Satu Sebelum Menjauh
Orang bilang, cara paling ampuh melupakan seseorang adalah dengan membawa seseorang lainnya dalam kehidupan kita. Aku rasa semuanya itu hanya kebodohan belaka. Buktinya aku tidak bisa melupakan Ian ketika Angga pertama kali datang di hidupku.
Baiklah, Ian adalah pengecualian. Sebenci apapun aku padanya, pada akhirnya aku selalu bisa menerimanya kembali. Kami sudah mengenal sejak kecil, rasanya hubungan tujuh hari kami itu terasa biasa-biasa saja bagiku. Ada juga yang bilang kalau kita tidak selalu berhasil dalam hidup. Dan yah, hubungan lebih dari seorang teman dekat untukku dan Ian mungkin salah satu dari ketidakberhasilan itu.
Lagipula, melupakan Ian dan melupakan Angga punya arti yang berbeda.
Waktu itu Ian bilang ingin putus saja dan berteman biasa, katanya Ian dijodohkan. Mungkin detik itu aku ingin menjambak rambut Ian sampai botak, tapi di sisi lain aku merasa hampa. Bukan, bukan karena Ian akan pergi karena toh Ian tidak pernah pergi. Laki-laki itu seperti bumerang, sudah berusaha kulempar jauh-jauh tetap kembali lagi.
Seperti sekarang, senyuman khasnya sebagai pengisi makan siangku hari ini. Benar, aku kenyang hanya melihatnya tersenyum sepanjang hari.
"Gue gak bisa makan dengan benar kalo lo terus-terusan liatin gue sambil nyengir gitu jir."
"Abis lo makin cantik, sih."
See? Ian itu gak pernah berubah.
"Sampis lo, geli gue."
"Loh, serius. Kalo gak mana mau gue nungguin lo sampe sebulanan gini padahal lo selalu read chat gue doang, telpon gak pernah angkat, sekarang harus gue samperin dulu biar gak kabur."
Jadi kalo gue jelek lo gak akan balik lagi, gitu?
"Tau ah gue kenyang, abisin sama lo."
Aku berdiri, membayar makananku dan pergi meninggalkan Ian. Tentunya Ian malah kembali mengekoriku.
Siang ini aku ada praktikum tiga sks dan berakhir sore hari. Makanya aku buru-buru menyempatkan makan siang, tapi malah Ian yang kudapatkan di meja kantin.
"Drey! Tunggu dulu, lo belum makan dari pagi."
Ian menahan pergelangan tanganku yang membuat aku berhenti berjalan. Benar juga, aku belum makan sejak pagi.
Lagian salah Ian malah mengganggu!
"Apasih, gue mau praktikum. Gak usah ditungguin, lo pulang aja." Aku melepaskan tangan Ian yang terasa hangat siang ini, entah kenapa. Mungkin karena perutku kosong dan tubuhku mendingin.
"Drey, badan lo dingin banget. Lo makan dulu, ya?"
"Lima belas menit lagi gue mulai praktikum."
Entah apa yang Ian lakukan, dia malah berlari ke kantin lagi. Anehnya aku malah menunggu Ian kembali di tempatku berdiri. Sampai Ian membawakan sekotak susu dan sebuah roti yang kuyakin baru ia beli dari kantin barusan.
"Makan, ya. Semangat!" Ian mencubit pipiku sebelum pergi. Senyumnya tidak juga pudar sejak tadi, kurasa kedua ujung bibirku juga ikut tertarik.
Dasar, Ian bodoh.
***
Kupikir terakhir yang kulakukan adalah mengatur mikroskop di laboratorium, tapi pandanganku seketika hilang di detik setelahnya.
Setelah meminum sekotak susu yang Ian belikan, rasanya perutku begitu nyeri. Aku lupa kalau aku punya maag akut. Kalau aku minum susu saat perut kosong, justru asam lambungku akan semakin naik.
Sayangnya, kesadaranku malah turun setelahnya.
Setelah mengerjapkan mata berkali-kali, pandanganku langsung disambut oleh cahaya ruangan yang menyilaukan, serta seorang perempuan lengkap dengan jas lab dan rambutnya yang terkuncir rapi.
"Rena?"
Gadis itu menoleh, senyuman terpampang jelas di wajahnya. Meski aku yakin dia adalah memang benar Rena, tapi tadi aku hanya memastikan untuk basa-basi.
"Udah enakan?" ucapnya seraya berjalan ke arahku. Memegang dahiku yang mulai kembali ke suhu normal.
"Tadi lo pingsan dan suhu tubuh lo kaya orang dibekuin." Tawa kecil muncul di sela-sela ucapannya.
"Thanks, Ren," ucapku pelan. Aku mencoba menegakkan tubuhku yang sebelumnya terbaring. Tidak ada orang lain selain Rena dan kami tidak juga di laboratorium.
"Praktikum udah beres?"
Rena mengangguk mengiyakan. Gadis itu memberikan ponsel serta tas milikku.
"Lusa lo susulan praktikum di kelas A, makn yang bener, jangan lupa minum obat lambung lo," katanya.
Tidak ada yang bisa kujawab selain anggukan karena aku pun setuju dengan ucapan Rena. Oh ya, terima kasih juga kepada dosen baik hati yang mau menampungku praktikum susulan di kelas lain.
"Lima belas menit lalu Ian dateng, tapi lo masih belum sadar. Lo pingsan apa tidur sih lama banget." Rena terkekeh membuat matanya tersisa segaris. Aku hanya ikut tertawa pelan, menertawai diriku lebih tepatnya. Bodoh, kan? Sudah tahu punya penyakit malah dipicu semakin parah.
Sekilas kulirik jam di pergelangan tanganku, benar bahwa lima belas menit lalu seharusnya praktikum sudah selesai. Mungkin itu alasan Rena ada di sini. Dengan kata lain, aku pingsan selama hampir tiga sks mata kuliah siang ini.
"Ian sekarang kemana?"
Padahal sudah kubilang jangan datang lagi, tapi Ian malah kembali. Namun ada untungnya juga, aku terlalu lelah untuk pulang sendiri. Setidaknya ada Ian yang bisa kutebengi.
"Ke depan deh kayanya, tadi Revo nyasar gitu malah ke Fakultas tetangga, mungkin mereka udah ketemu kali ya sekarang." Aku mengangguk mengerti. Sepertinya Revo sedang gila sampai meninggalkan kampusnya di kota lain dan menghampiri Rena di sini.
Rena ini kekasih Revo, sudah kuceritakan belum, sih? Belum ya?
Rena dan aku terpaut umur satu tahun begitu juga dengan Revo. Dua manusia jenius itu berpacaran sejak dua bulan lalu. Kebetulan Rena ini teman kelasku yang kebetulan tinggal di perumahan yang sama denganku. Jadi saat liburan semester lalu kami beberapa kali bertemu dan di sana juga tentunya ada Revo.
Entah kenapa sejak aku putus dengan Angga, Revo jadi sering sekali menghubungiku. Kata Revo, perintah tuan muda.
Basi.
Kalau Angga ingin bertemu denganku, ya jangan lewat perantara. Sejujurnya bahkan aku ingin mendengar penjelasan dari Angga, bukan sekadar informasi dari Ian ataupun Revo.
"Revo bolos ambil jatah kelas apa gimana nih sampe nyamperin lo ke sini? Naik apa dia?"
Wajah Rena berubah seketika. Aku rasa aku baru saja membangunkan singa betina.
"Naik mobil dong, Drey. Gila gak sih dia? Delapan jam bayangin dalem mobil dan lo tau dia ke sini buat apa? Cuma buat rayain ultah gue! Dia bolos tiga kelas, terhitung dua hari untung aja Jum'at kelas dia kosong."
Aku tertawa pelan mendengar penuturannya. Dasar bucin.
Revo tuh sering julid sama aku dan Angga, katanya budak cinta. Nyatanya Revo sendiri nih, rela delapan jam di jalan cuma buat ketemu Rena.
Akhirnya aku dan Rena memutuskan untuk keluar gedung kampus kami karena Rena baru saja dapat pesan kalau Revo menunggunya di depan.
Oh, Ian juga.
Sampai di depan gedung fakultas kami, aku bisa melihat mobil Revo terpajang jelas di depan dan kepalanya yang menyembul dari dalam.
"Drey, gue duluan, ya," ucap Rena padaku.
Ian yang sebelumnya tengah berbincang dengan Revo pun berjalan ke arahku. Berselisihan dengan Rena yang kemudian masuk ke dalam mobil.
"Ayo pulang." Ian mengambil tas di tangan kananku dan berjalan di depan.
Aneh.
"Lo kenapa?"
Iya, Ian itu kenapa? Tiba-tiba sikapnya dingin.
Ian memarkirkan motornya di pelataran depan jadi kami tidak perlu ke parkiran belakang kampusku.
"Ayo naik," katanya.
"Kan gue udah bilang gak usah ditungguin."
Ian pasti menahanku, kan? Sebenarnya aku hanya mengecek. Kalau Ian marah atau ada masalah, laki-laki itu tidak akan segan pada siapapun termasuk aku.
"Yaudah."
"Hah? Seriu—"
Belum sempat kuselesaikan ucapanku, motor Ian sudah melaju kencang meninggalkanku di belakang.
Apaan sih?
"Gila kali ya Hadrian tiang listrik!"
Aku hanya melongo melihat kepergian Ian yang membawa tasku bersamanya.
Tunggu, ponselku ada di sana!
Buru-buru aku berlari ke arah gerbang, berharap mobil Revo masih terparkir di depan karena mengejar Ian adalah kemustahilan.
Namun nihil. Revo dan Rena juga sudah berlalu meninggalkan kampus.
Memang bodoh! Bisa-bisanya Ian membawa tas dan ponselku bersamanya tapi malah meninggalkanku sendiri.
Apalagi yang bisa kulakukan?
Pada akhirnya aku memutuskan untuk berbalik ke dalam kampus, siapa tahu masih ada teman kelas entah siapa yang bisa kutebengi.
Namun entah kenapa sesaat ketika aku membalikkan badanku, sinar matahari yang sebelumnya masih memancar redup kini semakin redup. Aku mendongak menegakkan wajahku.
Seratus tujuh puluh enam senti dengan jaket jeans melekat di tubuhnya menjulang tepat di hadapanku.
"Angga?"
Respon yang kudapat pertama kali adalah rasa hangat yang tiba-tiba menjalar dari pundakku, usapan di punggungku seketika membekukan otakku.
Angga mendekapku lebih dekat dari jaketnya yang melekat di pundak kiriku satu tahun yang lalu, serta bersamaan terasa begitu lebih jauh dari lima langkah perpisahan kami tempo lalu.
"Maaf." Suaranya menelisik gendak telingaku. Hening di sekitar kami, tanganku merengkuh mengaitkan kembali pelukan kami.
Seharusnya aku mendorong Angga, melangkah mundur, dan pergi. Seharusnya Angga tidak di sini secara tiba-tiba yang kuyakin dia sebelumnya ada di kemudi yang sama dengan Revo.
Seharusnya skenarionya tidak seperti ini.
Ini salah, tapi Tuhan, kumohon jangan berhenti sampai di sini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro