Bab 1
Mei tidur lelap di atas ranjang kamarnya. Wajah damai dan napas teratur mengiringi malam yang kian larut. Selimut bulu abu melingkari tubuhnya, menangkup kehangatan di tengah udara malam yang dingin. Di sudut kamar, lampu tidur redup memancarkan cahaya temaram, melukis bayangan lembut di dinding.
Namun, keheningan itu terpecah
oleh suara gaduh dari balik tembok. Suara benda jatuh, disusul oleh bentakan seseorang. Seperti petir yang menyambar, suara itu menyadarkan Mei dari alam bawah sadar.
Ia terkejut dan seketika membuka
mata lebar-lebar, masih setengah terjebak antara dunia mimpi dan kenyataan seperti orang linglung. Perempuan itu mencerna sekeliling sambil melirik jam di dinding kamar yang menunjukkan pukul dua dini hari.
Dengan perlahan ia bangkit terduduk di atas ranjang diiringi jantung berdetak kencang, seperti lonceng yang berdentang tanpa henti. Ia memandang sekitar kamar dengan helaan nafas panjang setelah kesadarannya penuh.
"Lagi-lagi…," gumamnya pelan nyaris tanpa suara.
Baru setelahnya, Mei memaksakan
kaki yang terasa berat untuk berjalan menghidupkan lampu di dekat meja belajar. Terbangun secara mendadak begitu membuat kepalanya pening. Ia sedikit mengurut dahi yang berdenyut di sela rasa yang sirna karena keributan di balik pintu kayu.
Ia benci sekali malam-malam
berisik yang menemaninya. Bukan sekali dua kali, melainkan hampir setiap malam akhir-akhir ini. Papa dan Mama bertengkar. sama seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali menunggu semuanya reda, menanti pagi datang membawa harapan baru—meski ia tahu harapan itu sering kali hanya angan-angan kosong.
Dalam beberapa waktu Mei mematung di tempatnya berdiri seraya mencibir, “Jangan sekarang. Setidaknya malam ini.”
Mei berharap bisa kembali tidur
setelah mendengar segala hal tapi telinganya tak bisa mengabaikan suara-suara itu. Kebetulan kamarnya terletak dekat ruang tengah, di mana semua sumber kegaduhan berasal dan tidak mungkin indra pendengarannya tuli akan keadaan rumah.
"Kamu terus bohong, Mas. Berapa
kali kamu bohongi aku?" cecar Ratna–Mama Mei menuntut jawaban.
Ratna seketika menaikkan nada
bicara tidak peduli lagi pada adab sebagai istri yang lemah lembut. Kesabarannya semakin surut begitu melihat suaminya yang pulang terlambat dari jam yang seharusnya.
Nyaris pukul dua malam suaminya
baru tiba di rumah. Bagaimana Ratna tidak curiga kalau pria itu pergi ke tempat lain, bukan ke kantor. Ponsel mati tidak bisa dihubungi, lalu Ratna sudah menelpon tempat suaminya bekerja dan mempertanyakan keberadaan pria itu yang ternyata telah pulang sejak sore tadi. Istri normal pastinya bakal marah seperti yang Ratna lakukan terhadap suaminya, sekarang.
Alih-alih mendapat jawaban, justru
Rudi melotot tak suka begitu membuka pintu rumah.
"Ratna!" bentak papa tak kalah keras dengan suara berat menanggapi. Pria itu semakin emosi atas sikap istrinya yang rewel. "Suami baru pulang kerja begini sikap kamu, malah ngajak ribut pula. Bukannya dilayani baik-baik?"
"Kerja? Kamu yakin?"
"Kamu pikir aku ngapain seharian
di luar rumah. Sudahlah nggak usah mulai lagi. Kamu itu terlalu curiga sama aku."
"Gara-gara siapa aku gini? Kamu, Mas!" sungut Ratna dengan nafas naik turun disertai tatapan menusuk. Bisa-bisanya suami berkata demikian. "Aku nggak mungkin mulai kalo kamu bisa dipercaya."
"Itulah sifat jelek kamu. Bisanya nuduh, marah-marah nggak jelas. Aku capek tiap hari gini."
Dilemparnya dasi yang terasa
mencekik leher, lantas Rudi berjalan mondar-mandir sambil mendengus kesal melihat Ratna yang asal bicara.
"Capek?" Ratna bertanya lalu tertawa sumbang mengejek suaminya yang merasa paling tersakiti sedunia. "Makanya berhenti bermuka dua. Aku juga capek, Mas. Kamu pikir aku nggak tau apa yang kamu lakuin di luar sana?"
Pria berbadan besar itu maju secara
tidak sadar mencengkeram baju Ratna hingga membuat istrinya terkejut. Meski begitu, nyali Ratna tak surut dan menatap balik nyalang sang suami.
"Jaga bicara kamu ya! Jangan buat aku marah." Emosi papa makin panas disentil dengan kalimat menohok barusan.
Ratna menghardik sambil mendorong pria di hadapannya sekuat tenaga, tapi tidak berhasil. "Kamu takut ketahuan bobrok mu, kan? Udahlah nggak usah ditutupi lagi, aku udah tau semuanya!"
Keduanya saling melempar tatapan
kebencian satu sama lain. Melupakan status sebagai suami istri yang seharusnya mendukung dan mencintai, malah kompak saling menjatuhkan. Arti cinta yang dulu mereka pupuk sampai menikah lalu beranak tidak lagi tersisa. Fakta paling pahit yang keduanya rasakan hanyalah kecewa.
"Apa yang kamu maksud? Aku itu
kerja Ratna, kerja!" Kalimat terakhir sengaja ditekankan supaya istrinya berhenti membual.
Tapi yang namanya bangkai baunya
bisa terendus. Ratna memang belum bisa membuktikan apa-apa soal kecurigaan hubungan gelap suaminya dengan wanita lain belakangan ini. Namun, insting kuat dirinya mendorong untuk terus mencari pembenaran yang dia yakini.
"Udah nggak usah pura-pura nggak
tau. Aku nggak bodoh, Mas," seloroh Ratna tak lagi terbuai pada kelihaian suami yang suka ngeles.
Mata suaminya menatap berang lalu sekali hempasan Ratna terdorong ke belakang dan mengenai sisi meja. Ratna terduduk dengan pandangan syok diperlakukan kasar.
Sementara itu, di dalam kamarnya
Mei menghela napas panjang usai mendengar percakapan di antara dua orang tuanya. Tangis Mama semakin keras. Suara kursi yang tergeser keras membuat Mei menggigil. Ingin rasanya dia keluar kamar, memohon mereka untuk berhenti, tapi dia tahu itu tidak akan ada gunanya. Jadi, dia hanya diam di dalam kamar, berusaha menahan sesak dan kelopak mata yang memanas.
"Terserah! Kamu ngomong apa aku
nggak peduli!"
Rahang di wajah Ratna mengeras
disertai sorot mata memicing. Ada kepedihan di balik tatapannya yang menyala. Merasa tidak terima lantas Ratna melontarkan kata-kata dengan penuh keyakinan.
"Oke, aku bakal buktiin kalo
kecurigaan ku itu benar. Karena berapa kali pun aku tanya kamu nggak pernah jawab jujur."
"Lakuin aja apa yang kamu mau."
Kemudian suaminya pergi begitu
saja, membanting pintu keras-keras setelah memberikan luka. Menyisakan Ratna yang tergugu di lantai ruang tengah yang dingin. Wanita itu menangis pilu sambil mengumpat kepada suaminya yang telah menghilang.
Usai semua perdebatan berakhir,
Mei pelan-pelan melangkah ke jendela kamar lalu membukanya. Ia menatap keluar jendela, berharap angin malam membawa ketenangan. Tapi yang terlihat hanya kegelapan tanpa bulan. Ia mendesah sekali lagi, mencoba menenangkan pikirannya yang kusut.
Malam di luar tampak tenang,
bertolak belakang dengan suasana rumahnya. Langit gelap berbintang seperti mengejeknya seolah-olah kehidupan di luar baik-baik saja, hanya dia yang terjebak dalam kekacauan ini.
Mei berbisik pada dirinya sendiri,
“Kapan semuanya akan berakhir?”
Liburan sekolah baru saja dimulai
hari ini tapi bukannya merasa senang, Mei malah takut sekaligus resah. Ia sudah bisa membayangkan hari-hari panjang yang diisi dengan keributan tak berujung. Tidak ada lagi tawa. Tidak ada lagi kebersamaan. Hanya keributan yang akan terus berlanjut di siang dan malam hari.
Baru part 1 aja gimana nih komentarnya?
Jangan lupa votemen ya biar aku makin semangat 🍉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro