5 - Obrolan di Bawah Hujan
'Aku hanya harus merawat kenangan. Setidaknya agar bisa kunikmati daripada kutangisi.'
***
Quinn akhirnya menemukan seorang psikolog yang cocok dengannya. Dia mulai melakukan sesi terapi walau itu terasa berat. Lebih karena dia tidak kuat menceritakan setiap lukanya pada siapa pun.
"Quinn, manusia hanya peran di muka bumi ini. Takdir adalah alur kehidupan yang tidak bisa dihindari siapa pun. Suatu kejadian tidak selamanya terjadi karena kesalahan, tetapi memang itu sudah jalannya."
Dialog panjang itu bersemayam di kepala Quinn. Sang psikolog tahu bahwa Quinn adalah anak cerdas, dia hanya perlu lebih terbuka dan menerima untuk bisa berdamai dengan masa lalu.
"Dorrr!" Kares tiba-tiba muncul, kemudian meledakkan tawa saat cewek itu menoleh ke arahnya. "Aku udah libur belajar dua minggu nih, Bu Guru. UAS sebentar lagi, Emak dah siapin mantra."
Lama-lama Quinn mulai bisa beradaptasi dengan kecerewetan Kares.
"Maaf, aku udah ada jadwal sepulang sekolah nanti," tolak Quinn penuh sesal.
Ya, jadwal konsultasi dengan psikolog diadakan dua kali seminggu, pada Rabu dan Jumat.
"Yaaah ...."
"Soalnya ... aku harus ke psikolog," gumam Quinn yang tentu bisa didengar oleh Kares.
Dia pikir itu hal memalukan, tetapi reaksi Kares ternyata di luar dugaan.
"Semangat pokoknya! Aku yakin, kamu bisa lewatin semuanya, cewek kuat!" Kares melebarkan senyum sampai matanya menyipit.
Quinn bergeming di tempat. Kata-kata itu sukses menambah stok semangat di hatinya.
***
"Bagaimana sekolahmu hari ini, Sayang?" tanya Aleesha begitu putrinya masuk ke mobil.
"Baik, Ma," jawab Quinn.
Sejak kejadian itu, mamanya jadi lebih perhatian. Wanita itu juga selalu menemaninya menemui psikolog sampai rela meninggalkan pekerjaan. Padahal dulu mereka sama-sama sibuk. Lebih tepatnya, menyibukkan diri dari luka terbesar keluarga itu.
Sekarang Aleesha sadar, bahwa yang terluka atas kehilangan itu bukan hanya dirinya saja. Putrinya yang selalu terlihat kuat dan beraktivitas biasa, faktanya lebih terluka sampai harus memerlukan tenaga psikolog.
***
Sore di akhir Desember, hujan kembali turun membasahi bumi, tetapi kali ini matahari bersinar cerah. Dari balik dinding kaca rumahnya, Quinn berupaya menikmati suasana di luar.
Setelah melewati masa terapi, perlahan-lahan Quinn mulai bisa berdamai dengan traumanya. Meski tetap saja, ketika melihat hujan, kenangan memilukan itu berkelebat di kepalanya.
"Sayang, ada yang datang." Suara lembut Aleesha sedikit mengejutkan Quinn.
"Eh, siapa yang datang, Ma?" tanya Quinn.
"Kares," jawab Aleesha. Senyumnya melebar dengan tatapan menggoda. "Hmm, Mama kira kalian ada apa-apa. Soalnya dia itu ... perhatian banget sama kamu kalau Mama lihat."
Pipi cewek tinggi kurus itu terasa panas entah kenapa. "Mama, bukan kali," sangkalnya sambil menunduk.
Melihat putrinya tersipu, jelas saja tawa wanita 40 tahun itu meledak. "Ayo, dia di ruang tamu."
Keduanya pun bergerak menghampiri tamu mereka.
"Hai! Gimana kabarmu?"
Ah, Kares selalu menanyakan hal yang sama di setiap perjumpaan mereka.
"Baik." Quinn mengangguk lalu duduk di sofa yang berhadapan dengan Kares.
Kares langsung membuka tas ranselnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas.
"Aku mau pamer," kata cowok itu dengan senyum lebar.
"Huh, pantas aja kamu nggak kasih tahu aku hasil UAS-mu," cibir Quinn sembari memasang tampang sebal.
Tawa Kares meledak. Melihat bagaimana Quinn sebal, entah kenapa dia merasa bahagia sekaligus gemas. Sekarang cewek itu bisa lebih banyak berekspresi.
"Nih." Kares menyodorkan beberapa kertas LJK yang bertulis tinta merah di pojok kanan. Nilai terkecil 80 dan tertinggi 100. "Berkatmu, nilai raporku nggak bikin Emak kebakaran. Makasih, ya!"
"Wah, ternyata kamu yang dapat nilai 100!" pekik Quinn setelah menarik kertas jawaban pelajaran Olahraga. Di mata pelajaran itu dia cuma dapat 95.
Kares geleng-geleng. "Ck, ck, ck. Ternyata kepayahanmu dalam Olahraga nggak cuma pratik, tetapi juga materi," ledeknya.
Quinn langsung melayangkan tatapan tajam. "Nyebelin!"
Lihat, lihat, sekarang pipi cewek itu jadi memerah. Sontak saja Kares makin puas tertawa.
Tiba-tiba cowok itu berhenti tertawa, kemudian bangkit berdiri. "Ayo!" Dia mengulurkan tangan.
"Ke mana?" Quinn meletakkan lembar kertas tersebut sebelum menerima uluran tangan Kares.
Keduanya pergi ke luar rumah. Hujan makin lebat, tetapi cahaya senja tetap bersinar lembut. Tanpa ba-bi-bu, cowok itu menarik Quinn ke halaman. Hujan menyerbu mereka.
Genggaman Quinn pada tangan Kares menguat. Rasa takut dalam sekejap menyergap dan ternyata masih berhasil melumpuhkannya.
"Tenang aja, hujan nggak sejahat yang kamu kira," kata Kares dengan nada lembut. Tatapannya terlihat hangat dan menenangkan.
Quinn memejamkan mata. Dia mengatur napas sebisa mungkin, otaknya juga berupaya keras menghadirkan pikiran-pikiran positif.
"Luka itu tergantung bagaimana cara kita menikmatinya. Kamu pikir rasa sakit hanya bisa ditangisi? Kalau seperti itu, kamu akan tersiksa penyesalan dan penderitaan selamanya. Memang, mengikhlaskan itu menyakitkan. Karena menghapus kenangan itu sesuatu yang tidak mungkin, dan ... mencari pengganti itu seperti sebuah pengkhianatan." Setelah mengucapkan kalimat terakhir, Kares tersenyum dengan tatapan kosong.
Bayangan Rin kembali menghampirinya. Kares mendongak, menatap langit. "Namun, bukankah dunia nggak akan peduli meski kamu ingin mati hari ini? Kamu hanya harus berjalan, dengan membawa luka itu dan menemukan luka-luka baru."
Sekarang cowok itu menoleh pada Quinn dan senyumnya melebar.
Quinn membeku selama beberapa detik sebelum menyadari sesuatu. "Siapa orang di balik hujan itu?" tanyanya.
Kares mengernyit bingung.
"Kamu menyukai hujan bagiku agak berlebihan. Orang akan merawat kenangan dengan cara apa pun, kan?"
Kares tersenyum. "Harus kuceritakan, nih?" Dia melirik Quinn.
"Itu hakmu."
"Baiklah." Kares mengembuskan napas, sementara tubuhnya sudah basah kuyup. "Dulu aku sama sepertimu, nggak suka hujan walau nggak separah dirimu. Sampai kemudian, Rin membuatku menyukai hujan."
Rin? Satu nama itu membuat Quinn bertanya-tanya.
"Dia cewek periang, perhatian, dan penyayang yang begitu menyukai hujan. Tapi, dunia jahat padanya. Dia ... menderita kanker darah stadium akhir. Hari-harinya harusnya berat, tetapi senyum nggak pernah luntur dari wajahnya. Malah di antara kami, dialah yang paling kuat dan ceria."
Selama bercerita, senyum Kares tidak meluntur sama sekali. Pandangannya boleh mengarah ke mana pun, tetapi yang dilihatnya hanyalah wajah cantik Rin.
"Dia cewek yang kamu suka?" tanya Quinn takut-takut.
Kares mengangguk dengan semangat. "Kami malah jadi sepasang kekasih selama setahun, sampai akhirnya dia memutuskanku sesaat ... sebelum ajal menjemputnya."
Quinn tiba-tiba melepas genggaman mereka. Sekarang dia malah fokus pada rasa aneh yang mengganggu hatinya.
"Dia bilang, bahwa aku harus tetap hidup dan bahagia tanpanya," sambung Kares sambil kembali menerawang langit.
Benarkah seseorang yang telah kehilangan separuh hatinya bisa benar-benar mencari pengganti? Tiba-tiba hati Quinn menanyakan hal itu.
Quinn menggeleng.
"Kenapa?"
"Eh?"
Rupanya Kares menyadari gelagat anehnya.
"Ayo!" Cowok itu kembali menggenggam tangannya. Kemudian, mereka berlari-lari pelan di bawah air hujan.
Hujan memang mampu menenggelamkan apa saja. Tahu-tahu Quinn sudah ikut tertawa-tawa bersama Kares. Tahu-tahu dia sudah menyukai hujan dan basah-basahan. Tahu-tahu ... dia menyukai genggaman hangat Kares yang mampu menenangkannya.
Selama beberapa detik, Quinn terdiam sambil menatap genggaman tangan mereka. Dia lalu menggeleng, mengusir ego yang mulai menguasai.
Kares benar, aku hanya harus merawat kenangan. Setidaknya agar bisa kunikmati daripada kutangisi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro