Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Menghadap Orang Tua Keisha

Jovita masih terus menangis. Bas menunduk diam cukup lama, menunggu makian yang mungkin akan keluar dari mulut Ayahnya. Namun, Danu tak sanggup berkata-kata lagi. Bas pamit dan ingin mencium tangan, tetapi Danu menarik tangannya. Begitu pula sang ibu yang diam saja.

"Aku pamit, Ayah, Ibu."

Bas keluar dengan perasaan campur-aduk. Sedih, kecewa, berat dan sakit hati. Semua demi kebenaran yang telah diyakininya dan juga untuk sang kekasih.

**

Sampai di kontrakan, Bas menelepon Keisha, tersambung.

"Iya, Bas? Gimana? Kamu dapat restu dari Ayah-Ibumu?" tanya perempuan itu, tanpa basa-basi.

"Maaf, hati mereka tidak luluh dan aku akan nekat," jawab Bas, putus asa.

Terdengar embusan napas panjang Keisha. "Pokoknya kamu harus segera tanggung jawab! Aku nggak mau, ya, anak kita lahir tanpa seorang Papa, meskipun secara nasab dalam Islam, dia tidak punya Papa."

Bas mencoba mencerna perkataan Keisha. "Jadi, kalau kita nikah, dia bukan anakku menurut Islam? Begitu?"

"Iya."

"Baiklah. Besok kita ke rumah orang tuamu," ujar lelaki itu, yakin.

"Syukurlah, kalau kamu gerak cepat. Rasanya malu jika orang-orang tahu aku hamil duluan, sementara kita belum menikah. Tapi, aku masuk kerja dulu buat mengajukan resign, boleh?" tanya Keisha.

"Boleh. Aku juga mau masuk kerja. Kita ke rumahmu sore hari." Putra Danu mengembangkan senyum, meski tak terlihat oleh pacarnya.

"Siap, Sayang."

"Bye! Jangan lupa makan, Sayang. Terus minum obat dan tidur." Bas menutup percakapan.

Terdengar tawa renyah Keisha. "Iya, bawel!"

**

Bas mengantarkan Keisha ke kantor tempat gadisnya bekerja, seperti sebelum kejadian malam yang khilaf waktu itu. Kemudian, Bas masuk kerja seperti biasa.

Jam demi jam berlalu. Saat istirahat, Keisha mengirim pesan kalau dia sudah berhasil resign dari kantor, untuk kelak merajut masa depan bersama dalam mahligai rumah tangga. Hati Bas serasa bahagia setiap hari jika membahas tentang pernikahan yang selama ini dia impikan. Selesai makan dan chatting-an Bas kembali bekerja.

Setelah melalui hari yang berat karena berkutat dengan pekerjaan, akhirnya sampai di jam pulang. Bas tak mau menunda lagi. Dia segera menjemput Keisha, pulang ke kontrakan masing-masing untuk mandi dan bersiap menuju rumah orang tua Keisha.

"Kalau boleh tahu, nama orang tua kamu, siapa?" tanya Bas, saat sudah berboncengan dengan Keisha.

"Nama Papaku, Azka dan nama Mamaku Fara," jelas perempuan yang melingkarkan tangan di pinggang cowoknya.

Bas mangut-mangut. "Mereka udah tahu hubungan kita, Kei?"

"Udah, Yang. Aku juga udah cerita kalau kita beda agama," jawab Keisha.

"Terus, apa tanggapan mereka, Yang?" tanya pria berjaket hitam itu.

"Ya, dibolehin, sepanjang kalau kita mau berumah tangga, kamu bersedia untuk pindah agama dulu, karena pernikahan tak seiman itu dilarang sama Allah. Katanya, bisa buat ladang dakwah, padahal aku sendiri udah berbuat dosa yang fatal banget." Keisha menjadi murung.

"Ssst! Udah, yakin aja sama rencana kita, mereka akan merestui." Bas mencoba meyakinkan.

"Aamiin."

Tak butuh waktu lama, mereka sampai di depan rumah Keisha, yang sebenarnya berlainan kota dengan kontrakan yang disewa gadis itu. Namun, karena Bas pandai cari jalan pintas, sehingga keduanya lebih cepat tiba di tujuan.

Jantung Bas bertalu-talu ketika sudah melepas helm, turun dan menapaki teras rumah orang yang mungkin kelak menjadi mertuanya. Semoga saja semuanya lancar.

"Assalaamu'alaikum," salam Keisha.

"Wa'alaikumussalaam," jawab Papanya Keisha, Azka, muncul dari balik pintu.

Menyusul di belakangnya, ibunda Keisha, Fara. "Wa'alaikumussalaam wa rahmatullaah. Kamu, Nak? Pulang-pulang nggak ngabarin dulu?"

"Hehe. Sengaja buat kejutan," sahut Keisha, lalu mencium tangan kedua orang tuanya, bergantian.

Bas mengikuti apa yang dilakukan kekasihnya.

"Ini siapa?" tanya Azka, mengerling ke arah Bas.

"Iya, apa pacarmu yang ...." Fara tak melanjutkan kalimatnya, takut salah sangka.

Keisha langsung mengangguk. "Iya, Pa, Ma. Ini pacarku yang aku ceritain waktu itu, namanya Baskara dan biasa dipanggil Bas. O, ya, Papa nggak kerja?"

Bas mengangguk sopan dan tersenyum ramah, menampilkan ketampanan wajahnya yang tak diragukan lagi.

"Enggak, Nak. Kebetulan, baru selesai menyelesaikan satu proyek bangunan dan Bos kasih cuti untuk Papa," jelas Azka.

Putrinya mangut-mangut.

"Sini, masuk! Sampai lupa saking senang melihat kamu pulang, Nak." Fara memeluk Keisha.

Azka dan anak-istrinya duduk di sofa, begitu pula dengan Bas yang ikut bergabung.

"Om, Tante. Perkenalkan, saya Bas. Pacarnya Keisha yang beragama Kristen, tetapi sudah lama yakin dengan kebenaran agama Islam. Oleh sebab itu, saya ingin segera menjadi mualaf dan Om serta Tante menjadi saksinya," ujar Bas. Tangannya terasa dingin dan bergetar karena gugup.

Fara membelalakkan matanya. "Serius, Nak? Alhamdulillaah. Tante senang mendengarnya."

"Bagus itu! Tapi, saya harus melihat kesungguhanmu sebagai mualaf dulu, sebelum menikahi putri saya," timpal Azka, tetap selektif.

Bas mengangguk cepat. "Tentu saja, Om, Tante. Saya akan serius masuk Islam dan menjalankan syariatnya. Baru setelah itu, saya siap menikahi Keisha."

"Berarti Papa-Mama setuju kalau aku menikah sama Bas?" tanya Keisha, penuh harap.

Azka menjawab, "Bisa jadi iya. Saya pegang janji kamu, Nak."

"Iya, Om." Bas kembali meyakinkan.

Fara mengerlingkan pandangan ke arah putrinya. "Kamu udah resign dari kantor? Sekarang, tinggal di rumah ini lagi dan Mama jadi nggak kesepian, dong?'

Keisha tersenyum. "Iya, Ma. Aku udah resmi resign. Jadinya, bisa tinggal di sini terus dan fokus sama persiapan pernikahan dengan Bas."

"Jangan senang dulu! Kita harus teliti sebelum memutuskan siapa calon imammu," peringat Azka, yang langsung dipahami oleh Keisha dan Bas.

"Keasyikan ngobrol. Sampai lupa! Bi! Bibi!" panggil Fara, pada asisten rumah tangganya.

Seorang wanita berusia jauh di atas Keisha, tergopoh-gopoh muncul dari dalam rumah. Dia mengenakan seragam ART warna abu-abu.

"Iya, Bu?" sapa ART.

"Tolong buatkan minuman 4, ya? Ada tamu, Keisha dan temannya," pinta Fara, ramah.

ART itu mengangguk. "Baik, Bu." Dia segera berlalu.

"O ya. Satu lagi, Nak." Azka memandang ke arah Bas. "Kelak, jika kamu menjadi menantu saya, kamu harus selalu berusaha membahagiakan Keisha, karena selama ini, kami pun merawatnya dengan sedemikian rupa. Jadi, untuk kepastian, kapan kami siap menyaksikan syahadat pertamamu?"

Mendengar hal itu, Keisha menunduk dalam, karena menebak pacarnya akan mengulur waktu untuk masuk Islam.

"Jika tidak ada halangan berarti, besok saya sudah siap untuk menjadi mualaf," jawab Bas, lugas, membuat Azka dan Fara yakin.

Sontak Keisha mendongakkan wajahnya, tak percaya dengan kesanggupan Bas. "Kamu serius?"

Bas mengangkat dua sudut bibirnya ke atas. "Iya. Kamu tenang saja, ya? Ini sudah keputusanku dan tak ada keraguan lagi dalam hatiku."

"Alhamdulillaah. Aku sangat senang mendengarnya," jawab kekasihnya, ikut tersenyum bahagia.

"Kalau begitu, saya akan mengundang seorang pemimpin pondok pesantren yang tinggal tak jauh dari sini, bernama Ustaz Abizar. Besok, biar beliau yang membimbing kamu mengucapkan syahadat, ya, Nak?" tanya Azka.

"Siap, Om!" sahut Bas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro