Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Panggung yang Tepat

Seorang sahabat tidak akan pernah jauh dalam mengajak kebaikan. Karena dia tahu, Allah datangkan ujian untuk saling menguatkan.

🌺🌺🌺

Setegar-tegarnya seorang perempuan, hatinya akan dibolak-balikkan dengan cara yang Allah kehendaki. Ada saatnya juga, ia akan bertanya-tanya apakah keputusan yang diambil adalah pilihan terbaik. Ketika ujian datang bertubi-tubi, ketika keimanan mulai diuji, maka saat itulah perasaan dan batin saling berperang.

Mempertanyakan. Apakah keputusan yang diambilnya sudah benar?

"Kenapa, Ziya?" Aisyah melihat raut gundah Ziya. Gadis itu merasa tidak tenang, seakan ada suatu hal yang begitu rumit dipikirnya.

"Mbak, apakah hijrah itu begitu susah seperti ini? Apakah bagi orang yang berhijrah, akan selalu dihantui oleh yang namanya masalah dan ujian? Apakah orang yang berkerudung itu tidak boleh berbuat salah?"

Aisyah tahu, Ziya tengah mempertanyakan keyakinannya. Aisyah tahu, bahwa hati gadis tersebut sedang gelisah.

"Kamu tahu, jalan hijrah itu panjang dan tidak akan bertemu titik akhirnya sampai Allah benar-benar menjemput kita untuk kembali pada-Nya.

Dan perjalanan kamu akan terus berlanjut sampai benar-benar pada titik yang Allah tentukan. Dulu aku juga sama sepertimu, merasa ragu, goyah, tidak kuat akan godaan tetapi semakin ke sini menjadi sebuah kebiasaan yang rasanya luar biasa. Pro dan kontra itu selalu ada dan tidak selamanya orang akan setuju ataupun menyetujui apa yang kita kehendaki atau kita lakukan.

Kamu nggak sendiri, masih banyak orang yang mau menerima. Ini hanya ujian dan teguran kecil dari Allah untuk membuat hamba-Nya memiliki derajat yang pantas."

"Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbi ‘Ala Diinik." Aisyah menggenggam telapak tangan Ziya dengan kehangatan. Menyalurkan perasaan seorang sahabat. Saling menguatkan untuk terus berjalan dan tidak takut dengan ujian yang menerpa di depan.

Ziya menatap Aisyah sendu. Kebaikan apa yang sudah ia lakukan dulu, hingga Allah datangkan seorang sahabat seperti Aisyah padanya.

"Jangan menangis. Kita sama-sama berjalan di arah yang berbeda dari mereka. Bukankah dari awal, kamu sudah tahu konsekuensi apa yang akan terjadi. Syurga Allah itu nggak gratis, Ziy. Kita harus membayarnya dengan ketakwaan dan ketaatan. Kita harus bisa dapetin golden ticket untuk masuk ke pintu syurga-Nya." Aisyah menghapus air mata Ziya yang menetes perlahan.

"Aku dulu seorang preman jalanan. Perempuan nakal yang akhirnya Allah uji agar bisa kembali pada-Nya. Bukti bahwa Dia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya sendiri. Termasuk aku, yang dulu membenci mereka yang selalu menganggap bahwa menjadi baik itu perlu." Aisyah tertawa pelan, mengenang betapa nakalnya dia dulu.

"Dulu, yang aku pikirkan hanya bagaimana bisa menghasilkan uang dan makan. Lalu bisa berkuasa di suatu wilayah. Aku nggak mau dipandang lemah sebagai perempuan. Perempuan juga bisa berkuasa, layaknya laki-laki. Itulah mengapa, aku dibutakan oleh obsesi yang jadinya tidak pernah mau tahu apa itu agama dan Tuhan." Aisyah terdiam, hatinya merasa sesak. Betapa dulu ia tidak percaya, bahwa Allah itu benar-benar dengan segala kuasa-Nya.

"Lalu Allah kirimkan mas Yusuf dalam balutan ujian. Aku tertarik dan mengejarnya, sampai ternyata akupun tahu bahwa dia lelaki sholeh dengan segudang pendirian yang kuat. Aku mengejarnya dan dia semakin jauh. Tidak peduli seberapa keras dia menjauh, Allah pertemukan kami dalam setiap masalah. Tidak ada rencana-Nya yang membuat kita rugi." Aisyah tersenyum ke arah Ziya, lalu memberikan sebuah buku motivasi untuk dibacanya.

"Dan sebaik-baik pilihan adalah ketika pilihanmu jatuh pada panggung yang tepat"

Kemarin malam ketika ia pulang dari desa sebrang, seorang perempuan muda mencegatnya. Ia berteriak lantang dengan perkataan yang menyanyat hati. Dan Ziya berpikir, mengapa harinya selalu dipenuhi dengan orang-orang yang bermasalah.

Dulu, ketika Ziya belum memutuskan berhijrah. Segalanya terasa bebas namun kosong. Ruang terdalamnya hampa, karena hanya ada kesenangan yang tak berarti. Dia terlalu larut dan terpukau pada apa yang di dunia ini suguhkan, sampai-sampai dirinya hanya mengejar kebahagiaan tersebut.

Kebahagiaan semu dan sementara. Semuanya memang nyata namun tidak terasa kekal. Dia hanya dapat berlari di tempat. Mengejar pendidikan tanpa mau tahu apakah ilmunya bisa bermanfaat untuk orang lain atau tidak. Bekerja di kota mencari uang, hanya untuk mengenyangkan perut dan memanjakan mata dengan berbelanja banyak hal yang diinginkan. Semua menyenangkan namun sesaat.

Sampai dia bertemu dengan Aisyah. Gadis yang dulunya juga memiliki masa kelam dan tidak sempurna itu, pernah terjatuh kesekian kali dalam urusan kehidupan. Mengorbankan banyak hal untuk kesenangan lalu diuji sedemikian rupa oleh Allah. Namun dia bisa bangkit dan mengejar cinta-Nya. Hingga dapat.

Ziya memandang Aisyah dalam kekosongan. Kerap kali ia merasa sendiri untuk melewati semuanya. Melamunkan banyak hal dan tidak menyadari dengan sekitar. Lalu, apakah ia mampu untuk berjalan dalam tahap cinta, pernikahan. Terlalu takut dengan sugesti-sugesti yang bersemayam.

"Kenapa?" Aisyah memandang tanya ke arah Ziya yang memandangnya tanpa berkedip.

"Ada Al-Qur'an yang membuat kedamaian. Coba dengerin murottal." Aisyah memasangkan headseat ke telinga Ziya, yang disambut senang gadis itu.

"Apa mbak sering mengalami hati goyah?" Ziya membenarkan letak duduknya. Ia ingin berbagi dan mendengarkan sebuah cerita.

"Pernah. Dan saat goyah itu datang, kita harus ingat apa tujuan memilih hal ini. Kenapa kita harus tetap berjuang dan bertahan? Kenapa harus melangkah sejauh ini, padahal banyak hal bebas yang bisa diraih. Seperti, menjadi baik itu ribet dan menjadi buruk itu mudah."

"Kurangi melamun, karena itu satu faktor yang bisa menyebabkan setan mampu masuk dengan mudah dalam pikiran kita." Aisyah membuka sebuah buku motivasi, dibacanya lamat-lamat dan teliti, meresapi hingga menembus hati.

"Apa mas Yusuf, yang membuat mbak berubah?" Aisyah menoleh, lalu tersenyum. Ditutupnya buku tersebut, berpindah haluan menjadi menghadap ke arah Ziya.

"Hidayah bisa datang darimana saja, termasuk perantaranya adalah manusia. Dulu aku berpikir, kalau bisa menikah dengan mas Yusuf pasti menjadi gadis baik-baik. Tetapi ternyata belum. Allah uji kembali ketetapan hati aku, bahwa ini semua adalah bentuk cinta-Nya yang disampaikan lewat hamba-Nya yang lain."

Ziya berkedip sebentar. Ia harusnya bersyukur bahwa Allah memberikan dirinya sebuah panggung yang teramat luas untuk dirinya mainkan. Ketika Aisyah dulu dengan segala ketidaktahuannya, belajar agama untuk menjadi gadis yang pantas di hadapan-Nya.

"Aku pernah berbuat maksiat dalam balutan ibadah. Rasanya... banyak ruang yang terasa kosong. Hampa dan menyesakkan." Aisyah tertawa pelan. Suaranya teredam oleh telapak tangan yang menutupi mulutnya.

Ia menoleh ke arah Ziya masih dengan sebuah senyuman.

"Setiap orang punya kadarnya masing-masing. Terkadang kita mengatakan terlalu berlebihan terhadap keadaan orang lain, padahal kita sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi." Ziya berpikir, lantas ia menganggukkan kepalanya.

"Terkadang aku juga ingin bebas, tanpa ribet pakai cadar atau kerudung panjang. Tetapi kembali lagi, untuk apa aku memilih panggung yang tidak membuatku nyaman? Apakah itu sudah baik atau hanya kesesatan semata? Semisal begini, dengan bercadar dan kerudung panjang,  setidaknya aku akan lebih malu lagi untuk berbuat maksiat."

"Aku akan berusaha untuk belajar dan terus belajar lebih pantas lagi di hadapan-Nya. Mengapa aku harus hijrah? Karena aku juga punya tujuan, agar menjadi hamba-Nya yang lebih pantas."

"Mungkin aku nggak bisa sebaik mereka di luaran sana, tetapi aku akan berusaha untuk menjadi pantas di hadapan-Nya kelak." Ziya terpaku. Harusnya dia bisa, bukan selalu mempertanyakan keputusannya.

Ziya sadar, harusnya dia bersyukur bisa mencapai tahap sampai sini. Allah masih sayang dan peduli kepadanya. Allah ingin, dirinya tidak melangkah lebih jauh pada lingkar kesesatan. Karena di luaran sana, masih banyak orang yang Allah tutup hatinya, hingga mereka tidak bisa menemukan jalan yang lebih baik dan kembali pada-Nya.

"Jangan jadi bodoh, hanya karena ucapan orang lain. Karena terkadang penilaian mereka hanya dinilai dari cara pandang tanpa sebuah dasar." Aisyah menghela napasnya kembali.

Dulu dia seperti itu, berpikir kenapa kita sebagai perempuan muslim harus memakai kerudung atau jilbab, tanpa kain itupun kita bisa menjaga diri dan berperilaku baik.

Karena fungsi dan tujuannya jelas sudah berbeda.

"Jangan takut untuk melangkah ke depan, Ziya. Kamu nggak sendirian. Ayok berjuang bersama." Aisyah dengan garis senyuman lewat matanya, ia menepuk pelan bahu Ziya.

"Seperti katamu. Tidak apa dijauhi, asal Allah selalu bersamamu dalam jalan hijrah ini."

Ziya tersenyum.
Dia pasti bisa melewati semua ini.

Di depan sana, ada jalan yang lebih berkelok lagi
Dengan jurang di pinggirannya
Seharusnya ia lebih mempersiapkan diri, menghadapai sebuah ujian yang lebih tinggi lagi.

Makna ucapan dan perilaku adalah sebuah perbedaan

Perbedaan yang disatukan, lalu menjadi sebuah kesatuan

Pada hakekatnya, kita hidup untuk berjuang dan bertahan

Mempertahankan sebuah pilihan
Dan berjuang untuk sebuah tujuan.









Terimakasih untuk tetap setiap membaca cerita ini.



Salam sayang dan cinta
Zii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro