Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap#14

Setengah jam telah berlalu dan aku masih betah menghabiskan waktu dalam ruangan yang dipenuhi dueretan rak buku. Dengan sengaja mencari meja paling pojok, tersembunyi dari pandangan pengunjung perpustakaan lainnya. Beralasan harus mengerjakan tugas, aku berhasil menolak ajakan Ferdi menemui Erga di kantin.

Kepala rasanya dihimpit beban berat. Tulisan dalam lembaran buku tak satupun menempel di ingatan. Otak dijejali rangkaian kalimat Ferdi tentang kisah adik kekasihku. Perempuan lain di antara hubunganku dan Axel. Kisah rumit yang berujung pada kecelakaan gadis itu.

Akhirnya aku menutup buku. Menyerah dan hampir putus asa. Konsentrasi terpecah sampai satu kalimat pendek pun sulit hafal. Rasanya ingin berteriak, menjerit atau menangis dengan harapan semua ketakutan akan sirna. Namun sayang, kenyataan terburuk lingkaran masalah masih membelenggu.

Diluar dugaan, tanpa pernah membayangkannya sedikitpun, takdir rupanya membawa Axel kembali. Situasi dan keadaan kami memang berbeda tapi hati yang terluka belum sembuh.

Satu tahun lebih diriku berjuang melewati masa sulit. Berusaha keras menumbuhkan kepercayaan diri terutama ketika berhadapan dengan lawan jenis. Keluar masuk ruangan konseling bukan lagi hitungan jari.  Sekarang  diriku dihadapkan pada ujian yang sebenarnya. Mampukah diriku mengendalikan emosi ketika bertemu dengan Axel?

"Kamu ada masalah, Maca?" Jantung berdetak puluhan kali lebih cepat. Suara Erga bagai gema kilat di langit gelap. "Ferdi tadi bilang kamu sedang  mengerjakan tugas di perpustakaan. Sesulit apa sampai kamu melewatkan makan siang?" lanjutnya sambil menarik kursi di sampingku.

Pandangan pura-pura kualihkan pada tumpukan buku.  Membuka catatan dan mengetuk-ngetuk pulpen di meja.  "Pengin selesai dulu aja tugasnya baru makan. Masih kenyang kok. " Setengah mati aku bersikap sewajar mungkin.

"Sini, coba aku lihat." Erga meraih catatanku. Sebelah tangannya meraih saku jaket lalu mengeluarkan kaca mata. Dia tampak serius membaca tulisan dari satu halaman ke halaman berikutnya.

Aku tak punya alasan untuk menghindar. Sikap canggung akan membuat Erga bingung. Pergi dari tempat ini jelas tidak mungkin. Pilihan yang tersedia hanya meneruskan kepura-puraan hingga jadwal mata kuliah selanjutnya. Dan itu artinya aku harus bertahan selama setengah jam ke depan.

"Kamu tinggal mengikuti langkah yang sudah kutulis. Kerjakan sisanya, kalau masih bingung, kamu bisa menghubungiku dua puluh empat jam. "Erga menutup catatanku. " Tapi kamu serius nggak ada apa-apa? Pandanganmu saat aku datang seperti kurang senang."

"Kak Erga kok bilang begitu? Aku cuma stres karena tugas. Kakak tahu sendiri gimana repotnya mengerjakan tugas, membuat laporan dan kuliah," elakku cepat. Meski khawatir, bukan berarti perasaan untuk Erga lenyap begitu saja.

"Benarkah? Ini pertama kali aku mendengar keluhanmu. Kupikir kamu sudah terbiasa dengan ritme kuliah." Dia menyeret kursinya hingga menghadap ke arahku. "Lihat mataku sekarang."

Aku menelan ludah. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau dia tahu aku berbohong.

Kepalaku terangkat setelah mengais sisa keberanian. Rasa bersalah menghujam tatkala mendapati sorot lembut tengah menatap cemas. Keringat dingin mengalir di sela telapak tangan yang mengepal. Jauh di dasar hati paling dalam, bayangan kekecewaan telah menanti.

Erga tersenyum lembut. Jemarinya mengusap rambutku. "Maaf. Aku nggak bermaksud meragukanmu. Dunia kampus memang berbeda dengan saat berseragam putih abu. Kita dituntut lebih mandiri baik ketika mencari materi kuliah atau laporan. Nggak ada lagi guru atau wali kelas yang mengingatkan. Tapi aku yakin kamu akan segera terbiasa."

"Mm... . Aku boleh tanya sesuatu nggak?"

"Kenapa mendadak formal begini." Kedua pipiku dicubiti. "Kamu boleh bertanya apapun itu."

Gugup menyerang. Perut mendadak mual. "Kang Ferdi tadi sempat cerita kalau kamu susah memaafkan bila sudah benci sama seseorang."

"Lalu?"

"Setiap hubungan pasti akan melewati masalah. Misalkan di tengah perjalanan aku membuat kesalahan hingga kamu sangat marah. Maksudku kesalahan yang sangat besar. Apa kamu juga akan menutup pintu maaf?"

Erga tidak segera menjawab. Posisi tubuhnya kembali menghadap meja. "Perpisahan dengan semua mantan berakhir baik-baik. Alasan kami berpisah lebih banyak karena perbedaan cara pandang bukan karena orang ketiga. Untuk pertanyaanmu, aku belum menemukan jawabannya. Satu hal yang pasti, aku sangat menghargai kejujuran. Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Kamu selingkuh?" Nada bicaranya tenang meskipun sinar mata berkata sebaliknya.

Kekuatanku meluruh. Erga pasti akan sangat benci bila mengetahui sejarah hidupku dulu. Kekhawatiran berbuah bulir di kedua mataku. "Selingkuh dengan siapa? Kamu punya banyak mata-mata di sini." Dengan cepat, kuusap lelehan panas di pipi. "Aku hanya nggak mau kamu benci." Suaraku mulai parau.

"Kamu nggak perlu berpikir terlalu jauh. Kita jalani saja hubungan ini. Setiap masalah pasti ada jalan keluar. Tetaplah bersikap positif atau kamu akan lelah sendiri dengan pemikiran buruk." Erga menyeret kursi sambil menghela napas. Dia menyentuh puncak kepalaku saat bangkit. "Kamu mau ke kantin?" tawarnya.

"Nggak, nanti saja."

"Baiklah. Aku pergi dulu ya. Jangan lupa makan."

Aku tertegun melihatnya bangkit dan  beranjak menjauh.  Erga meneruskan langkahnya tanpa menoleh ke belakang. Kedua tangannya menyusup di balik celana ketika menghilang di balik pintu masuk perpustakaan.

Kenapa dia tiba-tiba bersikap dingin? Apa pertanyaanku menyinggung perasaannya.

Suara perut mengambil alih kesadaran.  Setengah terburu-buru, catatan dan alat tulis kumasukan asal ke dalam tas. Beberapa buku tebal mengisi kembali tempatnya di rak.

Aku bergegas menuju kantin. Memanfaatkan sedikit waktu untuk membeli roti sebelum kelas di mulai. Suasana kantin masih ramai, memaksaku harus bersabar mengantri di salah satu kios yang menjajakan makanan ringan. Saking ramainya, aku tidak mengindahkan keadaan di sekitar.

"Mau beli apa, Sya?" tegur seseorang di sampingku.

Satria tersenyum. Laki-laki itu memamerkan deretan giginya yang rapih. Perbedaan jadwal kuliah membuat kami jarang bertatap muka. "Kenapa bengong."

"Eh roti coklat."

"Tunggu sebentar ya."

Aku menuruti perintahnya. Lagi pula memang malas harus berdesakan menunggu giliran. Satria tampak menonjol. Tubuh lebih tinggi di banding mahasiswa di sana. Kaus biru dan celana jeans tampak sesuai melekat di tubuh yang tegap.

Pesona sang ketua angkatan mahasiswa baru memancing perhatian di sekitar tak terkecuali para senior. Dia   berteman tanpa pandang bulu. Keramahan menjadi nilai plus. Citranya positif di mata orang-orang walau kadang ada kalanya aku merasa kebaikannya karena ada niat tersembunyi. Satria terlalu sadar dia memiliki kelebihan fisik.

Sejak awal aku mencoba menjaga jaram. Entah kenapa keberadaan Satria mengingatkan diriku pada Axel. Bukan secara penampilan melainkan sifat. Menilai tanpa mengenal cukup dalam memang tidak adil tapi kenal sepintas bagiku dirasa paling nyaman untuk pertemanan kami.

Perasaan sedang diperhatikan berkelebat. Kesadaran terkesiap saat melihat melalui sudut mata, Erga tengah menatapku. Dia sedang bersama teman-temannya. Jaraknya terpisah empat meja dari tempatku berdiri. Wajahnya tertekuk melengkapi tatapan tajam.

Aku tak berani menoleh. Reaksi dingin yang ditunjukannya di perpustakaan mengalirkan rasa enggan. Kepala sangat pusing hari ini. Situasi kurang baik untuk kami berdua.

Satria datang dengan membawa plastik berisi roti coklat dan air mineral. "Aku nggak tahu kamu suka yang mana," jelasnya melihat kebingunganku.

"Nggak apa-apa. Seharusnya aku yang berterima kasih. Semua jadi berapa?" Kuhitung jumlah roti di plastik tadi.

"Ambil saja. Siapa tahu aku akan butuh bantuanmu nanti. Aku pergi duluan ya." Satria berlalu sambil melambaikan tangan.

Aku pun segera berjalan cepat meninggalkan kantin. Teringat jadwal kuliah akan segera di mulai. Sambil mengunyah roti, kaki terus melangkah tanpa peduli dengan sekeliling, termasuk Erga.

Syukurlah aku belum terlambat. Dosen baru masuk setelah lima menit kedatanganku. Akhirnya otak mau diajak bekerja sama. Sepanjang dua jam kurang, segenap konsentrasi tercurah pada materi kuliah.

Langit di luar jendela mulai menguning. Cahaya mentari tidak lagi seterik siang tadi. Aku dan teman-teman yang lain mulai meninggalkan kelas.

Ami menepuk bahuku, menunjuk ke arah laki-laki yang tengah bersandar pada dinding di koridor menuju kelas kami. Erga menatap lurus ke arah tangga di ujung lorong. Kedua tangannya bersidekap. Dia tersenyum  setiap kali di sapa oleh teman-temanku tapi ada yang berbeda dari caranya bersikap.

Benar saja, lirikan tajam itu mengejutkan langkahku saat mendekatinya. Ami pamit pada kami berdua.

Erga menatap plastik berisi roti di plastik. Aku hanya sempat menghabiskan satu buah karena tidak ada waktu.

"Satria beliin kamu apa tadi?"

"Roti," balasku pelan." Tadi aku cuma titip belikan saja karena kiosnya penuh. Lapar soalnya."

"Benarkah hanya itu atau ini bagian kesalahan besar yang kamu maksud?" tuduhnya.

Keningku berkerut. "Kami hanya kebetulan ketemu di kantin. Kamu cemburu?"

Erga terdiam. Sorot matanya berlilat, menatap lekat tanpa kedip. Tersirat kekesalan dan amarah di dalam sana. Dia mengacak-acak rambutnya dengan gusar. Beberapa detik kemudian laki-laki itu menghela napas panjang lalu meraih paksa tanganku.

"Kamu kenapa sih? Cemburu?" ulangku bingung.

"Diam! Nggak perlu dibahas," gerutunya sambil menyeretku menjajari langkahnya.

Aku berusaha melepaskan diri dari genggamannya. "Kok jadi marah?"

Langkah Erga terhenti tepat sebelum kami menuruni anak tangga. "Argh menyebalkan sekali. Bisa-bisanya anak kemarin sore sepertimu membuatku pusing setengah mati. Aku harus mempertanyakan lagi akal sekatku." Delikannya menghujami dadaku dengan ribuan pisau. "Aku cemburu, puas," lanjutnya ketus. Wajahnya kembali berpaling dengan mulut masih komat kamit.

Tawaku pecah. Sulit untuk menahan diri melihat ekspresi Erga. Wajahnya memerah dan tampak kesal. "Cinta memang bukan ilmu pasti. Nggak ada yang tahu kapan dan pada siapa akan berlabuh. Jadi terima saja kenyataannya. Lagi pula cemburu bukan hal aneh, kan?"

"Cemburu padamu tingkatannya berbeda. Entah kenapa aku merasa seperti anak abg yang baru kenal cinta. Cih,"  gumamnya pelan, nyaris berbisik seperti hembusan angin. 

"Aku tak keberatan," bisikku di telinganya lalu melepaskan genggaman tangan kami. "That's my boy."

Erga masih bersunggut-sunggut ketika menyusulku. Plastik di tanganku beralih. Dia bahkan memberikan sisa roti pada teman-temannya. Sebelum pulang, kami berhenti di sebuah toko roti. Kalimat protesku tak digubrisnya. Dia membeli banyak roti untuk kubawa pulang.

Sejenak kekhawatiranku tersisihkan. Kebenaran suatu saat akan terbuka dengan sendirinya. Perih, luka maupun tangis bisa saja terjadi. Tapi untuk sekarang biarlah tawa yang mengiringi sampai kepastian menjadi jawaban.

*****

Di penghujung minggu, Erga menepati janjinya untuk mengajakku pergi ke tempat wisata. Dia juga mengajak Ferdi dan Wisnu. Kedua laki-laki itu mengetahui rencana kepergian kami dan memaksa ikut. Awalnya Erga menolak tapi aku sama sekali tidak keberatan. Situasi yang masih menimbulkan tanda tanya membuatku  lebih lega bila kami didampingin orang terdekat.

Kabar rengangnya hubungan Putri dan Axel sedikit memberi ruang untuk menenangkan untuk bernapas. Setidaknya sementara waktu aku tak perlu khawatir akan bertemu dengannya.

Sepanjang jalan menuju lembang, suasana mobil ramai oleh obrolan khas laki-laki. Bola, otomotif, game sampai tema perempuan seksi. Bagian paling akhir ditanggapi biasa saja oleh Erga. Senyumnya dipaksakan setiap membaca tanda protes dari mataku bila Ferdi atau Wisnu memancingnya untuk berkomentar.

"Hm dasar laki-laki takut pacar," ledek Wisnu dari bangku belakang.

Erga mendengus. Pandangannya lurus ke arah jalanan. "Daripada lo, laki-laki nggak punya pacar."

"Menikmati hidup nggak harus punya pacar dulu, Bro. Kita malah bebas kemana aja, kenalan sama siapa aja tanpa takut diomelin pasangan," bela Ferdi.

"Iya tapi di saat lo kerjanya cuma bisa kenalan sana sini tanpa kejelasan, cari perhatian sama perempuan tipe begini dan begitu, plus buang waktu sama uang padahal belum tentu dijadiin pacar, gue udah punya perempuan yang pastinya sehati. Cantik lagi."

Wisnu dan Ferdi terbatuk. "Jir, parah lo, Ga. Udah kena virus pujangga akut. Hati-hati, diputusin Marsya, depresi lo seumur hidup," ucap Wisnu belum mau kalah.

"Kalau misalnya Erga selihgkuh gimana, Sya?" Ferdi ikut memanasi suasana.

Aku tersenyum. Ketiga sahabat ini sering bercanda setiap bertemu. Ledekan mereka tidak kumasukan dalam hati. "Saya cuma bisa doain."

"Doain apa?" Erga akhirnya mengalihkan perhatian dari balik kemudi.

"Doain biar kamu jadi mahasiswa abadi. Nggak peduli mau pindah ke kampus manapun."

"Tah dengekeun, Erga. Omat tong nepi salingkuh. Dijamin maneh moal lulus-lulus nepi kiamat ge." Wisnu tertawa puas. *

"Ya, asal kamu mau maafin aku sih, nggak apa-apa. Otakku masih bisa dipakai walau amit-amit nanti nggak lulus."

Wajahku berpaling keluar jendela. Pura-pura kesal. "Yang bilang mau nerima lagi siapa? Gelas yang udah pecah tempatnya di tong sampah bukan rak piring."

"Kok kamu jadi marah? Aku kan nggak selingkuh beneran!" Erga sontak mendelik kesal ke arah kedua temannya. "Sekali lagi lo berdua buka mulut. Gue lempar nanti ke kawah panas."

Wisnu masih meneruskan tawanya. Dia tidak takut dengan gertakan Erga. Sementara Ferdi hanya mengulas senyum. Pandangan kami sempat bertemu saat kepalaku menoleh ke belakang. Sorotnya seolah mengatakan agar aku bersikap nomal lagi.

Selang beberapa menit, keduanya asyik bermain ponsel menggunakan earphone. Mungkin mereka ingin memberi ruang untuk kami bicara tanpa mendapat gangguan.

Kuperhatikan Erga. Rahangnya mengeras. Caranya memegang stir mengesankan sedang menahan amarah. Demi menjaga agar suasana tetap kondusif, kuabaikan rasa malu. Perlahan kusentuh jemarinya. "Tadi cuma bercanda. Jangan marah ya."

Erga melirik sekilas. "Bagaimana lagi, kamu terlanjur jadi candu. Aku bisa susah kalau melepasmu."

"Love you," godaku lirih namun pelan.

Mobil yang Erga kemudikan hampir saja berbelok ke tepi dataran curam di tikungan andai dia tidak cukup sigap. Kedua penumpang di belakang bertanya sambil lalu dan kembali sibuk dengan ponsel masing-masing. Bibirku mencibir penuh kemenangan melihat sikap kikuknya. "Aku benar-benar sudah gila," keluhnya seperti sedang mempertanyakan kewarasannya.

Perjalanan kami teruskan menuju beberapa tempat wisata di sekitar lembang. Setelah mengisi perut dengan makanan khas sunda, Erga mengalah ketika aku ingin menyantap jagung bakar walau masih kenyang. Wisnu tentu menjadi pendukung setia. Makanan adalah kegiatan favoritnya. Kami juga menyempatkan mampir salah satu di kebun strawberry. Di sana  aku bebas memetik sementara Erga dan dua temannya memilih menunggu di kafe yang merupakan bagian dari tempat itu.

Perasaan senang membuatku terlupa perhatian Erga. Sesekali dia mengawasi dari kejauhan sambil mengobrol. Aku baru pertama kali datang ke tempat seperti ini dan ternyata cukup menghibur. Terlebih udara sangat segar setiap kali menghela napas.

Setengah jam berlalu, keranjangku telah penuh. Buah berwarna merah terang dengan bintik-bintik putih tampak menggoda selera.

Erga bergegas bangkit, mendahului saat akan menimbang strawberry hasil petikanku. Dia mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna merah untuk membayar stawberry dan pesanan kopi pesanan mereka. Padahal aku berniat membayarnya sendiri.

Setibanya di tempat parkir, panggilan memanggil nama Erga terdengar. Kami berbalik mencari asal suara.

Jantungku serasa akan lepas dari tempatnya. Pemandangan dua sosok yang mendekati kami hampir menguras sisa tenaga. Butuh usaha keras untuk memastikan kaki tetap berpijak kuat di tanah.

Putri dan Axel berjalan bersisian. Kecemasan memuncak karena pertemuan tak terduga. Satu sisi ketakutan terkuaknya masa lalu mendominasi perasaan namun gejolak amarah di dada jauh lebih menyesakan. Aku belum bisa melupakan sepenuhnya memori kelam yang dia torehkan dulu.

Kepalaku tidak mungkin menunduk terus. Semua akan curiga kalau sikapku mendadak berubah. Ini mimpi terburuk. Sekian lama menjauh, akhirnya aku harus berhadapan kembali dengan Axel.

Laki-laki yang menjadi cinta pertamaku itu rupanya belum menyadari kehadiranku. Dia sibuk menyapa dan mengalami Erga dan dua temannya. Putri berdiri di sampingnya. Senyuman  manis menambah aura kecantikannya. Balutan midi dress polos warna biru tua ditubuhnya tampak anggun. Rambut panjangnya tergerai indah. Polesan make up natural menyempurnakan penampilannya.

Dan Axel, dia banyak menyalami perubahan secara fisik. Tingginya hampir menyamai Erga. Otot perut dan tangannya menonjol dibalik kaus polo putih. Rambutnya agak panjang dan sengaja dibiarkan berantakan. Ketampanannya tidak memudar malah dia terlihat lebih matang. Sosok yang  mampu memancing lirikan setiap perempuan kecuali diriku.

Aku sendiri berdiri di samping Wisnu. Berharap pertemuan ini segera usai.

Putri tersenyum padaku. "Axel, sudah dulu ngobrolnya. Kenalkan ini Marsya, pacarnya Kak Erga."

Suara lembut Putri mengalihkan perhatian Axel. "Siapa? Pacarnya Kak Erga?" ulangnya dengan suara berat.

Axel mengulurkan tangan sambil menilik wajahku. Sorotnya teduh, memancarkan keramahan. "Marsya?"

Tbc

* Tah, dengekeun, Erga. Omat tong nepi salingkuh. Dijamin maneh moal lulus nepi kiamat ge : tuh, dengerin, Erga. Ingat jangan sampai selingkuh. Dijamin kamu nggak akan lulus sampai kiamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro