1. Aku Menemukanmu
"Hari ini Fazly katanya bakal ke gedung kita. Ngapain ya dia?"
"Gila, gue seneng banget. Jarang-jarang dia masuk gedung kita. Ada obat cuci mata hari ini dari padatnya tugas-tugas."
Berisik sekali.
Setiap hari, setidaknya ada satu orang yang heboh membicarakan anak Ilmu Komunikasi yang menurut mereka adalah boyfriend material. Arin sampai penasaran, semenarik apa cowok yang diidamkan banyak orang itu. "Mentok-mentok juga palingan cowok alis tebal. Cewek kan sukanya yang begitu." Arin berdecak sambil menyeruput es teh manisnya.
"Terus, lo bukan cewek emangnya?" Orang yang baru saja datang itu menyambar es teh manisnya secepat kilat dan menghabiskannya tanpa merasa berdosa.
"Minuman gue!" Arin melongo melihat es tehnya habis. "Gue nggak punya duit lagi, Disti! Kok dihabisin sih?!"
"Haus. Besok gue ganti."
"Kemarin juga lo bilang gitu pas habisin nasi goreng gue. Tapi sampai hari ini belum lo ganti, tuh."
Disti hanya tersenyum menunjukkan deretan giginya. "Tunggu uang kiriman gue datang. Iya, iya, maaf." Disti duduk di sebelah Arin. "Pertanyaan gue tadi dijawab. Emangnya lo bukan cewek? Cara ngomong lo kayak lo bukan cewek aja."
"Gue cewek, tapi bukan penggila alis tebal ataupun cowok yang lagi booming."
"In conclusion, lo nggak normal."
"Itu kesimpulan macam apa? Sesuatu yang nggak sama kayak lo, bukan berarti nggak normal. Lo nggak punya hak untuk judge orang lain yang nggak sejalan sama lo."
"Mulai lagi kuliah tiga SKS-nya." Disti menutup telinganya, ogah untuk mendengar ceramahan Arin. Temannya itu memang paling jago dalam hal menceramahi orang lain. Sangat cocok untuk menjadi Psikolog.
Keduanya berjalan meninggalkan kantin, bergegas masuk ke kelas selanjutnya.
"Omong-omong, lo beneran nggak tau Aji? Kan gue pernah ceritain soal mukanya yang ganteng."
"Siapa lagi itu?"
"Cowok yang lo pertanyakan tadi. Fazly. Ketahuan lo, nggak pernah serius dengerin cerita gue."
"Lah? Nama udah bagus kok panggilannya Aji? Ajinomoto? Gue emang nggak pernah dengerin cerita lo soal cowok, terlalu banyak yang lo bilang ganteng, bingung gue."
"Ya Aji emang persis kayak mecin sih, bikin ketagihan." Disti tersenyum tersipu. Arin bergidik ngeri melihatnya.
"Sumpah, jijik banget, Sti. Nggak nyangka gue, temen gue sendiri ikut dalam sekte sesat itu."
Disti menghentikan langkah Arin. Ia menyipitkan kedua matanya, menatap Arin. "Itu kesimpulan macam apa? Sesuatu yang nggak sama kayak lo, bukan berarti nggak normal. Lo nggak punya hak untuk judge orang lain yang nggak sejalan sama lo."
Skakmat!
"Lo emang jagonya ngebalikin omongan orang." Arin menggelengkan kepala melihat tingkah temannya yang sampai sebegitunya membela cowok yang bahkan tidak dia kenal.
"Hari ini kita sekelas sama Dias, ya?" tanya Disti.
"Kenapa? Lo ikut sekte sesat pengagum Dias juga?"
"Kalau yang ini, gue nggak ikut. Dias ganteng sih, tapi matanya sinis banget. Bukannya jatuh cinta, gue malah jadi ngeri liat dia."
"Bukannya cewek suka yang dingin dingin kayak batu es gitu?"
"Arin, lo itu juga cewek, jangan ngomong seolah lo bukan cewek!"
Arin melengos dan meninggalkan Disti, mempercepat langkahnya masuk ke kelas. Di dalam kelas, Dias sudah duduk dengan tenang bersama headphone yang melingkar di kepalanya.
"Gila, hawa kelas jadi dingin banget," bisik Disti kepada Arin. Keduanya duduk bersebelahan.
"Mulut lo! Jangan bangunin singa ngamuk!" Arin menepuk paha Disti.
Tiba-tiba saja, Dias bergerak dari tempatnya menuju Arin dan Disti. "Mampus, apa dia dengar, Rin?"
"Mulut lo sih, kontrol dong!" jawab Arin ikut berbisik.
"Arin Maulidya."
"Nama lo!" Disti lanjut berbisik. "Lo tamat!"
"Yang mana?"
Disti buru-buru menunjuk Arin, tak mau disalahkan.
Arin berdecak, "Udah ah, lebay anjir, Sti. Kelakuan lo nanggapin dia tuh kayak dia penjahat."
"Jadi, yang mana?" tanya Dias lagi karena belum mendapat jawaban.
"Kelas ini udah dimulai hampir tiga minggu dan lo nggak tahu nama teman sekelas lo?" Tak habis pikir, kelas yang sedang mereka jalani bersama memang hanya tiga SKS tapi seharusnya hampir tiga minggu itu cukup untuk tahu nama teman sekelas. "Dan tolong, headphone lo dibuka kalau lagi ngobrol sama orang."
"Nggak ada suaranya. Belum ada musiknya."
Arin dan Disti saling tatap. Di ruangan yang hanya berisi mereka bertiga, berbisik pun pasti akan kedengaran. Daritadi mereka berdua berbicara seenaknya karena berpikir bahwa Dias memakai headphone, jadi tidak akan mendengar apa pun.
"Jadi?" tanya Dias kembali.
"G-gue Arin. Kenapa?" Arin gugup.
"Nggak baca grup mata kuliah?" tanya Dias lagi dengan suara beratnya.
"Hah?" Buru-buru Arin mengeluarkan gawainya, membuka grup mata kuliah yang Dias maksud.
"Di kantin belakang. Chat gue kalau udah selesai semua kelas, nanti gue ke elo." Dias kembali ke tempat duduknya tadi sambil menekan-nekan gawainya. Setelah itu ia menunjukkan layarnya pada Arin. "Baru mau nyalain lagu. Gue tahu adat berbicara sama orang lain, kok."
Arin menelan ludah. Katanya Dias tidak banyak bicara, apanya?! Arin bahkan dipermalukan secara tidak langsung!
Disti hanya menepuk-nepuk pundak temannya yang malang itu.
Detik berikutnya, kelas menjadi ramai. Menyadarkan Arin dari lamunan penuh rasa malunya.
"Buset, yang masuk cuma tiga orang tapi kelas jadi tiba-tiba ramai." Disti menatap tiga orang yang baru masuk itu tak habis pikir. Tak lama kemudian, masuk seorang cowok yang wajahnya sangat familier.
"A-Aji!"
Arin refleks bertanya, "Yang mana?"
Pandangan mata Arin langsung tertuju pada cowok yang ada di ambang pintu. Bener kan, cowok alis tebal doang, pikir Arin sambil membuang pandangannya dari Fazly.
"Hai, Nona. Boleh Tuan duduk di depan kamu?"
T-Tuan?!
Arin membelalakkan matanya tak percaya. Apa yang baru saja ia dengar?
"Diammu adalah tanda setuju. Terima kasih, Nona."
Sementara itu, orang di sebelahnya justru menunjukkan ekspresi yang berbeda. Tentu saja ekspresi kagum.
Iya, kagum!
"Lo sehat nggak sih, Sti?"
"Keren banget, Rin."
"Sebentar deh, si Fazly bukan anak jurusan kita kan? Kok di kelas kita, sih?"
"Gue juga nggak nyangka bakal sekelas sama Aji." Disti masih kaget dengan kekagumannya pada Fazly. Fazly memang memiliki sifat percaya diri yang tinggi akan ketampanannya, tapi menurut Disti itu wajar. Toh, memang begitu kenyataannya. Terlebih, rambut model top knot-nya memberi kesan keren.
"Demi apa, coba itu otak lo agak dinetralisir sebentar. Kita beda jurusan, woy, gimana bisa sekelas sih?"
Fazly kembali menoleh ke belakang. "Kan gue ada di sini, kenapa nggak tanya langsung, sih, Nona?"
"Nanya sama lo keburu mual duluan gue," jawab Arin jutek.
"Kok lo nggak terpesona sama gue?"
"Buat apa, anjir?!" Arin refleks sedikit berteriak. "Nona, Tuan, kurang menjijikkan apa lagi omongan lo? Ada alasan untuk gue suka itu semua?! Tell me then!"
"Muka gue? Kalau lo nggak suka digombalin, setidaknya lo suka muka gue."
"Muka lo? Tukang siomay depan gang kosan gue juga banyak yang kayak lo tipe mukanya. Kayaknya lo terlalu terbuai sama pujian semua orang jadi lupa buat ngaca."
Fazly berdiri seketika, membungkukkan tubuh jangkungnya tepat di depan mata Arin. "Lihat baik-baik muka ganteng gue."
Arin refleks memundurkan kepalanya agar tidak terlalu dekat dengan Fazly. "Orang gila!" Arin mengangkat tasnya lalu pindah ke belakang Dias. Lebih baik ia diterkam singa daripada berhadapan dengan orang gila.
"Fix, lo target gue selanjutnya!" Fazly melompat kegirangan. "Bro Dias, sampai jumpa di rumah." Fazly melambaikan tangan ke arah Dias yang bahkan tidak berniat untuk menyambut sapaan Fazly.
Segerombolan orang tidak jelas itu pun pergi dari kelas tersebut. Tidak ada alasan khusus kenapa Fazly ada di kelas Arin saat ini. Mungkin hanya kebetulan. Usut punya usut, Fazly memang senang mengganggu Dias, di mana pun dia berada.
Arin kembali duduk di sebelah Disti. Ia langsung mencerca Disti dengan banyak pertanyaan. Lho, mereka kenal? Rumah? Mereka serumah? Begitulah pertanyaan-pertanyaan Arin ke Disti.
"Lo beneran nggak tahu apa-apa tentang duo ini, ya?"
Arin menggeleng tak mengerti. Arin memang kurang peduli dengan lingkungan kampus. Baginya, belajar saja cukup, yang penting studinya selesai. Arin hanya mahasiswa kupu-kupu, yang selesai kuliah langsung pulang. Arin tahu soal Dias yang lumayan sering dibicarakan mahasiswa fakultasnya, tapi tidak pernah mau tahu lebih lanjut. Soal Fazly? Arin juga tahu, Disti temannya itu setidaknya pernah bicara soal Fazly padanya. Sayangnya Arin juga tidak mau tahu lebih lanjut.
"Mereka bersaudara. Aji pernah masuk rumah sakit karena berantem sama Dias." Disti berbisik di telinga Arin, benar-benar pelan agar Dias tak mendengar. "Katanya, Dias punya dendam sama Aji. Tapi Aji emang dasarnya jahil, jadi dia terus pancing Dias supaya marah. Nggak ada kapoknya dia itu."
Arin melirik ke arah Dias yang sedang membaca buku sambil menikmati musiknya. Ia jadi penasaran orang macam apa si Dias ini.
Masalahnya ..., Arin akan sekelompok belajar di mata kuliah Psikometri. Demi berjaga-jaga dari kepribadiannya yang tidak terduga, Arin harus sedikit tahu tentang Dias, mau tidak mau.
***
Fazly bersama teman-temannya duduk tak jauh dari kelas Arin dan Dias tadi. Di bawah pohon besar dan bangku panjang berwarna cokelat. Fazly terdiam, tidak banyak bicara seperti di kelas tadi. Fazly tampak merenungkan sesuatu.
"Dia orangnya?" tanya Sena mulai membuka suara di tengah keheningan mereka. "Lo yakin?" lanjut Sena lagi.
"Belum cukup bukti, tapi semua yang udah kita cari tahu, mengarah ke dia," jawab Fazly dengan wajah serius. "Bantu gue, Sen. Please ...?"
Sena melihat keseriusan di wajah Fazly. Kedua teman mereka yang lain pun ikut memasang wajah serius. Mereka tahu betul bagaimana usaha Fazly untuk mencari tahu semua itu. Sejak kejadian tersebut, hidup Fazly menjadi tak tenang.
"Maaf kalau gue terlalu lama datang."
***
Sengaja nggak terlalu panjang biar nggak bosen. Semoga enjoy ya, terima kasih sudah mampir untuk membaca ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro