Chap#13
Aku menghilang. Tepatnya melarikan diri ke kantin sebelum pertandingan usai. Beralasan ingin ke toilet demi terhindar dari kecurigaan. Erga masih melanjutkan permainannya. Sorak sorai terdengar mengelu-elukan dirinya dari kejauhan.
Langit semakin menguning. Suasana kantin beranjak sepi. Sebagian kios memilih tutup. Tidak ada seorang pun berada di sana kecuali diriku.
Di salah satu meja, dekat kios yang menjual minuman, aku menghabiskan waktu sambil menyeruput soda dingin. Pikiran terus berkelana.
Untuk kedua kali aku termakan umpan sendiri. Erga berhasil memenuhi syarat agar permintaannya dikabulkan. Jenis permintaan yang berhasil membuat wajahku memerah setiap membayangkannya.
"Kenapa di sini sendirian? Erga dari tadi nungguin kamu." Teguran seseorang membuyarkan lamunan.
Ferdi mengerutkan dahi lalu memutar pandangan ke arah lain. "Tuh orangnya datang," sahutnya.
Kepalaku mau tak mau mengikuti arah pandangannya. Erga terlihat keluar dari bagunan utama. Beberapa perempuan berjalan bersamanya sambil mengobrol. Dia menenteng ransel dan menaruh handuk kecil di lehernya. Sosoknya seolah bersinar saat matahari senja menyinari dirinya.
Jantungku berdegup sangat kencang. Memalingkan wajah kembali ke depan. Ketegangan berkumpul di pusat perut ketika pandangan kami bertemu tadi.
Aku pura-pura tak acuh begitu Erga menghampiri kami. Dia berbicara sebentar dengan Ferdi setelah meletakan ranselnya di sampingku. Tidak lama dia pergi menuju kios tempat aku membeli minuman dingin. Ferdi ikut menjauh ke salah satu kios yang menjual makanan berat.
"Kenapa tadi kamu nggak datang lagi ke lapangan?" Kekecewaan tersirat dari laki-laki yang duduk dengan posisi berlawanan di sebelahku. Salah satu sikutnya menumpu pada meja.
"Maaf tadi haus jadi aku mampir dulu ke sini."
"Mampirnya lama banget. Aku pikir kamu pulang duluan." Erga meneguk air mineral hingga menyiksakan setengah botol. "Tentang permintaanku tadi, kalau kamu keberatan bilang saja. Aku nggak akan melakukannya bila kamu merasa tak nyaman."
"Bu... bukan begitu, hanya saja permintaanmu di luar perkiraan. Ditambah kamu mengatakannya tanpa beban. Seolah terbiasa melakukannya dengan mantar pacarmu terdahulu."
Erga menghela napas pendek lalu tersenyum kecil. "Aku nggak ingin pembicaraan kita menyerempet kemana-mana hingga berujung pada pertengkaran. Dan aku rasa bukan sesuatu yang bijak membanding-bandingkan gaya pacaran terdahulu dengan hubungan kita. Kamu kelihatan murung saat di lapangan tadi dan menggodamu mungkin bisa mengembalikan senyumanmu."
Perasaan mendadak mencelos. Kebahagiaan memudar tanpa sisa. Mendapati kenyataan bahwa permintaan Erga didasari keisengan belaka menghadirkan nyeri di dada. "Oh begitu," ucapku datar.
Ferdi datang kembali namun urung bergabung di meja kami. "Ah dasar lo, Ga. Masih pinter aja sih buat anak orang nangis," gerutunya lalu beranjak ke meja lain.
Erga memutar badannya hingga posisinya sejajar denganku. Jemari besarnya merapikan rambutku ke belakang telinga. "Aku salah bicara lagi?"
Kepalaku menggeleng, menahan malu dan panas di kedua bola mata. "Hari ini aku terlalu sensitif."
"Jangan salah paham. Dulu aku terbiasa berkata terus terang dan itu terbawa sampai sekarang. Tapi ada yang berbeda saat bersamamu. Di luar alasan wajah murungmu, aku nggak ingin memberi kesan bahwa permintaan tadi karena sekadar nafsu."
Aku terlanjur kecewa dan mengabaikan penjelasan Erga. "Sudah sore. Aku mau pulang."
Erga menahan tanganku saat akan bangkit. Sorot tajamnya memaksa tubuhku duduk kembali. "Tunggu sebentar. Kamu boleh pulang tapi nggak sambil cemberut."
"Terus mau bilang apa lagi? Aku sudah paham kalau kamu cuma iseng."
"Iseng?Kenapa sih perempuan selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."Erga mengacak-acak rambut basahnya dengan gusar. "Kamu salah mengartikan maksudku, Sya. Sebenarnya aku kesal karena candaanmu pagi tadi. Jujur saja saat di lapangan, aku berniat membalas dengan membuatmu cemburu. Usaha yang berujung kegagalan karena diriku justru nggak suka melihatmu merasa tersisih. Dan permintaan saat pertandingan bukan karena iseng. Aku sayang banget kamu."
Aku masih membisu.
"Dengar, Maca sayang. Dengan mantan-mantanku dulu, aku terbiasa mengungkapkan perasaan tanpa berpikir penerimaan mereka. Sebagian dari mereka cenderung berani termasuk dalam gaya pacaran atau penampilan. Dirimu adalah pengecualian. Aku nggak ingin kamu berpikir buruk menanggapi tindakanku. Sikapmu yang terkadang polos dan labil, entah kenapa membuat rasa cemburu mudah datang dan itu berlaku pada temanku sekalipun."
Wajahku berpaling padanya. Mata terbuka lebar. "Apa dulu gaya pacaranmu... "
"Nggak, Sya." Potong Erga. "Aku punya batasan setiap menjalin hubungan dengan perempuan."
"Kamu nggak mau balik bertanya?"
Erga tertawa. "Perlukah bertanya bila ciumanmu sudah memberi jawaban." Suaranya semakin keras saat kusikut. Belum sempat bicara, bibirku tiba-tiba mendapat kecupan.
Ferdi yang duduk di meja lain terbatuk sementara sahabatnya tersenyum puas. Tubuhku membeku ketika Erga beranjak dari kursi. Kata-kata yang sempat diucapkannya terdengar bagai angin lalu.
Laki-laki itu mendekati meja Ferdi. Sebuah pukulan ringan mendarat di kepalanya. Erga tergelak sambil menyeret kursi di hadapan sahabatnya. Dia tak peduli dihujani tatapan tajam.
Kepalaku menunduk, mengaduk sedotan tanpa berniat menghabiskan sisa minuman. Rona merah di wajahku masih membekas. Tindakan nekat Erga membuatku sangat malu. Beruntung saksi mata kelakuannya hanya Ferdi. Penjaga kios kebetulan sedang tidak berada di tempat.
Erga memalingkan wajahnya padaku. Dia melambaikan tangan, meminta agar diriku mendekat. Sekalipun jengkel, aku tetap saja menurut. Dia mengedipkan mata tanpa rasa bersalah saat menyeret bangku di sebelahnya.
"Sya, kalau laki-laki nyebelin ini macam-macam, bilang sama Akang. Biar nanti Akang seret ke tukang sunat."
Tawa Ergga kembali menggelegar. Tangannya menarik kepalaku agar bersandar di dadanya. "Percuma, Fer. Maca nggak akan rela gue di sunat lagi."
Ferdi tersenyum kecut memandangi sahabat bebalnya.
"Lo sendiri gimana? Gimana hubungan lo sama tetangga sebelah rumah?"
"Kang Ferdi udah punya pacar ya?" tanyaku kaget mendengar ucapan Erga. Selama ini Ferdi tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan manapun. Padahal yang suka padanya bukan hanya sekitar dari mahasiwi jurusan kami. Belum lagi fisik dan perawakannya tidak kalah menarik dari Erga. Sikap tegas membuatnya sering didaulat menjadi ketua bila ada acara kampus.
Usapan lembut terasa di kepala bersamaan kecupan di puncaknya. "Jangan salah. Penampilannya di kampus cuma kamuflase. Dia itu termasuk orang yang diam-diam menghanyutkan. Kalau sudah suka, pantang mundur sebelum janur kuning melengkung. Tipe cowok cool... cooleuheu*," gelak tawa mengakhiri penjelasan Erga.
"Berisik lo, Ga," geram Ferdi.
Erga mendadak memundurkan tubuhnya kebelakang lalu bersembunyi di balik punggungku. "Huu. Takut." Sebuah handuk melayang dan menempel tepat di wajah Ferdi. "Tuh gue kasih sesajen, gratis nggak usah dibalikin."
"Jirr. Ini bekas apaan, Ga. Baunya ngalahin Bantar Gebang." Ferdi menjauhkan handuk itu dengan ujung jari.
"Aroma super tahan lama, Fer. Ketek gue."
"Kampret, lo." Handuk itu kembali melayang, dimaksudkan ke arah Erga namun rupanya malah mengenai orang lain di belakang kami. Suara terkesiap membuat semua pandangan beralih.
Seorang perempuan dengan tubuh mungil dan rambut pendek berdiri sambil menutup hidungnya. Dia melempar handuk ke meja. Keningnya berkerut dan memasang raut jijik.
Erga bergegas bangkit. "Eh ada Kanaya. Mau ketemu Ferdi ya?" Laki-laki yang dimaksud mengubah pandangannya. Tatapannya lurus tertuju pada perempuan itu.
Perempuan itu melirik sekilas ke arah Ferdi. "Iya tapi lagi malas ngomong sama orang-orangan sawah." Sebutan orang-orangan sawah kemungkinan ditujukan untuk Ferdi.
Dia menyodorkan sebuah kunci pada Erga. "Tolong sampaikan, tadi siang ibunya pergi ke luar kota. Itu orang-orangan sawah nggak bisa dihubungi jadi kuncinya di titip sama aku. Cuma semua orang di rumah aku lagi pergi. Aku juga ada janji jadi nggak mungkin nungguin dia pulang. Kak Erga tahu sendiri kalau dia lagi ngomel persis kayak kereta api."
Ferdi tiba-tiba bangkit. Ketenangan yang biasa dia tampilkan berganti gusar. Diraihnya ransel di meja dengan kasar. Laki-laki itu mengambil langkah menghampiri keduanya.
"Mohon bersabar ini ujian. Ujian dari Allah. Mohon ditahan emosi. Motornya tolong diges.... " Ledekan Erga meniru kata-kata yang pernah jadi viral terhenti ketika Ferdi menyikut perutnya cukup keras.
Naya membuang wajah dari kedua laki-laki dihadapannya lalu mengeluarkan kunci dari balik jaketnya pada Ferdi. "Ganti ongkos ojek aku tadi."
"Nanti, aku ganti kalau sudah di rumah."
"Aku mau sekarang. Hari ini ada janji."
Aku tersenyum geli melihat interaksi Ferdi dan Kanaya. Perempuan itu bersikap sangat defensif. Meski terlihat tomboy, tubuh mungilnya memberi kesan imut. Sementara itu Erga masih saja tidak tahu malu. Dia asyik menjadi nyamuk di antara keduanya.
Ferdi tidak menggubris. Setengah memaksa, dia menarik tangan Kanaya. Tubuh tegapnya tak bereaksi ketika kakinya dihujani injakan. Dari kejauhan, mulut Kanaya tampak komat-kamit sambil melotot.
Erga kembali menghampiriku. "Tunggu sebentar ya." Dia berlalu menuju kios minuman.
Pandangan terus memperhatikannya. Erga menggerutu ketika penjual kios lain mendekatinya. Keduanya bicara cukup alot.
"Kenapa?" tanyaku bingung setalah Erga kembali.
"Si Ferdi bilang kalau pesanan makanannya aku yang bayar. Dasar si merege hese*."
"Ya sudah, pakai uang aku aja," tawarku.
"Jangan. Pakai saja untuk keperluanmu. Minumanmu juga sekalian sudah kubayar. Kita pulang ya." Erga membungkuk untuk merapikan tali sepatunya.
Aku bergegas bangkit menuju meja di depan belakang kami. Handuk milik Erga kulipat hingga rapi.
"Kamu nggak jijik?" Erga rupanya sudah berada di belakangku.
"Nggak. Keringat pacar sendiri kok. Dicuci juga bersih lagi," ucapku mengabaikan dirinya lalu memasukan handuk tadi ke dalam ransel Erga.
"Kebaikanmu membuatku merasa bersalah." Dia mengecup keningku. Wajahnya sesaat menunjukan penyesalan.
Kami melanjutkan langkah sambil bergandengan tangan. Pertengkaran sepele menghilang tanpa jejak. Hanya ada senyum dan tawa. Setibanya di parkiran, aku segera memakai helm sementara Erga telah lebih dulu duduk di jok motor.
Dia membuka kaca helmnya saat menoleh padaku. "Jadi bagaimana kelanjutan permintaanku tadi?"
Bibirku mencibir serasa menutup kembali kaca helmnya "No way!"
*****
Hari berlalu begitu cepat namun bukan berarti kegelisahan beranjak pergi. Ada sedikit kelegaan saat tidak sengaja mendengar pembicaraan Erga dan Putri di kantin. Axel mengunjungi perempuan berambut panjang itu hanya di kala weekend atau libur panjang karena sibuk kuliah.
Aura jatuh cinta terpancar setiap nama Axel disebut. Aku tidak tahu harus khawatir atau senang untuk Putri. Di balik wajahnya yang terkesan judes, dia cukup ramah padaku. Beberapa kali kami pernah mengobrol. Putri sangat mendukung hubungan kami bahkan tidak sungkan membagikan hal-hal yang Erga sukai diketahuinya.
Aku tahu ada kemungkinan Axel telah berubah. Dari cara Putri menceritakan kedekatannya dengan Axel, kesan positif selalu muncul. Bagaimana sikapnya saat menunggui perempuan itu berjam-jam di salon tanpa mengeluh. Rela bolak balik Bandung Jakarta hanya untuk menemani Putri nonton atau belanja meski keesokan hari ada kuliah pagi. Axel juga jarang marah dan lebih banyak mengalah.
Erga menanggapi kisah Putri tanpa banyak bicara. Dia ikut senang dengan kedekatan keduanya meski belum sepenuhnya mempercayai Axel. Seharusnya aku turut bahagia. Terlepas dari masalah di masa lalu, Axel berhak mendapat kesempatan untuk melanjutkan hidup bila memang dia telah berubah menjadi lebih baik. Tapi kenyataan yang baru kuketahui menghujam perasaan. Kenyataan bahwa Axel pernah menjalin kasih dengan Egia, adik Erga.
Menurut penjelasan Erga saat kami bicara di kantin seusai kuliah terakhir, Axel tampak terpukul pada saat mengetahui kematian Egia. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya bahkan sempat histeris kala datang melayat. Axel merasa bersalah karena sebelum kecelakaan, mereka sempat bertemu dan terlibat pertengkaran. Namun bukan itu yang membuat Erga marah. Kenyataan bahwa Axel telah menduakan perasaan Egia hampir menyulut emosi bila saat itu tidak ditenangkan oleh pihak keluarga.
Dia mengetahui hal itu dari catatan harian Egia. Semua kesedihan tertulis termasuk situasi yang menjelaskan detail perselingkuhan Axel tanpa menyebut nama perempuan itu. Selain denganku, Axel memiliki kekasih di beberapa sekolah lain. Dan dengan bodohnya, aku selalu mempercayai alasannya setiap kali kecurigaan muncul.
Salah satu sahabat Axel sempat mengatakan, di antara perempuan yang dekat dengannya, hanya diriku yang tidak bisa dia lepaskan. Itu sebabnya sekalipun bermain hati kesana kemari, posisiku tetap nomor satu. Bukan sekali atau dua kali, aku meminta berpisah tapi kemarahan selalu menjadi jawaban.
Axel merupakan sosok populer di sekolah. Nilainya selalu mendapatkan nilai yang baik, begitupun dengan perilakunya. Di hadapan orang-orang, senyuman selalu terpasang di wajahnya. Guru mengenalnya sebagai siswa teladan. Ditambah orang tuanya yang selalu menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam setiap event sekolah membuat Axel terbiasa mendapat pujian.
Axel bukan manusia tanpa cela. Dia hanya pintar mengelabui orang-orang sehingga sifat buruknya tertutup oleh senyuman bak malaikat.
Sejujur apapun, cerita dari sisiku hanya dianggap fitnah belaka. Semua orang akan menganggapku perempuan tak tahu diri. Di usia yang belum Kelemahanku terbaca oleh Axel dan dia menggunakannya untuk mengikat perasaan kami.
Anganku melayang, mengingat peristiwa ketika memergoki Axel bersama perempuan lain di mobil. Pada waktu itu aku sudah memantapkan hati untuk berpisah. Sikap kasar Axel tidak bisa lagi ditolelir. Begitu pula dengan rumor perselingkuhannya yang sengaja ditutupi teman-teman dekatnya.
Axel sangat marah melihatku mendatangi salah satu kafe tempat dia dan teman-temannya berkumpul. Aku ingat, malam itu langit gelap tanpa bintang. Ditemani salah satu teman dekat, kuberanikan diri menyudahi hubungan kami.
Dia menyeretku menjauh dari mobilnya setelah sebelumnya sempat meminta perempuan di bangku belakang agar tidak mengikutinya. Aku sempat berusaha melawan, tidak peduli lagi meski rumor itu benar adanya.
Axel meminta maaf dan mengatakan akan menjauhi perempuan mana pun. Aku cukup lama tersakiti hingga tak mempercayai semua pembelaannya. Beruntung sahabatku segera membawaku menjauh dari tempat itu, meninggalkan Axel yang diliputi amarah.
Beberapa hari sejak kejadian itu, sosok Axel tidak terlihat di sekolah. Semua teman dekatnya bungkam bila ada guru yang bertanya. Aku salah besar dengan berpikir bisa melanjutkan hidup tanpa rasa takut karena ketika Axel datang lagi, kehidupanku semakin jauh dari kata tenang.
*****
Kekhawatiran pada Axel seolah menempatkan posisiku kembali ke masa SMA. Perpustakaan jadi tempat pelarian demi menghindari pertemuan tak terduga. Aku cukup mengenal karakter Axel. Dia akan berusaha keras agar keinginannya terpenuhi. Hubungannya dengan Putri masih dalam tahap pendekatan. Dan aku yakin seiring kedekatan mereka, sosok Axel akan sering terlihat di kampus ini.
Siang ini pun begitu, sejak setengah jam lalu, diriku menghabiskan waktu di antara tumpukan buku. Tawaran makan siang teman-teman kutolak dengan alasan masih kenyang. Mereka tak banyak bertanya ketika aku memilih berada di perpustakaan.
"Melamun saja, Sya? Nggak ke kantin? Dicariin Erga tuh." Sapa Ferdi. Laki-laki itu muncul dari balik rak panjang tepat di sebelah mejaku.
"Bukannya Kak Erga hari ini nggak ada kuliah?"
"Pengin lihat kamu katanya." Ferdi mengambil beberapa buku dari rak. "Meski nyebelin, Erga itu gigih kalau sudah ada maunya. Sebenarnya Akang juga nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba suka sama daun muda. Tapi sepanjang yang Akang lihat, di antara pacar-pacarnya dulu, baru sama kamu dia kelihatan lebih posesif. Dia bisa manyun seharian cuma karena melihat kita akrab. Sejauh kenal sama Erga, ini pertama kalinya Akang tahu dia bisa bersikap kayak gitu. Biasanya cuek selama masih tahap wajar."
Penjelasan Ferdi menggelitik rasa ingin tahu lebih banyak tentang sosok Erga. "Masa sih, Kang?"
"Kamu boleh percaya atau nggak. Akang juga sering bingung sama Erga. Awalnya Akang pikir, dia baik sama kamu karena ingat pada almarhumah adiknya. Tapi perlakuannya ke Putri nggak semanis dibanding kalau kalian sedang bersama." Ferdi mendadak diam.
Aku terus memperhatikannya. Kediaman seniorku mengundang banyak tanya.
"Akang harap kalian bisa saling menjaga emosi. Erga tipe orang yang bisa nekat. Menyerah nggak ada di kamusnya. Berbuat hal tergila pun mungkin akan dia lakukan agar bisa mendapatkan keinginannya. Tapi pada dasarnya dia baik kok, nggak pernah pilih-pilih dalam berteman. Cuma.... " Ferdi menoleh sambil tersenyum kecut. "Erga punya sifat jelek, kalau sudah benci atau nggak suka, susah dan lama banget buat bisa kasih maaf. Begitu juga kalau udah cinta, seluruh dunia nggak setuju pun dia bakal tutup mata sama telinga."
Bulu roma sontak berdiri. Bayangan Erga berbalik membenciku semakin membesar. "Mm aku sempat mendengar Kak Erga sempat bilang nggak suka sama laki-laki yang dekat dengan Putri tapi sekarang sikapnya seolah setuju. Padahal dulu laki-laki itu pernah menyakiti adiknya."
Ferdi menyeringai sambil menatap deretan buku di rak. Sepertinya dia pun tidak menyukai laki-laki itu. "Erga mengalah karena menganggap Putri sudah seperti adik sendiri. Berulang kali dia memperingati Axel agar nggak mengulang kesalahan yang sama. Kalau nggak memandang Putri, Erga mungkin sudah memberi laki-laki itu bogem mentah karena berani muncul."
"Jadi Erga masih menyimpan dendam atas kematian adiknya?"
"Akang kurang tahu sejauh mana dia menyimpan sakit hatinya. Sepeninggal Egia, Erga selalu menutup mulut bila bicara tentang masalah pribadi adiknya. Dia mencoba berdamai dengan kemarahan dengan nggak mencari tahu tentang kehidupan pribadi Axel atau siapa selingkuhannya tapi siapapun perempuan itu, kadar kebenciannya sama besarnya seperti pada laki-laki itu. Erga memang sayang banget sama adik perempuan satu-satunya itu."
Kepalaku mulai memikirkan arah hubungan kami. "Kenapa Kak Erga bisa berpikir ke arah sana? Bukankah perempuan itu juga korban perbuatan Axel?"
"Sebulan sebelum Egia kecelakaan, dia sering menerima pesan dan telepon dari seorang perempuan yang mengaku pacar satu-satunya Axel. Egia disuruh memutuskan hubungan. Itu sebabnya dia nekat pergi ke Jakarta, untuk meminta penjelasan. Dan akhirnya ceritanya sudah kamu tahu."
"......"
Tbc
*cooleuheu = plesetan bahasa sunda dari kata kuleuheu yang artinya dekil/kumal
*merege hese dalam bahasa sunda artinya pelit
INGV soon ya. Jangan lupa klik tanda bintang dan komen ya, biar update selanjutnya bisa cepet. 😘
Dinni83
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro