Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 13

Sebelum tidur Meghan menyiapkan pakaiannya untuk besok. Meghan tak ingin terlambat datang ke kantor Zander. Kemeja pas badan warna Lavender dan rok pensil abu-abu menjadi pilihannya. Ia menyisihkannya ke tempat lain agar besok ia tidak lupa. Setelahnya baru ia bersiap-siap tidur. Seperti biasa, baju tidur kebanggaannya tak pernah lupa. Kaos kebesaran dan celana katun pendek.

"Kakak mau ke mana?" Pagi harinya, Tere terkejut melihat penampilan Meghan. Pakaian rapi dengan rok menutupi kemeja, rambutnya diikat ekor kuda tinggi, lengkap dengan sepatu dan riasan sederhana. Biasanya pagi seperti ini Meghan masih molor di atas kasur, paling-paling bangun kalau perutnya lapar. Meghan tidak heran adiknya terkejut.

"Kakak udah dapat kerja," Meghan mengerlingkan matanya, ia berputar di depan Tere. "Bagaimana?"

Tere meletakkan ke atas meja makan sop yang baru saja dibuatnya, ia sudah lama tahu bahwa kakaknya memang cantik. Apalagi sudah berdandan, tak ada yang meragukan kecantikannya. "Pakai baju seperti itu kakak terlihat seperti sekretaris bos-bos yang di Tv. Sangat cocok. Kakak jadi sekretaris, ya?"

Meghan mengendikkan bahu. Ia menarik kursi lantas duduk. Aroma masakan Tere sampai ke hidungnya lu ia mendesah, baunya harum. "Aku belum tahu," ujarnya sembari menyendok nasi ke piringnya. "Doakan saja agar Zander memberiku pekerjaan bagus. Supaya gajinya juga bagus. Lumayan untuk menambah-nambah uang kita."

Tere ikut duduk, ia melipat tangannya, agak tertarik dengan cerita Meghan. "Zander siapa, kak?"

"Pria yang sebentar lagi jadi bosku."

"Yang naik mobil cantik kemarin malam, ya?"

Meghan berhengi mengunyah. "Kok kau bisa tahu?"

"Aku hanya menebak."

"Makan sarapanmu," kata Meghan menunjuk piring Tere yang sudah berisi nasi. "Sop yang kau masak lumayan enak."

"Serius?"

"Hhmm."

"Kalau setiap pagi kakak pergi kerja, biar aku saja yang membuat sarapan."

"Kau yakin?"

"Iya," Tere tersenyum lebar. "Kakak yang cari uang, aku mengurus rumah."

"Baiklah," Meghan mengangguk. ''Kalau begitu kau harus belajar masak."

''Iya, kak."

*****

Meghan meminta taksinya berhenti saat tiba di alamat yang telah diberikan Zander. Setelah memberi ongkosnya, ia turun dari taksi. Meghan memperhatikan gedung tinggi di depannya, bergantian dengan kartu yang ia pegang. Kalau menurut kartu itu dia sudah benar.

"Ah sudahlah. Kalau aku salah aku bisa keluar, toh masuk tidak bayar." Meghan berdialog sendiri, ada sedikit keraguan di dalam hatinya. Pasalnya gedung yang ia jumpai begitu besar dan tinggi. Mungkinkah perusahaan Zander sebesar ini?

Rambut ekor kuda bergoyang ke kanan dan kekiri ketika ia berjalan. Langkahnya pasti walau hatinya tak sepasti langkahnya. Cara Meghan membawa dirinya semakin mendekati gedung besar itu, seakan dirinya telah terbiasa berada di sana. Terbiasa keluar-masuk sesuka yang dia mau.

Pintu kaca terbuka otomatis tatkala ia mendekat. Sedikitpun langkah kakinya tak ragu. Suasana di dalam gedung itu sangat sejuk dan harum. Lantai dan dindingnya begitu bersih. Semua orang yang ada di dalamnya berpakaian rapi. Bahkan tukang bersih-bersihnya pun tak kalah rapi. Dalam hati Meghan bersyukur tidak datang dengan kemeja usang dan jeans pudar. Sebelum kartu Zander sampai ke resepsionis, Meghan pasti disuruh keluar.

Meghan pergi ke resepsionis lalu memberi kartu Zander. Seperti yang dikatakan pria itu, wajah wanita bertag name Demira tersebut langsung berubah. Senyum yang awalnya tidak ada kini tersungging begitu lebar. Demira memanggil satpam yang berjaga di pintu masuk.

"Antarkan ibu ini ke ruangan pak Zander."

"Mari, Bu.'' Satpam tersebut mengarahkannya ke lift. Sebelum mengikuti pria berseragam itu, Meghan mengucapkan terimakasih ke Demira.

Ruangan Zander berada di lantai 20. Itulah yang dilihat Meghan pada dinding lift. Satpam itu mengetuk sebuah pintu kayu yang tertutup. Seorang wanita pertengahan tiga puluhan membukanya. Sepertinya wanita itu sedang hamil, perutnya besar.

"Ibu ini sudah ada janji dengan pak Zander," ujarnya memberitahu.

Wanita itu mengangguk. "Tunggu di dalam, pak Zander sedang rapat."

Setelah Meghan duduk, satpam tersebut pergi. Wanita hamil yang membuka pintu tadi tersenyum padanya. "Kau yang bernama Meghan?"

"Iya. Kita saling mengenal?" Meghan melipat tangannya di paha.

"Pak Zander sudah memberitahuku tentangmu," katanya. "Kau yang akan menggantikanku. Aku Sesil." Sesil mengulurkan tangannya pada Meghan. "Sekretaris pak Zander."

"Meghan."

Sesil menekan satu nomor di telepon. Ia menyuruh OB mengantarkan segelas teh. "Dua bulan lagi aku melahirkan. Lusa aku berhenti jadi sektetaris Zander. Suamiku tidak mengijinkanku bekerja lagi setelah melahirkan. Aku akan memberimu nomor teleponku. Kalau ada hal yang tidak kau mengerti, kau bisa menghubungiku."

"Terimakasih. Aku sangat menghargainya."

Beberapa saat kemudian teh yang dipesan Sesil datang. "Minumlah," ujarnya. Ia mengambil sebuah berkas dari dalam laci. "Rapat pak Zander sebentar lagi selesai. Tunggu saja di ruangannya. Aku harus pergi. Sebelum resign ada berkas-berkas yang perlu kuurus."

Meghan mengira tempat dia duduk saat ini adalah ruangan Zander, ternyata tidak. Sesil menyuruhnya masuk ke sebuah ruangan lagi. "Lalu ini ruang apa?" Ada sofa besar dan meja kerja dari kaca di ruangan itu. Lemari-lemari tinggi tempat berkas-berkas penting berjejer di dindingnya. Meghan tidak bisa membayangkan akan seperti apa pekerjaannya nanti.

"Ini ruangan untukmu. Sementara ruangan pak Zander ada di balik pintu itu." Sesil menunjuk pintu kaca hitam yang tertutup. "Saat ini pintunya tidak dikunci, masuk saja. Paka Zander menyuruhmu menunggu di dalam, itu pesannya tadi."

Ruangan Zander bahkan lebih besar lagi. Dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan langit cerah, membuat ruangan tersebut langsung dipenuhi cahaya matahari. Aroma yang dihirupnya dari ruangan tersebut seperti aroma Zander. Ia seakan dapat merasakan kehadiran pria itu di sana.

Meghan berjalan ke dinding kaca. Dari sana ia dapat melihat penampakan kota di bawahnya, kendaraan tampak begitu kecil di matanya.

*****

Zander menyudahi rapat mingguannya. Anggota rapat yang lain memunggunya keluar lebih dulu baru kemudian menyusul. Zander menelepon Sesil dalam perjalanan ke ruangannya. "Meghan sudah datang?"

"Sudah, Pak. Seperti yang bapak minta, saya menyuruhnya menunggu di ruangan bapak."

Tanpa mengucapkan terimakasi, Zander mengakhiri telepon. Ia masuk ke dalam lift, menekan angka dua puluh. Setelah lift berhenti, Zander segera keluar.

Zander menemukan Meghan tengah menatap keluar melalui dinding kaca. Gadis itu tidak mendengar kedatangannya. "Maaf aku membuatmu menunggu," ujarnya, memecah lamunan Meghan. Ia menghampiri gadis tersebut.

Meghan berbalik. "Aku sedang melihat-lihat," ia mengatakan hal yang sudah Zander tahu. "Pemandangannya bagus dari sini."

"Karena itu aku membuatnya demikian. Kadang pekerjaan membuat pikiranku sakit, aku sering memandang dari sini. Rasa penatku sedikit berkurang." Zander melirik Meghan dari atas ke bawah. "Aku tidak mengira kau akan datang dengan berpakaian rapi seperti sekarang."

"Kupikir aku harus berpakaian rapi. Bagaimanapun aku ingin bekerja."

"Kau cantik dengan setelan seperti ini." Zander melepas jasnya, diletakkan di kursi kerjanya. ''Dan seksi."

"Apa yang harus kukerjakan?" Meghan ingin langsung pada inti kedatangannya. Jika ia membiarkan Zander merayunya terus, ia tahu akan berakhir ke mana.

"Sesil pasti sudah memberitahumu," seru Zander. Pria itu berdiri di samping Meghan. Dengan kedua tangan berada di dalam saku, ia menatap ke luar. "Karena melahirkan Sesil memutuskan untuk berhenti. Aku belum menemukan penggantinya. Karena kebetulan kau sedang mencari pekerjaan, kau saja yang menggantikannya."

"Tapi aku belum punya pengalaman jadi sekretaris, apalagi di perusahaan besar seperti ini."

"Kau tidak sendiri," Zander menatapnya. "Aku punya sekretaris lain. Tapi kaulah yang selalu di dekatku. Yang perlu kau lakukan hanya mengatur jadwalku, memilah email dan berkas yang masuk. Untuk sementara kau bisa menanyakan padaku bagian yang tak kau pahami."

''Sesil bilang aku boleh bertanya padanya."

"Itu lebih baik. Pekerjaanmu tidak sesulit yang kau bayangkan. Jangan khawatir."

*****

Sisa hari itu dihabiskan Meghan dengan mempelajari tugas-tugasnya. Sesil dengan sabar menjelaskan padanya hingga ke bagian terkecil sekalipun. "Kau mudah mengerti," ucap Sesil menyemangati Meghan.

"Kuharap begitu." Meghan sendiri tidak terlalu yakin.

"Pak Zander punya beberapa sekretaris. Semuanya punya tugas masing-masing. Yang aku dan kau lakukan adalah tugas yang paling ringan. Kita tidak perlu ikut membantu persentase, sudah ada sekretaris yang melakukannya. Masalah edit-edit data juga bukan tugas kita. Bisa dibilang yang kita ini adalah kacungnya pak Zander. Hanya mengurus keperluannya saja. Tapi gajinya tetap lumayan.'' Sesil tertawa disertai kerlingan mata. "Pak Zander sering keluar kota, bahkan luar negri. Biasanya pak Zander tidak mengajakku. Aku tetap di sini dan menyortir panggilan yang masuk untuknya. Kemungkinan besar kau juga begitu. Percayalah, bekerja dengan pak Zander itu enak. Asal tidak mudah sakit hati. Soalnya pak Zander kalau marah sering membentak. Apalagi kalau melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang, tanduknya bisa sampai empat."

Meghan meringis. "Semua sekretarisnya betah?"

"Huum. Gajinya lumayan, masih sesuai dengan bentakan pak Bos. Makanya tidak ada yang keluar. Sayang ditinggalin, di luar sana belum tentu ada gaji setinggi di sini. Kuncinya sabar-sabar saja. Walau nanti kau susah mengerti, pak Zander tidak sembarangan memecatmu. Dia menghargai usahamu untuk bertahan. Semangat, Meg."

Belum mulai bekerja saja, Meghan sudah merasakan perasaan tidak enak.

"Dan satu lagi," tambah Sesil. "Jangan berteman dengan Demira."

"Resepsionis?"

Sesil mengangguk. "Dia suka bergosip."

Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro