MMH - Part 1 - 1.1 Pulang Kampung
Question of the day: Baca Bry-Eca dari tahun berapa?
vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado. Thank you
🌟
Katanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya, tapi tolonglah buat yang satu ini seenggaknya lima puluh kilometer jaraknya.
Badanku lunglai dengan koper di samping tubuhku begitu memasuki apartemen. Panas yang menyengat di luar sana menambah penderitaanku, sementara bocah kecil yang sudah mendahuluiku melemparkan helaian kain dari tubuhnya dan kini tinggal memakai bokser bermotif dinosaurus sambil berlari riang mengelilingi ruangan.
Aku bisa mendengar ibuku mendengkus dan mengatakan betapa anakku sangat mirip denganku saat kecil; sama-sama tidak bisa diam dan selalu penuh dengan tenaga seolah overdosis gula.
Akhirnya aku tahu alasan kenapa para ibu, tanpa pengasuh anak, tidak suka liburan. Alasannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena liburan tidak jauh berbeda dengan berada di rumah; kami masih harus mengurus keperluan anak, hanya upgrade tempat saja.
Butuh menjadi ibu untuk tahu kesulitan yang tidak pernah aku sadari sebelumnya. Alasan kenapa ibuku dulu selalu lebih lelah setelah liburan, bukannya lebih segar. Mengurus satu anak seperti Yehezkiel, anakku, saja sudah membuatku kelimpungan, apalagi ibuku yang memiliki empat anak. Atau kakak iparku yang memiliki suami seperti bayi berukuran jumbo, Agrata, yang tidak lain dan tidak bukan adalah abangku.
"Kiki, pick up your clothes, please. They belong in the laundry basket."
Bocah berambut dirty blonde itu tidak berhenti zooming, matanya masih berkilat penuh dengan euforia khas setelah liburan. Saat seperti ini, aku mementingkan ketenangan jiwa dan tidak lagi pendapat orang-orang mengenai cara mendidik anak atau tumpukan buku mengenai cara mengurus anak yang aku lahap saat hamil dulu.
"Kiki, nggak ada cokelat kalau kamu nggak beresin pakaian kotormu."
Yehezkiel berhenti seolah dia menginjak pedal rem dan langsung mengambil bajunya yang berceceran di lantai dan melemparkannya ke keranjang pakaian kotor yang ada di laundry room yang menyatu dengan kamar mandi. Setelah keluar, dia kembali berlari tanpa mengeluarkan kalimat jelas selain teriakan.
Tali tak kasat mata melilit dadaku setiap nihilnya respons dari Yehezkiel. Aku hanya dapat membuang nafas dari mulut dan mulai membuka koper berukuran medium yang aku bawa, padahal kami hanya menginap di hotel selama dua malam. Overpacking menjadi kebiasaanku setelah menjadi seorang ibu. Kamu tidak tahu kapan anakmu menumpahkan sesuatu ke baju atau panasnya udara berkontribusi ke banyaknya baju yang basah karena keringat. Selain karena memang anakmu yang sudah aktif dari sananya.
Belum lagi banyak mainan anak yang harus dibawa karena pengalamanmu tidak membawa sesuatu dan berakhir harus mendengar tangisan yang membuatmu merasa seperti ibu paling kejam di dunia. Jadi, lebih baik aku berjaga-jaga untuk segala situasi sebelum terjadi bencana lokal.
"Bry," panggilan dari dalam kamar membuatku sadar kalau tidak hanya kami berdua yang ada di dalam apartemen. "Gue aja yang beresin koper lo. Barang-barang lain juga udah gue kirim ke Indonesia, tinggal koper buat pergi aja ntar."
"Sisil, personal assistant tersayang, gue bisa apa tanpa lo?"
Kepala Sisil menyembul dari pintu kamarku. Rambut cokelat terangnya menjuntai lalu mataku melihat cengiran pongah sambil berkata, "You can't do nothing, boss." Dia lalu beralih kepada Yehezkiel yang berlari sambari berteriak ke arahnya, "Hi, gantengnya tante. Siap buat balik ke Indonesia?"
Anakku hanya memeluk kaki Sisil dan mengangguk semangat.
"Teddy bear mau dimasukkin koper ada dipegang, Ganteng?"
Yehezkiel merenggangkan jari gembulnya dan menggoyangkan ke kanan lalu kiri sebagai jawaban.
Sisil mencibir saat pancingannya tidak membuahkan hasil. "Ew, Kiki keringetan sampai lengket. Mandi," katanya sambil berpura-pura memegang punggung Yehezkiel dengan ujung jari telunjuk. Bocah yang memang tengah mandi keringat itu hanya terkikik geli lalu mengikuti saran Sisil dengan masuk ke kamar mandi.
Suara keran yang memenuhi bathtub terdengar jelas dan juga suara bebek yang sudah heboh dipencet oleh bocah itu.
"Setelah koper ini, ada lagi nggak yang perlu diurus?" tanyaku ketika Sisil duduk di sebelah koper dan mulai mengeluarkan isiannya.
"Mental lo."
"Ugh, itu belum siap sampai sekarang. Gue belum kabarin siapa-siapa."
"Nyokap?"
"Gue masih didiemin. Yang dia tanya paling kabar cucunya aja." Aku berjalan menuju dapur setelah mengintip melalui pintu kamar mandi yang terbuka. Yehezkiel sudah berada di dalam bathtub dan mencipratkan air ke segala arah. Tujuanku selanjutnya adalah dapur dan air dingin. Aku perlu sesuatu untuk meredakan panas yang tidak tanggung-tanggung saat musim panas.
Aku berdecak puas saat satu gelas habis aku tenggak dan sejuk di tenggorokanku merambat ke seluruh tubuh. Aku tahu ini tidak akan bertahan lama jika aku tidak menyalakan pendingin ruangan, tapi sekalian saja aku membiasakan Yehezkiel dengan suhu yang lebih tinggi jika ingin dia terbiasa dengan suhu di Indonesia.
"Lo nggak apa balik ke Indonesia?" Kali ini aku gantian bertanya kepada Sisil yang sudah menghabiskan banyak waktunya di negeri kangguru dan tidak ada niatan untuk kembali ke Indonesia sebelum rencanaku ini aku jatuhkan kepadanya dua tahun lalu.
Tangan Sisil bergerak dengan lincah memisahkan baju kotor dan mainan Yehezkiel ke berbagai kategori; yang akan dibawa saat naik pesawat, yang bisa dimasukkan ke dalam koper kabin, dan yang bisa dimasukkan ke dalam koper yang akan masuk ke bagasi.
Dalam hatiku, aku bersyukur Sisil setuju saat aku menawarkan pekerjaan juga jika dia mau kembali ke Indonesia. Kalau dia menolak, aku tidak tahu harus mencari asisten pribadi yang secekatan dia di mana lagi. Plus, kami berteman sejak aku memutuskan untuk pindah ke Australia untuk mengejar karier. Dia mahasiswi yang perlu uang sedangkan aku memerlukan orang untuk meluruskan kekacauanku.
Kami dipertemukan saat acara 17 Agustus ke kedutaan. Aku tidak langsung menawarkan pekerjaan, tapi kami klik sejak pertama berkenalan dan kecekatannya dalam organizing membuatku menawarkan pekerjaan sebagai asisten saat aku mulai menandatangani kontrak dengan beberapa brand ternama.
"Gue perlu balik ke Indonesia juga, sih. Emak, Bapak gue beneran bakal coret gue dari KK kalau nggak pulang-pulang. Lo sama bapaknya Kiki gimana?" Pertanyaan terakhir diajukan oleh Sisil dengan bisikkan agar tidak terdengar oleh anakku yang masih asyik bermain air. Dia masih akan berada di sana sampai ada yang mengangkatnya dari bathtub.
Aku menuangkan segelas lagi dan menjawab sebelum minum, "Besok dia yang anterin kita ke bandara. Gue udah bilang ke lo kan, ya?"
"Udah. Lo juga bilang dia bakalan dateng setiap beberapa bulan sekali buat ketemu sama Kiki dan kalian bakalan rajin video call."
"Supaya Kiki nggak lupa wajah bapaknya," candaku.
"This co-parenting thing is really weird."
"No kidding."
14/8/24
Beda dikit ya sama yang dulu. Sekarang Bry jadi ibu satu anak hehe
As usual, cerita ini akan ada dua buku. Buku pertama FREE di wattpad dan buku kedua juga bisa dibaca gratis kalau target bintang (3.2K) dan komen (1.2K) di tiap part sampai. Biasa aku kasih jarak 6 bulan dari buku 1 tamat di wattpad. Cuuuus yang mau baca gratis bisa ninggalin jejak :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro