Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 8

Malam ini Meghan mengajak Tere makan di luar. Sudah lama---sejak kematian kedua orangtuanya---mereka tidak bersenang-senang. Setelah makan malam Meghan akan mengajak Tere menonton bioskop. Kalau masih ada waktu, Meghan sekaligus membawanya karokean. Meghan tahu Tere suka menyanyi.

"Pesan apapun yang kau suka," ujarnya pada Tere yang malam ini mengikat ekor kuda rambutnya yang panjang. Tere mengenakan kemeja dan celana jeans panjang. Berbeda dengan Meghan yang mengenakan gaun pink strobery. Gaunnya tersebut mampu membuatnya terlihat seumuran dengan Tere.

Meghan memperhatikan menu. Agak bingung memilih makanan yang ingin dipesannya, karena semua yang ada di daftar menu menggugah selera. Tidak mungkin dia memesan semuanya.

"Kita makan di tempat lain lain saja, kak." Tere hanya membuka buku menunya sebentar lalu menutupnya kembali. Dia lebih sering melirik ke sekitar restoran tersebut. Entah apa yang diperhatikannya.

"Kenapa?" Meghan ikut memandangi ke sekeliling juga. Restoran itu memang sangat padat. "Ada seseorang yang membuatmu tidak nyaman?" Tere menggeleng. "Kau tidak suka makanannya?" Tempat itu ramai karena makanannya yang terkenal enak. Jadi Meghan sedikit bingung adiknya ingin ke restoran lain.

"Makanannya mahal-mahal," kata Tere dengan nada pelan. "Kita kan sedang menghemat, kak. Kenapa kakak malah membawaku ke sini?"

Meghan meringis dalam hati. Dulu mereka sering makan di tempat mahal, Tere menyukainya. Sekarang karena keadaan telah berubah, Tere jadi sungkan melakukannya. Meghan merasa bersalah untuk apa yang dirasakan adiknya. Meghan tidak seharusnya begitu karena semua yang terjadi bukan salahnya, tapi tetap saja dia merasa seperti itu.

Meghan berencana memberitahu pada Tere soal niatnya menjual rumah yang di desa malam ini. Rumah itu sudah digadaikan dan tidak ada yang menghuninya. Menurut Meghan lebih baik rumah itu dijual, lalu uang hasil penjualannya digunakan untuk menutupi hutang-hutang orangtuanya. Supaya mereka tidak dibebankan membayar hutang tiap bulannya. Dan semoga ada sisanya, Meghan berkeinginan membeli rumah kecil di kota untuk ditinggalinya bersama Tere.

Tapi melihat Tere saat ini, Meghan jadi tidak sampai hati. Rumah itu peninggalan orangtuanya yang tersisa. Jika itu dijual juga, semuanya habis sudah. Tere pasti semakin sedih. Meghan tak ingin hal itu terjadi.

"Tidak usah pikirkan harganya," Meghan meyakinkan Tere, yang mana tidaklah mudah. Karena meski masih muda, Tere mengerti bagaimana keadaan mereka sekarang. "Aku punya uang. Lagipula sudah lama kita tidak makan di luar."

"Tapi, kak---"

"---sudah pesan saja. Aku lapar sekali. Aku tidak tahan kalau harus berpindah tempat."

Meghan memanggil pelayan. Pelayan tersebut agak kurang fokus pada awalnya. Meghan sampak melirik gaunnya, siapa tahu ada yang salah. Pria itu berdehem sekali lalu menanyakan pesanan mereka. Akhirnya Meghan dan Tere menyebutkan pesanannya.

"Bagaimana kuliahmu?" Tere baru masuk kuliah. Meghan bersyukur bisa membayar semua keperluan kelulusan SMA Tere. Hingga memasuki kuliahpun, biaya untuk Tere tidaklah sedikit. Meghan tidak mau mengeluh pada Tere. Meghan ingin adiknya itu bisa lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena jika sedikit saja Tere melihat Meghan tampak kesusahan, adiknya itu akan terus memikirkannya.

"Tere senang kuliah di sana, kak," jawab Tere. "Dosen-dosennya ramah-ramah."

"Kau punya teman baru?"

Tere mengangguk. "Namanya Serly."

"Sejurusan denganmu?"

"Iya, kak."

"Bagus lah," Meghan tidak ingin Tere sepertinya. Apapun akan ia lakukan agar Tere tidak ketinggalan dari teman-temannya. "Bagus-bagus belajar."

"Iya, kak."

"Aku sudah lama tidak menonton bioskop. Setelah makan kita nonton, ya." Tere tidak langsung mengiyakan. Lagi-lagi ia tetlihat berpikir. "Aku tidak meminta pendapatmu. Aku mau kau menemaniku. Setelah itu kita pergi karoke." Begitu kata karoke disebut, wajah Tere berubah berbinar.

"Iya, kak." Gadis itu mengulum senyum.

Meghan ikut tersenyum melihat adiknya tersenyum. Untuk beberapa saat tidak ada yang mengganggunya. Hutang-hutang yang membelit lehernya seolah tidak nyata.

Sudah empat hari berlalu sejak Meghan meminta Igor memasang iklan penjualan rumahnya. Sampai saat ini belum ada kabar dari pria itu. Dalam hati Meghan mengingatkan dirinya untuk tidak lupa nanti menyuruh Igor membatalkan iklan tersebut. Meghan berubah pikiran menjualnya. Biarlah rumah itu tetap ada. Untuk membayar hutang, Meghan bisa memikirkannya nanti.

Dan Zander, nyaris seminggu Meghan menghindarinya. Meghan tidak mengangkat telepon Zander. Meghan ingin fokus ke David dulu. Ia sudah berjanji membantu David. Bahkan bayarannya sudah diberikan lunas. Beberapa hari terakhir ini Meghan sering terlihat bersama David. David semakin gencar mendekati Meghan.

Sebagian acara yang dihadiri Meghan dan David, ada Zander di sana. Seperti biasa, Zander tidak mau mengotori tangannya di depan umum. Meghan tahu Zander memperhatikannya di beberapa pesta, namun lelaki itu memiliki cara halus dalam permainannya.

Ketika Zander mulai berjalan mendekatinya, Meghan bergegas ke sisi David. Hal tersebut membuat langkah Zander terhenti. Zander memberinya senyuman penuh arti namun tidak mau mengganggu. Meghan merasa hanya soal waktu saja. Zander akan melakukan hal lain selain diam dan memperhatikannya dari sudut terjauh.

"Kakak pacaran sama bang David, ya?" pertanyaan adiknya menarik perhatian Meghan. Ia berhenti memikirkan Zander.

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Akhir-akhir ini kakak sering pergi dengannya."

Setiap malam selalu ada acara yang dihadiri David. Dan sebagai pacar pura-pura yang telah dibayar lunas Meghan berkewajiban menemani David. Itu sudah jadi perjanjian mereka sejak awal. Meghan berdandan cantik. Walau hanya pura-pura, tapi Meghan ingin terlihat memesona. Apalagi sering ada Zander di acara yang mereka datangi. Tidak salah jika Tere berpikir ada hubungan khusus antara Meghan dan David.

"Kami berteman," Meghan tidak ingin menjelaskan lebih. "Aku menemaninya sebagai teman." Padahal semuanya hanya tentang uang.

"Bang David kelihatan menyukaimu," Tere pasti melihatnya dari sikap David ke Meghan. Setiap datang menjemput Meghan, pria itu selalu mengecup tangannya. Lebih dari sekali Tere mendapati hal itu. Yang Tere tidak tahu adalah sikap playboy David. David tergila-gila pada gadis cantik. Meghan tidak tahu sampai kapan ketertarikan David padanya hilang dan digantikan gadis lain yang lebih menawan. Semua lelaki sama saja.

"Jangan menilai pria hanya dari luarnya saja." Meghan senang pesanan mereka datang. Itu membuat Tere tidak bertanya soal David lagi. Tere masih polos. Ia tidak tahu banyak laki-laki berbahaya karena pandai memanipulasi. Mereka punya uang sehingga berpikir bisa membeli segalanya.

Meghan dan dan Tere makan dalam diam. Ketika Tere hendak berbicara lagi, Meghan menyuruhnya diam dulu dan memakan makanannya. Jika dibiarkan bersuara, Meghan takut Tere akan membicarakan David. Nafsu makannya bisa-bisa hilang membicarakan pria itu lagi.

Setelah kenyang bersantap, mereka pergi menonton bioskop. Tere yang memilih film. Sudah pasti genre romantis yang dipilih adiknya tersebut. Meghan ingin menolak tapi tidak tega pada mimik memelas Tere. Sepanjang film berjalan tak henti-hentinya Meghan menguap. Pop corn dan minuman yang mereka pesan tak disentuhnya sama sekali. Yang diinginkannya sebenarnya berbaring dan tidur daripada menyaksikan dua insan saling adu drama menunjukkan siapa yang paling mencintai. Semua itu hanya ada di dunia fiksi, karena itulah Meghan tidak menyukainya. Setengah mati Meghan menahan rasa bosan dengan alur cerita film itu. Saat filmya selesai, barulah ngantuknya hilang.

Tujuan terakhir mereka adalah karoke. Tere semakin bersemangat. Sepanjang jalan ia memegang tangan Meghan.

Meghan berhenti saat ponselnya berdering. Ia menariknya dari saku. Zander meneleponnya.

Meghan mengabaikan panggilan tersebut. Ia merubah ponselnya ke mode mute kemudian kembali berjalan.


*****


Hampir tengah malam ketika mereka sampai di rumah. Meghan meminta supir taksi menurunkan mereka di ujung gang. Ia masih ingin berjalan kaki. Tere pun tidak keberatan. Tere tak henti-hentinya tertawa. "Aku tidak percaya kita bernyanyi seperti orang gila tadi, kak." Mereka memang persis seperti yang dikatakan Tere saat menyanyi di tempat karoke tadi. Begitu semangat mereka menyanyikan lagu yang dipilih. Apalagi Meghan, ia menyanyi seakan hendak merusak lagu.

"Yang terpenting kita menikmatinya."

"Aku sangan senang malam ini, kak."

Meghan memeluk bahu Tere dengan satu tangan sembari tetap melangkah. "Lain waktu kita melakukannya lagi. Kita pergi dari sore. Biar puas." Tere kembali tertawa.

Sudah beberapa meter lagi jarak mereka dari rumah saat melihat ada sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Meghan berhenti sebentar begitupun Tere.

"Siapa itu, kak?" tanya Tere. Gadis itu menajamkan penglihatannya demi mencari tahu siapa si pemilik mobil. Tere tetap tidak tahu. "Bukan mobil bang David. "Tapi sepertinya aku pernah melihat mobil itu. Dimana, ya?"

Mobil itu milik Zander. Meghan mengenalinya. "Kamu masuk duluan, Re."

Zander sudah tidak sabar dengan sikap Meghan yang terus mengabaikan teleponnya. Yang dilakukan Meghan adalah kesengajaan. Zander datang untuk meminta penjelasan sekaligus memang karena ingin melihat wajahnya.

"Kakak kenal?"

Meghan hanya mengangguk. "Dia yang kemarin malam memberimu amplop."

"Oh." Mulut Tere membulat lantas pergi masuk ke rumah.

Meghan mendekati mobil Zander. Ia berdiri di samping pintu pengemudi. Ia tidak mengetuk, hanya memandanginya saja. Meghan tahu Zander sudah melihatnya.

Pintu itu kemudiab terbuka. Zander yang bertubuh tinggi dan tegap keluar dari sana. Meghan langsung terlihat kecil berdiri di depan Zander.

Zander berbau harum. Kombinasi parfum dan rokok. Aromanya jantan. Zander mengenakan kaos ukuran pas dan celana gunung. Otot pria itu terlihat jelas. Zander tampan, seperti biasa. Dan saat ini ia sedang memperhatikan Meghan dengan senyuman kecil terulas di bibirnya yang coklat.

"Aku hampir tidak mengenalimu karena gaun yang kau pakai. Kupikir aku sudah tidur dengan anak dibawah umur." Zander menutup pintu mobilnya, disandarkannya punggungnya di sana. Kedua tangan pria itu dilipat di dada, membuat otot lengannya semakin terlihat jelas. Meghan menduga-duga, pukulan lengan sekuat itu pastilah sangat menyakitkan. "Aku bertanya-tanya kenapa kau tidak mengangkat teleponku. Tapi tidak satupun jawaban yang kupikirkan yang masuk diakal. Jadi aku langsung menemuimu saja."

Bersambung...





Yeeeaaaaiii...aku apdet part baru. Siapa yang udah nungguin Meghan?

Maap ya karena baru bisa apdet sekarang. Mood nya susah banget soalnya. Hehehe...

Semoga suka ya,. Dan jangan lupa votmennya😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro