Mencoba Berdiri
Mari berjalan bersama. Jika kamu merasa sendirian, cobalah untuk mengingat orang-orang yang tetap berada di sampingmu saat masa-masa susah.
❤❤
Satu minggu dengan keterdiamannya. Mematikan hati, menulikan telinga. Hanya diam dengan pandangan kosong tanpa ada minat untuk menghidupkan diri.
Tidak peduli dengan keadaan sekitar, bahkan tangisan sang Umi tak didengar. Setiap pertanyaan dari keluarganya tak pernah ia hiraukan. Karena nyatanya Ziya mematikan hatinya lebih dalam.
Ziya terduduk dengan pandangan sebuah tekad. Ia menghela napas ketika ada sebuah penyesalan yang tersirat di dalam jengkal dadanya. Ia menatap Al-Qur'an yang baru saja ia baca. Tak sengaja sebuah ayat membuatnya tersadar.
"Janganlah kamu lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman" (QS. Ali Imran: 139).
Ziya sadar bahwa kesedihan yang ia alami membuat dirinya buta. Keputus asaan itu membuat hatinya mati dan dirinya menjadi semakin mati ketika tak mengindahkan apa-apa saja yang Allah janjikan. Bukankah sudah jelas bahwa dirinya tengah diuji.
Mengapa dia terlalu mengeluh dan akhirnya mengalah pada keadaan. Menyerah begitu saja seakan tidak ada yang akan membantunya. Bahkan hilang harapan. Ziya sadar bahwa kehancurannya membuat siapa saja akan tertawa.
Duduk berdiam di dalam kamar selama kurang lebih 5 jam, seusai menangis dirinya langsung melaksanakan sholat. Melarikan diri kepada Sang Maha Pencipta. Kesakitan dalam hatinya, setidaknya terobati ketika ia mengadu kepada-Nya.
"Maafin, Ziya." Ziya menunduk lalu meneteskan air matanya. Kesakitan itu berasal dari dirinya sendiri, karena ia sempat mematikan hatinya.
Karena seharusnya di tahu, bahwa setiap konsekuensi terhadap apa saja yang ia putuskan pasti ada. Tak ada jalan hijrah yang mudah karena di dalamnya pasti terdapat dua hal, yaitu nikmat dan ujian.
Ziya menatap pintu kamar. Dia sudah membuat seisi rumah menanti dirinya dengan perasaan kacau serta khawatir. Dirinya sudah menyakiti sang Umi dengan keterdiamannya. Bahkan Ziya malu ketika ia ingin keluar.
Namun dorongan itu semakin besar. Ia harus bangkit dan menyelesaikan semua. Setidaknya terhadap keluarga yang ia abaikan.
Perlahan Ziya bangkit, membuka pintu dan berjalan ke luar. Ia mencoba mencari sang Umi ke setiap penjuru namun tidak ada.
"Umi, Amir, Abi!" Ziya sedikit berteriak, namun keluarganya tidak ada yang menyahut.
Ziya berjalan cepat ke depan, namun tak mendapati siapapun di sana. Pergi kemana keluarganya?
"Mbak Ziya!" Ziya menoleh ketika mendapati Annisa yang berlari ke hadapannya.
Gadis itu membungkuk, menetralkan napasnya. Menatap Ziya dengan pandangan berkaca-kaca, lalu menarik Ziya untuk mengikuti langkahnya.
"Nisa, tunggu! Mau kemana kita?"
"Keluarga mbak ada di rumah pak Kades." Ziya terkejut lalu semakin mempercepat langkahnya.
***
"Bagaimana?" Tanya Aisyah menatap teman-temannya.
"Sedikit susah tetapi aku tahu kepada siapa kita harus bertanya." Salah satu temannya memberikan sebuah kontak bernamakan seorang laki-laki yang sangat asing di mata Aisyah.
"Apa selama ini kamu cukup mencurigai seseorang, Aisy?"
Aisyah berpikir. Beberapa hari lalu, setelah 'dia' kembali, banyak hal tak terduga. Seperti sifatnya yang banyak berubah. Awalnya Aisyah tidak menaruh curiga apapun, namun semenjak siang kemarin ia bertemu dengan anak itu, membuat Aisyah mulai menerka-nerka. Karena wajahnya yang tersenyum tanpa kata, membuat Aisyah merasakan kebingungan.
"Ada. Tetapi aku nggak mau berburuk sangka terlalu jauh." Mereka mengangguk mengerti.
"Kita lihat saja nanti, Aisyah. Siapa sebenarnya yang bakalan malu lebih dalam."
Aisyah mengerut bingung menatap teman-temannya. Mereka tersenyum lalu mulai berpikir sesuatu hal, yang entah sadar atau tidak bahwa pemikiran mereka saling terhubung.
"Aku kenal sama seseorang di video ini. Em... hampir beberapa kenal dan sebagian mungkin hanya anak baru. Kalau aku pikir, sebenarnya mereka lebih disuruh orang lain daripada rencana sendiri." Aisyah menatap temannya yang lain. Seorang bertato yang bernama, Al.
"Val..." Al memanggil temannya yang lain, lalu mereka menatap satu sama lain. Tersenyum penuh arti.
Inilah yang ditakuti oleh beberapa preman gadungan di luaran sana. Walaupun mereka dari beberapa kalangan, namun kesolidan itu tetap terjaga. Sekalipun Aisyah memilih keluar dari dunia tersebut, namun mereka tetap berteman baik dan menjaga Aisyah layaknya saudara.
Jangan lupakan bahwa mereka juga manusia biasa. Akan ada masanya untuk memperbaiki diri. Sadar atau tidak, semenjak Aisyah mengundurkan diri, mereka mulai satu persatu menata hati dan memperbaiki diri. Step by step...
Meskipun pandangan masyarakat tetap sama jeleknya, namun mereka mulai menghormati wanita bahkan tidak segan menyakiti siapapun yang mencoba menghancurkan martabat seorang perempuan. Kecuali jika wanita itu memiliki hati seperti iblis.
"Aisyah pulanglah. Kami yang akan mencari tahu seseorang itu."
Aisyah mengangguk. Ia mempercayakan masalah tersebut kepada teman-temannya.
***
"Ziya." Ketika Ziya sampai di rumah pak Kades, sang Umi langsung memeluk dirinya.
"Umi, ada apa?"
Terlihat beberapa warga menatap dirinya dengan rendah. Mereka berbisik dan tertawa dengan pelan. Namun Ziya tidak ingin mempedulikan mereka.
"Nah, kebetulan nak Ziya ada di sini." Ziya mengalihkan tatapannya ke arah pak Kades.
Sekilas Ziya menatap adiknya. Terlihat Amir yang menahan amarah, kepalan tangannya menguat, rahangnya mengeras. Adiknya itu... sedang tidak baik-baik saja.
"Sebelumnya saya minta maaf. Namun beberapa warga melaporkan kepada saya, bahwa mereka mengalami keresahan atas video yang tersebar. Apalagi mengingat nak Ziya yang sangat menutup diri. Berjilbab di desa kita ini. Saya tidak tahu apa ini benar atau tidak, namun saya ingatkan sekali lagi bahwa sebaiknya nak Ziya jangan berjilbab dulu."
"Apa?!" Bagi Ziya itu sebuah ranah yang sangat sensitiv bagi dirinya. Bagaimana mereka memutuskan untuk melarang dirinya berjilbab.
"Ini untuk mengurangi fitnah yang ada."
Ziya tidak percaya ini. Sekalipun ia tetap berjilbab, bukankah sedari dulu ada saja fitnah yang berdatangan. Memakai jilbab bukan ranah mereka untuk mengatur.
"Maaf, pak. Tetapi saya tidak bisa mengabulkan permintaan tersebut."
Mereka berdecih. Anak-anak muda menatap tak suka dan memiliki melempar tatapan yang menghina. Bibirnya begitu halus untuk melontarkan cacian.
"Saya berjilbab bukan semata-mata untuk terlihat baik dihadapan manusia. Karena penilaian terbaik itu berasal dari Tuhan saya. Lagipula bukankah tidak ada larangan untuk perempuan berjilbab di sini. Semua bebas untuk menentukan pilihannya untuk berjilbab. Karena berjilbab itu salah satu kewajiban sebagai seorang perempuan Islam. Sudah tertera dalam Al-Qur'an dan Hadist Nabi."
Mereka terdiam.
"Mungkin awalnya saya berjilbab dengan maksud tertentu. Tetapi menyuruh saya untuk melepas jilbab itu... bukan kehendak kalian."
Lagi dan lagi mereka terbungkam.
"Saya tidak tahu apa ada seseorang yang begitu membenci saya, hingga melakukan hal tersebut. Tetapi tidakkah kalian juga sadar, bahwa ada beberapa anak perempuan di desa ini yang mulai belajar untuk berjilbab dengan cara sembunyi-sembunyi."
Mereka terkejut, lalu saling menatap satu sama lain.
Karena Ziya benar.
Dari ribuan orang, ada di antaranya yang harus menahan diri untuk berjilbab.
Ketakutan terbesar karena sebuah tradisi kecantikan, untuk menggaet pria-pria kaya di kota. Agar derajat keluarganya bisa naik dan menjadi warga terpandang.
Tetapi itu bukan kuncinya.
Bersambung
Terimakasih
Salam sayang dan cinta
zeezii23
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro