Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap#16 - Mantan Pacar?

Percakapan bersama Adisti tergiang-ngiang dalam kepala. Rupanya mengenyahkan kekhawatiran tidak mudah meski telah berbagi masalah dengan seseorang. Aku sulit memikirkan hal selain kemunculan Axek. Semenjak Adisti pulang, hati kecil terus bernyata, benarkah aku pernah menelepon Egia? Pernahkah menerornya untuk berpisah dengan Axel? Apakah aku pernah berbuat senekat itu?

Sejujurnya aku tidak yakin dengan kemampuan daya ingatku. Pengalaman buruk di masa lalu mungkin mengubur beberapa potong ingatan. Aku belum pernah melihat Egia. Sejauh menggali memori di kepala sih begitu tapi mungkin saja ada yang terlewat.

Kesadaranku tersentak ketika terdengar deringan ponsel. Benda itu bergetar di nakas. Aku memajukan tubuh dari tempat tidur, melirik ke arah layar. Nama Erga muncul di sana. Sekelebat perasaan takut sekaligus bersalah mendera. Aku tidak ingin Erga membenciku.

"Marsya? Kamu masih bangun?" Ketukan di pintu mengalihkan perhatian. Secepat kilat ponsel kuganti dengan mode silent.

"Masih, Bu. Ada apa?" jawabku masih duduk di tempat tidur.

"Ayahmu bawain bubur. Ayo makan dulu mumpung masih hangat," pinta Ibu.

Aku mendesah pelan lalu beranjak menuju pintu. Ponsel sengaja tidak kubawa. Orang tuaku pasti bingung melihatku tiba-tiba mengabaikan panggilan telepon.

Pintu segera kubuka. "Ini hampir jam sebelas. Aku bisa gemuk, Bu."

"Sesekali tidak apa-apa. Lagian belakangan ini makan kamu kurang teratur. Ibu tunggu di meja makan ya." Ibu berbalik menuju ruangan di sebelah ruang tengah.

Kepalaku berpaling pada nakas. Layar ponsel berkedap-kedip lalu mati. Semoga itu bukan Erga, bisikku pelan lalu menutup pintu.

Ayah dan Ibu telah menunggu di meja makan. Semangkuk bubur ayam terhidang untukku. Ibu menuang air putih saat aku menyeret kursi. "Ayah beli bubur di mana?" tanyaku sambil meniup bubur yang masih panas.

"Tadi Ayah kebetulan lewat kosambi. Di sana ada warung bubur. Kata teman Ayah, buburnya enak. Harganya juga tidak terlalu mahal."

Kepalaku mengangguk, pura-pura antusias. Buburnya memang lezat. Porsinya cukup banyak untuk kumakan sendiri. Semoga saja bagian kosong di perut masih sanggup menampung makanan lembek yang terbuat dari beras ini.

Ibu memperhatikanku sambil terus menyuap. "Gimana kuliahmu? Ada masalah."

"Ibu tidak bosan bertanya terus hal yang sama."

"Hanya karena kamu sudah kuliah, bukan berarti Ibu tidak lagi khawatir lagi. Kami hanya ingin memastikan kamu nyaman dengan kampusmu sekarang," kata Ibu tenang. Ayah hanya diam namun ekspresi wajahnya seolah sependapat dengan istrinya.

"Semua biasa saja, Bu. Tugas dan jadwal kuliah masih padat. Aku nggak bermasalah dengan siapapun di kampus." Aku mengunyah suwiran ayam kuat-kuat. "Ibu tenang saja," lanjutku sambil meraih gelas berisi air minum dan meneguknya hingga habis.

"Erga. Bagaimana hubunganmu dengan dia," sahut Ayah.

Senyumku masam. Aku memandang sisa bubur tanpa selera. Introgasi tentang kehidupan pribadi tidak pernah menyenangkan. Ayah masih cemas kalau aku akan terjebak dalam hubungan yang tidak sehat.

"Kami berada di jalur yang benar, Yah. Dia bukan... Axel. Nggak adil kalau aku menilai semua laki-laki sama hanya karena pernah mengalami pengalaman buruk dengan satu orang."

"Bagus kalau begitu. Tapi Ayah nggak akan bosan memintamu terbuka bila kamu merasa ada yang salah dengan hubungan kalian." Aku tahu ketegasan Ayah bukan untuk dibantah.

Aku melanjutkan suapan, memaksa tenggorokan menelan sisa bubur. "Ibu ingat Lira, temanku dulu saat SMA. Kemarin dia menelepon, memberitahu kalau ada reuni angkatan kami," ucapku berbohong. "Saat bicara dengannya, aku pikir ada beberapa bagian memori yang nggak kuingat. Apa karena setelah kejadian itu, sebagian ingatanku hilang?"

Kedua orang tuaku saling pandang. "Rasanya nggak." Ibu mengernyitkan keningnya. "Kamu sempat minum obat anti depresi tapi ingatanmu masih baik-baik saja. Psikiater yang menanganimu sudah memastikannya. Ada apa memangnya?"

Kepalaku menggeleng lalu meletakan sendok di mangkuk yang telah kosong. Perutku sekarang sedikit mual. "Tidak ada apa-apa. Marsya mungkin terlalu sibuk jadi cepat lupa." Kudorong kursi ke belakang. "Aku ke kamar duluan ya, Bu, Yah. Capek, mau tidur."

Ibu mengangguk sambil memandangiku. Malam semakin larut, tidak ada alasan bagi mereka menahanku lebih lama. Aku pun merasa lega telah terhindar dari pertanyaan seputar Erga. Ayah kadang selalu ingin tahu sejauh apa hubungan putri bungsunya.

Sekembalinya ke kamar, aku memeriksa panggilan masuk dan pesan di ponsel. Sebagian berasal dari nomor Erga. Dia tidak meminta pesannya dibalas cepat karena berpikir  aku telah berada di dunia mimpi. Chat yang dia tinggalkan kebanyakan berupa emoticon atau stiker yang menggambarkan kerinduan.

Kuhempaskan tubuh di tempat tidur sambil memegang ponsel. Mata mulai terpejam. Masalah ini membuat langkahku jadi serba salah. Aku ingin melupakan tapi mustahil. Bagaimanapun kondisi Axel, kami pernah terlibat hubungan asmara. Cepat atau lambat Erga berhak tahu.

Argh.

Keesokan dan hari-hari seterusnya berjalan tanpa riak berarti. Kegiatan di kampus sedikit banyak membantu mengalihkan ketegangan. Aku berusaha berpikir positif. Selama Axel tidak menunjukan batang hidungnya, perasaan jauh lebih tenang. Tapi ini seperti main petak umpet. Musuh akan menunggu korbannya lengah.

Aku harus mengorek informasi dari Putri. Perempuan itu bukan tipe pemalu. Dia cenderung banyak bicara terutama saat hatinya senang. Masalahnya jadwal kuliah kami sering kali berbeda dan diriku bukanlah sosok yang mudah akrab. Adisti juga kurang menyukainya. Aku khawatir dia tidak nyaman kalau aku memintanya menemaniku bicara dengan Putri.

Minta bantuan Erga pun berat. Dia pasti curiga melihatku terkesan ingin tahu dengan kehidupan Putri dan Axel.

Seharian memikirkan jalan keluar membuatku pusing. Mulai dari kuliah pagi hingga jadwal kelas terakhir sore ini, penyelesaian jauh dari kata berhasil.

Penjelasan dosen berputar-putar di kepala tanpa ada satu pun yang menempel. Catatan hanya berisi corat-coret tidak jelas. Aku sudah berusaha membuka mata dengan lebar. Fokus pada indera pendengaran. Sayang, otakku sedang sulit diajak kerja sama.

Payah.

Adisti memasukan catatan dan alat tulis ke dalam tasnya. Dia menoleh padaku lalu menggeleng. "Kamu ingat awal pertemuan mata kuliah ini. Bu Dewi, dosen paling tegas di jurusan kita sudah mewanti-wanti agar setiap mahasiswa memperhatikan dan mencatat penjelasannya. Siapa yang bisa menebak kalau pertemuan berikutnya mendadak ada kuis."

"Lalu?" tanyaku tanpa semangat. Tanganku masih sibuk membereskan alat tulis dalam tas.

"Kalau kamu kayak zombie begini, gimana nilai kuismu nanti? Jangan bilang mau mencontek."

"Aku boleh pinjam catatanmu, kan? Nanti aku fotocopy di perpustakaan sebelum pulang."

Adisti menyeret kursinya sembari menghela napas. "Tentu saja boleh tapi lebih baik kamu bisa fokus sama kuliah kalau di kelas. Baca doang kalau nggak ngerti percuma aja, Sya."

Aku mengikutinya bangkit. Perlahan meraih tas dan memakainya. "Iya."

Ruangan sudah sepi saat kami keluar kelas. Langit menguning di luar jendela. Perutku mulai berisik. Lantaran mengindari Erga, aku melewatkan jam makan siang. Roti yang dibawakan Adisti hanya bisa menahan lapar beberapa jam.

"Kita ke kantin sekarang. Catatanku kamu kembali besok saja. Aku khawatir kamu pingsan saat pulang nanti."

"Andai Axel nggak ada," keluhku sambil menghentak kaki ke depan.

"Axel memang berengsek tapi kamu seharusnya bisa mengambil langkah tepat. Aku pikir jujur pada Erga akan menghindari kesalahpahaman di masa depan. Hidup kamu jadi terganggu karena masalah ini. Ingat kita masih lama kuliah di kampus ini, Sya."

"Kamu benar tapi bisakah kita ke kantin dulu. Aku belum bisa berpikir saat perut kosong."

Adisti tidak menjawab. Garis bibirnya melengkung ke bawah. Dia cukup cerewet soal kuliah.

Kami menyusuri koridor hingga tiba di kantin. Kantin sepi seperti biasa menjelang sore hari. Banyak kios yang tutup. Aku terlalu lapar untuk pilih-pilih makanan. Jenis makanan apapun boleh selama bisa menenangkan nyanyian cacing di perut.

Bola mataku berputar ke sekeliling kantin. Kerinduan pada Erga menggoda tapi sisi lain justru berharap dia sudah pulang. Erga tidak terlalu menuntut untuk bisa bertemu setiap hari. Dia cukup sibuk dengan tugas dan  kuliahnya.

"Belum pulang?" sapaan lembut mengejutkanku. Ponsel di tangan hampir saja jatuh ke meja.

Erga tersenyum. Dia mengusap kepalaku lalu duduk di sampingku.

Aku mengangguk pelan. Perasaan senang membuncah di luar dugaan. Aku tidak bisa membantah, mata gelap itu begitu kurindu. "He em. Makan dulu."

"Makanya kalau jam makan siang itu makan bukan belajar. Sudah pesan makanan belum?"

"Sudah, titip sama Adisti." Aku menunjuk dengan dagu ke arah Adisti yang tengah berdiri di depan kios bakso. "Kamu sendiri kenapa masih di kampus? Bukannya tadi di Line bilang mau ke tempat kos teman habis jam satu?"

Erga membuka jaketnya dan meletakan di meja. Aroma cologne samar tercium dari kausnya. "Baru selesai jadi sekalian mampir ke kampus."

"Untuk apa? Masih ada tugas lagi?"

Hidungku dijentik dengan telunjuknya. "Ketemu kamu dong, Manis. Aku sudah bosan seharian bersama makhluk berbatang terus."

Aku tersedak mendengar kalimat terakhirnya. Tawa tak terhindarkan. Beruntung suasana sedang sepi.

Erga tersenyum. Tangan kanannya menopang wajah sementara tangannya yang bebas menyelipkan  rambutku ke belakang telinga. "Sudah lama aku nggak melihatmu tertawa seperti tadi. Aku khawatir kamu bosan bersamaku."

Wajahku pura-pura merengut demi menyembunyikan perasaan sebenarnya. "Kok bilang begitu sih. Jahat."

Erga bangkit lalu menyentuh puncak kepalaku. "Maaf. Efek kangen mungkin.   Aku pesan makanan dulu ya."

Aku terus memperhatikan sosok Erga dari belakang. Laki-laki itu semakin gagah. Punggungnya tegap. Kulitnya lebih gelap karena sering main basket. Otot tangannya menyembul dari balik kaus. Rambut hitam miliknya mulai panjang dan sengaja dibiarkan berantakan.

"Sudah jadi pacar masih saja terpesona," ledek Adisti. Dia duduk di hadapanku dan menyodorkan botol minuman teh dingin.

"Kamu baru akan paham kalau sudah punya pacar," kilahku membela diri. "Masih suka sama Wisnu?"

Adisti melotot. "Awas kalau sampai ada yang tahu."

"Tahu apa?" Suara Erga membuat kami berdua terdiam.

"Tahu susu," balasku cepat. "Kata Adisti di lembang ada yang jual tahu enak."

Erga meletakan botol minuman soda di meja. "Lain kali kita beli ya kalau ke lembang lagi." Dia segera duduk.

"Pesan apa?" tanyaku.

"Nggak jadi. Sotonya habis. Nanti saja makan di rumah."

Seorang laki-laki muda menghampiri kami. Dia membawakan dua mangkuk bakso. Aroma kaldu membuatku hampir meneteskan air liur.

Erga memiringkan tubuhnya ke arahku. Salah satu kakinya menumpang di pahanya yang lain.

Rasa lapar membuatku lupa keadaan sekitar. Aku menyuap bakso dengan lahap. Gurih dan kuah yang panas menghangatkan perut. Tambahan sambal semakin menambah selera makan. Keringat di kening tidak membuatku berhenti hingga habis tanpa sisa.

"Lapar banget ya, Sya." Adisti kembali meledek. "Nggak takut gemuk."

"Nggak apa-apa, daripada sakit maag atau masuk angin," seloroh Erga.

Adisti mencibir ke arah kami. "Deuh yang dibelain pacar."

Aku melingkarkan tangan di lengan Erga. Kepala bersandar di bahu kokohnya. "Biarin asal bukan pacar orang. Iya, kan?" Wajahku mendongkak ke arah Erga.

"Iya," balas Erga datar nyaris tanpa senyum.

Kami melanjutkan obloran tentang tugas dan kuliah. Erga tak sungkan mengajari mata kuliah yang kami anggap sulit. Aku malu sendiri karena Adisti lebih cepat mengerti penjelasannya sementara aku butuh waktu lama baru paham. Rasanya seperti diabaikan saat Adisti dan Erga serius membahas mata kuliah Bu Dewi tadi. Helaan napas Erga saat mengajariku membuatku semakin tidak percaya diri.

Adisti menoleh padaku yang mendadak diam. "Saya sudah ngerti caranya, Kang. Terima kasih sudah dibantu. Eh, Sya, ada yang mau ditanya lagi nggak?"

Kepalaku menggeleng. "Nanti aja. Sudah sore."

"Aku antar pulang ya," tawar Erga. Dia meraih tasku sebelum tanganku mengambil benda itu.

Adisti pamit. Dia sempat minta maaf dan merasa tidak enak. Aku tidak marah padanya. Lagipula Erga sering dimintai tolong teman-temannya bila ada tugas yang sulit. Aku lebih menyalahkan diri sendiri. Seharusnya aku lebih berkonsentrasi di kelas.

"Minggu depan kita belajar private ya. Kamu kumpulkan materi yang menurutmu susah, nanti aku cari cara yang paling mudah kamu mengerti. Kalau seperti tadi aku susah membagi konsentrasi. Nggak enak sama Adisti kalau cuma kamu yang aku perhatikan." Erga menjajari langkahku menuju parkiran motor.

"Aku mungkin salah memilih jurusan. Kimia sepertinya nggak cocok denganku."

"Nanti juga bisa kok asal ada niat untuk belajar. Daya tangkap setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat begitu juga sebaliknya. Tenang saja aku akan mengajarimu sampai bisa. Kuncinya cuma satu jangan malas."

Raut wajahku tetap murung. Erga menaruh tasnya dan milikku di jok motor. "Kita lanjutkan saja belajarnya hari ini di rumahmu. Gimana?" bujuknya saat memakaikan helmku.

"Hari ini? Tapi sekarang sudah sore. Kamu besok nggak ada kuliah pagi?"

"Aku terbiasa tidur malam. Tambahan satu hari pulang malam bukan masalah. Lagian aku masih kangen kamu jadi risikonya sepadan." Erga mengaitkan helm di kepalanya. "Kamu nggak mau?"

Aku bukannya tidak suka tapi kapasitas otakku belum tentu bisa menampung deretan rumus. Bagaimana jika aku justru mempermalukan diri sendiri dan terlihat bodoh?

"Kamu pasti kesulitan. Aku bahkan sudah lupa dengan apa yang kita pelajari tadi."

Jemari Erga mencubit gemas hidungku. "Kamu pasti bisa. Jangan merendahkan kemampuanmu sebelum berusaha."

"Nanti sekalian makan malam di rumahku saja ya. Kamu belum mengisi perut, kan?" Suaraku merendah.

Erga mengangguk lalu memandangi tubuhnya. "Tunggu sebentar. Jaketku ketinggalan di kantin."

Aku mengigit bibir sambil berdiri di dekat motor. Bola mata memutari keadaan di sekeliling. Suasana kampus sangat lengang. Hanya ada satu atau dua orang yang hilir mudik.

Pandanganku terarah pada jalan kecil menuju tempat parkir motor dari arah lobi kampus. Seorang perempuan berjalan menuju motor di ujung parkiran. Jarak kami tidak terlalu dekat tapi wajah itu masih kuingat. Dia pernah bicara padaku, memintaku menjauh dari Erga tanpa alasan jelas. Sayang, karena beberapa masalah yang muncul aku belum mengetahui siapa dirinya.

Perempuan itu tampak sinis. Ketidaksukaannya membayang dari lirikan mata. Dia berpaling lalu memakai helm.

Seolah terhipnotis aku terus menatapnya. Rambut panjangnya terurai hingga punggung. Dari balik helm, hidung mancungnya tampak menonjol. Kaus putih dengan tulisan besar nama jurusan kami berbalut parka hitam menempel di tubuh sintalnya. Jeans biru ketat melekat pas membingkai kakinya yang jenjang. Aku merasa dia salah satu mahasiswi berparas cantik di kampus.

Dia mungkin senior di atasku atau satu angkatan dengan Erga. Aku jarang melihatnya dibanding senior lain. Kami pun hanya bicara sekali saat ospek. Tapi kenapa dia menunjukan kebencian padaku? Apa salahku, kenal saja tidak.

"Ayo pulang," tegur Erga. Dia sudah kembali dengan memakai jaket.

Aku menoleh sesaat padanya lalu kembali ke arah motor perempuan tadi. Sosoknya ternyata telah menghilang.

"Ga, kamu ingat perempuan yang pernah bicara denganmu saat ospek. Rambutnya panjang. Hidungnya mancung. "Aku terdiam sembari menggali ingatan. "Kamu panggil dia, Bie. Dia siapa sih? Mahasiswa jurusan kita ya?"

Erga menghentikan langkahnya sebelum akhirnya memasukan kunci motor ke lubang kunci kontak. Ekspresi kaget terpasang di wajahnya. Kepalanya agak menunduk, menghindari pandanganku saat meraih tas miliknya di jok. "Dia satu angkatan denganku tapi kelas kami berbeda. Dia sedang menyelesaikan tugas kerja praktek jadi jarang terlihat di kampus."

"Oh." Mulutku membentuk hurup O. "Dia sepertinya nggak suka padaku sejak ospek. Tadi aku nggak sengaja melihatnya dan tatapannya masih sinis. Dia sempat memintaku menjauh darimu dulu. Kenapa sikapnya begitu ya? Aku bahkan nggak tahu dia satu jurusan dengan kita," lanjutku bingung.

Raut Erga muram. Dia seolah enggan membahas topik ini. "Kami pernah dekat. Dia pacar pertamaku di kampus ini. Beberapa kali kami sempat putus sambung sampai semua benar-benar berakhir setelah Egia meninggal." Erga segera duduk di jok dan menyalakan motor. "Kami berdua sekarang nggak lebih dari teman. Sikapnya dari luar memang terlihat galak tapi orangnya baik kalau sudah kenal."

Tubuhku membeku di tempat. Informasi mengejutkan yang baru kudengar di luar dugaan. Kabar sifat playboy Erga bukanlah berita baru. Sikap manisnya pada perempuan sebelum kami pacaran menunjukan seberapa besar kemampuannya dalam mengambil hati lawan jenis. Tapi reaksi Erga tadi sulit dilewatkan begitu saja. Aku menangkap adanya kesan sedih.

Apa Erga memiliki penyesalan telah melepas perempuan cantik dan pintar seperti dia walau hanya sedikit? Ah, memiliki mantan pacar adalah hal yang wajar tapi kenapa dadaku terasa perih.

"Aku akan memintanya untuk nggak bicara macam-macam padamu lagi."

"Eh nggak perlu. Kami juga jarang ketemu. Mengingat kalian pernah dekat, dia mungkin kurang suka padaku karena itu." Sekuat tenaga aku berusaha mengendalikan getaran pada suara. Aku tidak ingin terlihat jauh lebih konyol karena cemburu.

Erga lebih dulu menyadari ada yang salah saat tanpa sadar menghindar saat dia akan meraih jemariku. Mesin kembali dia matikan lalu turun dari motor.

Kepalanya menunduk ketika posisi kami saling berhadapan. Sorotnya lembut dan memancarkan rasa bersalah. Tangannya menempel di kedua sisi helmku. "Aku nggak terlalu suka membahas masa lalu tapi demi menghindari kesalahpahaman, aku terbuka kalau kamu ingin mengetahuinya. Di dekat sini ada kafe yang nyaman untuk ngobrol. Kita bisa  bicara sambil mengisi perut. Sebenarnya aku juga penasaran dengan kehidupanmu dulu. Gimana?"

Ugh. It's not good.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro