Bab 4 |Desa Seberang
'Jika satu kubu membencimu, percayalah bahwa ada satu kubu yang mengagumimu. Karena Allah selalu menciptakan banyak hal dengan berpasangan. Laki-laki dengan perempuan, kesedihan dengan kebahagiaan dan kebencian dengan kekaguman'
❤❤❤
Jika di desanya Ziya banyak dibenci, maka di desa seberang dirinya banyak dicintai.
"Nduk Ziya, nggak balik ke Yogya lagi?" Tanya seorang ibu-ibu dari desa seberang.
Kedekatan Ziya dengan beberapa orang di desa seberang memang tidak bisa dipungkiri lagi. Mereka menerima dan tidak mencoba menghakimi selama tidak berbuat kerusakan di dalamnya. Lagipula saat hari-hari libur sekolah, Ziya akan membantu mengajar di panti bukan hanya anak panti saja, tetapi ada beberapa anak desanya.
"Semua urusan di sana sudah selesai, Bu. Ziya di sini ngajar sambil bantu orang tua saja." Ibu-ibu tadi tersenyum lalu menyuruh Ziya untuk duduk sebentar.
Hari sudah sore dan seperti biasanya, dia harus pulang ke rumah setelah mengajar dan membantu Aisyah di panti. Namun saat di perjalanan pulang, seorang ibu-ibu mencegatnya untuk mampir, membuat Ziya dengan senang hati menuruti.
"Ibu tadi buat singkong keju, dicoba ya." Ziya tersenyum hangat. Lalu mencoba singkong keju tersebut dengan nikmat. Rasanya sangat nikmat, entah mengapa melihat senyum sang ibu mengingatkannya pada sang Umi.
"Jangan sungkan-sungkan sama ibu. Kita ini keluarga." Ziya tersenyum.
Benar, saat satu dari dirimu dibenci. Maka ada satu dari dirimu yang disukai. Di sini Ziya merasa betah. Ada ketenangan tak kasat mata yang sulit diungkapkan. Mereka dengan segala keterbukaannya membuat Ziya tidak merasa takut.
"Ibu tahu, di desa kamu sering dibully. Mereka terlalu berpikir sempit, sehingga terus menerus menyalahkan perempuan yang berkerudung panjang. Mereka buta akan kewajiban hanya demi menjaga kecantikan. Padahal, saat berkerudung pun kita bisa menjadi cantik. Bukan begitu, Nduk?" Ziya mengangguk, lantas membalasnya dengan senyuman.
"Mungkin ini cara Allah untuk menguji Ziya, Bu. Ziya nggak masalah, yang terpenting mereka tidak di luar batas. Lagipula Ziya tidak malu berpakaian dan berkerudung seperti ini. Suatu hari nanti, ada masanya Allah akan membolak-balikkan hati mereka."
Setelah beberapa menit bercengkerama dengan diselingi candaan dan tawa, Ziya berpamitan untuk segera pulang.
Ziya memilih berjalan kaki daripada menaiki kendaraan pribadi atau umum. Sambil melatih kesehatan, lagipula dengan berjalan kaki membuatnya tenang dan senang.
Namun nasib sedang tidak berpihak kepadanya. Saat melewati jembatan yang terhubung antara desanya dengan desa seberang, gerombolan anak-anak nakal yang kerjaannya mengacau tengah berkumpul di sana. Mereka tertawa dengan tingkah tak senonoh.
Ziya menghela napas sebentar. Berusaha untuk tidak peduli dan tetap melanjutkan perjalanannya. Namun ketika ia berada tepat di samping mereka, salah satunya mencegat Ziya.
"Wah.... lihat ibu ustadzah kita sudah pulang." Kata salah satunya membuat yang lain tertawa sangat keras.
Ziya tidak peduli, ia terus mencari celah untuk berjalan. Namun lagi-lagi dirinya dicegat. Salah satu dari mereka menghadap Ziya dengan merentangkan tangannya dan mencolek dagu Ziya.
"Mau apa kalian?!" Ziya berdesis tidak suka. Preman-preman ini memang sudah mengenal Ziya dari dulu.
"Jangan galak-galak, Mbak. Bagaimana kalau kita main sebentar?" Salah satunya mencoba menarik kerudung Ziya. Ziya kaget, ia segera menarik kerudungnya lagi.
"Udah, Jo. Jangan digangguin." Laki-laki bernama Jo itu berdecih pelan, lalu melepas tarikannya. Ia menatap Ziya dari atas sampai bawah.
"Perempuan kampung, seperti sampah. Tidak memiliki tubuh yang menggoda, untuk apa? Belajar sana, agar ada laki-laki yang tertarik denganmu." Ziya menghela napas lalu menatap Jo sengit.
"Aku lebih baik dibilang sampah, daripada menggoda tetapi murahan." Setelah berkata seperti itu, Ziya lalu meninggalkan mereka.
Mereka preman di kampungnya. Suka menggoda bahkan bermain dengan wanita-wanita malam. Tidak suka dengan gadis-gadis yang berkerudung. Mereka beranggapan bahwa semua perempuan itu sama saja. Hanya saja, semenjak Ziya datang semuanya semakin berubah. Mereka tidak suka Ziya yang terlalu menutupi tubuhnya dengan kerudung panjang, serta gamis yang longgar. Tidak memperlihatkan lekuk tubuh sama sekali.
***
Suara riuh di halaman rumah membuat Ziya yang tengah membaca buku terkesiap. Ia setengah berlari untuk melihat ada kejadian apa.
"Mbak Ziya!" Ziya kaget, saat seseorang memeluknya sambil menangis. Ziya segera melihat orang tersebut yang tidak lain adalah Nissa.
"Nissa, ada apa?" Ziya melepas pelukannya sebentar, memandang wajah kalut dan takut Nissa.
"Ayah, mbak. Ayah mukul ibu lagi. Nissa takut." Ziya menuntun Nissa masuk ke rumahnya. Mengambil segelas air lalu menenangkan si kecil.
"Aku takut, Mbak." Ziya memeluk si kecil, mengusap pucuk kepalanya dengan menggumamkan kata-kata penenang.
"Nggak ada yang perlu ditakutkan. Kamu perempuan hebat. Kamu kuat. Tenang, Nissa." Nissa tetap menangis, badannya gemetaran.
"Bagaimana kalau ayah mengamuk dan dia ke sini, Mbak?"
"Kita hadapi. Jangan takut, oke." Nissa mengangguk, meskipun dalam hatinya ia tetap was-was.
Ayahnya seorang yang memiliki watak keras kepala dan senang sekali bermain tangan. Kemauannya harus dituruti dan tak urung Nissa menjadi korban dari keinginan ayahnya.
Sang ayah tidak peduli akan pendidikan dan apa itu ilmu agama. Menjadi keluarga dengan perekonomian yang rendah, membuat sang ayah menjadi laki-laki yang arogan. Dari kecil, Nissa selalu melihat ayahnya memukul sang ibu. Nissa selalu dididik untuk menjadi perempuan yang menarik agar mampu mengikat laki-laki kaya, tidak peduli tua ataupun muda.
"Nissa!!" Nissa dan Ziya terkejut mendengar suara keras dari ayahnya Nissa. Mereka segera berlari ke halaman depan. Melihat raut wajah ayahnya yang begitu seram, membuat Nissa ketakutan.
"Ohh! Jadi sekarang kamu bermain dengan perempuan ini." Ayahnya menunjuk Ziya dengan sebuah geraman.
"Ayah." Panggil Nissa ketakutan. Ia bersembunyi di balik Ziya, namun ayahnya yang marah tidak peduli akan hal apapun. Ia berjalan dengan langkah berat dan segera menyeret Nissa. Ziya kaget, ia menarik lengan Nissa dengan erat juga.
"Lepas! Dia anakku dan kamu orang asing tidak perlu ikut campur dalam urusan kami." Ayah Nissa melotot ke arah Ziya, namun gadis berkerudung itu tidak takut.
"Saya tidak akan ikut campur, kalau yang bapak lakukan adalah kebaikan. Tetapi di sini, Nissa menjadi budak kekerasan ayahnya sendiri. Harusnya bapak sadar, Nissa bukan binatang yang bisa diperlakukan tanpa rasa kemanusiaan. Apalagi istri bapak di rumah. Apakah seperti itu sosok kepala rumah tangga yang sebenarnya?" Ayah Nissa semakin geram. Ia menghentak pergelangan tangan Nissa dan menatap anaknya dengan kilatan amarah.
"Tahu apa kamu tentang mendidik anak. Kamu sendiri belum laku sampai sekarang? Dengan kerudung dan pakaian panjangmu itu, apa akan ada laki-laki yang tertarik? Jangan sok menjadi pahlawan di sini, karena kami tidak butuh kamu!"
Pertikaian mereka menjadi bahan tontonan beberapa warga. Bahkan abi dan umi Ziya yang baru datang, terkejut melihat halaman rumahnya yang ramai. Sang umi melangkah ke dekat Ziya lalu menenangkan putrinya.
"Ada apa ini, Pak? Mari kita bicara baik-baik di dalam." Sang Abi mencoba menegosiasi dengan Ayah Nissa, namun lagi-lagi ditolak dengan tatapan amarah.
"Harusnya kamu urus anakmu yang sok pintar itu. Jangan pernah mencampuri urusan orang lain." Ayah Nissa menarik Nissa dengan kuat, membuat si kecil meringis kesakitan.
"Nissa!" Ziya kaget, melihat pergelangan tangan Nissa yang kemerahan. Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya. Ia merasa salah jika harus datang ke Ziya dalam keadaan seperti ini. Perempuan itu juga akan terkena imbas perbuatan ayahnya.
Ziya terdiam. Ia tahu, Nissa melindungi dirinya. Namun dia tidak ingin melihat gadis itu terus-terusan disiksa oleh ayahnya. Lagipula, mengapa warga di sekitar hanya diam menyaksikan, tanpa ada yang menolong si kecil.
"Ziya, sudah." Sang Umi mencoba memberi pengertian kepada Ziya. Dia juga merasakan kekhawatiran terhadapan Nissa. Bagaimanapun, gadis mungil itu sudah ia anggap seperti anaknya.
"Umi... bagaimana kalau Nissa dipukul lagi oleh ayahnya?"
"Kamu tenang, Nduk. Inshaa Allah Nissa bisa mengatasinya, karena dia perempuan yang hebat. Kita tidak bisa melakukan banyak hal untuknya, tetapi kita bisa menjadikan teman dan rumah saat dia berlari ke sini. Kamu jangan takut dan membencinya, meskipun ayah Nissa berkata seperti itu." Ziya mengangguk mendegar perkataan Abinya. Bagaimana mungkin ia membenci sosok yang sudah dianggap sebagai adiknya.
Seandainya kepedulian warga sekitar begitu tinggi, pasti tidak akan seperti ini. Namun siapa yang peduli, karena bagi mereka urusan orang lain bukanlah sesuatu penting yang harus kita pedulikan. Hidupmu, hidupmu. Hidupku, hidupku. Itulah prinsip dasar di desanya.
Hari ini aku melihat banyak hal di dunia ini. Bagaimana kehidupan manusia yang selalu merasa benar dengan keinginannya. Tak ada yang bisa menolong, selain Allah yang menghendaki. Semua bungkam dan tak berani bersuara.
Aku tidak tahu, bagaimana dulu semua tercipta. Ketika banyak perbedaan, maka di situ ladang pertikaian. Saat orang-orang mulai menjadikan pendapatnya sebagai sesuatu yang mutlak dan tidak bisa dibantahkan.
Seonggok anak kecil yang terbaring tak berdaya, dengan baluran darah dan lebam di sekujur tubuhnya. Tidak ada yang menolong, karena mereka sibuk menonton. Iba tak lagi ada dalam hati, karena semua mendadak tuli dan mati hati.
Tetapi... bolehkah aku menjadi bagian yang berbeda dari mereka?
Ziya menghembuskan napasnya sejenak. Pikirannya tertuju pada Nissa. Bagaimana gadis itu sekarang?
Bahkan jemari yang tengah berkutat di atas keyboard kini terhenti. Akhir-akhir ini, Ziya kembali aktif menulis di laman blognya. Ia mencurahkan isi hati dan pandangannya dalam sebuah cerita. Tak urung, ada beberapa teman di kota yang mengomentari tulisan Ziya.
Pada dasarnya, ada kehendak yang terlalu dipaksakan. Lalu segala cara mulai dilakukan untuk mencapai sebuah keinginan. Ada yang tidak peduli apa itu rasa sakit dan bahagia. Karena yang ada dipikirannya adalah bagaimana mencapai sesuatu agar terlihat sempurna.
Pernah suatu hari, dirinya melihat seorang anak diseret oleh ayahnya karena sebuah ketidaktahuan yang mendasar. Mereka membantai dan tidak peduli teriakan kesakitan. Seorang anak jatuh tersungkur karena tidak kuat menerima pukulan. Matanya memerah karena air mata yang terus menerus dikuras kejamnya.
Ziya terkesiap, tak kala sebuah diary jatuh dari tumpukan buku yang ia susun rapi di atas meja. Dia ingat bahwa dulu ketika di Yogya, ada seorang ummahat mualaf yang memberikannya. Wanita itu berkata, aku tidak pandai mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata, tetapi aku bisa mengungkapkannya ke dalam sebuah tulisan.
Dan Ziya akan belajar sesuatu hal yang sudah ia dapatkan. Sebuah cerita dari teman lama.
Bersambung
Terimakasih untuk teman-teman yang sudah membaca kisah ini.
Salam sayang dan cinta
Zii
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro