Pengungkapan
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
QS Al Baqarah : 163
❤❤❤
Tidak ada yang melelahkan selain mendengarkan perkataan orang lain. Anggapan mereka selalu benar, berbanding terbalik dengan keadaan yang sebenarnya
Ziya tidak tahu, mengapa hari ini di desa penuh akan pesta. Setiap rumah dicat begitu mencolok dengan lampu tumblr yang dipasang pada setiap atap teras. Dari rumah ke rumah, sebuah lagu terdengar begitu nyaring seakan pesta telah datang.
Ada apa?
Setiap orang yang melintasinya, mereka tidak peduli. Menolehpun tidak, apalagi menyapa. Para gadis duduk bergerombol sambil tertawa di halaman rumah salah satu gadis yang tersohor, Uni.
Akh! Sekarang Ziya paham, mereka seakan berpesta karena Uni baru saja datang dari kota bersama suaminya. Atau bisa dibilang mereka tengah berkunjung.
"Lihat, kukuku dicat cantik, kan?"
"Cantik, Ni. Aku mau sepertimu, tetapi ini pasti sangat mahal. Suamimu kaya, jadi apa saja bisa didapatkan."
"Badanmu juga semakin langsing dan ramping, sangat-sangat menjadi idaman para perempuan."
"Aku iri denganmu, Ni. Suami sudah kaya, romantis dan mau menuruti setiap keinginanmu."
Uni tertawa begitupun dengan beberapa gadis yang mengelilinginya. Matanya mengendar dan tak sengaja melihat siluet Ziya yang tengah berjalan melewati halaman rumahnya.
"Ziya, sini mampir!" Ziya menoleh mendengar teriakan Uni. Ia tersenyum dan berjalan mendekat ke arahnya.
"Assallamualaikum." Ziya tersenyum lalu berdiri di hadapan Uni.
"Cih!
Decakan kekesalan.
Namun tidak dengan gadis yang berada di sana, mereka menatap benci seorang Ziya. Bagi mereka, apa untungnya mengenal gadis yang hanya berpenampilan dengan pakaian longgarnya.
"Ziya gabung sama kita, ya. Aku baru saja datang dari kota. Kamu harus lihat, aku beli beberapa peralatan make up keluaran terbaru." Uni menarik Ziya untuk duduk di tengah-tengah mereka, namun Ziya ingat jika dia harus ke rumah Annisa.
"Maaf, Uni. Hari ini aku mau ke rumah, Nissa." Uni terlihat mendesah kecewa, namun ditampilkan senyumannya kembali.
"Ya sudah, nggak apa-apa. Tetapi kamu harus mau menerima satu set make up dariku." Ziya tersenyum, lalu menerimanya tanpa ada penolakan.
Tidak luput, pandangan gadis yang lainnya semakin merendahkan. Mereka kesal bukan main karena Uni yang begitu baik terhadap Ziya.
Mereka juga menginginkan make up yang Uni berikan kepada Ziya. Hey! Siapa yang tidak tergiur, jika harganya mencapai jutaan rupiah. Mereka iri dan semakin membenci Ziya.
Lagipula, mengapa Uni harus repot-repot memberikan barang yang berharga itu kepada Ziya, yang jelas-jelas tidak suka berdandan.
Dari dulu Uni selalu baik kepada Ziya, meskipun terkadang pandangannya berbeda dengan gadis berkerudung itu. Gadis-gadis yang lain juga bertanya-tanya, kebaikan apa yang dimiliki Ziya hingga seorang Uni yang sangat pemilih dalam pertemanan, bersikap baik kepadanya.
"Aku mengerti kamu nggak suka memakai make up, tetapi kamu bisa memakainya walaupun itu di dalam rumah. Aku tahu, kamu pasti menghargai pemberian setiap orang."
Ziya menepuk pelan pundak Uni, sambil mengangguk.
Segera Ziya pamit dari sana. Dia sedikit melirik dan tersenyum ke gadis yang lainnya, membuat mereka terkejut dan kembali menatap sinis Ziya.
📌📌📌
Rahasia dari sebuah berita, tak ayal membuat kita begitu penasaran. Terkadang hati merasa bimbang untuk mengungkapkan lalu tidak tahu harus memulai kata darimana.
Setiap apa yang ditunggu itu menjadi pertanyaan. Sosok di depannya terdiam penuh dalam. Menundukkan kepala tak berani untuk menatap mata kelam yang menuntut sebuah jawaban.
Hening menggerogoti di antara Ziya dan Nissa yang hanya terdiam. Dua insan dengan pikiran yang saling bercabang. Ziya sedang menunggu sebuah jawaban, namun narasumber seperti enggan atau bisa dikatakan ketakutan dalam memulai pembicaraan.
"Annisa..."
Panggilan itu seperti sebuah angin. Atmosfer di ruangan terasa begitu mencekam, antara ketakutan juga ketidak inginan. Annisa takut ayahnya tiba-tiba datang dan melukai Ziya. Sedangkan Ziya berpikir, mungkin Nissa memang enggan untuk bercerita kepadanya.
"Annisa..."
Lagi-lagi panggilan itu tidak direspon oleh Annisa. Wajahnya terlihat pucat dengan kedua tangan yang saling bertautan, gemetar dari kedua tangannya jelas terlihat. Dia seperti seseorang yang menahan ketakutan bercampur kekhawatiran.
Ziya berinisiatif untuk mendekati Annisa. Ia duduk di samping gadis mungil itu dan menggenggam jemarinya. Annisa terkesiap, ia menoleh ke arah Ziya namun matanya membola sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Pikirannya tidak tenang, selalu merasa was-was akan sekitar.
"Kamu boleh cerita apapun sama mbak. Bukankah kita sahabat? Tetapi kalau kamu masih mencari waktu yang pas, mbak nggak menuntut apapun. Jangan takut, Nissa. Kita selalu ada buat kamu." Pandangan Nissa menyayu. Dia meneteskan air matanya lalu memeluk Ziya dengan erat.
"Annisa takut ayah datang dan dia ngelakuin sesuatu ke mbak Ziya. Annisa takut, mbak." Ziya tersenyum, mengusap punggung Annisa dengan pelan.
"Annisa."
Baik Nissa dan Ziya langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Ziya mengerutkan keningnya ketika melihat kedatangan sosok lelaki yang tidak ia kenal. Laki-laki tersebut langsung tersenyum menunduk ke arah Ziya dan ia langsung duduk bersebrangan, di tempat yang berbeda dari dua gadis tersebut.
"Maaf, jika saya mengganggu. Saya ke sini hanya ingin mengantarkan obat untuk ibu Nissa." Ziya menatap Nissa terkejut, karena baru mengetahui jika ibunya sedang sakit.
Satu hal juga yang ingin Ziya tanyakan.
"Kamu siapa?"
"Ah, perkenalkan nama saya Adrian."
"Mbak Ziya jangan takut, karena saya tidak akan berbuat macam-macam. Saya hanya ingin bertanggung jawab terhadap Nissa."
"Mungkin mbak terkejut jika mengetahui bahwa saya tertarik kepada Annisa. Saya tertarik dalam artian yang lebih serius."
Ziya menarik napasnya sebentar, menatap Annisa sekilas lalu kembali menatap lelaki di depannya dengan tatapan menelisik.
Pria tersebut tertawa lalu mengeluarkan sebuah kartu nama.
"Saya bukan orang jahat, sekalipun dandanan saya seperti pemuda berandalan. Kami dipertemukan saat dulu ibunya masuk rumah sakit di mana tempat saya bekerja."
Dan satu fakta yang Ziya temukan sekarang bahwa pria dihadapannya adalah dokter muda.
"Saya sudah mengetahui beberapa hal mengenai Annisa dan saya siap jika dia meminta bantuan atau apapun kepada saya."
Adrian menatap Annisa sebentar, namun yang ditatap memalingkan wajahnya ke lain arah. Hal ini tak luput dari pandangan Ziya.
"Annisa menyadarkan saya bahwa tidak semua perempuan di desa ini hanya menatap laki-laki kota dari hartanya, meskipun itu bisa dihitung dengan jari."
Ziya menunggu.
"Dan saya kalah pada fakta, bahwa Annisa ingin mencari laki-laki yang mampu membimbing dia ke arah yang Allah ridho'i." Pria tersebut berdiri lalu tersenyum ramah ke arah Ziya.
"Mbak tenang saja, saya akan bertanggung jawab terhadap Annisa. Apalagi mengingat ayahnya yang menyukai pria kaya. Tetapi saya tulus dengan Annisa."
Pria tersebut mengatupkan kedua jarinya, sambil tersenyum.
"Saya akan belajar banyak hal tentang agama. Sampai di mana Allah yang akan memutarbalikkan perasaan Annisa kepada saya, atau jikapun tidak, saya tetap akan membantunya."
"Mbak Ziya dan Nissa, saya izin pulang dulu."
Setelah kepergian pria tadi, Annisa langsung memandang Ziya. Keduanya terdiam cukup lama, hingga Ziya memulai pembicaraan.
"Kamu kenapa?" Annisa menjawab dengan gelengan kepala.
"Ayah kamu tahu tentang Adrian?" Annisa mengangguk.
"Ibu ke mana? Katanya dia sakit, tetapi kok nggak ada di rumah?"
"Ada di kamar aku. Ayah tadi malam ngusir ibu dari kamarnya.
"Ayah tidak suka mendengar ibu yang sakit-sakitan."
Ziya bangun dari duduknya untuk menemui Ibu Annisa, namun ditahan oleh gadis itu.
"Jangan, Mbak."
"Kenapa?"
"Karena sebentar lagi ayah datang."
Bersambung
Ini apa?
Kok makin ngawur isinya ya haha
Perjalanan cerita ini masih panjang huhu
Konflik sebenarnya belum dimulai
Karena seperti kata pepatah Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang pula anginnya.
Terimakasih
Salam sayang dan cinta
ZII
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro