Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Pilih Kasih

Usai Salat Isya' sendirian, karena Bas sudah mulai memberanikan diri pergi ke masjid, Keisha menggantungkan mukenanya di tempatnya.

Dia pun memilih berbaring di kasur sambil membuka ponsel. Ada sebuah pesan dari Mamanya.

[Assalaamu'alaikum. Apa kabar, Nak? Mama kirim pesan ini, cuma mau mengingatkan kamu tentang kehebatan kakakmu. Dia sudah kerja di luar negeri sebagai penerjemah. Masa depannya cerah dan tidak mengalami MBA sepertimu. Mudah-mudahan, dia bisa menjaga diri sampai kelak menikah dengan pria yang baik, tanpa hamil duluan, ya.]

Chat itu diakhiri dengan emotikon senyum. Ironis memang. Setelah Keisha membacanya, tentu dia tak bisa ikut mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Hatinya sakit tak terperi, mengalirkan bulir bening di sudut-sudut netranya. Dia melempar ponsel ke samping.

"Ya Allah! Mama, kenapa engkau setega ini pada anak yang lahir dari rahim Mama sendiri? Aku tahu, bukan pertama kalinya dibandingkan seperti itu. Namun, sanggupkah aku bersaing dengannya, yang notabenenya mantan pacar Mas Bas?" gumam Keisha, sambil terus menangis.

Terdengar salam dari ruang tamu. Bas masuk dan langsung menuju kamar.

"Kei? Kamu masih teringat kejadian tadi?" tanya pria itu, mendekati istrinya.

Keisha bangun, masih tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Bas memeluknya. "Sabar, ya. Semua ini ujian buat rumah tangga kita."

"Bukan." Bibir Keisha bergetar ketika menjawabnya.

"Maksudnya?" Suaminya mengurai pelukan.
Putri Azka memperlihatkan layar ponselnya yang masih menyala. "Aku menangis karena Mama. Memang sedih hati ini mengetahui Kak Jennie itu mantanmu. Namun, lebih sakit lagi kalau dibandingkan seperti ini. Beliau tega sekali."

Baskara membaca pesan dari mertuanya, lalu kembali memeluk Keisha. "Sabar, ya. Aku akan selalu ada di sampingmu. Tak perlu khawatir, aku nggak mungkin kepincut sama kakakmu."

"Iya." Keisha mengangguk, lalu menangis semalaman di dada suaminya.

Cukup lama Bas menenangkan istrinya sampai tangisannya berhenti, dia mengurai pelukan.

"Gimana? Udah lega? Jangan nangis lagi, ya!" pinta putra Danu, menangkupkan kedua telapak tangan di pipi Keisha.

Perempuan di hadapannya mengangguk dan tersenyum. "Kita sambil berbaring, yuk! Capek, nih! Ada sesuatu yang mau aku tanyakan."

"Oke!"

Keduanya membaringkan tubuh di tempat tidur. Kemudian, berhadapan untuk pillow talk. Salah satu rutinitas suami-istri untuk melanggengkan rumah tangga, ialah dengan cara membicarakan hal-hal penting uang menyangkut kehidupan pernikahan, pada malam hari sebelum tidur.

"Aku penasaran, gimana awal muka kamu kenal sama Kak Jennie? Bukannya dia udah lama kuliah di luar negeri?" tanya Keisha, penasaran.

Bas berdecak. "Itulah."

"Itulah apa?" Istrinya penasaran.

"Aku sama Jennie pacaran sebelum dia berangkat ke luar negeri. Jadi, sebenarnya udah lama banget, kan? Please, nggak usah dibahas lagi!" jawab Bas.

"Mau lama kek, atau baru aja kek. Tetap harus dijelasin!" Keisha pun ngotot.

Suaminya membuang napas kasar. "Iya, iya. Sebenarnya aku nggak mau jawab, takut menyakiti hati kamu."

Keisha menggeleng. "Enggak, kok. Aku janji nggak bakal nangis!"

"Oke. Jadi gini. Aku sama Jennie itu teman sekelas semasa SMA. Dari Kelas X, aku udah tertarik sama dia. Jennie juga suka kayaknya. Kami PDKT, saling tukar nomor ponsel dan lama-lama makin dekat." Bas menatap langit-langit kamar.

Mendengar penuturan itu, hati Keisha sakit, sampai berkaca-kaca.

"Terus, kami pacaran. Mau itu di sekolah atau di luar sekolah. Ke mana-mana berdua, kayak kantin, perpus, atau pas aku futsal pasti Jennie nonton dan masih semangat  Kalau ada masalah, saling bantu. Misal, ngerjain PR, belajar buat ulangan. Terus, kayak pasangan yang lain, antar-jemput ke sekolah. Tapi, cuma sampai gang depan rumah, karena Papa-Mama kamu nggak mengizinkan Jennie pacaran sama yang beda agama. Sampai teman-teman tahu soal kami dan dijuluki couple goals saling romantisnya." Bas menjelaskan semuanya, jadi terbayang masa lalu.

Detik berikutnya, Keisha menangis lagi. Entah mengapa, air matanya lolos begitu saja.

Bas menoleh. "Tuh, kan! Udah, makanya nggak usah diceritain. Ya?"

"Enggak papa, terusin aja. Mm, putusnya karena apa dan kapan? Kok, bisa? Padahal ... udah se-so sweet itu," tanya istrinya, dengan suara parau.

Putra Jovita menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali. "Maaf, kalau bikin kamu sedih. Tapi, kamu sendiri yang minta. Waktu itu, aku sama Jennie beda tempat tujuan kuliah. Aku ke univ terdekat, mana mampu ke luar negeri? Jennie bilang, harus menurut sama orang tua. Jadi, dia memilih untuk melepasku. Kasihan kalau harus nunggu dia katanya."

Keisha menghapus air matanya. "Oh, jadi gitu. Kalian nggak melanjutkan hubungan meskipun lewat chat? LDR gitu?"

"Enggak. Sebenarnya aku udah mohon-mohon supaya kami LDR aja, tapi dia selalu jawab nggak bisa. Lama-lama, chat nggak pernah dibalas. Telepon pun di-reject. Beberapa hari kemudian, dia mutusin aku, sampai seorang Baskara bisa nangis karena hubungannya kandas. Ahaha! Norak banget, ya? Mau gimanapun, tiga tahun bukan waktu yang sedikit. Eh, ternyata dia selingkuh sama cowok lain di sana," kenang Bas.

"Kok, tahu kalau selingkuh? Sama cowok western?" tanya putri Azka.

Suaminya menggeleng. "Beberapa sahabat cowok jaman SMA yang kirimin foto-foto saat Jennie sama selingkuhannya. Bukan bule, tapi alumni SMA lain dari Indonesia yang melanjutkan pendidikan di luar negeri. Tambah sakit hati, dong! Tapi, malah nggak sampai nangis, karena bersyukur dijauhkan sama cewek kayak gitu, sekaligus ditakdirkan dengan seorang bidadari bernama Keisha."

"Lah? Malah gombal!" Keisha akhirnya tertawa.

"Bukan gombal, lah! Ini serius." Baskara mencium pipi istrinya.

Muka perempuan itu pun langsung memerah menahan malu. "Ih, kamu! Curi-curi, ya?"

Putra Jovita berkata, "Hehe. Biarin! Istri sendiri. Malu-malu tapi mau, kan?"
"Mau apa?" Keisha mendelik.

"Apa, ya. Pura-pura nggak tahu! Eh, aku juga ada pertanyaan soal kamu," ujar Bas, mengalihkan pembicaraan.

"Tanya apa?"

Bas tampak berpikir. "Udah ingat sekarang! Gimana ceritanya kamu dibandingkan sama Jennie? Padahal, kalian kakak-beradik. Terus, kenapa kamu nggak dikuliahkan ke luar negeri juga?"

Istrinya terdiam sejenak, lalu berkata, "Aku juga heran, padahal kami sama-sama anak kandung. Tapi memang, dari kecil selalu dibedakan. Kasih sayang buat dia begitu berlimpah dari Papa dan Mama. Lain lagi kalau buat aku, serba dibatasin dan apa-apa nggak boleh. Dia dibelikan berbagai barang mahal, fasilitas sekolah lengkap dan sebagainya."

"Kamu nggak diperlakukan sama?" Bas masih penasaran.

"Enggak. Kalau pulang dari pergi ke suatu tempat, entah urusan pekerjaan atau apapun, Papa sama Mama membelikan makanan mewah dan enak banget buat Kak Jennie. Sementara buat aku, makanan murah dan rasanya itu nggak banget. Selalu begitu. Puncaknya, pas aku mohon-mohon kuliah di luar negeri." Keisha mengenang ketidakadilan orang tuanya.

Pria di sampingnya bertanya, "Kamu nggak dibolehin?"

Keisha menggeleng. "Enggak diizinkan sama sekali! Alasannya, mereka takut aku kenapa-napa di sana, nggak ada yang ngawasin dan sebagainya. Untung saja saat aku minta ngontrak rumah supaya lebih dekat ke tempat kuliah, dibolehin. Sampai bisa kerja dan mandiri, tapi malah jadi kayak gini. Terus, overthinking karena Kak Jennie mantan kamu lagi!" Dia memandang lesu ke arah perut, sambil mengelusnya pelan.

"Nggak papa. Kan, ada aku, yang selalu mencintai dan menyayangi kamu sepenuh hati. Jangan pikirkan tentang Jennie! Dia cuma masa lalu. Aku nggak mungkin kembali sama perempuan pengkhianat seperti itu. Kamu nggak boleh stress, Sayang, supaya calon bayi kita sehat. Oke?" pinta Bas, tulus.

Tatapan mata lelaki itu yang meyakinkan, membuat Keisha yakin dan bisa tersenyum kembali. Keduanya pun memadu kasih untuk menghilangkan semua kesedihan yang ada. Tentu dengan tetap memperhatikan pesan dokter saat periksa beberapa hari lalu, yakni tak boleh menanam benih di rahim Keisha, karena sudah ada janin di sana.

**

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro