10. Awal Kehancuran
"I ... iya, Pa, Ma." Tubuh Baskara bergetar karena apa yang disimpannya rapat-rapat, kini diketahui mertuanya.
"Astagfirullah!" Azka terduduk di sofa, karena mendadak lemas mendengar pengakuan dari Bas. "Jadi, selama ini kamu membohongi kami?"
Keisha bersimpuh di hadapan Papanya dengan pandangan penuh air mata. "Maafkan kami, Pa. Sebenarnya kami hendak memberi tahu tentang hal ini. Hanya saja, masih menunggu waktu yang tepat."
Tiba-tiba ... 'Plak!'
Azka menampar pipi anaknya. Hal yang tak pernah dilakukan beliau, dari Keisha kecil sampai sekarang.
Keisha merasa sangat takut sekaligus heran atas sikap Papanya. "Sakit, Pa," rintihnya.
Kedua mata Bas membulat sempurna, karena selama ini yang dia tahu, Azka bersifat penyayang terhadap putrinya.
"Pa, istigfar, Pa!" Fara mengalihkan pandangan pada Keisha. "Jangan bohong kamu, Nak! Cukup sudah kamu menyakiti hati Papa dan Mama!"
Keisha hanya mampu menangis sambil memegangi pipinya yang perih. Dia ingin membela diri, tetapi dia sadar betapa besar kesalahannya.
"Sekarang juga kemasi barang-barang kalian dan pergi dari sini! Terserah mau ke mana. Kalian telah berbuat dosa besar, yang menjadi aib bagi keluarga. Bikin malu saja!" bentak Azka, membuat Keisha dan Bas tambah terkejut.
Bas melangkah maju, lalu ikut bersimpuh di hadapan mertuanya."Ta ... tapi, Pa. Tolong beri kami kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki semuanya. Kami janji akan bertobat."
Fara mendengus kasar, lalu duduk di samping suaminya. "Nggak ada tapi-tapi. Laksanakan perintah Papa kalian sekarang juga!"
"Pantas saja kedua mertuamu merestui pernikahanmu dengan perempuan ini, Bas. Ternyata fakta menjijikkan itu kalian rahasiakan!" ketus Jovita.
"Awalnya, kami merestui mereka karena Baskara telah menjadi mualaf dan menunjukkan kalau dia muslim yang taat. Namun, ternyata mereka membohongi kami bahwa Keisha ... astagfirullah!" sesal Azka.
Keisha dan Bas tak bisa berkata-kata lagi. Rahasia yang tadinya tertutup rapat, sekarang sudah ketahuan.
Danu tersenyum miring. "Urusanku sudah selesai. Ini balasannya kalau kamu melanggar larangan kami, Bas! Masih ingat bahwa kamu bukan anakku lagi? Jangan panggil dengan sebutan 'Ayah' dan jangan pula mengemis untuk tinggal di rumahku setelah diusir dari sini!" Dia berdiri, membetulkan posisi jasnya lalu menuju pintu keluar.
"Makanya, jangan jadi anak durhaka kamu, Bas!" Jovita sangat puas, lalu mengikuti suaminya sambil mengibaskan kipas tangannya.
"Tenang saja, Ayah, Ibu. Aku dan Keisha tidak akan kembali ke rumah Ayah ataupun ke sini. Ayo, Kei. Kita pergi!" ajak Bas, menoleh ke arah istrinya.
Langkah Danu dan Jovita terhenti mendengar hal itu. Keduanya tak peduli, lalu benar-benar pergi.
"I-iya, Mas." Keisha hanya menurut, berdiri untuk menuju kamar.
Azka memandang ke arah lantai dengan putus asa. Hatinya teriris, kedua netranya menangis, karena merasa gagal mendidik anak semata wayangnya.
"Ya Allah, ampuni hamba, Ya Allah. Betapa besar dosa yang kami tanggung, sebab tak tahu putri hamba bisa sampai berbuat zina," ujar Azka.
Fara mengusap punggung suaminya. "Yang sabar, Pa. Aku juga sakit hati mendengar ini semua."
Tak berapa lama, Keisha dan Bas selesai mengemasi barang-barang. Keduanya menyeret koper masing-masing ke ruang tamu, lalu bersimpuh di hadapan Azka dan Fara.
"Pa, Ma. Kesalahan ini memang sangat besar. Sudah melakukan dosa, ditambah membohongi Papa dan Mama. Dari lubuk hati yang paling dalam, saya minta maaf sebesar-besarnya, meski kami tahu, tak akan pernah mudah untuk bisa menerima dan memaafkan kesalahan itu. Mohon beritahu, jika kelak, Papa dan Mama sudah membuka hati untuk saya dan Keisha, sebab kami percaya bahwa kedua orang tua adalah insan paling tulus kepada anaknya," pinta Bas, dengan suara bergetar.
Azka dan Fara masih bergeming, malas untuk menanggapi.
"Kami mohon diri untuk pamit dari rumah Papa. Semoga kelak, kami bisa kembali ke sini dalam keadaan damai. Saya serius ingin membangun rumah tangga dengan Keisha dan berusaha untuk membahagiakannya, meski pernikahan ini diawali dengan aib dan kebohongan. Terima kasih atas semua sambutan yang sangat baik selama saya berada di sini. Sekali lagi, mohon maaf atas segala kekhilafan. Assalaamu'alaikum." Bas berusaha meraih tangan Papa mertuanya.
Azka justru menariknya. Setelah beberapa saat, baru Bas bisa meraih dan mencium tangan beliau. Bergantian dengan tangan Fara.
Hening sejenak. Kedua orang tua Keisha memalingkan muka, dengan lelehan air mata terus mengalir dari netra mereka.
Setelah itu, giliran Keisha yang berbicara. "Pa, Ma. Anak yang selama ini kalian manjakan, mohon pamit dari rumah ini. Terima kasih atas semua jasa yang tak mungkin bisa kubalas. Aku minta maaf atas semua kesalahan yang kami perbuat. Semoga kelak kata 'maaf' akan Papa dan Mama berikan pada kami, sebab Allah yang Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya. Selain itu, mohon izin untuk membangun rumah tangga bersama suamiku, di luaran sana, dengan segala cobaan yang mungkin akan menghadang. Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh."
Istri Bas menjabat dan mencium tangan Papa, serta Mamanya. Setelah itu, dia mengambil koper, lalu melangkah pelan menuju pintu. Sesekali menoleh ke belakang, berharap untuk dicegah oleh Azka dan Fara.
Namun, harapan itu pupus. Kedua orang tuanya hanya menjawab salam. Bas ikut mengambil koper dan mengajak Keisha keluar.
"Tega banget Papa sama Mama. Kita ditelantarkan seperti ini." Keisha masih menangis, sampai di depan rumah Papanya.
"Iya. Mau gimana lagi? Ini juga karena kesalahan kita," jawab Bas, mengusap air mata di kedua pipi Keisha.
Istrinya membuang napas kasar. "Mana nggak dikasih uang saku lagi, minimal buat modal hidup berdua gitu! Bahkan, Om Danu sama Tante Jovita juga nggak ngasih sepeser pun!
"Sabar! Itung-itung, biar kita mandiri. Huh! Andai kita jujur dari awal, mungkin semuanya nggak jadi kayak gini," sesal Bas.
"Kalau kita bilang, yang ada nggak direstui! Nasib anak kita gimana?" kesal Keisha.
Suaminya berdecak. "Ya udah, ya udah. Eh, btw kamu tadi panggil aku apa? 'Mas'? Bagus banget itu!"
"Ih! Jangan gitu! Aku malu tahu," sahut Keisha, menahan senyum.
"Jadinya apa? Mas Baskara? Atau Mas Bas? Hihi, so sweet, deh! Kesannya kayak, lebih menghormati nggak, sih?" goda Bas.
Senyum Keisha pun melebar.
Suaminya jadi senang. "Nah, gitu, dong! Cantik. Kalau nangis, ntar jelek!"
"Iya, iya. Siapa yang nggak sedih, diusir orang tua plus mertua? Terus, kita ke mana sekarang?" tanya Keisha.
"Ke kontrakanku aja. Kan, masa sewanya masih ada," tawar Bas.
Istrinya mengangguk. "Oke, aku setuju. Tapi, emangnya kamu bawa uang?"
Bas menyahut, "Aku bawa, gaji bulan ini yang jumlahnya masih banyak, soalnya baru kuambil sebelum cuti nikah."
"Alhamdulillaah kalau gitu, karena aku lagi nggak ada, Yang. Pesangonku udah habis buat melunasi kekurangan biaya kontrakan. Kemarin, aku transfer ke rekening pemiliknya. O ya! Dia datang ke pernikahan kita, loh, kemarin," balas Keisha.
"Ya, nggak usah khawatir. Mm, beliau datang? Aku malah nggak notice. Saking bahagia memiliki kamu mungkin?" Pria itu menaik-turunkan kedua alisnya.
"Ih! Mulai, deh, bercanda terus!" Keisha menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan.
Bas menoel dagu istrinya. "Biarin! Supaya kamu senyum."
"Oke! Aku senyum." Perempuan itu mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas.
Suaminya menyalakan motor dan Keisha membonceng di belakang, menuju kontrakan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro