chap#11 Cerita masa lalu
Sambutan ramah keluarga Erga masih belum sepenuhnya mampu mengurangi rasa gugup yang menyergap. Aku harus mengabaikan rasa malu, menyadari Tante Endang dan Egi, ibu juga adik bungsu Erga memperhatikan setiap gerak gerikku. Cara keduanya memandang tak ubahnya bagai melihat benda asing untuk pertama kali. Bibir terasa sangat kaku, sekaku tubuh yang kini membeku. Ah mau bagaimana lagi, aku tak punya persiapan sama sekali menghadapi pertemuan ini.
Tapi hari ini mungkin keberuntungan berpihak padaku. Penolakan atau reaksi sinis yang kukhawatirkan tidak terjadi. Syukurlah, prasangka buruk pada akhirnya berakhir dalam kepala.
Kami mengobrol di ruang tamu. Ruangan berukuran tiga kali tiga itu di dominasi warna putih gading. Begitu juga dengan lantai keramik. Sentuhan merah muda dengan corak bunga menghias tirai pada jendela yang mengapit pintu masuk. Kursi kayu panjang dan dua kursi lainnya yang berukuran lebih kecil terlihat nyaman. Sebuah vas berisi bunga sedap malam tertata apik di meja. Beberapa foto keluarga menggantung tepat searah dengan pandangan mata.
"Sudah berapa lama kenal Erga, Marsya?" tanya Tante Endang.
"Mm... belum lama, Tante."
Tante Endang tersenyum. Dari gerakan tanganku yang saling meremas, perempuan itu pasti menyadari kegugupanku. "Kamu minum dulu ya sambil nunggu Erga."
Aku mengangguk pelan. Tangan bergerak sangat hati-hati, setenang mungkin saat meraih cangkir. Akan sangat memalukan bila sampai memecahkan cangkir pada pertemuan pertama. Bukan hanya akan merusak salah satu cangkir Tante Inggrid tapi aku khawatir rasa panik akan menyerang bila mendengar suara pecahan gelas. Aku punya memori buruk dengan suara pecahan kaca atau gelas.
Dan, di mana Erga. Lima menit sudah berlalu namun pemeran utama laki-laki dalam kisah kasih kami belum menunjukan batang hidungnya. Apa ia sedang bersembunyi di suatu tempat, memperhatikan reaksiku menghadapi suasana canggung ini, gerutuku dalam hati.
Untuk menenangkan diri, sesekali pandangan mata berputar ke seluruh ruangan. Pura-pura menyesap teh meski isi kepala sibuk memaki Erga.
"Panggilkan kakakmu, Gi. Kasihan Marsya nunggu lama." Tante Endang menepuk lutut putra keduanya.
"Malas ah, Mah. Paling juga lagi ganti baju," balas Egi tanpa menoleh. Dia asyik memainkan ponselnya. Entah kenapa laki-laki remaja ini tidak pergi ke kamarnya atau mencari tempat lain selain ruangan ini.
Senyumku masih terpasang meski hati mengomeli Erga. Bola mata berputar kembali dan terhenti pada foto keluarga terpasang pada dinding. Gambaran keluarga memancar aura bahagia layaknya keluarga pada umumnya. Satu hal yang membuatku penasaran, keberadaan seorang perempuan muda berada di tengah keluarga Erga. Dari kejauhan, raut wajahnya sekilas mirip Tante Endang. Dan mm... sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat.
"Itu Egia, dia putri kedua Tante. Dia sudah meninggal karena kecelakaan saat pergi dengan temannya. Kalau masih ada, kalian mungkin bisa berteman," jelas Tante Endang setelah ikut memperhatikan arah pandangku.
"Maaf, Tante."
"Tidak perlu minta maaf. Kami sudah merelakannya. Batas usia manusia merupakan bagian dari rahasia Tuhan." Ada kesedihan yang terselip dari balik suara Tante Endang. Reaksi wajar setiap orang tua. Mengikhlaskan keadaan butuh waktu panjang menghadapi kenyataan putri satu-satunya tiba-tiba terenggut dalam pelukan.
Pandanganku beralih pada Egi. Laki-laki muda, berusia remaja dan memiliki fisik yang mirip Erga belum mengalihkan perhatiannya. Ia menyadari perhatianku. Sesekali remaja itu meletakan ponselnya lalu menatapku dari ujung kaki hingga rambut. Keningnya berkerut seolah menyangsikan indera penglihatannya bekerja dengan normal.
Di banding kakak sulungnya. Egi sedikit lebih pendek. Warna kulitnya kecoklatan. Berbeda dengan Erga yang agak putih.
"Kak Marsya bukan orang Bandung ya?" tebaknya.
"Iya. Kakak baru pindah dari Jakarta."
Kepalanya manggut-manggut sambil memikirkan sesuatu. "Baru masuk tahun ini? Mahasiswa baru?"
Aku kembali mengangguk. Keluarga Erga sepertinya minim informasi tentang diriku. Aku tidak terlalu mempermasalahkan toh orang tuaku masih belum tahu tentang hubungan kami. Mereka hanya tahu kalau Erga tengah melancarkan aksi pendekatan.
Aku perlu sedikit waktu yang tepat untuk memberi kabar ini pada mereka. Masa remajaku tidak hanya berisi kenangan manis. Sebagian besar tangis memenuhi memori cinta pertama. Masa paling kelam selama aku mampu mengingat.
"Maca eh Marsya ayo pulang." Suara Erga menarik kesadaranku ke permukaan.
Erga berdiri di samping sofa yang ibu dan adiknya duduki. Ia masih mengenakan sweater yang sama. Matanya yang terlihat lelah tersembunyi di balik kacamata.
Darahku berdesir, menghangatkan segala rasa dingin karena tegang. Sulit untuk memungkiri, sosok Erga masuk semakin jauh dalam pikiran. Sosoknya terlanjur menguasai seribu alasan tentang cinta yang kumiliki.
Terserah bila orang menganggapku kekanakan. Terlalu berlebihan memuji Erga. Aku hanya sedang merasa bahagia. Hanya mencoba kembali belajar mempercayai seseorang.
Egi tiba-tiba bangkit, mendahului langkah kakaknya dan menghampiriku. Ia menyodorkan tangan. "Kenalan dulu, Kak Marsya, sebelum pulang. Tadi kita belum salaman."
Aku kebingungan dengan tindakan Egi. Kami tadi memang berkenalan dengan saling menyebut nama. Aku hanya sempat mencium tangan Tante Endang saat Erga mengenalkan kami.
Demi kesopanan, aku menjabat uluran tangannya. Sedetik kemudian tubuhku tiba-tiba terpaku mendapati Egi mencium lama punggung tanganku.
"Hei bocah tengik!" Seru Erga yang disambut cengiran adiknya.
Egi bergerak cepat ke arah Tante Endang. "Kalau aku bocah tengik, berarti Aa pemuda tengik dong," balasnya sambil berlindung di balik tubuh ibunya yang lebih pendek.
"Sudahlah, Ga. Malu sama Marsya. Adikmu hanya bercanda. Kalian berdua nggak ada manis-manisnya," tegur Tante Endang sambil menggeleng.
"Tapi Egi nggak sopan, Mah. Dia begitu karena Mamah selalu belain dia terus sih." Erga melotot, melayangkan pandangan kesal pada laki-laki remaja yang masih cekikikan.
"Iya, Kak. Nggak perlu diperbesar. Cuma cium tangan biasa saja kok." Aku berusaha meredam ketengangan.
"Kamu bilang apa tadi? Cuma?" decak Erga. Tatapan kesalnya beralih padaku.
Egi semakin jumawa. Pembelaan kedua perempuan di ruangan ini membuatnya merasa di atas angin. "Ciee bisa cemburu juga ni Aa paling ganteng sekamarnya."
Suara langkah berhenti di depan pintu menghentikan pembicaraan kami. Erga mengurungkan niatnya untuk menghampiri Egi saat menoleh ke arah pintu.
Seorang laki-laki paruh baya memandangi kami satu persatu. Perawakannya tinggi dengan tubuh agak gemuk. Uban terlihat di sela-sela rambut hitamnya. Tangan kanannya memegang tas kulit berwarna hitam sementara tangan kiri menenteng koran.
Bola matanya beralih padaku saat Tante Endang menghampirinya. "Ramai sekali. Ada tamu rupanya."
Egi terkekeh geli. "Tamu istimewa, Pah. Calon mantu itu juga kalau si Aa nggak diputusin di tengah jalan."
Wajahku memerah, hampir tak punya nyali untuk mengangkat kepala. Erga bisa membaca kegugupanku yang kembali menerjang. Ia melirik tajam pada Egi sebelum mendekatiku.
Laki-laki paruh baya yang kusimpulkan sebagai kepala keluarga di rumah ini menatapku lekat. Tante Endang hanya tersenyum manis padanya. Ia seolah mengerti apa yang suaminya pikirkan saat melihat perempuan muda di hadapannya.
"Ini Om Danu, papahnya Erga," sahut Tante Endang.
"Oh ini pacar barunya Aa ? Tumben. Aa sehat?" tanya ayah Erga pada putra sulungnya. Nadanya datar tapi kesan meledek begitu kentara.
Egi tergelak, tawanya sangat keras dan berakhir dengan batuk. Tante Endang tersenyum masam seraya mencupit pinggang sekal suaminya. Aku sendiri berusaha keras menahan tawa dan mulai paham Erga menuruni sifat ayahnya.
"Hahaha. Erga mau antar Mac eh Marsya pulang dulu. Pinjam mobil dong, Pah."
"Kok buru-buru, Papah belum kenalan. Lagian mobilnya tadi mogok di kantor, jadi Papah masukin bengkel," sahut Om Danu tenang. Pandangannya beralih padaku. "Sini Neng geulis. Namanya siapa?"
Aku mendekat dengan malu-malu lalu mencium tangan Om Danu. "Marsya, Om."
Kepala Om Danu manggut-manggut. "Oh Marsya. Namanya bagus. Pantas belakangan ini Erga jadi suka nonton film kartun Marsya and the bear." Pipiku bersemu merah, seperti tomat matang siap petik.
Erga berdecak. Entah kenapa candaan keluarganya membuatnya kikuk. Ia meraih pergelangan tanganku hingga menjauh dari orang tuanya. Kakiku terus bergerak hingga pintu masuk. "Wawancaranya nanti saja. Kasihan Marsya kalau pulangnya terlalu sore," gerutunya sebelum kami pamit.
Aku mengikuti Erga menuju motornya. Memusatkan perhatian saat ia membuka tudung sweater lalu memakai helm. Tangannya merogoh saku sweater, meraih masker lalu memakainya. Aku menyukai penampilannya. Tambahan kacamata yang bertengger di hidungnya membuatnya terlihat menarik.
"Maca, cepat pakai helmnya terus naik. Ngapain kamu senyum-senyum nggak jelas." Perintah Erga.
"Sabar dong, Kak," balasku yang masih kesulitan mengaitkan helm.
Erga menarik lenganku. Ia membantu mengaitkan helm. Perasaan tak menentu setiap melihatnya dari jarak dekat. "Kenapa lihatnya begitu? Baru sadar punya pacar tamfan," ledeknya, sengaja mengganti huruf f dengan p.
"Diiyain aja deh biar cepet selesai," balasku sambil mencibir.
Erga menarik maskernya ke bawah dagu. Senyumnya mengembang. "Cepat naik atau aku cium kamu."
Kami tertawa namun hanya sebentar tersadar keluarga Erga rupanya sedang memperhatikan. Om Danu sedang membaca koran di bangku teras. Tante Endang menyibukan diri di deretan pot tamaman hias sementara Egi, laki-laki itu duduk di sebelah Om Danu. Ia asyik bermain ponsel dan mengarahkannya pada kami. Erga tersenyum masam saat ketiganya pura-pura tak acuh.
"A nanti pulangnya jangan sampai salah masuk rumah ya," sahut Egi sebelum motor Erga meninggalkan pekarangan rumah.
"Sialan."
Sepanjang jalan kedua tanganku melingkar erat di perut Erga. Menyandarkan kepala di punggungnya melewati kemacetan. Sesekali Erga mengusap jemariku saat menunggu lampe merah. Kerinduan selama tiga hari tanpa kabar akhirnya sedikit terobati.
"Ini." Setibanya di luar pagar rumahku, Erga menyerahkan sebuah amplop putih.
"Apa ini?" tanyaku bingung sambil membolak-balik benda berwarna putih itu.
"Nanti kamu tahu sendiri. Bacanya nanti saja." Erga meninggalkanku yang masih kebingungan sementara ia pamit pada kedua orang tuaku. Sudah menjadi kebiasaannya untuk menyempatkan memberi salam bila mengantarku pulang.
Dengan tidak sabar aku bergegas menuju kamar setelah Erga pulang. Penasaran tentang isi amplop tadi. Debaran jantung berdegub semakin kencang setelah memastikan pintu kamar terkunci.
Wajahku merona, tersenyum sendiri membaca untaian kata yang Erga tulis.
Maaf, tiga hari ini aku nggak memberi kabar. Kamu mungkin sudah mendengar kebiasaanku saat sakit dari teman-temanku. Selain itu, ada satu hal lagi. Aku cemburu kamu diantar Satria. Menyebalkan tahu tapi aku nggak bisa berhenti sayang padamu.
****
Sejak pertemuan sore itu, aku merasa hubunganku dan Erga berjalan ke arah yang benar. Senior perempuan, teman-temannya Erga mulai mempercayai kesungguhan laki-laki itu. Semua menyenangkan, hampir tepatnya.
Putri, teman satu angkatan dan salah satu junior yang dekat dengan Erga menghampiriku saat aku menunggu mata kuliah pertama di kantin. Suasana tempat favorit mahasiswa pagi ini masih sepi. Beberapa kios belum menunjukan tanda akan buka.
Aku duduk di meja dekat kios minuman dingin.
"Hai, Sya," sapa Putri. "Boleh duduk di sini?"
"Hai, boleh," balasku seramah mungkin.
Perempuan berambut panjang itu tersenyum saat menyeret kursi di depanku. Aroma bunga tercium lembut. "Aku sudah dengar kalau kamu dan Kak Erga pacaran. Sebelumnya selamat untuk kalian berdua. Aku harap kamu nggak salah paham dengan kedekatan kami. Tenang saja, bagiku dia hanya sebatas kakak laki-laki."
Senyumku kecut. Rasa ingin tahu dan cemburu melebur jadi satu. "Terima kasih atas penjelasannya."
Putri tiba-tiba tertawa. Lesung pipitnya tetlihat di pipi kanan. "Well, aku akan menjelaskan hubungan kami. Aku mengenal Kak Erga semenjak dia menjalin hubungan dengan kakakku. Usia kakakku jauh lebih tua. Bisa dibilang, kakakku adalah pacar pertama Erga yang lebih dewasa. Hubungan mereka singkat. Tapi sebelum berhubungan dengan kakakku, Erga pernah berpacaran dengan yang seusia jadi aku nggak heran kalian pacaran sekarang."
"Maksud kamu Erga pernah menyukai perempuan seusianya? Aku hanya mendengar rumor kalau tipe perempuan yang pernah ia kencani rata-rata usianya lebih matang."
"Benar." Putri menghela napas pendek. "Sebelum adik perempuannya meninggal."
"Dia meninggal karena kecelakaan, bukan? Apa hubungannya kejadian itu dengan kisah percintaan Erga."
"Sepertinya Erga belum banyak bercerita tentang keluarganya ya? Aku nggak akan menjelaskan secara rinci. Kamu lebih baik mendengarnya dari Kak Erga sendiri. Singkatnya, sehari sebelum meninggal, Egia sempat meminta tolong Kak Erga menemaninya. Pada waktu itu Kak Erga sedang menjalin hubungan dengan anak SMA. Kebetulan pacarnya sangat manja. Di saat bersamaan, keduanya sudah ada janji hingga Egia memilih pergi bersama teman-temannya. Kehilangan juga rasa bersalah membuat Kak Erga menjadi cenderung lebih tertarik pada perempuan yang lebih tua."
Aku terpaku, mencerna setiap kata setengah tak percaya. Penjelasan Putri memang masuk akal tapi semua terasa aneh ketika namaku masuk dalam pusaran kehidupan percintaan Erga.
Putri melirik jam tangannya lalu bangkit. "Jangan terlalu dipikirkan penjelasanku tadi. Cinta dan sayang itu nggak bisa ditebak kapan datangnya. Sekalipun menolak setengah mati, hati kecil nggak akan bisa dibohongi." Pandangannya sesaat menjadi serius. "Kak Erga orangnya baik kok. Jarang marah besar apalagi mengeluarkan kata kasar. Hanya saja bila emosinya sudah meledak, ia sulit untuk memberi maaf. Sekarang aku pergi dulu ya."
Kepergian Putri menyisakan perasaan tak nyaman. Bukan karena dia banyak mengetahui siapa Erga. Bukan pula latarbelakang Erga menyukai perempuan lebih tua. Ada sesuatu yang terlewat tapi aku tidak tahu apa itu.
Pandanganku masih tertuju ke arah Putri pergi. Perempuan itu berjalan menuju parkiran mobil. Seorang laki-laki keluar dari sedan hitam. Putri menghampiri laki-laki itu dengan wajah sumringah.
"Axel," desisku nyaris gemetar. Tubuh semakin dingin begitu melihat Erga muncul dari bangunan utama kampus. Ia menghampiri keduanya dan memberi pelukan singkat pada laki-laki yang bersama Putri.
Setengah memaksa kaki untuk bergerak, aku keluar dari kantin melalui jalan lain sebelum Erga mengetahui keberadaanku. Tarikan napas tidak mampu menghentikan getaran tangan. Aku mengabaikan deringan ponsel dari Erga dan meneruskan langkah menjauh dari kampus.
Tbc
Maaf readers semua, baru bisa update. Mudah"an Maret udah bisa normal lagi.
Oh ya, untuk yang domisili di Bandung dan sekitarnya, ikut yuk, talkshow hari Sabtu tanggal 25 Februari dari jam 2 sampai jam 4 di Gramedia Merdeka. Kita ketemu sambil tanya" dan foto". Acaranya gratis dan ada souvenir menarik. Sampai ketemu di sana ya.
Love u
Dinni83
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro