Bagian 9
"Apa yang membuatmu datang ke rumahku tengah malam seperti ini?" Meghan mengabaikan kata-kata Zander tentang anak dibawah umur. Zander memang sering sekali menggodanya.
Zander, tanpa memberi peringatan langsung memegang tengkuk Meghan dengan sebelah tangannya. "Kurasa aku sudah menyebutnya tadi. Aku ingin melihat wajahmu. Dan kenapa kau tidak mengangkat teleponku?" Zander memegang tengkuk Meghan tidak terasa sakit namun tetap saja Meghan tidak bisa banyak bergerak. "Apakah kau terlalu sibuk dengan David hingga tidak sempat menjawab teleponku?"
"Kau mabuk." Napas Zander berbau alkohol.
"Aku minum sedikit. Aku tidak mabuk."
"Pulanglah, Zan," ujar Meghan dengan nada membujuk. "Aku juga harus tidur."
Zander menatap Meghan lama. Di tengah kegelapan malam, iris Zander terlihat jauh darinya. "Mau menemaniku sebentar?"
Meghan menghela napas. Diletakkannya tangan di dada Zander. Dada itu terasa keras di telapak tangannya yang kecil. "Aku tidak bisa." Tidak malam ini. Meghan takut tidak bisa menjauh dari Zander setelah dekat dengan pria itu. Zander terlalu berbahaya. Bukan dalam artian yang buruk. Tapi sangat buruk.
"Sebentar saja." Zander membuat suaranya nyaris memohon. Tapi tidak dengan tatapannya. Tangan Zander yang bebas merambat ke pinggang Meghan. Lelaki itu mengusapnya pelan di sana lantas menariknya mendekat. "Aku tidak akan memakanmu."
"Zander." Meghan memalingkan wajah tatkala Zander memajukkan kepala. Zander ingin menciumnya.
"Masuklah ke mobil," pinta Zander. Sedikit terganggu Meghan menolak ciumannya. Keputusan Zander datang menemui Meghan bukan tidak dipikirkannya berulang kali. Ia merutuk dirinya yang tak pernah bisa berhenti memikirkan Meghan. Dan kebersamaan Meghan dengan David nyaris membuatnya gila. Entah apa yang merasukinya hingga terus menginginkan perempuan itu. "Sebentar saja," tambahnya saat Meghan tidak mau masuk.
"Baiklah. Sebentar saja."
Zander membiarkan Meghan menarik diri. Wanita itu berjalan memutari mobil lalu naik. Zander menyusul kemudian.
Setelah mereka berdua berada di dalam, Zander bukannya bicara. Pria itu malah diam dengan tatapan mengarah ke depan. Matanya sedikit merah karena anggur yang diminumnya tadi sebelum menemui Meghan.
Sembari menunggu Zander membuka suara---ia tak tahu harus menunggu berapa lama---Meghan menyalakan musik. Ia memilih lagu sendu dan mengatur suaranya pelan.
"Aku tidak tahu apa yang mendorongku melakukan ini," tuturnya memulai setelah beberapa saat berlalu. Zander mengusap wajahnya sekali, berharap kesadaran menghampirinya. "Aku nyaris gila karena terus memikirkanmu."
Hal itu bukanlah sebuah kebohongan. Zander memang tidak mengerti dengan dirinya yang sekarang.
"Lalu aku harus bagaimana?" Zander tidak sendirian. Meghan pun merasakan hal yang sama. Hanya saja Meghan lebih bisa menahannya. Ia berusaha fokus pada David dulu. Waktu perjanjiannya dengan David tinggal beberapa hari lagi. Setelah itu Meghan tidak punya kewajiban apapun lagi dengan David. "Aku minta maaf kalau kau jadi terganggu karena aku."
"Bukan salahmu," zander meletakkan kepalanya di punggung kursi. "Pergilah." Zander tahu ia salah dengan memaksa Meghan menemaninya. Bukan urusannya Meghan berhubungan dengan siapa pun. Meghan bukan miliknya.
"Kau bilang ingin bicara." Meghan jadi ikut bingung pada Zander. "Aku akan mendengarkanmu."
"Aku berubah pikiran. Turunlah." Zander tidak mau memandang Meghan. Karena jika ia melakukannya kemungkinan besar ia akan menarik perempuan itu kemudian melumat bibirnya habis-habisan.
"Kau yakin tidak mau bicara?" Meghan masih mencoba.
"Turunlah, Meg. Sebelum aku membawamu ke pangkuanku sekarang dan bercinta denganmu di mobil ini."
Mendengar itu Meghan terkesiap, terkejut dengan kalimat blak-blakkan Zander. "Aku pergi."
"Hhhmm," Zander memejamkan mata. Kesal dengan pengendalian dirinya yang rendah.
Meghan membuka kembali pintu mobil Zander kemudian turun. Meghan masuk ke rumah tanpa menoleh ke belakang.
Tere tidak terlihat di ruang tamu. Itu berarti ia sudah masuk ke kamarnya. Meghan masuk ke kamarnya sendiri. Dari jendela ia mengintip Zander. Zander masih belum pergi.
Kening Meghan berkerut. Ada apa dengan Zander?
Meghan pergi ke kamar mandi. Ia mandi cepat, kemudian mengenakan pakain tidurnya. Kaos kebesaran dan celana katun pendek.
Sekali lagi Meghan pergi ke jendela untuk melihat Zander. Kali ini mobil Zander sudah tidak ada lagi. Meghan menutup kembali gorden jendelanya lalu naik ke tempat tidur.
Meghan menghela napas keras. Kedua tangannya dilipat di atas perut. Ia masih memikirkan Zander dan kedatangan pria itu tiba-tiba. Meghan tidak mengira segalanya jadi sejauh ini.
*****
"Kebetulan kau datang," Igor membawa Meghan masuk ke ruang kerjanya. "Sudah sarapan?"
Saat terbangun, Meghan langsung bersiap menemui Igor. Ia berubah pikiran soal rumah yang ingin dijualnya tempo hari. Tadi malam ia lupa menelepon Igor. Setelah pagi datang, Meghan memutuskan untuk bertemu Igor langsung. Tidak usah melalui telepon.
"Aku sudah sarapan. Tapi terimakasih untuk tawarannya." Meghan mengikuti Igor dari belakang. Pria itu masih mengenakan jubah tidurnya. Tidak tampak sungkan sedikitpun pada Meghan. "Iklan penjualan rumahku batalkan saja."
"Kenapa begitu?" Igor berbalik badan menatap Meghan. Dia belum sempat duduk di kursinya. "Padahal aku mau bilang sudah ada yang membeli rumahmu itu. Dia menawarkan harga fantastis, Meg."
"Entahlah," Meghan menarik kursi untuknya duduk. Setelah Igor duduk juga ia melanjutkan. "Aku takut Tere sedih kalau rumah itu dijual. Hanya tersisa rumah itu peninggalan rumah orangtuaku.''
"Lalu sekarang bagaimana?" Semua terserah Meghan. Keputusan ada di tangannya. Rumah itu takkan terjual jika ia tak ingin menjualnya. "Tapi bunga pinjaman orangtuamu lumayan besar, Meg." Meghan sempat cerita sedikit padanya. Igor hanya ingin Meghan memikirkannya masak-masak. "Bukan aku memaksamu menjual rumah itu. Tapi setelah kau memberiku berkas hutang orangtuamu, yang kutakutkan rumah itu akan lepas tanpa kau mendapat apa-apa.''
Meghan jadi dilema sekarang. "Siapa yang ingin membeli rumah itu?"
"Namanya Deren," ujar Igor. "Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya."
"Kau tidak mengenalnya?"
Igor menggeleng. "Mungkin dia pengusaha yang lama tinggal di luar negri."
"Menurutmu bagaimana?"
Igor menaikkan bahu. "Semua tergantung padamu. Itu rumah orangtuamu. Apapun keputusanmu aku setuju. Pikirkan saja dulu. Sepertinya ada beberapa orang yang tertarik dengan rumah itu."
"Baiklah. Akan kupikirkan." Meghan pamit permisi. "Maaf aku mengganggu pagimu."
"Wanita cantik sepertimu mana mungkin mengganggu pagiku." Igor tertawa. "Kau sibuk nanti malam?"
David ingin makan malam bersama. Hanya makan malam saja. Tidak ada acara tertentu. Takkan menghabiskan waktu semalaman. "Memangnya kenapa?"
"Ada pesta lagi di rumah judi. Kau mau ikut?" Igor mengerlingkan sebelah mata. "Kudengar-dengar Zander datang."
"Kau yakin?"
"Pesta kemarin dia menang banyak. Dia harus ikut lagi kalau tidak mau kemenangannya dianggap sebagai keberuntungan pemula."
"Aku tidak janji bisa datang," ucap Meghan. Kalau David cepat mengantar Meghan pulang, ia bisa datang. Tapi jika David memiliki rencana lain, sudah pasti ia akan melewatkan pesta tersebut. "Tapi kuusahakan datang."
"Nanti malam kau ada acara?"
"Hhhmm," Meghan berjalan kearah pintu. "Makan malam dengan seseorang."
"Ck, ck," Igor menggeleng. "Kupikir kau mengincar Zander."
"Aku memang mengincarnya."
"Lalu siapa pria yang satu ini?"
"Hanya teman."
Igor mendengus. ''Kau yakin dia tangkapan yang lebih besar dari Zander?"
"Aku hanya sebentar dengannya."
Igor tertawa keras sampai harus memegangi perutnya. "Kau memang luar biasa, Meg."
"Siapkan saja kursiku! Walau terlambat aku pasti datang."
"Aman. Aman."
*****
Pukul tujuh malam Tere mengetuk pintu kamar Meghan. "Kak, bang David sudah datang."
"Iya. Sebentar." Meghan sudah selesai dengan riasan dan pakaiannya. Ia membuka pintu lantas mengulas senyum di bibir. "Tidurlah duluan. Aku mungkin pulang larut."
Tere melirik kakaknya. "Kakak yakin tidak pacaran dengan bang David?"
Meghan mencium cepat pipi adiknya itu. "Yakin, adikku sayang." Lalu pergi menemui David.
David sudah menunggunya di teras rumah. "Kenapa tidak masuk dulu?" tanya Meghan berbasa-basi.
"Kalau kau tidak segera datang, mungkin itu yang akan kulakukan."
Meghan memutar mata. "Kita makan malam di mana?"
David memegang pinggang Meghan, menuntun wanita itu menuju mobil sportnya. "Ada restoran mewah baru buka. Makanannya enak. Aku ingin kau mencoba makanan di restoran itu."
"Kebetulan aku memang sangat lapar." Malam ini Meghan mengenakan gaun pas badan warna maroon. Panjang gaun tersebut hanya sepanjang pertengahan paha. Ia sengaja memakainya agar nanti tidak perlu berganti pakaian saat pergi ke pesta di rumah judi yang dikatakan Igor.
David berbisik di telinga Meghan. "Malam ini kau seksi sekali." Tangan David di pinggang Meghan semakin erat.
"Terimakasi." Bibirnya yang bergincu merah terang tersenyum lebar. "Aku membelinya kemarin. Dengan uang yang kau berikan padaku."
"Aku akan membelikanmu lebih banyak lagi yang seperti ini." David membuat Meghan harus menyandarkan punggungnya di badan mobil karena David menghimpitnya. "Asal kau berjanji memakainya hanya ketika bersamaku."
"Syaratmu terlalu berat, sayang." Meghan mengalungkan satu tangan di leher David, ia memiringkan wajahnya ke satu sisi. "Kebersamaan kita hanya tersisa beberapa hari lagi."
"Aku akan menambahnya."
"Aku belum setuju."
"Meg," David berujar di depan bibir mengkilap milik wanita itu. "Ayolah. Kau tahu aku menginginkanmu.''
"Kusarankan sebaiknya kita nikmati setiap waktu yang ada." Meghan mendorong pelan dada David. Pria itu mundur. "Jangan menyia-nyiakannya."
"Kau mempermainkanku, Meg."
Meghan menatapnya tajam. "Kau yang memberiku tawaran. Kenapa sekarang jadi aku pihak yang bersalah?"
"Kau buta kalau tidak tahu apa yang kurasakan padamu."
Meghan memutar matanya. "Tentu saja aku tahu. Lalu kau ingin memaksakannya padaku?"
David menyerah. "Baiklah. Maafkan aku."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro