Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Pemutusan Hubungan Kerja

Tiga bulan berlalu. Perut Keisha semakin membesar. Dia sudah jarang muntah-muntah dan sudah bisa memakan makanan apapun. Bas selalu mengajaknya periksa dan mengingatkan untuk minum obat, serta selalu menuruti apapun yang Keisha mau ketika ngidam. Jika sempat, dia juga memasak nasi goreng yang lezat dan Keisha sangat menyukainya.

Sore hari seperti biasa, Keisha menunggu Bas pulang. Dia berselancar di sosial media, lalu menemukan sebuah postingan milik Jennie yang menampilkan fotonya bersama Azka dan Fara.

"Liburan bareng Papa dan Mama. Quality time sebelum balik kerja nun jauh di sana. Love my family so much," tulis Jennie pada caption di foto itu, diakhiri tanda love.

Meski sudah sebisa mungkin Keisha menahan diri untuk tak menangis, tetapi air matanya lolos begitu saja. Kesedihan dan rasa iri hati tetap menghinggapi, meski dia berusaha melupakan kenyataan bahwa Azka dan Fara tak menganggapnya lagi sebagai anak. Dia diusir karena kesalahan fatal. Mau tak mau harus diterima.

Namun, Keisha masih tak habis pikir, secepat itukah Papa dan Mamanya menghapus namanya dari kehidupan mereka? Bukankah dia darah daging mereka juga? Apa yang dilakukan Jennie, sampai bisa menghasut Azka dan Fara sedemikian rupa, hingga benar-benar lupa dengan anak kedua?

Tiga kali ketukan pintu menyadarkan Keisha dari lamunan. Dia buru-buru menyusut air mata yang mengaburkan pandangan, supaya nanti Bas tak khawatir.

"Assalaamualaikum. Sayang?" salam Bas, dari luar.

"Wa'alaikumussalaam. Iya, Mas." Keisha membukakan pintu, lalu menyunggingkan senyum termanis.

Bas menatapnya lekat-lekat. "Mata kamu merah? Abis nangis?"

Keisha menggeleng. "Enggak. Cuma ... kepedasan abis iris bawang merah tadi."

"Bawang merah? Kamu abis masak? Pas banget aku masih lapar," sahut suaminya, sambil masuk rumah.

"Tunggu dulu! Kamu belum makan siang? Bekal yang aku bawakan ..." selidik putri Azka.

"Udah aku makan," potong Bas cepat, supaya tak menimbulkan masalah. "Cuma sekarang lapar lagi."

Istrinya terkekeh. "Iya, aku masak, tapi mungkin nggak seenak nasi goreng buatanmu. Cuci tangan dulu, ya! Aku buatkan teh."

"Iya."

Beberapa menit kemudian, Bas dan Keisha sudah duduk di ruang makan.

"Selamat makan!" kata Keisha.

Suaminya tersenyum. "Kamu nggak sekalian?"

"Enggak. Masih kenyang."

"Oh." Bas mulai melahap makanan.

Sementara itu, Keisha kembali membuka ponselnya dan memblokir akun Jennie. Dia membatin, 'Semoga dengan begini, lebih baik untuk kesehatan mentalku. Lagi pula, kasihan dedek bayi kalau Mamanya stres terus.'

Tanpa sepengetahuan Keisha, Bas memasang wajah panik sekaligus tak enak. Dia harus menyampaikan sesuatu, tetapi bingung bagaimana menjelaskannya.

'Ya Allah, mudahkanlah saya untuk berbicara pada istri hamba dan menenangkannya setelah mendengar semuanya,' batinnya, sampai tak memperhatikan wajah Keisha yang sedih karena postingan Jennie tadi.

Bas segera menyelesaikan makannya supaya tak tersedak. Dia minum juga sampai tandas.

Keisha mengangkat wajahnya dari bermain ponsel. "Lahap banget? Lapar apa doyan?"

"Dua-duanya! Haha! O, ya, kamu sudah Salat 'Asar?" timpal Bas.

"Udah." Istrinya mengangguk.

Putra Jovita memegang kedua tangan Keisha. "Sayang, dulu sebelum yakin memutuskan berumah tangga denganku, apakah kamu siap untuk menghadapi semua ujiannya? Termasuk di saat titik terendahku?"

Kening Keisha berkerut. "Iya, aku siap dan berusaha untuk sabar apapun cobaannya. Kenapa nanya kayak gitu, sih? Bukannya sekarang, ekonomi kita lagi di bawah dan aku selalu di sampingmu? Mendukung penuh serta mendoakanmu?"

"Iya, aku tahu. Tenang! Aku mau menyampaikan sesuatu, tetapi berat. Mungkin, ini akan sedikit mengejutkan. Namun, aku harus jujur dan bukanlah kita sepakat untuk saling terbuka?" Jantung Bas berdebar hebat.

"Soal apa? Ngomong aja! Jangan bikin aku deg-degan! Nggak ada yang boleh ditutup-tutupi." Perasaan Keisha mulai tak enak.

Lama lelaki itu diam, sampai akhirnya berkata, "Maaf, sebelumnya. Ini semua bukan kehendakku. Mungkin, jika aku jujur, akan mempengaruhi kesehatan calon bayi kita. Namun, kamu harus tahu. Lagipula, kamu sendiri yang bilang tak boleh ada yang ditutup-tutupi. Siapkan diri dan hatimu, ya, mendengar hal ini?"

Keisha semakin tak paham. "Apa, sih, Yang? Soal jabatan pekerjaanmu? Aku udah tahu dan tak masalah. Toh, gajimu masih cukup buat bertahan hidup."

"Bukan cuma soal itu," keluh Bas.

"Lalu apa?" Istrinya tak sabar.

"Ini lebih dari sekadar nominal gaji. Mau tidak mau, kita harus terima bahwa ...." Kalimat Bas menggantung.

Anak Fara masih menunggu lanjutan ucapan suaminya.

"Aku dan para pegawai lain dipecat, karena PHK massal." Akhirnya kalimat itu meluncur juga, meski Bas harus memejamkan mata, tak siap melihat ekspresi istrinya.

"Apa?" Kedua mata Keisha terbelalak, tak percaya. "Itu ... adalah mimpi buruk yang paling aku benci jika sampai terjadi dalam rumah tangga kita! Namun, kenapa harus seperti ini kenyataannya?"

Bas mencoba membuka mata. Pandangan di hadapannya sudah bisa ditebak.

Istrinya menangis, dengan raut wajah memerah dan bibir bergetar. Andai siapapun yang melihatnya, pasti akan iba.

"Ini bukan kemauanku, Yang! Pihak kantor mengalami pailit dan terpaksa memberlakukan PHK massal terhadap semua karyawan, karena omset penjualan produk yang terus menurun dan tidak memenuhi biaya produksi. Hutang Pak Bos di mana-mana, tak akan cukup jika harus menggaji sekian banyak orang. Nanti, kita bisa bikin usaha sendiri, entah itu ...." jelas Bas, dengan tubuh bergetar.

"Bla-bla-bla-bla!" potong Keisha. "Aku nggak mau dengar penjelasanmu! Kalau kamu di-PHK, kita mau makan apa? Belum lagi bayar kontrakan, listrik, air, biaya USG dan persiapan lahiran!" Dia beranjak, kemudian buru-buru menuju kamar.

Bas segera mengejarnya. "Tolong, mengertilah aku! Dengarkan rencanaku ke depannya!"

Keisha berbalik sambil memegang handle pintu kamar. "Stop! Kalau tahu begini, aku jadi menyesal kenapa dulu malah resign dari kerjaanku. Paling tidak, masih ada pemasukan buat sehari-hari. Tempat kerja di sana lebih stabil apa-apanya. Omset, gaji karyawan dan lain-lain! Sementara, kita nggak usah bicara dulu. Kasihan dedek bayi kalau harus mendengar perdebatan orang tuanya." Dia menutup dan mengunci pintu.

Bas hendak menjawab, tetapi entah kenapa lidahnya kelu. Pria itu sadar, masalah timbul dari pekerjaannya. Wajar jika istrinya marah, mungkin juga saat ini sedang menangis.

'Biarlah, mungkin dia butuh waktu untuk bisa menerima keadaan dan mencerna semuanya, bahwa akar masalah itu bukan murni dari pribadiku. Lagi pula, perempuan selalu mengedepankan perasaannya. Nanti kalau sudah reda, mudah-mudahan Keisha bisa berpikir jernih dan logis, sehingga kami menemukan solusi untuk kebaikan bersama. Aku harus kasih kesempatan dia menyendiri. Mandi dulu, deh, supaya mengurangi beban yang berputar-putar di kepala,' batin Bas, lalu mengambil koko yang disimpan di dalam tas kerja.

Koko itu sengaja dia bawa untuk pakaian khusus Salat Zuhur dan 'Asar saat di kantor. Dia malas memakai kemeja kerja untuk beribadah sebab bau keringat dan rasanya kotor, meskipun sebenarnya sah dipakai untuk salat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro