Bagian 20
Makasih untuk yang udah vot dan komen, kalian memang de bes💋💋
Part ini untuk kalian, syg..
Jangan lupa vot yang banyak ya, cinta. Siapa tahu nanti aku triple apdet.. hahaha..
Kan asik malam minggu ditemani babang Zander..😘😘
_____________________________
Ulalaaa🤣🤣🤣
Meghan terpaksa membuka pintu lebih lebar jika tidak ingin Zander menambah keributan. Tere sedang tidur, adiknya tidak boleh tahu Zander datang. Meghan yang sering pulang larut bahkah tidak pulang sudah membuat Tere curiga, apalagi sekarang ada pria yang datang tengah malam. Lewat isyarat Meghan menyuruh Zander masuk, ia membuat tatapan malas di wajahnya. Tapi tampaknya Zander tidak peduli.
"Motorku?" Zander menunjuk motor besarnya yang diguyur hujan. "Aku bermaksud menaikkannya ke terasmu, kau tidak keberatan?"
Meghan mengikuti arah jari Zander menunjuk. "Kau naik motor?" tanyanya tak percaya. Zander mengangguk. "Hujan-hujan begini?" Adakah orang yang lebih aneh dari Zander.
"Kupikir kau menyadari Pakaianku yang basah, Meg." Pria itu melepas jaket kulitnya. "Aku menembus hujan demi menemuimu," tuturnya dengan kedipan mata. "Tidak bisakah kau bersikap lebih baik dari ini?"
Meghan melipat kedua tangan di dada. "Tidak ada yang menyuruhmu bermain hujan, Zan."
Mendengus, Zander berlari ke halaman mengabil motornya. Sebenarnya Meghan khawatir melihat Zander yang basah kuyup seperti itu, namun ah, entahlah! Meghan hanya bisa memandangi Zander mencagakkan motor hitamnya di teras. Pria itu menggerutu.
"Bajuku semakin basah."
"Aku tidak punya pakaian bersih untuk laki-laki."
Zander menaikkan pandangan ke Meghan. "Kenapa tiba-tiba kau jadi galak sekali?"
Meghan menghela napas. "Masuklah! Aku akan membuatkanmu teh." Itu adalah sikap terbaik yang bisa dilakukannya untuk pria yang suka marah-marah.
Mengusap rambutnya yang berair, Zander tersenyum lebar. "Makasih, sayang."
Mendengar panggilan tersebut membuat mata Meghan berputar lagi. "Duduklah dulu!" Meghan hendak ke dapur membuatkannya teh, pria tersebut menarik tangannya. "Tak ada handuk yang bisa kupakai? Aku bisa masuk angin jika terus basah seperti ini."
Tanpa berbicara, Meghan melangkah ke kamarnya. Zander mengikutinya dari belakang.
"Apa yang kau lakukan?" Desis Meghan pelan.
"Mengikutimu, apalagi?" Ujar Zander tidak tertanggu sedikitpun. Zander sekilas memperhatikan isi rumah Meghan yang sederhana, sangat berbeda jauh dengan rumah orangtuanya yang serba mewah. Hanya ada tempat tidur ukuran sedang, lemari pakaian dari kayu yang warnanya telah pudar, meja rias sederhana, lampu tidur kecil yang diletkkan di atas nakas serta kipas angin kecil--pengharum ruangan tergantung di benda bulat berkaki itu.
"Kau tunggu di sofa saja!"
"Maksudmu aku berganti baju di ruang tamumu? Kalau adikmu bangun, bagaimana?"
Meghan berdecak. "Harusnya kau tidak datang."
"Aku sudah ada di rumahmu, kau tidak boleh berharap hal sebaiknya." Zander melepas kaosnya, melettakkannya di kursi rias milik Meghan berikut dengan jaket kulitnya.
"Kau kurang kerjaan, Zan.!"
"Aku tahu! Kau tidak perlu mengingatkanku lagi."
Membuka lemari, Meghan mengambil handuk bersih kemudian memberikannya pada Zander. "Kamar mandi di belakang."
"Aku tidak perlu ke kamar mandi!" Zander menerima handuk dari tangan Meghan. "Pergilah, aku butuh segelas teh hangat."
"Sebentar kubuatkan." Meghan hendak berlalu dari kamarnya, saat tiba-tiba Zander menyudutkannya ke lemari yang baru saja ditutup. "Apalagi?" Sungguh! Zander menguji kesabarannya. Di kantor dan di hotel Zander boleh memegang kendali. Tapi ini rumah Meghan. Kalau bukan di rumahnya sendiri ia yang memegang kendali, dimana lagi?
Handuk diletakkannya di leher, Zander mencuri kecupan di bibir Meghan. "Saat di rumah kau selalu seperti ini?" Zander menjaga jaraknya dari Meghan agar gadis itu tidak ikut basah.
"Seperti apa maksudmu?"
"Manis!" Tatapannya turun ke paha telanjang Meghan. "Sekali-sekali kau perlu berpakaian seperti ini saat bersamaku, Meg. Aku suka."
"Bukannya kau lebih suka aku telanjang?"
Zander tertawa pelan. "Telanjang ataupun seperti sekarang sama saja bagiku. Sama-sama menggairahkan."
"Kau mau kubuatkan teh atau tidak?"
Zander mengangguk, menyelipkan tangannya ke perut Meghan. "Jangan lama-lama, Meg." Ujarnya dengan nada serak.
*****
Meghan memegang dadanya setelah berada di luar kamarnya. Keberadaan Zander yang begitu dekat memengaruhinya lebih dari yang bisa ia jelaskan. Tameng ketidakpedulian boleh saja terpasang di wajahnya, namun hati Meghan berkata sebaliknya.
"Jangan kalah pada rayuannya, Meg!" Gadis itu mengingatkan dirinya sendiri. Jatuh hati pada pria seperti Zander sama dengan mengubur diri sedalam-dalamnya.
Meghan mengunci pintu depan yang tadi lupa iakunci, setelahnya pergi ke dapur.
"Apa yang kau lakukan di tempat tidurku?" Meghan meletakkan teh yang baru saja dibuatnya ke atas nakas lalu berkacak pinggang melihat tingkah Zander. Zander telah melepas semua pakaiannya dan memakai celana olahraha Meghan. Pria itu tengah bergelung di kasurnya.
"Kamarmu kecil," tuturnya memperlihatkan giginya yang putih dan rapih. "Tapi nyaman!"
"Kalau kau tidur di tempat tidurku, aku tidur dimana?"
Zander menggeser tubuhnya sedikit. "Masih muat, Meg."
Meghan mengacak-acak rambutnya serta mencak-mencak. "Kau tidak berencana tidur di rumahku malam ini, kan?" Demi Tuhan, lama-lama ia ikut jadi gila.
Zander bangkit duduk, diraihnya teh dari nakas. Pria itu meneguk teh tersebut, sudah tidak terlalu panas karena Meghan mencampurnya dengan sedikit air dingin. "Di luar masih hujan, Meg. Kau tega membiarkanku terkena hujan?"
Meghan memejamkan mata, ia menarik napas perlahan. Setelah lebih tenang, kembali dipandangnya Meghan. "Ada Tere, Zan."
"Aku tidak akan berisik. Kunci pintunya, Meg."
Meghan naik ke tempat tidur setelah mendorong pintunya tertutup, ia tidur memunggungi Zander. "Aku tidak tahu apa yang membuatmu datang tengah malam."
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
"Setiap hari kita bertemu di kantor. Kalau ada yang ingin kaubicarakan kau bisa menunggu pagi."
"Aku tidak bisa tidur sebelum mendapatkan jawaban."
Meghan menarik selimut menutupi pahanya, yang kemudian diturunkan Zander lagi. "Jawaban apa lagi?" Tukas Meghan.
"Masalah David!" Zander ikut berbaring, ia menyandarkan sikunya di tempat tidur. "Kau tidur dengannya?"
Kenapa harus itu lagi? Meghan tidak merasa harus menjawab pertanyaan tersebut, ditutupnya mata dengan lengan.
"Meg," Zander menyingkirkan tangan gadis itu dari mata. "Kau tidak tidur dengannya, kan?" Tatapan mereka bertemu, Meghan menemukan keseriusan pada manik pria tersebut. "Jawab yang jujur, Meg. Itu menggangguku sepanjang hari ini. Aku datang karena tidak bisa tenang." Jemari Zander menyentuh pelipis Meghan, mengecup pelan puncak hidung gadis itu. "Jawab, Meg."
"Aku..." Meghan menelan ludah. Begitu hanyut dalam nada dan tatapan Zander yang lembut, seolah Zander memang memiliki sisi bagian itu. Sisi yang belum pernah dilihatnya. Benarkah? Benarkah begitu penting apakah ia tidur dengan David atau tidak? Tapi kenapa? "Aku tidak pernah tidur dengan siapapun selain denganmu."
Panas yang sejak pagi tadi menggerogoti tubuhnya seakan tersiram air dingin begitu mendengar kata-kata Meghan. Sejuk.
Zander meraih bibir Meghan dengan bibirnya. Dilumatnya bibir lembut tersebut, menyesap rasa manis dari daging lembut itu. Sembari sebelah tangannya tetap mengusap pipi Meghan, Zander melumat bibir atas dan bawah Meghan bergantian.
Meghan memejamkan mata, meremas rambut pria itu. "Perasaanmu lebih baik sekarang?" ucapnya, menarik bibirnya sesaat. Maniknya dan manik Zander bertemu. "Kau puas hanya kau laki-laki yang pernah menyentuhku?"
Bibir Zander tidak tersenyum, lamat ia menatap gadis di depannya. "Kenapa kau berbohong, Meg."
"Aku ingin meruntuhkan egomu."
"Kau gadis nakal." Meghan tertawa menerima gelitikan Zander di perutnya. "Pelankan suaramu! Tere bisa bangun."
"Kalau begitu!" Meghan menarik napas tercekat. "Jangan menggelitiku, Zan."
"Aku harus menghukumku, Meg. Karena sudah membuatku tak keruan sepanjang hari."
Meghan tertawa lagi, menggigit bibir bawahnya agar tak berteriak. "Kumohon," ia menghindari gelitikan Zander. "Aku tidak tahan geli."
Zander meletakkan tangan di karet celana Meghan lantas menurunkannya. "Apa yang kau lakukan?"
"Karena kau tidak tahan geli, hukumanmu diganti." Pria itu melempar asal celana pendek Meghan. "Kau tidak memakai celana dalam?" Zander menyeringai.
"Kau keberatan?" Gadis itu melipat pahanya, menutupinya dari tatapan Zander yang mulai berkabut.
Zander Menyentuh paha Meghan, membukanya perlahan. "Jangan menutupinya, Meg." Semburat kemerahan menjalar ke setiap lapisan kulit gadis itu. "Kau milikku, Meg." Zander membiarkan jemarinya menyentuh semakin ke atas, ketika Meghan begitu terbuka hanya satu yang inginkan.
Meghan mendesah tatkala jemari Zander membuainya di bawah sana, mengusapnya begitu lembut. Tangannya meremas bantal.
Zander melupakan hal lain selain Meghan. Zander tidak melihat apapun selain Meghan yang setengah telanjang di hadapannya. Zander tidak merasakan apapun selain gairah terhadap gadis itu.
Darah mengalir deras di tubuhnya, membawanya ke perasaan mendamba yang tak mungkin dapat ditahannya. Zander menunduk, melumat bibir Meghan kembali.
Meghan pun tidak mungkin dapat memungkiri hasrat yang ada di dirinya, Zander adalah racun. Ia tahu. Namun ia tak mampu menolaknya. Menolaknya adalah sebuah siksaan. Gadis itu meremas payudaranya sendiri, mengerang tatkala Zander terus membelainya.
"Meg!"
"Hhmm?" Jilatan Zander di lehernya terasa nikmat, darahnya berdesir.
"Aku menginginkanmu!"
Meghan nyaris tak mampu berbicara, matanya terbuka sayu. Zander masih tak berhenti membelai bagian sensitifnya yang lembab. "Ada Tere." Ujarnya lemah.
"Aku berjanji melakukannya dengan lembut."
"Aku..."
"Demi Tuhan, aku tidak bisa menahannya, Meg." Kepala Zander pasti pening jika hasratnya tak tersalurkan. Meghan masih ragu, Zander tidak mau menyerah. Milik Meghan semakin basah, gadis itu juga terangsang. Zander memasukkan satu jarinya, hingga pinggul Meghan bergerak menginginkan irama. Pria itu mendorong pelan, kemudian menariknya lagi. Tusukan berikutnya lebih dalam.
"Aaaggghhh!" Meghan memejamkan mata, menaikkan pinggulnya saat Zander menarik jari.
Zander begitu keras, ia menambah satu lagi jarinya. "Jawab aku, Meg!"
"Aku..."
Meghan blingsatan tatkala Zander menambah lagi jemarinya jadi tiga. Rasa yang ia rasakan bercampur aduk antara perih dan nikmat. "Meg!!" Zander mendesis.
"Pintunya," desah Meghan. "Tolong kunci pintunya. Aku hanya mendorongnya tadi!"
Senyuman di bibir Zander adalah senyuman iblis. Pria itu bergerak cepat menutup pintu.
Bersambung...
Masih digantung juga???🤣🤣🤣🤣
Author nggak tanggung jawab, ya!
Vote nya ditunggu untuk apdet part berikutnya....😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro