Bagian 12
Yeaiiiii🥳🥳🥳
Vote! Vote! Vote!
Komen! Komen! Komen!
Oh iya; aku mau kasih tahu kalau beberapa ceritaku yang sudah tamat sekarang aku post di Dreame juga. Yang pengin jalan-jalan kesana bisa mampir ke akunku. 'Dian Jesika'. Sama kaya akun wattpad ku, foto profilnya juga sama.
Dalam minggu depan aku bakal post cerita baru di sana. Tapi jangan khawatir, yang di wattpad nggak bakal aku tinggalin.
Yang penasaran boleh langsung cus ke app. Dreame ya, cintaa🥰🥰
Jangan lupa follow dan kasih love. Untuk yang sudah follow, kuingin peluk kalian satu persatu😘😘😘 kalian memang yang terbaik...
______________________
Kalau kemarin Meghan bisa kabur setelah bercinta dengan Zander, kali ini tidak bisa. Zander memeluknya erat, sampai Meghan dapat merasakan kulit pria itu yang hangat. Lagi pun, sebelum tidur tadi Zander mengunci pintu. Sepertinya ia takut Meghan kabur lagi. Zander belum ingi Meghan pergi, ia masih ingin bersama gadis itu.
Selimut tebal melingkar di sepanjang tubuhnya, Meghan masih telanjang. Meghan terlalu mabuk untuk memakai kembali gaunnya. Lagipula gaunnya itu tidak nyaman jika dipakai tidur.
Meghan memperhatikan Zander yang masih memejamkan mata. Ia ingin menyentuh wajah kokoh tersebut; namun menahan diri. Zander memang tampan, ia takkan menyangkalnya.
"Jangan terlalu serius menatapku," Zander tiba-tiba bersuara, disusul dengan matanya yang terbuka pelan-pelan. "Selamat pagi."
"Pagi. Kau sudah bangun?" Meghan menggeser mundur tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan dada Zander yang hangat.
"Kenapa?" Gantian Zander yang memandang Meghan. "Kau ingin kabur, kan?"
Zander memang sengaja mengunci pintu. Ia tahu Meghan tidak bisa pergi. Dengan ia melontarkan pertanyaan seperti itu terdengar seperti dirinya tengah mengolok-olok Meghan. "Tidurmu sangat pulas." Meghan memilih mengubah topik pembicaraan.
"Aku selalu terlelap jika ada wanita cantik di sampingku," canda Zander. Padahal sudah lama sejak terakhir dia bersama seorang wanita. Makanya saat gairahnya begitu besar terhadap Meghan, ia seperti mendapat angin segar. Zander hampir berpikir ia tidak menyukai perempuan lagi.
Senyum tipis menghiasi bibir Meghan yang gincunya telah pudar akibat ciumannya dengan Zander. "Itu berarti kau tidak sulit tidur nyenyak. Tinggal panggil saja wanita cantik menemanimu." Lelaki seperti Zander tidak akan sulit mendapatkan wanita. Bisa dibilang ia tidak kekurangan hiburan. Rupa dan uang dia punya. Jika dua hal tersebut sudah ada, banyak wanita yang menginginkannya.
"Kau benar," ujarnya dengan nada provokatif. "Berhubung sekarang ada kau, aku tidak perlu mencari yang lain lagi."
"Kau yakin puas dengan satu wanita?" goda Meghan. Jemarinya naik ke rahang Zander, sentuhan itu merambat turun ke jakunnya yang naik turun.
"Bagaimana dengan dirimu sendiri?" Zander membiarkan jemari lembut Meghan menyentuhnya. Bukan hanya di leher, Zander ingin tangan itu menyentuhnya di semua bagian tubuhnya. Hasratnya keluar hanya dengan merasakan jemari Meghan. Zander tidak tahu apa yang telah terjadi padanya.
"Hhhmm?"
"Kau tidak yakin mampu memuaskanku?"
Meghan terdiam sesaat, ia larut dalam gerakan sentuhannya. "Aku tidak tahu. Kau adalah lelaki pertama untukku. Aku tidak punya pengalaman menyenangkan pria."
"Kau membuatku senang hanya dengan tersenyum."
Meghan menggigit bibir bawahnya, merasa senang mendengar rayuan Zander. "Sudah berapa wanita kau buat patah hati dengan kata-kata manismu?"
"Aku mengatakannya hanya padamu."
Haruskah Meghan percaya? Zander lebih berbahaya dari yang terlihat. "Kau bilang kau mudah bosan."
"Karena itu pikirkan cara agar aku tidak bosan."
"Bagaimana kau tahu aku ingin selalu bersamamu? Mungkin saja aku ingin menjauh."
"Kita sudah membicarakannya, Meg. Rumahmu takkan kembali jika kau tidak menuruti permintaanku."
"Bagaimana kalau aku tidak bisa menyenangkanmu lagi. Mungkin suatu saat kau akan bosan denganku dan mencari perempuan lain. Rumahku tetap akan kembali, kan?"
"Aku sudah bilang, Meg. Saat aku bosan, saat itulah kita selesai. Rumahmu menjadi milikmu."
"Aku akan mengingat janjimu."
Zander meraih tangan Meghan, ia membawa tangan itu ke bagian tubuhnya yang mengeras. "Aku ingin kau menyentuhnya, sayang."
Wajah Meghan merona. Ia dapat merasakan milik Zander yang keras. "Apa kau selalu seperti ini?"
"Aku selalu menginginkanmu, Meg."
"Kita baru melakukannya beberapa waktu lalu."
"Tubuhku memiliki keinginannya sendiri." Selimut yang menutupi tubuh telanjang Meghan disibakkannya hingga tubuh Meghan tidak tertutup lagi. Zander mengangkat Meghan ke atasnya. "Dan saat ini aku menginginkanmu." Zander memasukkan miliknya yang keras ke tubuh Meghan yang lembab. "Kau basah, sayang."
Meghan agaknya malu dengan gairahnya sendiri. Ia mendesah saat milik Zander mengisinya sepenuhnya. Dengan posisi seperti ini kejantanan Zander terasa semakin besar dan dalam. Ia bergerak pelan.
Zander meremas kedua payudara Meghan, sesekali memilin putingnya. Meghan terus menaik-turunkan bokongnya, ia menggigit bibirnya sendiri agar tidak meracau.
"Ya, Tuhan, Meg." Zander mengerang, ditariknya wajah Meghan agar menunduk. Meghan mengira Zander ingin menciumnya namun ia salah. Zander melumat keras putingnya hingga Meghan menjerit. Meghan meremas selimut, ia tidak bisa berhenti tapi ia mulai tidak sanggup lagi.
"Zanndd," Meghan terus mendesah, payudaranya terasa ngilu.
"Jangan berhenti!" Zander menggeram.
"Aku..."
Zander menghempaskan tubuh Meghan ke tempat tidur lalu menindihnya. Kaki gadis itu dibukanya lebar lantas menghunjam. Meghan menggelinjang. "Eeengggh...hhmmpp."
Zander mengerang saat mencapai orgasmenya. Napasnya naik-turun tidak stabil, dipeluknya tubuh gadis itu. "Aku menyakitimu?" tanyanya serak. Meghan menggeleng, napasnya sendiri tidak menentu.
Berguling dari tubuh Meghan, zander menarik selimut untuk mereka berdua. Ia mengusap kening Meghan, tersenyum melihat rasa puas di wajahnya yang cantik. Wajah itu yang telah memikatnya hingga tak dapat berhenti menginginkan Meghan.
Meghan menghela napas. Ia seperti melakukan pekerjaan berat, tenaganya habis terkuras. Lama mereka saling diam, belum ingin merusak momen tersebut dengan hal yang tidak penting.
Saat sedang diam seperti itu, sesuatu terlintas di pikiran Meghan. Ia menoleh ke samping, ke Zander yang juga tengah menatapnya.
"Kenapa?" tanya Zander dengan nada suara serak.
"Bisakah kau memberiku pekerjaan?"
"Pekerjaan?" Kening Zander berkerut.
"Iya." Meghan mengangguk. Tidak mungkin ia tidak bekerja. Berapa pun gajinya itu lebih baik dari tidak melakukan apapun. Dengan begitu ia bisa mengumpulkan uang. Tidak peduli walau sedikit. "Aku bisa bekerja apa saja. Adikku kuliah, kebutuhannya banyak."
"Aku akan membiayai sekolah adikmu."
Sampai kapan? Meghan tidak tahu berapa lama Zander ingin bersamanya. "Aku ingin bekerja. Tak bisahkah kau membantuku."
Lamat Zander memandangnya, lalu ia tersenyum. "Datanglah besok ke kantorku."
Meghan mengangguk kesenangan. "Aku pasti datang."
Zander bergerak sedikit ke ujung tempat tidur, ia mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. Diberikannya kartu tersebut pada Meghan. "Tunjukan kartu ini pada receptionis di kantorku, mereka pasti langsung mengantarmu ke ruanganku."
*****
Zander memarkir mobilnya di halaman rumah orangtuanya. Tepat di samping mobilnya berhenti ada mobil sport putih. Zander mengenal siapa pemilik mobil tersebut. Kening Zander berlipat. Ia berdecak, mulai mengerti kenapa ayahnya menyuruhnya datang.
"Akhirnya kau datang juga." Serina, ibu Zander. Wanita itu menghampiri putranya. "Kami baru saja selesai makan malam." Semua orang memang masih duduk di kursinya.
Zander menunduk. "Maaf aku terlambat."
Gerald, ayah Zander. Beliau berdehem sembari melap tangannya dengan saputangan. "Aku sudah menduganya. Karena itu kami tidak menunggumu."
Hubungan Zander dan ayahnya rumit. Mereka tidak dekat namun Zander menghormatinya. Sejak Zander kecil, Gerald selalu menuntut kesempurnaan darinya. Zander hanya memiliki saudara, Clara. Clara adalah kakaknya. Clara pindah ke Filipina setelah menikah. Suaminya Damos bekerja di sana. Clara dan Damos menikah karena perjodohan. Pernikahan mereka adalah salah satu perjodohan yang tidak salah. Banyak perjodohan berujung tidak bahagia. Zander sendiri memastikan Clara bahagia. Jika tidak, Zander akan membatalkan pernikahan tersebut bagaimana pun caranya.
Di rumah, Zander dianggap sempurna sebagai anak laki-laki satu-satunya. Ia tidak pernah melakukan kesalahan. Atau lebih tepatnya, setengah mati ia berusaha agar dirinya tidak terjangkit masalah. Sejauh ini Zander berhasil. Bisnisnya sukses. Apapun yang dikerjakannya selalu membuahkan hasil. Gerald bangga pada putranya itu.
"Kau sudah makan?" Jika Gerald bertempramen keras, berbeda dengan Serina yang lembut dan keibuan. Carla pun demikian. "Malam ini Samantha ikut makan malam bersama kami. Kau tidak ingin menyapanya? Dia kesini untuk bertemu denganmu."
Zander sudah menduganya. Mobil sport putih di depan adalah milik Samantha. "Bagaimana kabarmu?" Zander menarik kursi di samping gadis itu. "Kudengar kau dokter muda sekarang."
"Samantha akan melanjutkan sekolahnya ke spesialis," timpal Gerald.
Samantha berwajah kecil, gadis itu sangat mudah tersenyum. "Doakan saja," ujarnya ramah. "Semoga semuanya lancar."
"Aku yakin kau pasti bisa." Zander mengangguk lantas melirik ibunya. "Nenek tidak ikut makan?" Zander belum mendengar ocehan cerewer neneknya.
"Ke kamar mandi," saut Serina.
"Ada apa kau mencariku cucu durhaka?" Beberapa tahun terakhir Zander selalu dipanggil cucu durhaka karena tidak pernah membawa perempuan ke rumah. "Kau ingin mengenalkan pacarmu?"
Zander berdiri untuk membantu neneknya duduk. "Bagaimana kabar kesehatan nenek."
"Sudah pasti tambah tua," tukasnya sambil melotot ke Zander. "Aku heran padamu? Kenapa kau tidak kunjung menikah? Apalagi yang kau tunggu?"
"Zander pasti punya alasan, Bu." Serina menenangkan mertuanya. "Masih ada waktu."
"Usiamu sekarang berapa?"
"33, Nek."
Nenek berdecak. "Aku tidak akan mati kalau kau belum menikah."
Zander duduk di sebelah nenek, ia memijit lengannya. "Mungkin karena itu aku tidak ingin menikah. Aku tidak mau kalau nenek meminggalkan kami."
Zander dipukul pakai tongkatnya. "Kau jahat sekali. Kau pikir aku tidak bosan di dunia ini. Aku ingin bersama kakekmu." Nenek menunjuk Serina. "Kau juga. Harusnya kau suruh putramu menikah. Dia melajang terus seperti tidak ada tujuan."
Serina meringis. "Zander pasti tahu yang terbaik untuknya, Bu."
"Kalian sama saja," sungut nenek.
"Sudahlah, Bu." Gerald bergumam. "Biar Zander mencari yang terbaik. Lagipula aku tidak ingin perempuan yang jadi menantuku kelak berkelakuan sembarangan. Sekarang biarkan dia fokus pada pekerjaannya."
"Cari yang seperti ibumu," tambah nenek. "Walau ayahmu kurang ajar dia tetap sabar."
Serina dan Samantha tertawa kecil, tapi Gerald tidak. Wajahnya tetap datar. "Minimal seperti Samantha! Berpendidikan dan dari keluarga yang jelas."
Zander diam. Ia melepas kancing teratas kemejanya karena tiba-tiba merasa gerah. "Aku mandi dulu. Aku tidak sempat mandi setelah dari pabrik. Lanjutkan saja mengobrol."
Bersambung....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro