Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tujuh Tahun Tidak Lama, Kan?

Angga's POV

Ada banyak alasan aku lebih memilih untuk pergi dari negara kelahiranku. Kalau Audrey benar-benar peduli, mungkin gadis itu masih mengingat ucapakanku dua bulan sebelum aku ada di sini. Intinya aku memang tidak ingin dipaksa melanjutkan studi ke luar negeri. Namun malam itu, ketika apa yang paling aku takuti akhirnya datang juga, saat itu aku tahu memang seharusnya aku yang mundur perlahan.

Dua bulan yang lalu Audrey sibuk mengikuti tes ini itu. Perjuangan mendapat PTN itu memang luar biasa menguras tenaga. Aku tahu mungkin saat itu aku salah, aku lebih memilih membiarkan Audrey fokus dan tidak mengganggu gadis itu. Sayangnya, kata semangat pun tak kunjung aku ucapkan. Alasannya satu, Audrey bahkan tidak melihatku sebagai sosok yang diharapkan untuk memberinya semangat.

Biar kuceritakan sedikit, ah tidak, mungkin agak banyak.

Audrey dan aku resmi menjalin kata sakral anak muda zaman sekarang, pacaran. Oh tentu tidak sekarang, itu hanya terjadi selama lima bulan dan jelas sudah berakhir. Enam bulan yang lalu akhirnya aku bisa berbicara dengan Audrey.

Ah kalian mungkin sudah tahu bagaimana aku yang menitip minuman di restoran cepat saji, aku yang membantu Audrey membawa plastik berisi makanan teman-temannya, dan aku yang tidak sengaja memberikan jaketku pada Audrey sore itu. Tidak sengaja, karena aku tidak pernah mengira hujan akan berpihak sore itu.

Audrey itu definisi sebuah kebetulan yang aku buat-buat. Aku sudah mengenal Audrey jauh sebelum gadis itu tahu keberadaanku. Mungkin Audrey hanya tahu aku si teman les yang pasang wajah datar setiap waktu.

Sedangkan yang aku tahu, Audrey adalah teman di sekolahku yang terlihat sangat manis ketika tersenyum. Pertemuan pertama kami bukan di tempat bimbel, aku pernah menolong Audrey saat kami menginjak tingkat pertama di SMA.

Kisah yang klise, aku bertemu Audrey karena ia adalah teman dari sepupuku. Aku belum cerita, ya? Namanya Hadrian Narendra, si tiang dengan tingkah laku yang tidak dapat diprediksi.

Dua tahun yang lalu, aku dan Ian dan juga dua teman sekelas kami yang lain tengah berjemur seperti ikan asin di siang hari. Salah satunya Revo. Si anak akselerasi yang kelewat pintar itu lebih muda satu tahun dari kami.

Omong-omong masalah Audrey, siang itu kami tengah dihukum karena kegaduhan yang kami perbuat di tengah-tengah kelas. Siang itu juga Audrey dengan tidak sengaja melewati lapangan dan terjatuh tepat di samping tiang bendera. Gadis itu terinjak tali sepatunya sendiri yang sudah copot sejak aku memperhatikannya berjalan melewati lapangan.

Mungkin ini alasan Audrey tidak mengingatnya, hal ini sangat memalukan. Ditambah lagi Ian yang tertawa keras secara spontan.

Bagaimana reaksi Audrey? Jelas gadis itu marah. Ia datang dan berjinjit di depan Ian, tangannya mengepal dan meraih dagu Ian yang terbilang tinggi untuknya. Ah bahasaku kurang baik untuk menceritakan ini, maksudku Audrey melayangkan kepalan tangannya itu tepat di dagu Ian. Sayangnya, tenaga Audrey memang sangat lemah. Mungkin bagi Ian hal itu hanya terasa seperti cubitan. Audrey memang tidak benar-benar melakukannya, sih.

Aku hanya mampu tersenyum melihat mereka yang mulai bercekcok di tengah lapangan. Kalau Revo jangan ditanya, laki-laki itu memilih mengumpat dalam diam dan menatap bosan ke arah Ian dan Audrey.

Pikirku saat itu, Audrey sedekat ini dengan Ian? Namun hal itu lebih mudah hilang ketika lagi-lagi aku melikrik ke kanan dan melihat Audrey yang memasang raut sebal karena Ian semakin menjadi.

Di siang hari yang terik itu, beberapa anak rambut Audrey terjatuh dari ikatannya. Sumpah, pemandangan gadis cantik di sebelahku itu benar-benar seperti air dingin saat dijemur karena hukuman. Jari jemari keringku ini rasanya gatal sekali ingin membenarkan posisi anak rambut Audrey yang berterbangan. Tidak, aku masih tahu sopan santun.

Audrey itu manis. Pipinya sedikit berisi, matanya sedikit bulat, rambutnya sedikit lebih panjang sampai menyentuh pundaknya, dan terakhir, mungkin rasa suka Audrey padaku itu hanya ada sedikit.

Itu alasanku mengakhiri semuanya. Sore itu aku benar-benar menyesal sampai rasanya aku tidak tahu apakah lidahku yang telah kelu atau otakku yang kosong.

Sore itu juga aku melihat punggung Audrey yang bergetar ketika aku memilih meninggalkannya terduduk sendiri di tengah keramaian kafe.

Drey, aku emang sebegitu cemburunya dengan Ian. Tapi aku lebih sakit ketika tahu kamu udah suka sama Ian sejak SMP.

Mama bilang semuanya adalah pilihan yang paling tepat, dimulai dari aku yang akhirnya menerima untuk pulang ke tempat kelahiranku dan tinggal dengan Mama Papa sampai aku yang akhirnya memutuskan hubunganku dengan Audrey.

Mama selalu tahu apa yang terjadi dengan hidupku. Aku memang selalu membicarakan ini itu dengan Mama. Ketimbang bicara dengan Papa, aku lebih memilih menanyakan hal-hal tentang Audrey pada Mama. Maksudku, kan mereka sama-sama seorang perempuan pasti Mama lebih mengerti, kan?

Seperti saat ini, sepulang kelas pertama di hari pertama kuliahku ini aku memilih untuk mampir ke kafe milik Mama. Mamaku adalah pebisnis dari begitu banyaknya usaha kafe yang ada di salah satu kota kecil di negara besar yang aku tinggali saat ini. Mama membawakanku segelas teh hangat dengan aroma chamomile yang menyeruak langsung dari uap mengepul dari cangkir biru muda dengan aksen putih pucat. Mama melarang keras aku minum kopi, jadi teh selalu menjadi pendampingku selama ini.

"Ngga, gimana kuliah pertama?"

Begitu kalimat pembuka siang ini. Sudah bisa kutebak dan sudah tahu bagaimana jawaban semestinya. Namun setelah aku bercerita bagaimana melelahkannya membayangkan tugas-tugas luar biasa yang akan menghantuiku ini, Mama dengan secepat kilat langsung tahu ada pikiran lain yang menyemat di benakku sejak kemarin.

Ya, benar sesuai dengan topik yang pertama kali kubicarakan. Audrey adalah satu-satunya nama yang muncul di benakku setiap kali melihat Mama.

"Terus gimana sama Audrey?"

Aku hanya mengedikkan bahu. Entah aku memang tidak tahu harus menjawab apa. Apa aku harus merasa lega karena sudah melepaskan bebanku atau aku harus merasa kosong karena posisi terbesar saat ini hanya diisi Mama dan seperti separuh yang lainnya dirasa terlalu besar bahkan untuk orang yang mengandungku dan melahirkanku.

"Ngga, Mama tau pasti sulit banget. Tapi kamu juga harus lanjutin hidup kamu. Gak melulu soal Audrey. Kamu harus ikhlas, ya? Lagian Ngga, tujuh tahun itu akan kerasa ringan kalau kamu bisa percaya."

Mama menggenggam tanganku dan mengusap puncak kepalaku pelan. Sorot matanya yang mulai melemah seakan meretakkan seluruh tulang yang ada sebagai penopang tubuhku. Mama ada benarnya, aku dan Audrey tidak bisa sejauh ini.

Dan sejujurnya, aku memutuskan ini semua karena Mama percaya bahwa aku bisa lebih baik dengan cara pergi dari sisi Audrey saat ini.

"Dan satu lagi Angga, jangan pacaran sebelum kamu yakin gak akan ninggalin orang yang kamu sayang."

Mama tertawa ringan sebelum akhirnya melepas posisinya di hadapanku. Mama berdiri dan kembali ke ruang kerjanya. Sedangkan aku hanya bisa membalas dengan anggukan dan senyum terbaik yang seharusnya aku berikan dari seorang anak untuk Ibunya.

Drey, you will meet the other me. Dan ketika aku berdiri di hadapan kamu, aku gak akan lepasin kamu lagi dan aku akan buat kamu jatuh sejatuhnya sama aku. I'll be wiser, Drey. Bukan Angga yang Audrey banggain, tapi Audrey yang sepenuh hati nerima aku ya, Drey? Tunggu aku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro