Chap#12
Irama jantung berdegub lebih kencang dari biasanya. Keringat dingin belum surut membasahi telapak tangan. Dada begitu sesak, seolah ada beban berat yang menghimpit setiap kali menghirup udara.
Kekalutan terus menghantui padahal diriku telah berada di luar kampus. Tanpa terasa kaki membawaku ke sebuah halte kosong. Hanya tempat itu yang terpikir olehku untuk sejenak menenangkan diri. Letaknya tidak terlalu jauh dari gerbang kampus dan kemungkinan Alex melihat keberadaanku tetap besar. Meski begitu, sulit sekali berpikir jernih. Aku masih bingung memilih pergi atau tetap memaksakan diri masuk kelas.
Seiring berlalunya waktu deringan ponsel terdengar. Deringnya tak juga berhenti dan mulai menganggu. Nyaliku mendadak menciut meski hanya untuk melihat nama di ĺayar. Sikap pengecut muncul imbas dari rasa takut.
"Maca." Seruan tiba-tiba terdengar. Satu-satunya laki-laki yang memanggilku dengan panggilan itu hanya Erga. Sontak aku berpaling menuju sumber suara, memastikan indera pendengaran tak tertipu.
Dugaanku benar. Erga berlari, menghampiri dari arah kampus. Napasnya masih terengah-engah setibanya di halte. Keberanian nyaris hilang ketika pandangan kami bertemu. Debaran di dada semakin kencang seolah ingin keluar dari tempatnya.
Bingung sekaligus khawatir membayang di kedua mata Erga. Dia membungkukkan punggungnya lalu berkata. "Kamu sakit? Putri tadi bilang sempat bertemu denganmu di kantin. Aku sudah mengelilingi kantin tapi nggak menemukanmu. Telepon dan pesan juga nggak kamu balas."
"Cuma sedikit pusing, Kak. Aku mau pulang saja. Percuma masuk kelas kalau materinya nggak ada yang nempel di kepala." Susah payah aku mengatur nada bicara sewajar mungkin. Terpaksa mencari alasan demi menutupi kebohongan.
Erga mengusap pipiku lembut. Senyumannya tulus dan aku tersiksa karenanya. "Aku antar pulang ya. Tunggu sebentar, aku pesan taxi online dulu." Dia menegakkan kembali tubuhnya tanpa beranjak menjauh.
"Kakak nggak bawa motor?" tanyaku berbasa-basi.
"Dipakai Egi, dia bilang motornya rusak. Pagi tadi anak itu telat bangun. Kebetulan sekolahnya agak jauh dari rumah jadi terpaksa pinjam motorku," balas Erga tanpa mengalihkan pandangan pada ponsel.
Aku terdiam. Stok pertanyaan seketika menyusut. Bersikap manja seperti meraih jemarinya juga tidak sanggup kulakukan. Keberadaan Axel menambah tekanan. Aku belum tahu akan mengambil sikap seperti apa. Jujur mungkin cara terbaik tapi itu artinya kenangan pahit akan terkorek dari dalam peti yang terkunci rapat dalam ingatan.
"Nah. Itu mobilnya sudah datang." Erga mengangkat dagunya. Sebuah sedan hitam tidak berapa lama berhenti di depan kami.
Erga mendekati kaca pengemudi yang terbuka. Seorang laki-laki setengah baya muncul dan bicaranya dengannya. Selang beberapa detik, dia berbalik menghampiriku. "Bisa jalan atau mau digendong?" Mimik wajahnya tampak serius.
Kepalaku menggeleng. Perlakuan manisnya berbuah rona merah di pipi. Aku menundukan kepala agar ekspresi malu-malu tidak terlihat olehnya. "Aku cuma pusing bukannya patah tulang."
Dia terkekeh lalu meraih jemariku. Sekilas bola mataku berputar ke arah kampus. Ada sekelebat harapan bahwa sosok tadi hanya sekadar mirip dengan Axel. Namun bila kenyataannya dia ternyata memang Axel, mungkin permainan kucing-kucingan seperti ini akan terus berlanjut.
Sepanjang perjalanan mulutku terkunci. Erga mengira kekasihnya sedang tidak enak badan. Dia membiarkan diriku menyandarkan kepala di bahunya. Demi menghindari pertanyaan, sengaja aku memejamkan mata. Perasaan terus berkecambuk antara harus berkata jujur atau menunggu kesiapan menceritakan hubunganku dengan Axel.
"Pusing banget ya? Bola mata kamu gerak-gerak terus."
"Sedikit."
Sentuhan jemari terasa memijat keningku. "Gimana? Sudah enakan?"
"Jawabnya nanti kalau sudah sampai rumah. Lebih enak lagi kalau pijitnya agak kerasan." Suara sengaja kubuat serak.
"Bagus. Kepintaranku ternyata sudah menular padamu." Dia terdengar bangga.
"Pintar atau licik?"
Mataku perlahan terbuka. Erga rupanya bicara tanpa memperhatikanku. Dia asyik memainkan ponselnya dengan sebelah tangan. "Tergantung kamu melihatnya dari sudut pandang mana. Sekalipun kamu mempunyai niat licik, aku nggak akan mengatakan sebutan itu."
"Kenapa?" tanyaku penasaran. "Takut aku marah?"
Erga menoleh. Garis bibirnya melengkung membentuk senyuman. Dia terlihat super menarik, setidaknya dalam penglihatanku. Pijatannya terhenti. "Bukan. Percuma berdebat panjang karena pada akhirnya aku tidak tega melihatmu cemberut."
Aku tersenyum senang lalu kembali memejamkan mata. Ingatan tentang Erga tergali. Latar belakang keluarga biasa saja. Kendaraan yang dia miliki bukanlah mobil eropa keluaran terbaru atau motor sport berharga puluhan juta. Penampilannya rapi dan bersih sekalipun keseharian memakai kaus juga jeans. Dia juga bukanlah cowok paling tampan di kampus. Mungkin penilaianku terdengar kurang realitis tapi entah kenapa bersamanya terasa nyaman dan itu sudah cukup bagiku.
Supir yang membawa kami ke rumahku mengintip dari balik kemudi. Dia mungkin sedang menertawakan dalam hati sikap sepasang muda-mudi di kursi belakang.
Setelah menempuh waktu satu jam kurang, kami akhirnya sampai di tujuan. Ibu tengah merawat tanaman hias ketika aku membuka pagar. Senyuman menyambut kami seperti biasa setiap aku pulang ke rumah. Sayang, kebahagiaan di wajahnya tak bertahan lama. Kecemasan menggelayuti begitu mendengar alasan putrinya pulang lebih cepat.
"Ini akibatnya kalau suka menunda waktu makan. Kamu masuk dulu, Ibu nanti buatkan sop ayam." Ibu menggeleng sambil berdecak. Dia sudah lupa dengan kegiatannya mengurus tanaman.
"Kalau begitu saya pulang, Tante," pamit Erga. Keberadaannya sempat terlupa karena omelan Ibu.
Ibu menyentuh bahu Erga, menahan kepergian laki-laki yang tengah dekat dengan putrinya. "Tunggu sebentar, Erga. Kamu juga ikut makan ya. Anggap sebagai ucapan terima kasih sudah mengantar Marsya. Sekalian tolong nasehati dia supaya banyak makan. Ibu sudah pusing kalau keras kepalanya kumat." Suara Ibu berubah lembut.
Erga tak kuasa menolak permintaan Ibu. Sejak awal kedatangannya ke rumahku, dia selalu menunjukan rasa hormat pada orang tuaku. Reaksi dingin Ayah maupun sikap kurang bersahabat Kak Aji dibalasnya dengan senyuman. Semua dia anggap wajar. Bila adik perempuannya masih hidup, dia akan melakukan hal yang sama.
Di antara anggota keluarga, terkecuali diriku, Ibu paling bersikap baik. Mungkin karena itu Erga sungkan menolak permintaannya.
Dia menunggu di ruang tengah sementara aku bergegas menuju kamar. Tas kulempar ke atas tempat tidur. Kuhela napas berulang kali. Usaha itu cukup manjur. Perasaan sedikit membaik dan itu artinya aku harus segera menemui Erga.
"Kamu temani Erga saja." Perintah Ibu ketika aku keluar dari kamar dan pergi ke daput. Aku berniat membantunya menyiapkan makan siang. Kemampuan memasakku memang belum layak disebut handal walau begitu tidak enak membiarkan Ibu sibuk sendiri.
Kaki beralih ke ruang tengah. Erga kudapati tengah bersandar di sofa. Dia asyik menonton acara mengenai tempat wisata di kota kami. " Temani ibumu."
"Sudah tapi Ibu sendiri yang memaksa aku menemani Kakak. Lagi pula Ibu suka bawel kalau kegiatan masaknya diganggu." Kami duduk di sofa yang sama tapi saling berjauhan.
"Besok ke kampus?"
"Tergantung kondisi badan." Aku diam sejenak. "Kenapa memangnya?"
Erga memalingkan wajahnya kembali ke layar kaca. "Nggak apa-apa, hanya saja aku harus menahan rindu sehari lagi. Tapi kalau kamu sakit lebih baik istirahat saja." Selalu begitu, dia mengucapkan kalimat balasan tanpa berpikir lebih dulu.
"Tangkuban perahu jauh ya dari sini?" tanyaku mengalihkan pandangan. Sebuah tempat wisata di daerah Lembang tampak di televisi. Tempat yang lekat dengan legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi.
"Lumayan tapi kalau hari biasa nggak terlalu macet. Kamu belum pernah ke sana?"
"Dulu pernah sih, waktu masih SD. Itu juga sudah lupa."
"Mau ke sana?" tawarnya.
"Mau," jawabku cepat.
Erga tersenyum. Usapan kepalaku membuai asa. "Kalau kamu sudah sehat, kita pergi ke sana. Hari biasa aja, kalau weekend pasti macet. Aku nanti pinjam mobil Ayah."
"Jangan, siapa tahu mobilnya mau Ayah pakai. Pakai motor juga nggak apa-apa kok."
"Nggak perlu sungkan. Ayah sudah bilang nggak keberatan mobilnya dipijam satu hari. Sekarang masih musim hujan. Setidaknya kalau bawa mobil kita nggak perlu berteduh atau repot pakai jas hujan."
"Tapi.... "
"Kamu tenang saja. Lagian aku jarang mengajakmu pergi jauh. Untuk sekarang hanya ini yang bisa kulakukan, maklum masih mahasiswa," kelakarnya sambil tertawa pelan.
"Aku tahu dan tidak akan protes."
Pembicaraan kami terputus ketika Ibu muncul. Dia memberitahu masakannya sudah siap. Aku mengangguk dan mengajak Erga bangkit. Di sisi lain, perasaan semakin tidak keruan. Kebaikan Erga justru menambah beban pikiran.
Aku berusaha bersembunyi dibalik senyuman. Memperhatikan interaksi antara Erga dan Ibu lumayan menghibur. Keduanya terlihat cukup akrab. Pujian tulus mengalir dari bibir laki-laki itu tentang kelezatan masakan Ibu. Padahal masakannya hanya sop ayam, omelet dan tahu goreng. Piringnya benar-benar bersih tanpa menyisakan satu butir nasi. Ibu sangat senang ada yang menyantap masakannya begitu lahap.
Selesai makan, Erga pamit. Dia beralasan masih ada keperluan di kampus. Aku menemaninya hingga teras. Ketakutan kehilangan dirinya semakin membesar seiring kebersamaan kami.
"Melamun saja."
"Eh."
Cubitan gemas mendarat dipipiku. "Jangan lupa minum obat lalu istirahat. Aku akan mengabari lagi nanti."
Kepalaku mengangguk. Erga meraih jemari lalu mencium singkat punggung tanganku. "Aku pergi dulu." Dengan berat hati kulepas genggamannya.
Erga melambaikan tangan sebelum berjalan menuju ojek online pesanannya. Dia sempat memberiku senyuman lebar. Motor yang ditumpanginya bergerak menjauh. Menyisakan sisa suara samar motor dari kejauhan.
****
Selama dua hari penuh aku bersikap layaknya orang sakit demi menghindari kecurigaan. Aku tahu itu salah.
Logika dan akal sehat berlomba memberi petunjuk. Otak dipenuhi berbagai kemungkinan skenario. Dada terasa sakit, membayangkan jawaban terburuk adalah perpisahan.
Aku tidak akan sepusing ini bila hubunganku dengan Axel berjalan layaknya pasangan remaja dimabuk cinta biasa. Pada awalnya kisah kami memang seperti itu. Dia, laki-laki yang berhasil membuatku salah tingkah untuk pertama kali.
Axel terkenal sebagai anggota klub basket sekaligus ketua osis. Tubuh tinggi, penampilan menarik dan sikap ramah membuatnya memiliki banyak teman. Tambahan latar belakang keluarganya yang cukup terpandang, Axel berhasil mencuri perhatian perempuan bahkan dari sekolah lain.
Aku termasuk salah satu dari penggemarnya. Sejak masa orientasi, rasa kagum tumbuh subur. Berbeda dengan perempuan lain yang terang-terangan menunjukan ketertarikan, diriku sudah cukup puas menjadi penggemar rahasianya. Persahabatan di antara kami selalu kujadikan batasan.
Kejutan datang saat sekolah menginjak tahun ke dua. Tanpa pernah menduga, Axel mengutarakan isi hatinya. Duniaku seketika berubah. Warna warni pelagi mengiringi tawa.
Aku terbuai, terlena oleh manisnya masa remaja. Di usia yang tergolong masih labil, diriku belum menyadari bahwa mencintai bisa berubah menjadi menyakiti. Alex begitu sempurna di mataku. Tidak ada alasan untuk berpikir buruk tentangnya.
Semuanya berjalan normal hingga kabar kekalahan sekolah kami dalam perlombaan basket antar SMA sampai di telinga. Seusai bel pulang terdengar, aku bergegas menuju pos kecil tak jauh dari sekolah. Axel dan teman-temannya sering kudapati berkumpul di sana. Sepanjang hari ini, entah kenapa dia bersikap dingin padaku. Mungkin hanya perasaanku saja, pikirku.
Aku berniat menghibur Axel, mengembalikan senyuman yang menjadi penyemangat menjalani hari. Beberapa teman sekelas Axel terkejut melihat kedatanganku. Mereka berusaha menghalangiku masuk ke pos. Alasan Axel sudah pulang tidak kupercayai begitu saja.
Dipenuhi berbagai kecurigaan, aku merangsek masuk dan menemukan pemandangan menyakitkan. Satu hal yang pasti, mimpi burukku baru saja dimulai.
"Marsya?"
Mataku mengerjap. Ingatan tentang masa SMA menyeret kesadaran. "Iya, Bu."
"Habiskan makanmu. Ayah sudah menunggu di teras." Tegur Ibu.
Secepat kilat nasi goreng dipiring habis tanpa sisa. Pagi ini aku menguatkan tekad pergi ke kampus. Berdiam diri di rumah hanya memperburuk kecemasan. Sudah saatnya bagiku untuk berdamai dengan masa lalu. Salah satu langkah adalah memaafkan.
Seperti biasa, pemandangan di pagi hari dipenuhi kesibukan pengguna jalan. Pekerja kantor, anak sekolah hingga pedangan berseliweran. Kemacetan bukan lagi hal baru bahkan sudah menjadi rutinitas. Semua orang ingin segera sampai di tujuannya.
Di balik jendela mobil, aku berharap sebaliknya. Kehangatan sinar mentari menenangkan ketegangan di bagian perut.
"Marsya." Panggil Ayah.
"Ya, Ayah." Perhatianku tidak beranjak dari suasana jalan di luar sana.
"Laki-laki itu, Erga. Apa kamu benar-benar menyukainya?"
Tersedak dengan ludah sendiri, wajahku reflek menoleh ke samping. "Kenapa Ayah tiba-tiba menanyakan itu?"
Ayah tersenyum. Raut masam sekaligus ekspresi dingin setiap nama Erga disebut tidak kutemukan. "Ayah hanya ingin tahu."
"Mm apa psikolog meminta Ayah melarangku melakukannya?"
"Tidak, Sayang." Pandangan Ayah kembali lurus. "Kamu sudah cukup sehat untuk melanjutkan hidup. Ayah hanya ingin memastikan kamu ingat dengan aturan yang kita sepakati. Jujurlah pada kami bila perasaanmu tidak lagi sanggup menahan beban."
Aku tersenyum kecut. Ayah selalu waspada setiap ada laki-laki yang berusaha mendekat. Hubunganku dengan Axel berimbas pada sudut pandang keluargaku tentang pasanganku kelak. Itu sebabnya, setelah melewati masa pemulihan, aku mengabaikan tawaran untuk menjalin kasih.
"Tentu saja, Yah. Jadi Ayah setuju dengan Erga?"
"Siapapun itu selama kamu bahagia," jawab Ayah diplomatis.
Waktu akan membuktikan layak atau tidaknya aku dan Erga bersama. Perjalanan kami masih panjang, belum ada seujung kuku kisah kasih orang tuaku. Menahan diri untuk memaksakan pendapat bukan ide bagus. Setidaknya Ayah sudah membuka pintu.
Udara dingin menyapa setibanya di kampus. Ayah berputar arah menuju kantornya di daerah Bandung timur. Kedua tangan mencari kehangatan dengan menggosokkan tangan sembari melangkahkan kaki memasuki area kampus. Aku lupa membawa jaket.
"Pagi." Rangkulan di bahu hampir membuatku limbung.
Erga tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang rapih. Tubuhku bergerak ke belakang, menjaga jarak agar tak terlalu dekat. Sengaja kulakukan karena Erga terlihat seperti ingin mencium.
"Tanganmu dingin sekali," gerutunya saat menyentuh singkat jemariku. Dia melepas jaketnya. "Pakai ini. Kamu,kan mudah masuk angin."
Kupandangi kaus tipis yang menutupi tubuhnya. "Kakak nggak dingin? Ngapain ke kampus pakai baju tipis? Biar cewek-cewek tahu kalau Kakak punya otot perut."
Erga tergelak dan menarik lenganku hingga kami berhenti. "Nanti sore Kakak mau main basket di lapangan belakang gedung baru jadi sengaja pakai yang tipis. Kenapa? Cemburu ya."
Aku mendengus walau mengiyakan dalam hati. "Apa salahnya perhatian sama pacar sendiri."
Sebuah bola basket tiba-tiba mengenai kepala Erga. Laki-laki itu mengusap kepalanya. Belum sempat berbalik, dua orang laki-laki menyereduk di antara kami. Lengan besar Wisnu menahan pergerakan Erga sementara Ferdi mengedipkan mata saat merangkul bahuku.
"Kamu nanti mau ikut ke lapangan basket nggak, Sya? Belum ada yang jadi cheerleader nih." Ferdi melepas rangkulannya lalu meraih bola basket yang sempat dilempar ke arah Erga.
"Kalau buka pendaftaran pasti banyak yang minat," sahutku.
Ferdi melirik Erga yang memberi tatapan tajam. "Kita butuhnya nggak banyak yang penting cantik kayak kamu. Lumayan buat vitamin mata."
Aku terkekeh geli. Melihat Erga kesal ternyata menyenangkan. "Kenapa nggak minta tolong Kak Erga aja. Dia kan, paling pinter ngumpulin masa, apalagi cewek."
"Kamu nggal cemburu memangnya?" sela Wisnu.
Bahuku terangkat sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Ngg.... nggak sih asal yang main basketnya juga cakep-cakep."
Erga akhirnya bisa lepas dari cengkraman Wisnu. Dia sepertinya benar-benar marah. "Benar ya. Jangan menyesal nanti." Laki-laki itu menuruni tangga menuju kantin.
Ferdi menoleh padaku. "Jangan ditanggapi. Erga nyebelin kalau lagi lapar. Mau ikut ke kantin nggak, Sya?"
Kepalaku menggeleng. Jam di tangan hampir menunjukan waktu kelas di mulai. "Nggak deh, ada jadwal kelas."
Kami berpisah di ujung jalan. Aku berbelok menuju gedung tempat kuliah. Erga sempat melayangkan tatapan tajam saat pandangan kami beradu. Dia segera memalingkan wajah saat aku melambaikan tangan.
Kuliah hari ini lumayan padat. Konsentrasi teralihkan pada tumpukan buku tebal pinjaman dari perpustakaan. Setumpuk kertas berisi rumus kimia berhasil membuatku terlupa kalau Erga akan bermain basket sore ini.
Adisti menyadarkanku saat kami turun ke lobi. Beberapa perempuan berceloteh tentang basket. Mereka berjalan ke arah belakang gedung baru.
"Kamu mau nonton atau pulang?"
"Aku mau tinggal sebentar kayaknya. Kamu mau pulang?"
Senyum di wajah Adisti memudar. "Iya. Ada perlu. Aku duluan ya."
Kaki bergerak mengikuti arah beberapa perempuan tadi. Setelah melewati jalan kecil di samping gedung baru, terdengar keramaian dari lapangan basket. Letaknya tidak jauh dari tempatku berdiri. Sekeliling lapangan dibatasi pagar kawat lumayan tinggi.
Sebagian penonton kaum hawa saat kudekati. Mereka menyoraki sejumlah laki-laki yang sedang bermain basket. Salah satunya adalah Erga. Dua bangku di bagian dalam lapangan terisi penuh sementara satu bangku lagi jadi tempat menaruh barang.
Aku harus puas berdiri di dekat pintu masuk lapangan. Padahal pemainnya amatir semua tapi histeria penonton seperti sedang menyaksikan pertandingan profesional. Erga dan teman-temannya bertanding dengan mahasiswa jurusan teknik industri.
Bagian paling menyebalkan adalah sikap cuek Erga. Sepanjang permainan, dia nyaris tidak menoleh. Sekalipun banyak penonton, hanya beberapa yang berdiri. Sebagian duduk bersila sekitar pagar pembatas.
Dia mengabaikan keberadaanku di depan teman-temannya. Untung mereka mengangap ketidakacuhannya sebagai hal biasa. Aku pura-pura memasang senyum dan menolak tawaran teman perempuan Erga untuk bergabung dengan mereka.
Pandangan sulit beralih dari Erga. Laki-laki bertubuh tinggi itu memiliki pesona tersendiri. Aku yakin sebagian penonton perempuan berpendapat sama. Kesiap napas bahkan sempat terdengar dari perempuan yang berdiri di sampingku ketika secara tidak sengaja otot perut Erga terlihat saat laki-laki itu melempar bola.
Gerakan yang gesit dan cekatan. Senyuman juga raut ekspesif sewaktu berhasil memasukan bola dalam membuat sosok Erga tampak bersinar. Aku harus menahan diri untuk menunjukan kepemilikan atas dirinya mengingat mood-nya kurang baik. Salah langkah bisa mempermalukan diri sendiri.
Riuh rendahnya pertandingan mengingatkanku ke masa SMA. Dulu, aku pun sering menemani Axel berlatih.
"Aduh." Aku meringis, merasa ada benda menghantam kening.
"Maaf, kamu nggak apa-apa?" Suara dan sentuhan lembut mengusap kening.
Seorang laki-laki dengan kaus penuh keringat berdiri di hadapan, Obie. Dia dikenal sebagai salah satu mahasiswa yang populer berkat label playboy. Pandangan lembutnya membuatku risih. Tapi mengingat masih kesal pada Erga, aku memasang wajah memelas.
"Nggak apa-apa, cuma kaget."
Semua pandangan tertuju pada kami. Kebetulan para pemain sedang istirahat.
"Kening kamu sedikit berdarah. Tunggu sebentar ya, saya ambilkan plaster." Obie berbalik arah menuju bangku tempat menaruh barang.
Erga tidak bereaksi. Teman-temannya kebingungan dan mulai berasumsi yang tidak-tidak. Dia memilih bersandar pada pagar kawat sambil mengelap keringat dengan handuk. Ferdi menghampirinya, memberi botol air mineral.
Erga segera berdiri. Dia menyiram kepalanya dengan air pemberian Ferdi. Cuaca belakangan ini memang cukup panas.
Degub jantung berdekat tidak keruan. Erga tiba-tiba melepas kausnya dan menyisakan celana basket. Otot perut dan tangannya sontak jadi bahan pembicaraan penonton perempuan.
Bukan hanya Erga yang membuka kausnya. Beberapa pemain lain melakukan hal serupa. Darahku sempat mendidih melihatnya mengajak bicara salah seorang perempuan.
Obie kembali menghampiri lalu menempelkan plester di kening. Mau tak mau wajah kami cukup dekat. Adegan itu mencuri perhatian pasangan mata di sekitar lapangan tak terkecuali Erga.
Erga hanya diam namun amarah berkorbar di matanya. Malas berkonfrontasi, aku berniat pergi setelah pertandingan kembali dilanjutkan. Alasan lainnya karena Obie sepertinya mempunyai niat lain. Dia bergerak cepat menyelipkan secarik kertas yang terlipat kecil pada tanganku.
Ferdi berjalan menghampiri kami dan meminta Obie kembali melanjutkan pertandingan. Obie pergi sambil tersenyum.
"Aduh Marsya, kamu senang sekali bikin pacar kamu kebakaran jenggot."
"Marsya nggak bermaksud begitu, Kang. Ya sudah Marsya pulang saja deh daripada suasananya jadi nggak enak."
"Jangan. Lebih baik kamu di sini. Erga bisa makin kalap kalau kamu pergi. Kamu duduk saja di bangku. Biar sedang marah, Erga sedikit lebih tenang kalau ada kamu," bujukan Ferdi memaksaku mengalah.
Setelah melewati deretan senior, aku tiba di bangku tempat menyimpan barang. Erga sedang berdiri di depan bangku sambil minum. Dia melirik sekilas lalu menaruh beberapa barang temannya ke bawah.
Aku segera duduk, meluruskan kaki yang pegal. Wajah memasang raut sepolos mungkin, pura-pura tidak ada masalah di antara kami.
Erga duduk di sebelahku. Dia merapikan tali sepatunya. "Hari ini kamu menjengkelkan sekali."
"Maaf, aku tidak berniat membuat Kakak berpikir seperti itu."
Dia menghela napas. "Keningmu sakit?"
"Tergores sedikit kayaknya."
Pandangan Erga beralih ke depan. Obie tersenyum kecut pada kami. Teman-temannya sepertinya sudah memberitahunya mengenai diriku. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui hubungan kami tapi aku tidak sepopuler Erga.
"Kakak nggak bawa baju ganti?" Bola mataku terhenti pada dadanya.
"Bawa dua sih. Kenapa?"
"Kalau begitu pakai bajunya. Kan, kalau basah, masih ada gantinya," keluhku pelan.
Erga terdiam sesaat namun mengikuti permintaanku. "Jangan bandel lagi ya, bisiknya. Dia bangkit lalu mengecup singkat keningku. Tepat di bagian plester. Aksinya mengundang godaan orang-orang.
Laki-laki itu tak peduli. Urat malunya sudah hilang sejak dulu. Dia mengusap kepalaku meski aku berusaha menghindar karena tidak enak jadi tontonan.
"Sebagai resminya kita berbaikan, apa aku boleh minta sesuatu?" tanyanya sambil meregangkan otot tangan.
"Permintaan apa?"
"Can i kiss you? French kiss may be?"
Aku terbatuk. Bagaimana dia bisa mengatakan hal semacam itu dengan wajah datar?
"Tentu tapi dengan syarat Kakak bisa memasukan dua bola ke dalam ring dari tengah lapangan." Mengingat jarak antara ring dan garis lapangan lumayan jauh, Erga pasti gagal.
"Siap. Laksanakan." Serunya penuh semangat saat bergabung kembali bersama teman-temannya di lapangan.
Dan, sepertinya aku memang harus berpikir ulang setiap Erga akan meminta sesuatu. Entah kenapa laki-laki itu mampu melempar bola dengan sempurna hingga masuk ring. Padahal lemparan bolanya saat sebelum waktu istirahat banyak yang meleset. Yang lebih mengejutkan, dia melakukannya lebih dari yang kuminta.
Erga tersenyum puas di antara raut senang teman satu timnya. Dia menyeringai licik saat bola mata kami bertemu.
Tbc
Halo. Loha. Untuk pembaca Kiara, bsk kiara update part terakhir. Ingat jam 9 pagi ya. Author keep sampai 24 jam dan akan di hapus bertahap. Jadi jangan ada protes antara kita kuy 👌
Met malam minggu 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro