Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Common Jasmine Orange

Melipir ke dalam padang, surya mengambang. Aku menggenggam tangannya, sambil mengukir lukisan di atas cakrawala. Kami tertawa, bahagia. Senyum manisnya melupakan segalanya.

Surya mengawang, lahan petani di musim semi begitu hangat. Angin bertiup lembut mengangkat rambutnya, membuatnya terpejam, tersenyum indah. Membuatku tak berhenti untuk terus membayangkannya selalu ada di tiap lembaran puisiku.

Kami bermain dengan ilalang tinggi. Di sudut sawah yang wangi padi. Aku memetik gitarku lembut, ia tersenyum menikmati dendangnya. Kulit putihnya begitu berkilau begitu kuucapkan lirik lagu. Melekat indah sama seperti dirinya. Dia bilang, tempat ini begitu indah apalagi ketika aku menyanyikan lagu itu. Lagu yang kuciptakan untuk padang ini dan dirinya. Untuk kisah kita yang bisa terus diulang-ulang ceritanya. Di larik-larik lagu itu kita terkenang. Terbalut nada kecantikan dari pencipta lagu ini.

Teringat kembali senja itu ia bertanya, "kenapa kau menciptakan lagu ini untukku?"

Di antara denting bunyi lonceng angin, aku tersenyum, menyampirkan tali gitar ke punggungku. Sambil berjalan mendekat, kami bertatapan. Tersenyum untuk menyatakan perasaan lewat pandangan.

"Karna aku ingin teringat tentang hari ini selamanya."

Dia tertawa kecil, membuatku menarik tubuh mungilnya ke dekapanku. Merasakan hangat pundak kecilnya merengkuh dadaku. Merasakan betapa lembutnya harum rambutnya, betapa manisnya waktu kami yang sedang berputar ini.
Aku ingin selalu mengenangnya. Dibalik senar gitarku, aku mengatakan kalimat cinta lewat irama. Dia mencintaiku begitupun sebaliknya. Kami sering bertengkar, tapi aku tahu dari sana cinta kami membesar.

"Bolehkah aku menciummu?" saat itu aku bertanya, menatap ke bawah melihat manik matanya yang cokelat bagaikan hangatnya mentari pagi. Dia tersenyum tak mengatakan apa-apa lalu bergerak mundur.

Dia tak pernah mengijinkan aku mengecupnya. Setiap kali aku memulai dia pasti mundur dengan langkah ringan dan senyum misterius.

Di tengah ilalang, kami selalu bermain bersama. Gaun tidur selututnya melekat sempurna. Di antara kaki indahnya tersimpan bakat menari. Jika sudah lelah, kami akan pindah ke pondok kecil yang ada di tepi danau, berikut diantara hektaran sawah.

Bersandar ke dinding kayu, pelan-pelan menutup mata. Menikmati hangatnya surya, ia tertidur di pundakku. Diam-diam, kuambil kanvas gambarku. Sambil merentangkan garis, aku menggambar wajahnya berikut kisah cinta kami.

Angin berhembus lembut, menyingkirkan batang-batang rambut kekasihku. Aku menoleh, medengarnya mendengkur pelan. Aku tahu ia tidak nyenyak, tapi aku tahu ia pasti menikmati aroma padi yang melekat di tubuhku.

Jemariku masih berpoles ria, menggambar sudut matanya yang indah, bulu mata lentiknya, berkilau seperti pasir putih. Bibirnya tipis dan mungil, merah merona dan ingin kucicipi. Kemudian, aku berhenti.

Mataku menatap lengkungan tipis di bibirnya. Ia sedang terpejam. Perlahan-lahan, kuletakan papan gambarku ke samping, dan beralih hendak menciumnya. Sedikit susah karna kepalanya di pundakku, tapi lama-kelamaan, bisa kurasakan hembusan napasnya mengenai wajahku.

Pundakku bergoyang. Bodohnya, ia membuka mata. Menemukan wajahku yang hanya beberapa senti di depan wajahnya. Aku tertegun, antara malu dan terkejut. Ia menatapku sedetik lalu mengangkat tangannya, menaruh jemari telunjuk di atas bibirku, lalu mendorongnya pelan.

"Berbahaya," katanya. Aku mundur, kembali tertawa iseng. Dia kembali bersandar padaku. Aku mengambil gitar akustikku, memangkunya di paha. Sambil tersenyum, ia terpengarah melihatku yang siap memainkan lagu favoritnya.

🎶Yang kita cari kembali adalah aroma cinta pertama yang rasanya pun seperti itu
Sehangat sinar matahari, semenggiurkan strawberry segar yang baru saja dipetik
(Tapi) Kau bilang bahwa kau tidak sanggup menghadapi perasaan ini🎶

Kekasihku mengangkat kepala, jemari mengetik sesuai irama hati. Mendesir lembut seperti ringannya angin yang menerpa.

"Kurasa ..." dia berkata. Aku berhenti memetik senar, menghentikan getarannya, lalu beralih ke wajah kekasihku.

Setengah memiringkan kepala, dahinya berkerut, "aku rasa judul lagu itu," terdiam sejenak, ia menatapku, mengerjap sekali sambil tersenyum, "Melati Oranye Untuknya."

Aku berkerut setengah bingung kenapa ia menamai Melati Oranye? Melati itu putih. Aku berputar, menghadapnya.

"Kenapa Melati Oranye?"

"Karna," sambil menebarkan pandangan ke padang ilalang, poninya membelah keningnya, "karna Melati itu indah, bertemu dengan oranyenya rumput ilalang, di terpa surya, kau memberi cinta, untukku." Dia menoleh, berkata sampai membuatku terpengarah akan alasannya.

Aku mengubah pangkuan gitar, menatapnya dalam. Ia masih tersenyum, rasa cintaku semakin meluap.

"Melati Oranye untukmu karna hanya Melati itu yang bisa selamanya hidup di musim semi. Sama seperti dirimu yang sehangat surya di musim ini." Aku menyambungkan kalimatnya, ia tertawa kecil sambil menggulung jemarinya sendiri.

Aku merengkuh jemarinya, menatapnya dalam. Kami kembali terdiam. Diantara semilir angin, kami bertatapan. Ia tetap tersenyum, aku memajukan wajahku, sedikit demi sedikit. Kami akan berciuman. Dia menutup matanya. Pelan dan pelan, aku semakin dekat, hampir menyentuhnya. Napasnya pelan, jantungku berdegup cepat. Ia tetap menunggu, dan aku memejamkan mata.

Tiba-tiba aku terkejut ketika merasakan angin menerpa wajahku begitu kencang, dan kurasakan keningku dikecup. Aku membuka mata, kekasihku, sedang beranjak berdiri. Ia menuruni beranda pondok, dan berlari kecil menjauhiku yang tercenung. Sambil tertawa kecil, angin kembali mengangkat rambutnya, membentuk kenangan diantara ilalang.

"Masih belum," teriaknya. Tanpa sadar, aku merasa gemas. Ia berlari kearah padang rumput. Sambil menoleh, ia melambai kearahku, mulai mengajakku pergi ke taman belakang.

Aku mengangguk, mengambil gitar, menuruni pondok, kemudian berjalan di belakangnya.

Di taman belakang ada sebuah taman anak kecil sederhana. Sepasang ayunan, jungkat-jungkit yang ringkih, tanah berpasir, dan putaran mainan. Kami sering bercanda tawa di sana. Membicarakan sepupu kami yang masih sangat kecil dan botak. Terkadang, ia mengajak sepupunya yang masih berumur lima tahun untuk main bersama kami. Entah kenapa, semakin bergulir waktunya, rasanya aku tak mau pergi dari momen ini.

Kekasihku berlari kecil kearah ayunan gantung. Rambutnya berterbaran terkena angin begitu memesona. Ia mengajakku duduk di sebelahnya. Walaupun kami sering melakukan ini, aku tak pernah bosan untuk mengulangnya. Jauh dari perkotaan adalah kenangan kami. Pertemuan kami bermusim disini.

"Kau suka dengan Melati Oranye Untukku?" tanyanya sambil berayun, mendorong dengan kakinya.

"Suka. Aku suka dengan alasanmu. Itu indah," jawabku.

Sambil berayun, udara melintas mengangkat senyumnya.

"Mau kutunjukkan melati oranye itu?" tanya kekasihku sambil tersenyum misteri. Aku menahan goyangan ayunan, menatapnya setengah heran.

"Jadi, bunga itu benar ada?"

Dia tidak menjawab, hanya terus tersenyum, menarik tanganku beranjak. Sambil setengah berlari, ia membawaku ke tengah ladang ilalang.

Langit cerah. Semburat awan hanya sebatas embun. Ilalang bernyanyi, diantara daun yang bergesekkan mereka mengatakan perasaanku saat melihat punggungnya berjalan di depanku. Masih sambil menggenggam tanganku, kaki mungilnya berjinjit, melangkahi parit pelan-pelan.

Tiba-tiba ia melepaskan genggamannya. Setengah berlari ke tengah ladang. Rok selututnya berkobar-kobar kecil di antara angin. Kemudian sambil mengangkat tangan dan tersenyum lebar, ia berteriak.

"Nyanyikan lagu itu, lalu lihat aku yang berdiri di sini!"

Aku tertawa. Mulai mengerti maksudnya. Ku pangku gitar di pinggangku, memeluknya sambil menaruh jemari di posisi yang benar. Sambil menatapinya dari kejauhan, ia tetap tersenyum menungguku.

🎶Hujan turun semalaman, cintaku mengalir seperti derasnya hujan
Dedaunan berguguran di tanah, rasa rinduku makin dalam dan bertubi - tubi
Kata – kata pertengkaran tetap tidak memadamkan api cintaku
Kau muncul dalam puisiku dari halaman ke halaman🎶

"Sekarang, apa kau mengerti Melati Oranye, itu?" Dia setengah berteriak, tersenyum malu-malu. Aku menghentikan lagu, menatapnya dari kejauhan dengan tersenyum miring. Senyum yang katanya memabukkannya.

Aku berjalan pelan kearahnya. Jantungku berdegup tiap kali ia mengerjapkan mata. Ia membalikkan badan, memunggungiku. Mungkin ia merasakan hal yang sama pula.

Ketika tiba, ujung matanya melirik kearahku. Ku dekatkan bibirku ke telinganya, mulai berbisik.

"Melati itu, adalah dirimu."

Perlahan-lahan ia berputar, menatapku tersenyum. Kali ini bukan bibirnya saja, namun matanya juga menunjukkan itu.

Aku menundukkan kepala, dan ia terpejam.

Saat itu, ia mengijinkanku, mencicipi rasa apel di bibirnya.

¤¤¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro