Dua Digit : O2
Apa yang terlintas dari dua? Dua puluh? Dua puluh satu? Dan dua puluh lainnya yang menjadi ajang pencarian jati diri.
Sungguh, jika bukan harus menjalani hidupnya sebagai manusia tak akan sekeras ini, tak akan sekacau ini, tak akan sesakit ini.
Mereka berkata bahwa tidak apa-apa untuk jatuh, toh setiap orang sudah ada jatah bahagianya. Akan tetapi, kita selalu lupa. Lupa untuk merayakan perasaan yang singgah untuk mencapai jatah tersebut.
Mariana tak pernah meminta. Mariana tak pernah meminta dilahirkan biasa-biasa saja. Bahkan Mariana tak pernah meminta dihidupkan dengan begitu percaya diri. Ia hanya wanita yang terjebak dengan realita. Terjebak antara luka dan batin yang menyerang ia selama hampir usianya menginjak 22 tahun ini.
Bekerja di bawah tekanan dan harus menyelesaikan pendidikannya tepat waktu bukanlah hal yang mudah. Sadis jika ada yang berkata kurang bersyukur dan sabar. Semua itu sudah Mariana lakukan bahkan tidak pernah absen setiap menit, setiap detik.
Setiap harinya ada tangisan yang tak pernah terdengar orang rumah. Hanya piring kotor dan lampu kuning yang ikut merayakan malam penuh penyiksaan Mariana.
Sungguh, sengsara bukan pilihan tapi beranjak datang bahkan berlari memeluk Mariana begitu erat. Mengapa? Bahkan Mariana yang sedang memakan roti lapis dengan rasa air asin tak pernah menginginkan itu membasahi pipinya yang gembul. Bahkan roti saja menjadi saksinya lagi. Saksi bahwa Mariana memang sedang merayakan sakit di hidupnya.
Jangan lupa dengan kasur tidur yang menemani penat seharian Mariana bekerja di belakang, sangat belakang. Belum sempat ia melihat layar hitam yang terus berbunyi menandakan pesan esok hari akan ada kelas yang harus ia hadiri.
Bukan sibuk apalagi produktif, ia memilih untuk meringkuk. Benar, kembali meratapi nasib hidupnya yang tak ada arti baginya.
Berkata dalam hatinya,
"Apa yang salah? Apa yang kurang dari dirinya? Apa usahanya sampai detik ini kurang? Apa mungkin ... Memang ia belum seberusaha itu? Tapi mengapa, mengapa sudah begitu sakit? Mengapa sudah sebegitu kecewanya hati ini? Tak ada tempat bersandar, tak ada tempat bercerita sendu, semua perlahan menghilang bahkan sebelum aku berusaha. Semua menghilang. Satu persatu mereka melangkah menjauh, membuatku tak semangat melanjuti usahaku. Apa karena ini? Apa karena realitanya kini aku sendiri, aku berhenti berjuang? Tuhan, tapi ini begitu sakit."
Dengan keheningan dan dingin suhu menemani, Mariana kembali terisak. Mariana kembali meringkuk kesakitan sendirian atas apa yang ia perbuat dan rasakan.
Benar, tak ada yang salah dari orang lain. Ini semua kembali pada dirinya.
Pada dirinya yang terlalu terbawa perasaan, terlalu dipikirkan, terlalu menyiksa diri sendiri akan takdir yang sudah ditetapkan. Tegar? Jelas. Bahkan jika tidak, bukan Mariana yang kini berbaring meringkuk seperti ini. Akan hanya ada kenangan.
Sungguh, bukan keinginan Mariana yang seperti ini. Menjadi sengsara.
Dalam rumah, lingkungan pertemanan, perkuliahan, pekerjaan, zona nyamannya. Bukan tak menerima, hanya saja Mariana ingin tahu apa yang akan terjadi jika ia meluapkan segala gelisahnya. Apa yang akan berbeda? Atau hanya membuat Mariana semakin lemah?
Sejujurnya, ia sendiri kebingungan.
Untuk perjalanan yang kini ia jalani. Sungguh ia sedang kebingungan sendirian.
Bukan salah dirinya, benar? Tolong katakan dengan lantang bahwa apa yang dialami Mariana dalam hidupnya bukan kesalahan dirinya. Aku mohon.
Berisiknya isi kepala Mariana membuat pening menyerang dirinya. Tetapi tak membuat tangisnya terhenti. Ia masih ... Terisak.
Sepi sekali bukan? Baginya, dunianya sudah sepi. Tak ada yang menemani. Lalu kalian bertanya, kemana semua orang di rumah dan temannya? Hanya itu yang kalian perdulikan?
Tolong lihat Mariana sekali saja dan semangati dirinya. Ia sudah menjalani 22 tahun sendirian. Cukup di sini saja. Sisanya Mariana akan urus sendiri.
Beranjak lah ia dan menduduki dirinya di ujung kasur. Diusapnya kedua netra yang sudah berusaha mengeluarkan sumpah gelisah seharian ini. Satu lengannya ia ajak untuk menggenggam lengan lainnya dan mulai tersenyum merekah.
Perlahan memeluk erat tubuhnya sendirian. Menutup kedua netra cokelat cantik miliknya dan berkata, "kau sudah sejauh ini, Na. Tidak apa-apa jika terlambat, tidak apa-apa jika berjalan lambat, tidak apa-apa jika harus dibandingkan, tidak apa-apa ... Jika harus terus diberikan beban. Bukan salahmu tetapi ayo kita perbaiki bersama, Mariana. Aku tahu sulit sangat sulit memperbaiki sendirian. Tapi aku percaya padamu, Na. Aku percaya pada diri sendiri ini."
Cantik bukan hanya paras yang selalu dipoles dengan warna. Ini juga bisa disebut cantik.
Mariana memang gadis yang lambat. Sungguh, sangat lambat. Bahkan ia bisa sebegitu bahagianya mendapatkan sesuatu yang ternyata orang lain sudah mengetahuinya terlebih dahulu. Padahal seharusnya, Mariana tetap menyimpan bahagianya sendirian, bukan? Untuk menjaga hatinya. Sebab manusia bisa menusuk kapan saja, sekali pun itu teman seperjuangan.
Benar, Mariananya juga memiliki seorang teman. Teman yang ia sebut sebagai perahu kertasnya hampir 3 tahun lamanya. Hanya nyatanya, memang harus ia lepaskan sebelum akhirnya ia dan kesakitan sendirian dengan kalimat, "aku, tuh, iri, Na. Kamu ngerti gak sih aku suka ke trigger kalau kamu bahas skripsi." Hah, begitu sedih jika diingat.
Hanya sudah. Mariana memilih menyudahi semuanya dan berjalan sendirian. Tidak apa tidak ditemani sekuntum mawar atau polaroid untuk mengabadikan kenangan. Cukup baginya berbagi cerita dengan Tuhan.
Sudah terlalu banyak kejadian menyakitkan yang terjadi. Tentu saja ia akan selalu mengalah. Hanya saja ada kala di mana ia juga menjadi manusia yang begitu lemah, seperti malam ini. Meski harus dengan isakan lagi yang menemani, tak apa.
Toh perjalanan yang panjang tak akan pernah mengecewakan mereka yang berusaha dengan berjalan atau pun tertatih, bukan?
Mariana belajar untuk terus melapangkan dadanya dan menangis sekencangnya untuk meluapkan sakitnya dan pilunya. Versi kalian yang bagaimana jika boleh kami tahu?
The end
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro