancar dari pemilik tubuh tinggi di sampingku.

Tbc

Maafkan update yang terlambat jauh dari rencana. Oh ya minal aidin wal faidzin untuk yang merayakan. Maaf kalau ada salah kata 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro