Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2 | Aisyah

Akupun belum pantas menyandang gelar "Sholehah." Tetapi aku ingin belajar membentuk diri sepantas mungkin untuk menjadi hamba-Nya. Bolehkah aku berbeda dari kalian?

❤❤❤

● Sebelum lanjut. Ketika kalian memiliki pandangan yang berbeda dengan orang lain. Apa yang harus kalian lakukan dengan perbedaan tersebut?

🌺🌺🌺

Berbeda. Satu kata yang mewakili perasaan Ziya, sebagaimana dia hidup ketika dipandang oleh orang lain.

Bisikan dan tatapan merendahkan-ralat, tatapan penuh selidik yang orang lain layangkan pada dirinya. Ziya paham bahwa kini orang-orang memiliki pusat perhatian tersendiri, apalagi ketika ia bertemu dengan mereka di jalan.

"Ziya!" Seseorang memanggilnya dengan suara lantang dari arah belakang. Ziya yang tengah menatap buku di tangannya menoleh ke sumber suara.

Seorang gadis semampai, dengan balutan kain panjang berwarna hitam, tak lupa cadar yang sudah melekat pada wajah cantiknya. Guratan keteduhan terpancar lewat mata yang menatap ke arahnya. Ziya tersenyum, senyum terbaik yang selalu ia punya.

"Assallamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, Ziya." Perempuan itu memeluk Ziya dengan penuh sayang. Diusapnya dengan lembut punggung Ziya, seperti menyalurkan kasih sayang kepada saudaranya.

"Waallaikumsallam, Mbak." Ziya menuntun perempuan tersebut untuk duduk di sampingnya. Masih dengan sebuah senyuman yang bertengger dengan manisnya.

"Bagaimana? Kamu berminatkan, buat ngajar di panti aku."

Sebut saja namanya, Aisyah. Seorang perempuan yang dikenal oleh Ziya ketika ia berkuliah di Yogya dulu. Pertemuan singkat yang mengantarkan mereka berdua untuk memutuskan menjadi sahabat. Dia senang mengenal sosok perempuan seperti Aisyah, ia juga banyak belajar darinya.

Aisyah, seorang gadis yang memutuskan untuk bercadar di usia mudanya. Kini ia telah menikah dengan seorang laki-laki bernama Yusuf, penggiat Al-Qur'an dan pendiri panti asuhan. Aisyah, sebuah nama yang menggetarkan hati setiap orang, tetapi tidak banyak yang tahu bagaimana gadis itu dalam masa lalunya.

Tidak ada yang sempurna, sekalipun kau terlihat sempurna di hadapan manusia lainnya. Aisyah pernah berkata seperti itu, saat pertamakali mereka bertemu.

Aisyah bekerja sebagai guru mengaji dan menemani suaminya untuk mengelola panti asuhan. Itulah mengapa Ziya jadi semakin senang jika berteman dengan Aisyah, karena gadis tersebut selalu mengajaknya pada hal kebaikan. Aisyah sosok penyabar yang selalu menebarkan senyumannya kepada siapapun.

"Insha Allah aku setuju, Mbak. Ajarin aku ya mbak, tahu sendirikan aku seperti apa?" Ziya tersenyum kembali, menampilkan ketulusan kepada siapa saja yang menerimanya.

"Siapa dia?"

"Kamu nggak tahu. Dia itu yang punya panti asuhan di desa seberang. Kok tumbenan banget main ke sini."

"Ayok, pergi! Nanti kita bisa ketularan virusnya."

Selalu, akan ada rasa tak suka yang menyelimuti kita di sekitar. Entah dalam bentuk sembunyi atau terang-terangan. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa doktrin mereka terhadap wanita bercadar adalah seperti seorang teroris, yang kapan saja bisa menghasut orang lain untuk bergabung dalam komplotannya.

Ziya menatap dua gadis yang membicarakannya tadi dengan sengit. Ia mencoba bersabar sedari tadi, sedari dia duduk sendirian sampai Aisyah datang. Dua gadis itu menatap remeh dan tertawa di belakangnya. Entah apa yang mereka tertawakan sambil berbisik-bisik.

"Besok aku aja yang ke tempatnya mbak ya. Jangan mbak yang ke sini. Aku nggak mau mereka ngetawain mbak lagi."

"Nggak masalah, Ziya. Mbak tidak merasa sakit hati dengan ucapan mereka."

"Mbak, mereka keterlaluan, bahkan kita nggak mengusik kehidupan pribadinya."

●●●

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. - (Q.S Al-Baqarah: 218)

●●●

"Nggak apa-apa, yang terpenting kita tidak mengusik kehidupan mereka." Aisyah dengan mata tersenyumnya, ia mengamit jemari Ziya dengan penuh kasih sayang. Menyalurkan perasaan, bahwa dia baik-baik saja.

Pertemanan sejati adalah saat salah satu dari dirimu bisa meredam kemarahan yang lain, menyalurkan kasih sayang lewat kebijaksanaan dan tanpa disuruh saling mengajak pada kebaikan.

Dan yang selalu Ziya rasakan saat bersama Aisyah adalah ketenangan. Betapa tegarnya gadis itu, ketika pandangan orang-orang menatapnya penuh ketidaksukaan, ketika cacian terselubung yang orang lain lontarkan dan bagaimana bijaksananya ia menghadapi perkataan.

"Ayo! Kita beli bubur ayam. Udah lama loh, kamu nggak traktir mbak. Terakhir kali di Yogya dulu." Ziya terkekeh pelan. Satu hal yang selalu ia hafal dari diri seorang Aisyah adalah bahwa perempuan itu tetap menyukai bubur ayam.

"Ilyas kok nggak diajak mbak?"

"Ilyas ikut neneknya ke Bandung. Jadi aku sama anak-anak panti."

Ziya hanya menjawab dengan anggukan kepala. Mereka berjalan dengan ringannya, seakan tapakan jalan itu tidak ada beban yang menghalangi.

***

Ziya bekerja membantu Aisyah di panti untuk mengajar anak-anak tentang ilmu pengetahuan. Sekalipun mereka sudah bersekolah, Ziya ingin menjadi sukarelawan yang membagikan ilmunya kepada penerus bangsa tersebut.

Ziya bahagia. Di tempat ini ia menuai banyak pembelajaran. Bermain dengan anak-anak panti, membantu mereka dalam mengerjakan PR yang sulit, membuat kerajinan tangan serta belajar mengaji bersama Aisyah. Jangan tanya, ke mana suami Aisyah. Karena suaminya selalu keluar kota untuk urusan pekerjaan serta mengisi seminar-seminar parenting ke beberapa tempat.

"Ziya, perkenalkan ini namanya Fahsya. Fahsya ditinggal kedua orang tuanya 2 hari yang lalu karena kecelakaan dan dia tidak punya saudara lagi. Jadi Fahsya akan tinggal di panti bersama kita. Umurnya baru 6 tahun dan tahun ini sudah masuk sekolah dasar."

Ziya melihat mata teduh si kecil berjilbab putih itu. Matanya suci dengan kilatan ketulusan yang siapa saja ketika melihatnya, akan merasakan keteduhan. Hatinya mencelos, tak kala melihat Fahsya tersenyum lebar dihiasi lesung pipi yang begitu imut.

"Ammah Ziya." Panggilan si kecil membuat Ziya tersenyum. Ia tidak menyangka, gadis sekecil dirinya harus mengalami nasib yang tidak bisa disangka-sangka.

"Ammah, nanti bantuin Fahsya buat belajar ya. Fahsya tahun ini masuk sekolah, seperti kakak-kakak yang lain." Fahsya bisa dibilang si bungsunya panti. Karena jika dilihat, anak-anak panti sudah berusia 9 tahun ke atas.

"Insha Allah, Ammah pasti bantuin Fahsya." Ziya mengusap lembut pucuk kepala Fahsya. Di tengah usapan, ada selipan doa serta harapan untuk si kecil manis ini, termasuk doa untuk anak-anak lainnya.

Desa sebrang jelas berbeda dengan desa tempat ia tinggal. Jika di desanya banyak terjadi konflik perdebatan tentang gadis berkerudung, maka desa sebrang sebaliknya. Mereka lebih terbuka dengan keramah tamahannya. Dua desa yang saling bertolak-belakang dan di sanalah jalan panjang seorang Ziya dimulai.

Lalu, apakah Ziya akan terus yakin terhadap pilihannya?

Atau ada sesuatu yang membuat hatinya goyah?

Sebagaimana hati manusia yang mudah dibolak-balikkan oleh Allah.



Jazakumullahu khairon khatsiron, buat yang sudah baca cerita ini.

Jangan lupa, baca cerita dari teman-teman SWP GEN 3 yang lainnya juga 😊😊

Salam sayang dan cinta
Zii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro