Bagian 15
"Aku akan pergi setelah melihat sekretarismu." Tidak ada yang bisa dilakukan Zander untuk menghentikan Carla. Jika ia melarangnya, Carla hanya akan semakin mengolok-olok dirinya. "Biar aku yang membuka pintu." Carla meniup poninya, merasa terhibur malam itu.
Zander melipat tangan di dada, ia berdiri di belakang Carla. Tinggi Carla hanya sebahunya, dengan begitu Zander masih bisa melihat Meghan yang terkejut begitu pintu dibuka. Mata bulat gadis tersebut sontak membesar.
Zander mengumpat pelan melihat pakaian yang dipakai Meghan. Kemana Meghan mengenakan rok sependek itu. Zander tidak sempat bertanya teman yang ditemuinya tadi perempuan atau laki-laki.
Meghan mengerjap saat yang membuka pintu adalah seorang wanita. Zander tidak bercerita bahwa akan kedatangan tamu lain selain dirinya. Wanita itu cantik. Berwajah kecil dan berkulit putih mulus. Ia menawan sekali, terlihat jelas ia bukan wanita sembarangan.
Tiba-tiba hati Meghan seperti dicubit. Entah kenapa ia membandingkan wanita itu dengan dirinya. Sudah jelas wanita itu bukan tandingannya. Dari segi pakaianpun sudah berbeda.
"Maaf, sepertinya aku mengganggu," ujarnya setelah beberapa saat hanya berdiri diam. Pandangannya naik ke Zander yang juga tengah memperhatikannya. Zander tidak mengatakan apapun. Hal itu yang membuat cubitan di hatinya kian terasa sakit.
"Oh, tidak. Tidak." Carla menghalangi Meghan pergi. "Aku sudah selesai dengan Zander, kalian bicara saja. Pasti ada yang penting makanya kau datang malam-malam."
"Tidak terlalu penting." Meghan mengelak. "Kami bicarakan besok saja." Meghan menunduk lalu berbalik pergi.
*****
"Kenapa dia malah pergi?" Carla mengerut bingung, ia masuk lagi ke kamar Zander. "Bukannya kau bilang dia datang membawa berkas? Aku tidak melihatnya membawa apapun selain tas kecil yang hanya muat satu ponsel di dalamnya."
Zander kembali duduk di sofa. Ia ingin sekali mengejar Meghan dan menjelaskan siapa Carla. Meghan pasti memikirkan yang terburuk tentangnya. Tapi jika Zander meraih Meghan tadi, Carla pasti tahu ada sebuah hubungan antaranya dan Meghan. Saat ini Zander tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Tidak boleh ada yang tahu Meghan bersamanya. Kalau berita tersebut sampai ke Gerald, kehidupan Meghan pasti terganggu. Yang dilakukan Zander semata-mata demi melindungi Meghan.
"Dia pemalu," dusta Zander. "Mungkin dia mengira kau kekasihku. Dia hanya tidak ingin mengganggu."
Carla berkacak pinggang dan menyelidik Zander dengan tatapannya. "Dia betul sekretarismu?"
"Aku bersumpah."
"Lalu kenapa pakaiannya seperti tadi?"
"Jika di luar jam kerja aku tidak peduli apa yang dipakai karyawanku. Itu urusan mereka." Padahal yang sebenarnya adalah Zander geram melihat rok pendek yang dipakai Meghan. "Bagiku yang penting pekerjaannya di kantor bagus."
''Benar juga, sih," Carla mengangguk setuju. "Siapa namanya?"
"Untuk apa kau tahu namanya?"
"Ck, kau pelit sekali. Tenang saja, aku bukan tukang santet."
"Namanya Meghan."
"Namanya bagus. Gayanya juga keren. Aku suka padanya."
Zander mendengus. Entah sampai kapan Carla di kamarnya. Gara-gara dia Meghan jadi pergi. Harusnya sekarang ia bisa bersama Meghan. Yang ada sekarang dirinya harus memikirkan alasan untuk Meghan agar tidak berpikiran macam-macam.
"Aku mengantuk, Car."
Carla tersenyum penuh arti. "Bilang saja kau kesal karena teman perempuanmu pergi."
"Kalau sudah tahu kenapa masih tidak meninggalkanku sendirian saja," inginnya Zander melontarkan kata-kata tersebut tapi ia menggantinya dengan. "Sekarang aku benar-benar butuh istirahat. Carilah kamar lain untukmu sendiri."
Carla merengut kesal. Wanita itu memelerkan lidahnya kemudian pergi.
Begitu Carla keluar, Zander langsung mengunci pintu. Ia mengambil ponselnya kemudian menelepon Meghan. Nomor gadis itu sibuk. Zander menunggu sepuluh menit untuk menghubungi ulang. Nomor Meghan masih sibuk. Bahkan setelah dua puluh menitpun nomor tersebut masih sibuk.
Zander mengumpat. "Siapa yang diteleponnya sampai selama itu?" Zander belum bisa tidur kalau belum berhasil menelepon Meghan. Sampai satu jampun akan ditunggunya.
Kopinya yang masih tersisa setengah diteguknya sampai habis. Zander membaringkan tubuhnya yang panjang di sofa sembari memeriksa email masuk. Kakinya keluar sebagian dari sofa karena sofa tak dapat menampung seluruh kakinya. Sekitar satu jam kemudian, Zander mencoba lagi.
"Halo." Yang didengar Zander bukan suara Meghan.
"Saya ingin bicara dengan Meghan."
"Oh, kakak sudah tidur. Ponselnya ketinggalan di ruang tamu. Ini adiknya. Perlu kubangunkan kak Meghan? Adakah hal penting yang ingin Anda katakan?"
Zander memijit keningnya. "Tidak ada. Besok saja kutelepon lagi."
*****
"Pagi." Demira menyapa Meghan ketika langkahnya memasuki lobi. Wanita itu tampil dengan model rambut baru, ia memangkasnya pendek serta memberinya warna coklat pudar.
"Pagi juga, Demira." Meghan memberinya senyuman lebar. Sejak Demira tahu Meghan bekerja sebagai sekretaris Zander, gadis itu menjadi semakin ramah. Meghan tidak terlalu memikirkan apa yang dikatakan Sesil tentang Demira. Selama Demira tidak mencari masalah dengannya, tidak ada salahnya mereka berhubungan baik. Apalagi mereka bekerja di perusahaan yang sama. "Rambutmu bagus," ujar Meghan jujur. "Kau tampak lebih segar."
Demira memegang rambutnya sembari membalas senyum Meghan. "Terimakasih, Meg."
"Pak Zander sudah datang?" Meghan bertanya pelan.
Demira mengangguk. ''Lima menit yang lalu."
"Bagaimana wajahnya?" Meghan hanya bercanda, ia tidak serius menanyakan hal tersebut.
"Ganteng seperti biasa."
Meghan tertawa dengan jawaban itu. Pagi tadi Tere memberitahunya Zander menelepon. Tadi malam, setelah selesai mengobrol dengan David, Meghan tidak ingat membawa ponselnya ke kamar. Ia meninggalkannya di ruang tamu sementara dirinya pergi ke kamar. Tapi syukur juga ia tidak melihat panggilan itu, Meghan agak malas berbicara dengan Zander. Apalagi saat itu dia mengantuk sekali.
Meghan meletakkan tasnya di atas meja, menghidupkan komputer kemudian memesan kopi untuk Zander. Meghan mengeluarkan jadwal Zander selama seminggu ke depan. Ia merapikan kemeja navy nya lebih dulu lalu mengetuk pintu ruangan Zander.
Zander mempersilahkannya masuk. "Ini jadwal Bapak untuk satu minggu ke depan." Meghan meletakkan kertas yang telah diprint nya itu ke atas meja Zander. "Jika ada tambahan atau perubahan, nanti saya beritahu bapak. Untuk sementara masih seperti itu."
Sedikitpun perhatian Zander tidak ada ke kertas yang diserahkan Meghan. "Kopiku?"
"Masih dibuat, Pak. Mungkin sebentar lagi."
"Masalah tadi malam."
"Saya mengerti, Pak. Tidak perlu merasa tidak enak. Saya tidak papa, serius."
Zander menggoyang-goyang pulpen yang tengah dipegangnya. "Sedikitpun tidak masalah bagimu?" Zander tidak ingin Meghan salah paham. Tapi Zander pun tidak berharap Meghan malah tak peduli sama-sekali.
Meghan menunduk kecil. "Apapun yang Bapak lakukan, bersama siapapun itu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan saya." Kata Meghan. Memang ada rasa kesal di hati Meghan tadi malam. Ia sudah capek pergi ke sana hanya untuk pulang begitu saja. Tentang wanita cantik yang bersama Zander, itu bukan haknya untuk marah. Toh ia dan Zander tidak ada hubungan yang saling mengikat. Sempat ada perasaan kecewa, namun Meghan segera menepisnya. Membangun harapan terlalu tinggi hanya akan membuatnya jatuh. Meghan tahu harus berbuat apa.
Zander sudah menyusun kalimat yang ingin dikatakannya pada Meghan, tapi karena Meghan tidak merasakan apapun, Zander batal mengatakannya.
Zander mengangguk. "Tinggalkan saja kertas-kertas itu. Nanti kuperiksa.''
"Baik, Pak."
Meghan pamit undur diri, gadis tersebut kembali ke mejanya. Meghan menggeleng. "Berhenti memikirkan Zander!" Ucapnya pada diri sendiri. Selanjutnya ia mulai mengerjakan pekerjaannya.
*****
Karena Zander sudah keluar lebih dulu untuk makan siang, Meghan pun pergi. Ketika ia sedang di lift, ponselnya berbunyi.
"Ya, Dav?"
"Mau makan siang bersama?"
Meghan melirik jam tangannya, masih sempat makan siang di luar. "Boleh. Tapi jemput aku, ya."
"Ok! Kau di mana?" Meghan menyebutkan alamat kantor Zander. "Kau bekerja di perusahaan Zander?"
"Hhhmm."
"Sejak kapan?"
"Masih baru. Belum ada seminggu."
David berdecak. ''Kau tidak cerita padaku."
"Aku baru saja memberitahumu." Meghan melambaikan tangan pada Demira. "Kutunggu di lobi, ya."
"Menunggu seseorang?" Demira ikut menunggu di lobi, ia juga akan makan siang di luar.
"Iya," jawab Meghan sekedar.
"Pacarmu?"
"Bukan. Teman."
Tak lama kemudian mobil David berhenti tepat di depan Meghan dan Demira. David membuka setengah kaca mobilnya. "Masuk, beb."
"Aku duluan, ya." Meghan tersenyum pada Demira.
Demira mengangguk. "Temanmu ganteng." Bisiknya pada Meghan.
"Dia masih lajang." Bisik Meghan juga. Meghan masuk ke mobil David.
David memajukkan mobilnya lantas bertanya. "Apa yang kalian bicarakan? Gadis tadi tiba-tiba tersenyum padaku."
Meghan terkekeh. "Sepertinya dia tertarik padamu."
David mengerang. "Apa yang kau katakan padanya?"
"Kubilang kau masih lajang."
"Ya, Tuhan."
"Apa yang salah? Kau kan memang masih lajang."
"Berhenti membahas tentang aku! Sekarang katakan kenapa kau bisa bekerja di perusahaan Zander?"
"Kau kenal pada Zander?"
"Kakekku pernah mengenalkan dia padaku, kalau kau lupa. Lagipula siapa yang tidak nengenal Zander. Hartanya di mana-mana. Bagiamana dengan pertanyaanku tadi?"
"Aku mengirim surat lamaranku," kata Meghan berbohong. "Aku beruntung, aku direrima setelah melakukan interview." David sepertinya percaya, pria itu tidak menanyakannya lagi.
"Kalau begitu selamat untukmu. Semoga kau nyaman bekerja di sana.''
"Terimakasih. Aku juga berharap begitu karena gajinya lumayan." Ponsel Meghan berdering. Keningnya berkerut, Zander meneleponnya.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro