Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Memulai Perlahan

Allah tidak akan membenci hamba-Nya yang mau bertaubat, sekalipun sudah berlumuran dosa. Jadi, kenapa kita harus takut bertaubat?

❤❤❤

Ziya meletakkan beberapa buku yang dulu ia beli saat semasa kuliahnya. Buku-buku cerita yang bisa dibaca oleh anak-anak sampai dewasa. Ziya bercita-cita untuk bisa membangun peradaban membaca di desanya. Meskipun minim sekali, apakah niat ini bisa diterima baik atau justru kesan terburuk yang ia dapat.





Namun Ziya tidak ingin berputus asa, ia harus melaksanakan niatnya. Jika pendidikan di desanya tidak begitu diperhatikan oleh para orang tua untuk anak-anak, biarkan anak-anak itu mulai menyukai dunia buku dan membaca. Ziya takut, anak-anak akan mengalami fase kekurangan dalam hal wawasan. Itulah mengapa, dengan sebuah tekad ia meletakkan buku-buku tersebut di halaman rumahnya.




Anak-anak di desanya begitu polos. Mereka tidak membenci Ziya sebegitu mengerikannya seperti beberapa orang tua atau remaja di sini. Mereka begitu senang dengan kepribadian Ziya yang ramah dan terbuka. Anak-anak adalah warisan bangsa serta agama, mereka tidak boleh berjalan pada jembatan yang salah, hanya karena keegoisan semata dari keinginan orang tuanya.

Di panti, ia juga sudah melaksanakan tugasnya untuk mengajak anak-anak membaca. Meskipun awalnya begitu susah karena membaca sering kali membuat mereka bosan, namun lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan. Bahkan anak-anak di desa sebrang juga mulai berdatangan ke panti untuk membaca buku gratis.

"Mbak Ziya lagi ngapain, itu?"

"Nggak tahu, coba kita ke sana."

"Jangan! Nanti ibu kita bisa marah."

"Nggak akan, karena mereka tidak ada di sini."

"Ya sudah, cepat-cepat."

Segerombolan anak desa yang terdiri 5 anak itu mendatangi Ziya. Mereka tersenyum manis ke arah Ziya yang dibalas oleh senyuman kembali.

"Mbak, ini buku cerita?" Ucap salah satu temannya. Membuat yang lain menatap takjub dan mulai menggeledah tumpukan buku tersebut.

"Kak aku mau baca. Boleh pinjam?"

"Boleh, dong."

Mereka bersorak riang, lalu mulai merapalkan tulisan-tulisan yang terlihat. Decak kagum tak urung menyelimuti, membuat Ziya tertawa.

Bagi Ziya, bisa berbagi kepada orang lain adalah suatu kebanggaan tersendiri. Dan dia berharap, suatu hari nanti peradaban di kampungnya tidak terbelakang.

Dia juga berharap, kelak pemikiran para orang tua lebih terbuka lagi. Tentang pentingnya belajar agama, beradab dan berilmu.

***


Entah kenapa Ziya ingin marah. Di hadapannya berdiri seorang anak remaja yang menyerukan pendapatnya. Berkata lantang, seakan merasa paling benar.

"Kenapa, Mbak?! Mbak tahu bahwa di desa ini tidak perlu berpendidikan tinggi, selayaknya mbak yang sudah sarjana."

"Lihat sekarang, sudah sarjanapun kembali di desa."

Anak-anak itu menatap sengit Ziya, tak urung pandangannya begitu merendahkan. Ziya tahu, anak-anak di hadapannya ini adalah teman Uni.

"Mbak itu nggak suka pakai make up, kenapa harus menerima pemberian Uni. Munafik, sekali."

Ziya menghela napas sebentar, lalu mencoba mengabaikan mereka. Ia berbalik badan, melangkah untuk kembali ke rumahnya. Namun sebelum ia melangkah, kerudung Ziya tertarik. Membuat dirinya harus tercekik di antara kerudung panjangnya. Jidat dan sebagian rambut di depannya terlihat.

"Lepas!" Tanpa sadar Ziya membentak mereka. Ia menarik kerudungnya, namun remaja itu tak melepaskannya.

Mereka tertawa, seakan melihat hiburan yang menyenangkan.

"Aku bilang, le-pas! Kalian tuli atau pura-pura tuli!" Kali ini Ziya marah. Dan ketika marah, ia ingin sekali menangis.

Bukannya melepaskan, remaja-remaja tersebut semakin geram terhadap respon yang diberikan Ziya. Mereka berpikir, bahwa Ziya akan langsung menangis dan mengemis kepadanya.

"Aku muak lihat mbak, sok menjadi pahlawan!" Salah satunya membentak.

Tiba-tiba gadis yang menarik kerudung dan membentak Ziya terduduk. Dia langsung menutup wajahnya dan menangis, membuat temannya yang lain termasuk Ziya ikut terkejut.

"Aku benci lihat mbak Ziya, hiks!"

Ziya terdiam. Gadis itu masih marah kepadanya namun disertai tangisan.

Temannya yang lain berdecih pelan, lalu pergi meninggalkan gadis yang masih menangis itu. Ziya tertegun, namun sedetik kemudian ia menghampirinya.

"Jangan mendekat!" Gadis itu mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Ia menatap nyalang ke arah Ziya, wajahnya memerah penuh emosi.

"Hey, ada apa? Kamu ada masalah? Sini, aku bisa jadi teman ceritamu." Ziya mencoba membujuk gadis itu, namun dibalas oleh gelengan kepala.

"Aku nggak butuh dikasihani." Gadis tersebut lari meninggalkan Ziya yang masih terdiam. Bertanya-tanya seakan ada sesuatu yang disembunyikan.

Permainan apalagi yang terdapat di desanya. Mengapa para orang tua menjatuhkan hukuman kepada anak-anak. Seakan-akan perempuan hanyalah dijadikan boneka di dalam rumah tangganya. Hanya diperbolehkan memilih laki-laki terpandang yang mampu menaikkan derajat di mata orang lain.

***


Ziya tahu, berhadapan dengan siapa kini dirinya. Laki-laki itu datang lagi, namun di tempat yang berbeda. Yaitu rumahnya.

Sebelum dirinya sempat bertanya, pria tersebut sudah berpamitan pulang kepada Uminya.

"Kamu kenal sama laki-laki tadi?" Tanya sang Ummi, namun dijawab gelengan kepala oleh Ziya.

Ziya memperhatikan ruang tamunya yang penuh dengan cemilan dan beberapa buku. Apakah pria tadi yang membawanya?

"Tadi dia bilang, kalau semua ini untuk anak-anak panti. Dia juga bilang, kalau kalian sudah berteman."

"Ziya nggak kenal sama dia, Ummi."

Sang Ummi terkejut, namun sedetik kemudian tersenyum. Ia tidak akan bertanya lebih jauh, namun di satu sisi juga merasa bingung. Sudahlah... biar waktu yang menjawabnya.

"Lagipula Ziya tidak menyukainya."

Sang Ummi tergelak, lalu menuntun Ziya untuk duduk.

"Nggak ada yang nanya, apakah kamu menyukainya atau tidak." Ziya memberengut kesal, membuat sang Ummi kembali tertawa.

Sungguh lucu.





Polesan wajahnya berantakan, disertai oleh tangisan

Kebahagiaan yang biasanya terpancar, hancur oleh pengkhianatan

Seperti itulah kehidupan yang sesungguhnya ia jalani. Semua tak seindah yang orang lain bayangkan.

Ia hanya dituntut untuk berpura-pura dalam permainan rumah tangga, yang diperankan oleh dirinya.

Ya! Dia baru mengetahui dan sungguh menyesal, bahwa Allah benar adanya untuk menguji setiap hamba-Nya

Dan dia sendiri, tidak ada teman yang menemani. Kekosongan jiwa hanya diisi oleh gemerlap harta yang mampu musnah kapan saja.

Dia baru sadar, bahwa dirinya hanya dijadikan tameng oleh permainan dua manusia yang terikat hubungan menjinjikkan.

Dia butuh teman dalam kesendirian dan kehancuran ini.

Ziya, maaf.

Teringat sosok gadis itu. Dirinya bahkan lebih hina dan tidak tahu harus melangkah kemana.

Dia ingin pergi, pulang. Namun jerat perjanjian itu tidak bisa dilepaskan. Dirinya dengan sesuatu yang dibanggakan, mampu hancur kapan saja. Siap untuk dihina dan dikucilkan.

"Kamu harus tahu, bahwa dari awal saya hanya menginginkan status tanpa ikatan yang mendasar."

Dia merasa terhina. Dalam hidupnya, impian pernikahan yang membahagiakan adalah tujuan. Namun lambat-laun semua itu musnah, dengan kesaksian dirinya sendiri. Di depan matanya, bukan perselingkuhan yang terjadi.

Namun satu hal yang menjijikkan, namun mampu membuat Allah murka.





Spoiler sedikit lah, buat chapter-chapter di belakang.

Terimakasih masih setia membaca cerita kami, teman-teman.

Salam sayang dan cinta
Zii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro