Bab I| Keputusanku
'Hijrah datang karena sebuah tekad, serta istiqomaah datang karena terbiasa. Terbiasalah untuk berbeda dalam kebaikan, karena sejatinya kaupun tidak sendirian~Melodi Sang Hijrah
❤❤❤
● Sebelum lanjut. Boleh dong, berbagi kisah denganku. Kapan pertamakali kalian memakai kerudung dan kenapa alasannya? Setelah sejauh ini, dampak apa yang kalian rasakan?
●●●
Ziya mengerti, kini hidup yang ia jalani sudah berubah total. Tidak ada kesenangan yang instan, semua butuh proses, pengorbanan, serta jalan untuk mencapai kebahagiaan adalah saat di mana kita bisa menghadapi ujian yang Allah berikan.
"Jangan dipikirin terus, Nduk." Sang Umi meletakkan secangkir coklat hangat di hadapan Ziya. Gadis itu tetap termenung, menerawang ke arah luar. Menatap segerombolan gadis yang tengah bercanda ria dengan tawa menggelegarnya.
"Umi nggak masalah, kalau Ziya pakai kerudung sampai ke betis?"
Pagi tadi, Ziya baru datang dari Yogya. Tugas perkuliahannya sudah selesai dan ia juga akan menetap di kampungnya mulai sekarang. Tak pelak, saat Ziya datang Abi dan Uminya menatap ia dengan pandangan terkejut. Bahwasannya Ziya yang awalnya hanya memakai kerudung pendek di atas dada, kini berganti memakai kerudung sampai sebetis beserta kaos kaki.
Terakhir kali orang tuanya melihat Ziya saat wisuda, gadis itu masih memakai celana jeans ketat dan baju lengan panjang beserta kerudung yang diikat asal. Namun kini, perubahaan yang drastis disuguhkan di hadapan keduanya.
"Nggak apa-apa, selama itu tidak menimbulkan fitnah. Lagipula pilihan ada di tanganmu. Konsekuensi apapun yang akan terjadi, pasti kamu sudah memikirkannya. Nak, Umi nggak berhak melarang kamu dalam kebaikan. Itu adalah pilihan dan pilihan setiap orang menjadi prioritasnya tersendiri. Tugas Umi adalah mendampingimu, bukan menghakimimu."
Ziya bersyukur, setidaknya ia masih memiliki orang tua dan adik yang selalu mendukung dirinya, sekalipun banyak saudara yang masih menatap dia dengan tatapan merendahkan.
Dia sudah siap menghadapi konsekuensi yang akan terjadi ke depannya. Apapun itu, selama ia berjalan pada kebaikan, Allah pasti akan setia menemaninya.
Di sana, ia masih menatap gerombolan gadis-gadis desa. Panas matahari bukan suatu alasan untuk menghambat mereka tetap nongkrong atau sekadar membicarakan produk-produk kosmetik keluaran terbaru. Bukan hal tabu lagi di desanya, itu seperti sebuah budaya yang harus dimiliki oleh setiap gadis.
Ziya menghela napasnya. Ia sudah berjanji untuk tidak terlalu menggilai benda-benda yang mendatangkan syahwat itu. Ia hanya tidak suka, bagaimana di desanya make-up tebal begitu populer. Ia tidak membenci mereka yang memakai make-up, tetapi pemakaian di sini begitu overdosis. Mempercantik diri itu tidak dilarang, tetapi Ziya belum mampu memoles wajahnya. Wajahnya masih natural, ia hanya takut. Takut untuk terlalu membanggakan diri, sampai lupa jika kecantikan bukan tolak ukur untuk berada di syurga-Nya.
"Mbak Ziy kok masih di sini?" Itu Amir, adik kandung Ziya yang baru saja datang dari sekolahnya.
Amir duduk di sebelah sang kakak. Melihat wajah lelah itu, menghela napas sebentar lalu menepuk pundak sang kakak dengan pelan.
"Pilihan mbak untuk pakai kerudung bukan sebuah kesalahan. Aku malah suka kalau mbak pakai kerudung seperti sekarang. Lebih manis."
Ziya menatap sang adik dengan wajah yang bingung. Bukan bingung karena ucapannya, tetapi mengapa adiknya itu begitu menatap dirinya dengan tatapan menyedihkan. Hei! Dia sedang tidak melamunkan hal-hal yang menyedihkan, ia hanya sedang merenungkan sesuatu agar dirinya bisa mempertahankan sesuatu yang sudah ia komitmenkan.
Berkerudung. Sudah lama ia memutuskan untuk berkerudung. Bukan sesuatu yang mudah, sebab kerudung yang dipakai oleh dirinya masih begitu minim di kalangan desanya. Kerudung bukan sesuatu yang tabu, melainkan sesuatu yang begitu sakral di sini.
Anggapan berkerudung yang hanya digunakan di usia tua, sudah seperti pemahaman tersendiri bagi gadis-gadis di desanya. Ada juga yang berkerudung, namun kebanyakan mereka sudah merantau ke kota untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi atau bekerja di perantauan, di desanya kerudung dianggap seperti sesuatu yang hanya digunakan bagi orang-orang dengan tingkat keimanannya tinggi.
"Kamu ngapain di sini? Sana belajar." Ziya mendorong Amir pelan, membuat sang adik terkekeh pelan. Ia sangat paham, bahwa adiknya begitu menyayangi dirinya hingga tidak ingin sang kakak terlalu sedih.
Pandangan aneh yang selalu ia dapatkan dari gadis atau para orang tua di desa adalah sesuatu yang baru untuk dirinya. Ziya memang jarang pulang ke desa, ia mengenyam pendidikan S1 di sebuah kota bernama Yogyakarta. Dalam beberapa tahun merantau untuk pendidikan, ia hanya pulang beberapakali. Itulah mengapa, orang-orang begitu menatap sinis dirinya, karena di usia yang sudah menginjak 24 tahun Ziya masih tetap dengan penampilan yang biasa-biasa saja.
"Itu Ziya kan? Yang katanya sekolah di kota. Kok nggak bawa orang kota, biasanya orang yang tinggal di kota bakalan nikah dengan orang kota juga."
"Nggak laku mungkin. Lihat aja dia pakai kerudung seperti ibu-ibu. Sok suci, padahal dulu suka nyuri."
"Loh itu Ziya ya? Nggak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu, nggak ada menarik-menariknya."
"Makin ke sini makin sok suci. Pulang sebelum maghrib, nggak tahu ngapain aja di desa seberang."
"Kerudungnya itu loh, kayak taplak meja. Duh, mbok ya kalau mau pakai kerudung itu biasa-biasa saja. Nggak usah panjang-panjang seperti mukenah. Paling kelakuan masih bejat seperti pas SMA-nya."
Ziya menghela napas dengan mendengungkan istighfar secara pelan, ia sudah berjanji untuk tidak emosi dalam menghadapi omongan orang-orang. Dirinya harus terbiasa dengan perkataan mereka yang memang suka menyudutkan orang lain.
Niat hati ke warung depan untuk membeli kopi, membuat dirinya menjadi bahan gunjingan gadis di sekitarnya. Mereka adalah teman-teman semasa SMA-nya. Sedari dulu mereka memang tidak begitu akrab dengan Ziya, namun ia tidak peduli akan hal itu. Lagipula masih banyak teman lain yang tidak bermuka dua, menurutnya.
"Nggak perlu didengerin omongan mereka, Mbak. Syurga kita bukan hasil ngemis ke mereka."
Ziya tertawa pelan, ia mengacak rambut tebal Amir dengan sayang. Adiknya itu, sekalipun masih duduk di bangku menengah atas namun selalu berusaha menjadi teman terbaik untuk mbaknya. Ziya semakin bersyukur, ia tidak sendirian untuk terus berjalan ke jalan-Nya.
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Ahzab: 59)
***
Lalu, apakah kisah Ziya akan berhenti sampai di sini? Tentu saja tidak.
Perjalanannya masih panjang, karena banyak ujian tak terhingga yang akan Allah hidangkan untuk Ziya.
Seperti halnya roh yang membutuhkan raga
Maka penglihatan membutuhkan mata
Seperti halnya rasa butuh kepekaan
Maka sejatinya cinta, melewati api ujian
●●●
Wahhhh.... sebelumnya, terimakasih buat yang sudah bersedia membaca cerita ini, yang mungkin sangat membosankan 🤭
.
Semoga ada hikmah yang bisa diambil, meskipun sedikit.
.
Jazakumillahu khair ❤
.
Sayang dan cinta
Zi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro